Babad Kota Malang Berdasarkan Kisah Kepahlawanan Proboretno dan Panji
Pulangjiwo
Kota Malang sebagai salah satu
kota metropolitan, khususnya Jawa Timur, tidak dapat dipungkiri bahwa
eksistensinya sampai kini memiliki nilai sejarah yang cukup menggemilangkan dan
patut dikenang. Di balik gelar yang disandang, seperti kota bunga, kota pendidikan,
sampai Paris van Java, sejarah kota Malang tidak bisa dilupakan begitu saja
dari benak masyarakatnya.
Menurut sejahrawan dan tetua
masyarakat, cikal bakal penamaan wilayah kota Malang berasal dari kisah
perjuangan seorang putri cantik dan sakti mandraguna bernama Dyah Ayu Dewi
Proboretno. Berdasarkan Babad Tanah Jawi Pesisiran, Proboretno adalah seorang putri
adipati Kadipaten Sengguruh Ronggo Toh Jiwo yang gemar berlatih ilmu kanuragan
dan kadigdayaan. Semasa kecil, Proboretno banyak menghabiskan waktu berlatih di
padepokan kaki Pegunungan Kendeng, sehingga sosoknya hadir dengan kepiawaian
peran bersenjatakan cundrik (keris kecil yang diselipkan di bagian
tertentu).
Namun, Proboretno adalah putri
yang sangat teguh akan prinsip. Proboretno hanya bersedia menikah dengan
seorang lelaki yang berhati tulus, memiliki kadigdayaan untuk membantu
perjuangannya, serta berhati baik. Untuk itu, Adipati Ronggoh Toh Jiwo
mengumumkan sayembara, "Barang siapa, lelaki yang mampu mengalahkan putri
Proboretno dalam adu tanding atau kesaktian, dia akan menjadi suaminya".
Seluruh ksatria pun datang
mengikutsertakan diri dalam sayembara ini. Mendengar kabar itu, pangeran tampan
dari Madura, Panji Pulangjiwo berniat ikut serta. Namun, punggawa kadipaten
Malang bernama Sumolewo yang mengincar kecantikan Proboretno. Dengan liciknya,
Sumolewo membunuh ksatria yang masuk ke Kadipaten Sengguruh melalui pintu
utara. Sekarang, wilayah ini disebut Lawang. Setelah membunuhnya, jasad para
ksatria dilempar ke sebuah sungai yang kini dinamakan Kali Getik atau Kali
Sorak di wilayah Kecamatan Lawang tersebut.
Namun, Panji Pulangjiwo tidak kehabisan
akal. Ia masuk melalui pintu timur yang menjadi kandang hewan, sehingga disebut
Kedungkandang. Akhirnya, Panji Pulangjiwo berhasil mengalahkan seluruh ksatria
termasuk Sumolewo di babak akhir pertandingan. Kini, dengan kesaktiannya, Panji
Pulangjiwo adu tanding bersama Proboretno yang sama-sama sakti. Proboretno
terdesak, dan melarikan diri untuk bersembunyi di gua bekas petilsan Kerajaan
Singosari.
Raden Panji menunggangi kuda
Sosrobahu unutk mengejar Proboretno. Sebab keteguhan hati dan kesaktiannya,
Raden Panji mampu membuka gerbang tersebut. Maka, sesuai janji sayembara,
Proboretno menjadi istri Panji Pulangjiwo. Wilayah tempat persembunyian
tersebut kini dikenal sebagai Kutho Bedah di daerah Jodipan yang menjadi
kampung wisata tridi.
Saat itu, kadipaten Sengguruh
merupakan wilayah otonom dari Kesultanan Mataram yang sedang diperintah oleh
Panembahan Senopati. Kadipaten Malang tergabung dengan beberapa wilayah seperti
Kadipaten Suroboyo (Surabaya), Ngrowo (Tulungagung), Caruban (Madiun), Blitar,
Kedu, dan Lumajang, sebagai wilayah Brang Wetan. Jika diartikan ke dalam bahasa
Indonesia, artinya wilayah timur (Jawa Timur).
Panembahan Senopati Senopati
sampai pada pemerintahan Sultan Agung selalu berkeinginan menguasai Kadipaten
Suroboyo sebagai titik pusat Brang Wetan. Untuk menguasai wilayah tersebut,
Kesultanan Mataram harus menundukkan wilayah-wilayah kadipaten lain, dan
terakhir Kadipaten Malang sebagai pintu gerbang menuju Suroboyo.
Pasukan Mataram selalu berhasil
mengalahkan wilayah-wilayah lain, seperti Caruban dan Ngrowo, namun, tidak
untuk Kadipaten Malang. Bersama senopati Proboretno dan Panji Pulangjiwo,
rakyat kadipaten selalu makar memberontak) dan menghalang-halangi gerak pasukan
Mataram. Sebab, itu lah, wilayah Sengguruh dikenal menjadi nama
"Malang" yang artinya "menghadang". Melihat pasukannya yang
selalu habis dibantai senopati Proboretno, Sultan Agung mengirm kembali
ekspedisi pasukan yang dipimpin oleh Senopati Surontani. Pasukan ini juga
mengalami kesulitan karena berhadapan dengan geografi kota Malang yang secara
umum dilingkari pegunungan-pegunungan dan dua sungai besar, Metro dan
Brantas.
Mengetahui gerak pasukan Mataram,
senopati Proboretno dan Panji Pulangjiwo menyambut mereka di kaki pegununungan
Kendeng. Akhirnya, berhadapanlah kedua pasukan tersebut, dimana Proboretno
berhadapan dengan Surontani. Surontani yang memiliki tombak pusaka kyai
Upastidak bisa menggunakannya untuk melawan Proboretno, karena kesaktiannya
akan hilang jika digunakan melawan perempuan. Dengan cundriknya, Proboretno
berhasil membuat pasukan Mataram ketakutan dan menyudutkan Surontani. Surontani
yang merasa terdesak akhirnya melempar tombak tersebut dan mengenai dada
Proboretno.
Sang putri akhirnya meninggal
dalam perjalanan menuju kadipaten. Merasa kehilangan atas istri tercintanya,
Raden Panji yang diliputi amarah mengejar dan menghabisi pasukan Mataram yang
berlari tunggang langgang. Namun, Surontani dan sebagian pasukan berhasil
meloloskan diri dan bersembunyi di hutan-hutan wilayah Sengguruh. Sebab itulah,
sebuah desa di Kabupaten Malang disebut Desa Mentaraman, karena dipercaya
masyarakatnya adalah keturunan dari sisa-sisa pasukan Mataram.
Konten ini telah tayang di
Kompasiana.com dengan judul "Babad Kota Malang Berdasarkan Kisah Kepahlawanan
Proboretno dan Panji Pulangjiwo", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/riqkowindayanto5398/5b7983ac12ae940af14bcc73/babad-kota-malang-berdasarkan-kisah-kepahlawanan-proboretno-dan-panji-pulangjiwo