Kamis, 11 September 2025

Dan Itu kau.

 Aku duduk di tepi senja ini dengan dada yang kian berat. Seperti ada ribuan batu menindih nafasku setiap kali namamu kembali mengetuk ingatan. Aku ingin sekali berkata, andai saja waktu bisa kuputar kembali, tak akan pernah kubiarkan tanganmu terlepas dari genggamanku.

Namun kenyataannya begitu kejam. Aku justru meninggalkanmu—padahal aku sedang dalam puncak rasa cinta, padahal kau pun sedang mencintaiku dengan segala ketulusan yang tak pernah bisa kutemukan lagi pada siapa pun. Aku pergi bukan karena ingin, aku pergi karena keadaan memaksaku. Dan di situlah penyesalan ini lahir: luka yang menua bersama setiap detak jam, tak kunjung sembuh, hanya semakin dalam menggerogoti hati.

Aku menyesal. Ya Tuhan, aku menyesal.
Aku menyesal karena meninggalkan seseorang yang seharusnya kupeluk sampai akhir usia. Aku menyesal karena membiarkan cinta kita yang begitu murni dipatahkan oleh keadaan yang bahkan tak peduli pada perasaan kita. Aku menyesal karena membiarkanmu menangis sendirian, sementara aku, dengan terpaksa, berjalan menjauh sambil menyeret sisa hatiku yang hancur.

Tahukah kau? Sejak hari itu, langit tak pernah lagi terasa biru. Hujan tak pernah lagi terdengar merdu. Malam hanya penuh gelap dan sepi, karena di dalamnya aku selalu mendengar suaramu memanggil, lalu lenyap ditelan jarak yang membunuh kita. Aku mencoba bertahan, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi setiap kali senja tiba, rasa itu kembali menamparku: kenyataan bahwa aku pernah meninggalkanmu di saat aku seharusnya menggenggammu lebih erat.

Cinta ini, oh, cinta ini tak pernah mati. Ia hanya terkurung dalam jeruji waktu, tercekik oleh keadaan, tapi tetap hidup di sini—di dalam dadaku yang penuh retakan. Aku mencintaimu, masih, dan selalu. Dan itulah yang paling menyakitkan: mencintaimu tanpa bisa lagi memilikimu.

Kadang aku bertanya pada diri sendiri: Apakah kau masih menyisakan sedikit ruang untukku dalam ingatanmu? Atau aku sudah sepenuhnya hilang, hanya meninggalkan bekas luka yang tak ingin kau sentuh lagi? Aku tak punya keberanian untuk tahu jawabannya. Yang kupunya hanya penyesalan, tangisan dalam diam, dan cinta yang terus mengalir seperti darah yang tak pernah berhenti dari luka terbuka.

Jika suatu saat hidup memberiku kesempatan untuk kembali, aku bersumpah tak akan pernah kulepaskan lagi tanganmu. Tapi aku tahu, dunia tak selalu berpihak pada kita. Dan mungkin, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah mengirimkan doa dari kejauhan, bahwa kau bahagia—meski tanpa aku.

Namun izinkan aku sekali lagi mengaku di bawah langit senja ini: aku menyesal, aku sangat menyesal, karena pernah meninggalkanmu di saat aku begitu mencintaimu, di saat kau pun masih mencintaiku. Semoga penyesalanku ini sampai padamu, meski hanya sebagai bisikan yang tak pernah terdengar, tapi selalu hidup, selalu ada… di antara aku, kau, dan cinta yang tak pernah mati.