Hamid Rusdi, salah
satu pejuang asal Malang yang kemudian menjadi pahlawan nasional. Sebagai
salah satu Kota Perjuangan di Indonesia, Kota Malang memiliki banyak pahlawan
nasional. Salah satunya adalah Hamid Rusdi yang merupakan pahlawan asli Malang.
Pahlawan yang namanya diabadikan menjadi nama terminal dan
jalan di Malang ini disebut sebagai pahlawan pentas zaman. Hal ini tak lain
karena ia telah melewati tiga masa perjuangan mulai dari masa penjajahan
Belanda penjajahan Jepang hingga pasca kemerdekaan.
Iya lahir di Desa Sumbermanjing Kulon. Tepatnya wilayah
Kecamatan Pagak Kabupaten Malang. Pria yang mampu menjadi penggerak bagi rakyat
Indonesia khususnya Kota Malang ini lahir pada 1911. Berikut ini secuplik kisah
pahlawan Hamid Rusdi pada tiga masa perjuangan rakyat Indonesia.
Perjuangan Hamid Rusdi pada masa penjajahan kolonial Belanda
Hamid Rusdi telah aktif bergabung dalam salah satu
organisasi keagamaan di Indonesia sejak muda. Ia bergabung dengan pandu Ansor
yang kemudian membawanya menjadi salah satu staf partai NU pada masa itu.
Hamid Rusdi juga merupakan seorang guru agama dan sempat
bekerja di penjara besar Malang yang saat ini dikenal sebagai lapas Lowokwaru
selama beberapa tahun.
Dalam laman resmi Kemenkumham, kepala lapas 1 Kota Malang
pernah menyebut bahwa Hamid Rusdi dulunya pernah bekerja sebagai sipir di
penjara Lowokwaru. Saat itulah pahlawan ini digembleng hingga akhirnya menjadi
seorang prajurit tangguh dan bergabung dalam pasukan rakyat.
Perjuangan Hamid Rusdi pada masa penjajahan Jepang
Sebelum perang Asia Pasifik berkecamuk antara blok barat dan
blok timur, Jepang telah memasuki wilayah Malang pada 8 Maret 1942
Setelah akhirnya berkuasa Jepang akhirnya membentuk beberapa
badan semi militer seperti Heiho Keibodan Seinendan dan Djibakutai yang gunanya
untuk menekan rakyat.
Karena gejolak perjuangan masyarakat terus meningkat, Hamit
Rusdi pun turut bergabung dengan pembela tanah air atau Peta. Ia keluar dari
pekerjaan sebelumnya demi memperjuangkan hak-hak rakyat.
Akhirnya ia dipercaya menjadi sudanco atau berpangkat letnan
satu. Ia lalu mempersiapkan pasukan dan laskar rakyat untuk melawan para
penjajah Jepang. Aksi heroik laskar rakyat dan Hamid terus tercatat karena
mampu melucuti senjata para tentara Nippon yang ada di Malang.
Atas prestasinya, ia pun dipercaya menjadi komandan batalyon
1 resimen infanteri yang bermarkas di Jawa barat.
Tugas itu juga ia laksanakan dengan sukses. Hamid Rusdi
mampu memimpin dan menyelesaikan pertempuran dengan baik. Iya bergabung dengan
badan keamanan rakyat atau yang sekarang dikenal dengan TNI.
Usai melaksanakan tugasnya di Jawa Barat, ia kembali pulang
ke Malang dan akhirnya kembali ditunjuk menjadi letnan kolonel. Hamid Rusdi
juga dipercaya sebagai komandan pertahanan daerah yang meliputi Pandaan Malang
dan Pasuruan.
