Cinta yang tertinggal
By Sumarno guritno
Sinopsis
Cinta yang tertinggal adalah kisah tentang dua jiwa yang
saling menemukan dan kehilangan, tentang cinta yang mengalir melalui melodi,
dan tentang bagaimana dua individu yang terpisah oleh waktu dan jarak akhirnya
menemukan kedamaian dalam perjalanan hidup mereka. Onram, seorang musisi yang
sedang mengejar mimpinya, dan Yculia, seorang profesional yang sukses namun
mencari arti kebahagiaan sejati, menjalani kehidupan mereka yang penuh dengan
tantangan dan perubahan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka diuji oleh jarak
dan impian masing-masing, namun mereka tetap saling terhubung melalui kenangan
yang tak lekang oleh waktu. Mereka belajar untuk melepaskan satu sama lain,
namun tetap menjaga ikatan yang lebih mendalam—sebuah ikatan yang mereka
temukan dalam melodi yang tak pernah berhenti berdering di hati mereka.
Dalam novel ini, setiap catatan yang tertinggal adalah
seperti nota tersembunyi dalam lagu kehidupan yang hanya bisa didengar oleh
mereka yang benar-benar ingin memahami. Dan pada akhirnya, mereka belajar bahwa
terkadang untuk menemukan kedamaian, kita harus membiarkan sesuatu pergi—bukan
karena kita tak lagi mencintainya, tetapi karena kita tahu bahwa cinta itu akan
selalu ada di dalam hati.
Bab 1 - Catatan Pertama
Suasana kamar Onram terasa sepi, hampir sunyi seperti dunia
yang mengelilinginya. Lampu kamar yang redup menyinari sudut-sudut ruangan
dengan cahaya yang tak cukup untuk menyingkirkan bayang-bayang yang bergerilya
di dinding. Di meja, tumpukan buku-buku yang tidak pernah sempat dibaca
bertumpuk acak, menunggu dengan sabar untuk disentuh kembali. Gitar tua yang
dulu sering menjadi teman setia dalam setiap melodi kini tergeletak begitu saja
di sudut ruangan, terabaikan, seolah turut merasakan keheningan yang sama.
Onram duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya terasa kaku
seakan tak ada energi yang tersisa. Matanya menatap kosong ke arah
langit-langit, tak tahu harus berbuat apa. Pikiran-pikirannya berputar tanpa
henti, berlarian dari satu hal ke hal lainnya, namun tak ada satu pun yang bisa
memberi ketenangan. Tidur? Itu sudah lama menjadi sesuatu yang asing baginya,
sebuah lux yang bahkan tak bisa dirasakannya meski tubuhnya terasa lelah.
Insomnia semakin mencekiknya, menambah beban pikiran yang semakin meluap.
Dengan gerakan lambat, Onram meraih ponselnya yang
tergeletak di samping tempat tidur. Jemarinya menyentuh layar dengan lembut,
membuka aplikasi media sosial—bukan dengan akun asli, tentu saja. Ia memilih
akun palsu, identitas yang tak ada, tak dikenal. Di balik akun tersebut, Onram
bisa menyembunyikan dirinya dari dunia nyata. Tak ada tanggung jawab, tak ada
kewajiban untuk menjawab atau memberi penjelasan. Hanya ada ruang kosong yang
bisa diisi dengan komentar atau kalimat-kalimat yang tidak akan menuntut
konsekuensi.
Onram (membuka aplikasi, berbicara pada dirinya
sendiri dengan suara pelan): "Terkadang, dunia ini terlalu keras untuk
aku jalani. Kenapa harus berinteraksi, kalau semuanya hanya terasa hampa?"
Dia menggeser layar, membaca unggahan-unggahan orang yang
tak dikenalnya. Seperti kebanyakan malam, ia menemukan kenyamanan dalam anonim.
Tak ada yang tahu siapa dia di balik layar ini. Tidak ada yang mengharapkannya
untuk jadi siapa pun selain dirinya yang tersembunyi.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk. Onram berhenti sejenak, mata
terfokus pada notifikasi yang muncul. Nama yang tertera di sana bukanlah
seseorang yang ia kenal langsung, tapi cukup menarik perhatiannya. Hanya ada
satu kalimat di pesan itu:
"Kadang, yang kita butuhkan bukan tidur, tetapi
pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri."
Onram mengernyitkan dahi, bingung, tapi ada sesuatu dalam
pesan itu yang membuatnya merasa sedikit lebih hidup—sesuatu yang berbeda dari
rutinitas biasa. Ia membuka profil pengirim pesan tersebut, tapi tak ada yang
khusus. Seperti dia, mereka juga memiliki banyak pertanyaan namun sedikit
jawaban.
Dalam keheningan malam itu, Onram terjebak dalam
perenungannya. Tidak ada yang bisa memberi jawaban pasti. Dunia ini mungkin
terlalu keras, namun ada satu hal yang ia tahu: kadang-kadang, untuk memahami
sesuatu, kita harus lebih banyak diam, mendengarkan, dan mencari. Tapi di dunia
maya yang sepi ini, apakah benar ada yang bisa dipahami?
Penemuan Akun Misterius
Di malam yang sepi ini, ponsel Onram masih bersinar lembut
di tangannya, layar kecil yang menjadi jendela menuju dunia yang ia pilih untuk
bersembunyi. Jari-jarinya bergerak perlahan, menyusuri feed sosial media,
membiarkan setiap unggahan melintas tanpa banyak perhatian. Dunia maya selalu
memberi kenyamanan yang sunyi, tanpa suara, tanpa pandangan tajam yang
menghakimi.