Kisah Hamid Rusdi pada era kemerdekaan
Bangsa Indonesia akhirnya berhasil merebut kemerdekaan dari
penjajahan Belanda, Jepang dan sekutu lainnya. Namun kemerdekaan itu harus
tetap dipertahankan oleh para pejuang saat tahun 1947 Belanda kembali mencoba
menguasai Indonesia melalui agresi militer
Malang sebagai salah satu kota strategis di Jawa Timur juga
turut menjadi sasaran. Belanda yang ingin kembali berkuasa. Masuknya Belanda
membuat Hamid Rusdi kembali menggerakkan pasukan rakyat untuk melawan dan
mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai salah satu strategi Hamid Rusdi dan para pejuang
lainnya akhirnya membumihanguskan beberapa bangunan penting di kota Malang.
Gerakan ini bertujuan agar tidak digunakan lagi oleh Belanda.
Namun karena kekuatan Belanda yang masih terlalu kuat untuk
rakyat Malang, para pejuang pun akhirnya harus mundur dari garis depan. Hamid
Rusdi berusaha untuk membuat garis pertahanan di Bululawang. Bersiap untuk
melaksanakan strategi dan taktik merebut kembali wilayah Malang dari Belanda.
Gugurnya Hamid Rusdi
Mayor Hamid Rusdi adalah pemimpin yang disegani dan ditaati
oleh anak buahnya. Dia ditakuti dan seorang pemberani, sering muncul di Kota
Malang yang saat itu dikuasai pasukan Belanda dengan meriam-meriam yang siap
ditembakkan di seluruh penjuru kota.
Mayor Hamid Rusdi melakukan perjalanan keliling untuk
mengkonsolidasikan perjuangan dengan jalan mendatangi sektor-sektor seperti di
Malang Barat pimpinan Kapten Abdul Manan dan Malang Selatan pimpinah Kapten
Mochlas Rowie. Sebenanya, Mayor Hamid Rusdi pada saat terbentuknya
sektor-sektor tersebut mendapatkan tugas sebagai Komandan MG-I (Markas
GerilyaI) yang terdiri dari tujuh perwira dan enam orang pengawal, berkedudukan
di Nongkojajar. Namun, keadaan memaksa beliau untuk sementara waktu tetap
bertempat di Sumber Suko bersama wakilnya, Kapten Wachman. Bersama Kompi Sabar
Sutopo, beliau melakukan penyusupan ke daerah pendudukan ketika Belanda
menyerang dengan pesawat-pesawat tempurnya ke markas komando di Turen.
Dari desa Sumber Suko, Mayor Hamid Rusdi kemudian
melanjutkan perjalanan menuju ke Nongkojajar dan menyempatkan diri untuk menuju
dukuh Sekar Putih, Wonokoyo melalui desa Telogowaru, karena istrinya tinggal di
salah satu rumah pondokan di desa itu. Rencananya, setelah bertemu istrinya,
perjalanan akan berlanjut ke Nongkojajar. Tapi Tuhan berkehendak lain.
Beliau menjumpai istrinya sambil tetap berjaga membawa
senjata kesenangannya sebuah pistol Vickers isi 12 peluru. Setelah pertemuan
itu, sebelum pergi beliau berpesan agar istrinya segera meninggalkan daerah
tersebut. Sudah kebiasaan, saat pamit beliau tidak pernah memberi tahu ke mana
akan pergi. Lebih-lebih pada saat genting. Ini dimaksudkan agar tempat-tempat
persembunyiannya sukar dilacak oleh pihak Belanda.
Sehari sebelumnya Hamid Rusdi dan pasukannya sudah berada di
atas puncak Gunung Buring ketika pasukan Belanda menggencarkan patroli di
wilayah Tajinan. Sebenarnya, Komandan Sektor I Tajinan dan CODM (Coordinator
Operasi Daerah Militer) Serma Tjokro Hadi, juga Komandan Seksi II dan III Kusno
Hadiwinoto, sudah mengingatkan bahwa keadaan di bawah sangat gawat, sebaiknya
Hamid Rusdi menunda perjalanannya.
Hari itu, 7 Maret 1949, pasukan Belanda dengan kekuatan
lebih dari dua peleton berjalan kaki meringsek hendak melakukan penyergapan.
Penunjuk jalannya adalah mata-mata Belanda, oleh sebab itu tempat kedudukan
Mayor Hamid Rusdi dapat diendus. Menurut kabar, Belanda sudah berangkat dari
Tajinan sejak pukul 12 siang, mempergunakan pasukan KNIL.
Malam itu Mayor Hamid Rusdi berada di salah satu rumah
penduduk. Di situ ada Pak Moesmari pemilik rumah dan Yoenoes menantunya, istri
Moesmari Mbok Ngasirah, serta anaknya bernama Roekayah yang sedang hamil.
Ajudan Hamid Rusdi, Letnan Ismail Etfendi dan adiknya, Abdul Razak yang
mendampingi beliau masuk ke desa Wonokoyo, malam itu tidak ikut menginap di
rumah tersebut.
Malam begitu pekat, sekitar pukul sebelas malam, pasukan
Belanda menyergap saat semua penghuni rumah sedang tidur. Pak Moesmari
membukakan pintu, tak berdaya di bawah todongan senjata, disusul pasukan yang
lain dengan segera menuju kamar Mayor Hamid Rusdi. Dengan tindakan yang serba
cepat, ketiga laki-laki dalam rumah tersebut diikat dan segera dibawa pergi.
Kedua perempuan dibiarkan tinggal, tak ada pembicaraan yang terdengar kemana
mereka bertiga akan dibawa pergi.
Keesokan harinya, Kopda Soekarman dan sebagian Kompi Sabar
Soetopo melaporkan kejadian ini kepada Kapten Wachman yang kemudian
memerintahkan untuk menyisir tempat kejadian. Tak lama setelah menelusuri
jalanan kampung hingga sampai di dekat sungai Kali Sari, mereka mendapati
jenazah Mayor Hamid Rusdi tergeletak di sekitar jembatan Sekar Putih Wonokoyo,
gugur dengan tubuh penuh luka ditembaki pasukan Belanda. Tak jauh, ditemukan
pula jenazah Letnan Ismail Effendi, Abdul Razak, Moesmari, dan Yoenoes. Dini hari
yang sama, pasukan Belanda juga menangkap kamituwo Sumbersuko, tetapi
jenazahnya tidak ditemukan.
Prajurit beserta masyarakat Wonokoyo merasa sangat sedih
ditinggalkan komandannya yang gagah berani dan berjiwa kesatria. Telah gugur
bunga bangsa yang tak pernah padam nyali dan semangatnya untuk merebut kembali
Kota Malang. Sejak saat itu, daerah basis gerilya dan pusat Komando Batalyon I
dipindahkan ke desa Madyopuro dan berkedudukan di Cemoro Kandang dengan pasukan
inti satu kompi di bawah pimpinan Kapten Djoeri.
Setelah pasukan Belanda meninggalkan Malang, 15 Mei 1950
jenazah Mayor Hamid Rusdi dipindahkan ke Makam Pahlawan Suropati.
Coban Jahe di Malang menjadi saksi perjuangan mempertahankan
kemerdekaan melawan penjajah. Di kawasan hutan yang dinamakan Kalijahe, para
pejuang berusaha menghadapi serangan dari Belanda dan pasukan sekutu yang
berusaha kembali menguasai Indonesia.
Coban Jahe atau air terjun jahe sendiri berada di wilayah Desa Taji, Jabung,
Kabupaten Malang. Lokasinya berdekatan dengan kaldera Gunung Bromo.
Saat itu sekitar 150-an pasukan yang disebut Kompi Gagak Lodra di bawah
pimpinan Kapten Sabar Sutopo sedang berjuang melawan Belanda.
Setidaknya 38 pejuang gugur dalam pertempuran itu. Lantaran
serangan dari pasukan Belanda yang ada di sekeliling bukit pascaproklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
saat itu Kompi Gagak Lodra mendapat tugas khusus dari Mayor Hamid Rusdi untuk
menuju Tosari melalui lautan pasir Gunung Bromo. Tujuannya untuk merebut pos
Tosari yang berhasil ditaklukkan Belanda pada 22 Desember 1948.
Namun saat perjalanan ke Pasuruan, pasukan Gagak Lodra terhalang oleh
pertahanan yang kuat dimiliki Belanda.
"Dari sana pasukan kembali ke arah Malang dan sampai ke Kalijahe. Namun di
Kalijahe ini mereka terjebak hujan dan cuaca buruk selama dua hari di hutan
Kalijahe. Tapi saat berada di Kalijahe ini para pasukan diserang dari atas
pegunungan oleh pasukan Belanda, meski para pejuang telah berhati-hati dan
berjalan kaki di sepanjang hutan lembah untuk menghindari pasukan Belanda,
ternyata ada warga pribumi yang membocorkan tempat persembunyian pasukan Gagak
Lodra ini.
"Ada warga kita yang membocorkan ke Belanda mengatakan ada pasukan
gerilyawan ini berada di lembah hutan Kalijahe. Kan memang warga sendiri ada
yang pro dan kontra Belanda. Jadi mungkin Belanda ini bisa memprovokasi untuk
menjadi mata-mata," terang pria yang juga pengelola Museum Reenactor
Ngalam ini.
Pertempuran selama dua hari di Coban Jahe ini berjalan tak seimbang, pasukan
Belanda yang menggunakan senapan otomatis dan granat yang berada di atas bukit
dengan kekuatan pasukan lebih banyak, harus melawan gerilyawan pejuang
Indonesia dengan persenjataan senapan rampasan perang yang berada di lembah
atau bawah bukit.
Belum lagi saat pertempuran kondisi hujan dan kabut membuat pejuang Indonesia
kesulitan melihat lawan.
"Hasilnya ya dari ratusan pasukan itu 38 pejuang kita
gugur, sementara yang selamat diperkirakan 150 orang tapi akhirnya mundur dan
melarikan diri melalui sungai menuju kampung," ucapnya.
Namun pertempuran besar di Kalijahe yang banyak memakan korban juga membawa
hikmah. Pasalnya pasukan lainnya yang dipimpin Abdul Syarif dan Samsul Islam
dari Jajang, Poncokusumo berhasil melewati Tosari, hingga akhirnya menuju
Probolinggo dan Pasuruan untuk menyiapkan pasukan yang lebih besar lagi.
"Keberhasilan ini karena pasukan Belanda terfokus di Kalijahe menghadapi
pasukan Sabar Sutopo. Ini merupakan keberhasilan dari kepentingan strategi,
masuknya Kompi Gagak Lodra memandu berbagai pasukan yang akan melakukan wingate
action menuju ke arah timur," Meski porak-poranda oleh serangan Belanda,
Kompi Gagak Lodra akhirnya dapat dibangun kembali, bahkan dengan kekuatan yang
berlipat ganda. Setelah pertempuran di Kalijahe, pasukan yang tersisa berkumpul
kembali di Garotan, Wajak.
"Berkat konsolidasi yang dilakukan secara terus menerus selama tiga bulan,
ditambah lagi dengan kedatangan pasukan Letnan Soemodiharjo (yang terkenal
sebagai pasukan penangkis serangan udara), Kompi Gagak Lodra kembali dapat
dibangun. Pasukan Letnan Soemodiharjo membawa banyak senjata berat yang terdiri
dari senapan mesin 12.7, 13.2, mortir 8 dan beberapa pucuk senjata
ringan," lanjutnya.
Dengan kekuatan utuh tersebut, lanjut Eko, Kompi Gagak Lodra mampu
mempertahankan daerah Garotan dan sekitarnya (kecamatan Wajak). Bahkan
berulang-ulang mereka melakukan serangan ke pos-pos Belanda di Wajak, Codo, dan
Turen.
"Beberapa kali pasukan Belanda mencoba menyusup ke daerah basis gerilya
tetapi kami gagalkan karena kerjasama antara tentara dan rakyat yang terjalin
erat, sehingga gerak langkah Belanda selalu diawasi terus dan dilaporkan ke
markas gerilya,"