Namun, di antara banyaknya postingan yang tak menarik
perhatiannya, sebuah akun muncul dengan cara yang tidak biasa. Tidak ada foto
profil, hanya sebuah nama kosong yang menyisakan misteri. Tulisan-tulisannya
pun tidak seperti yang lainnya; singkat, tetapi terasa dalam, seperti bisikan
dari seorang yang terjebak dalam pikirannya sendiri. Onram merasa, ada sesuatu
yang berbeda di sini. Sesuatu yang mengundang rasa ingin tahu yang tak bisa ia
hindari.
Salah satu tulisan yang muncul di layar ponselnya membuatnya
berhenti sejenak, membaca dengan seksama, meskipun kata-kata itu tidak mengarah
pada kebahagiaan.
"Ada hal-hal yang bahkan tidak bisa kusembuhkan
dengan waktu. Salah satunya adalah kehilangan diriku sendiri."
Kata-kata itu terasa begitu akrab di telinganya, seperti
sebuah lagu yang pernah ia dengar berulang kali, tapi tak pernah ia pahami
sepenuhnya. Ada kedalaman yang membuatnya terdiam, seolah-olah penulisnya
sedang berbicara langsung padanya, menyentuh bagian terdalam dari hatinya.
Kata-kata itu bukan sekadar kalimat biasa; itu adalah luka yang hidup, sebuah
bisikan yang mengisi kekosongan di ruang-ruang sunyi dalam dirinya.
Onram (berbicara pelan kepada dirinya sendiri, seolah
ragu dengan apa yang baru ia baca):
"Kenapa rasanya... seperti aku yang menulis ini?"
Ia menggeser layar, membaca beberapa catatan lainnya.
Semakin ia membaca, semakin kuat perasaan yang membelitnya—sebuah perasaan yang
tidak bisa dijelaskan, seperti ada benang tak terlihat yang menghubungkannya
dengan penulis ini. Gaya tulisan itu, ritme kata-katanya, bahkan pilihan kata
yang dipilihnya, seolah datang dari seseorang yang benar-benar memahami
kesepian yang sama, kesedihan yang sama.
"Setiap malam aku berjuang untuk tidur, tapi setiap
malam aku juga berjuang untuk tetap terjaga, agar tidak tenggelam dalam
kenangan."
Kata-kata itu membuat Onram menggigit bibirnya, memejamkan
mata sejenak, merasakan setiap kalimat yang memeluknya dengan cara yang begitu
pribadi. Ada sesuatu yang misterius, seperti cermin yang memantulkan dirinya,
tapi dengan wajah yang ia sendiri tak bisa mengenali.
Onram (terdiam lama, mencoba memahami perasaannya,
namun tidak bisa):
"Siapa kamu?"
Di balik layar, akun misterius ini hanya mengirimkan pesan
yang membuat Onram semakin terperangkap dalam pencarian tanpa jawaban. Ia tak
bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Ada sesuatu yang
lebih dari sekadar tulisan—ada suara yang menggema, seolah berbicara langsung
padanya, mengundangnya untuk lebih mendalami.
Setiap kata yang dibaca Onram seperti melukai dan
menyembuhkan pada saat bersamaan. Ia tak tahu siapa yang menulisnya, namun ada
perasaan yang tak bisa ia hindari. Seperti menemukan bagian dari dirinya yang
terlupakan, atau mungkin bahkan lebih jauh dari itu, menemukan seseorang yang
bisa mengerti dirinya lebih dalam daripada yang ia kira.
Dengan perlahan, Onram menutup aplikasi itu, meskipun
hatinya masih tergerak oleh setiap kalimat yang baru saja ia baca. Ia merasa
seolah-olah dirinya sedang berdialog dengan seseorang yang tak tampak, namun
terasa begitu nyata. Sebuah hubungan yang terjalin tanpa kata-kata, hanya
dengan perasaan yang samar, yang belum sepenuhnya ia pahami.
Ia meletakkan ponselnya di samping, namun perasaan yang
datang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia tahu, entah kenapa, malam ini
dunia maya membawanya ke dalam sebuah labirin tanpa ujung—sebuah pencarian yang
mungkin akan membawanya kepada jawaban yang selama ini ia cari.
Kecurigaan Muncul
Malam semakin larut, dan keheningan semakin menyelimuti
kamar Onram. Namun, rasa gelisah yang tak tertahankan tidak ikut memudar
bersama waktu. Pikirannya berlarian, berputar-putar seperti daun yang tertiup
angin, hingga akhirnya berhenti pada satu titik yang mengganggu—sebuah
pemikiran yang muncul perlahan, namun semakin menguat.
"Siapa dia?"
Bukan hanya pertanyaan yang melintas di benaknya, tetapi juga rasa curiga yang
semakin tumbuh. Ada sesuatu yang begitu familiar dalam setiap kalimat yang
dibaca, seperti serpihan kenangan yang terlupakan, namun begitu nyata saat
disentuh kembali. Di antara tulisan-tulisan yang penuh dengan luka dan
kerinduan itu, Onram merasakan satu kesan yang tak bisa ia hindari. Sebuah
perasaan yang membawanya pada masa lalu—sebuah wajah yang telah lama menghilang
dari pandangannya.
Sahabat kecilnya—Yculia.
Ia teringat jelas bagaimana mereka pernah berbagi dunia yang
penuh tawa dan rahasia, saat masih kecil. Dunia yang penuh dengan mimpi dan
harapan, yang kini hanya tinggal kenangan samar yang terhimpit oleh waktu.
Namun, setelah tragedi yang menimpa keluarga Yculia, segalanya berubah. Yculia
hilang begitu saja, tanpa jejak. Tidak ada kabar, tidak ada penjelasan. Dan
sejak saat itu, Onram merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
Tapi, apakah mungkin? Apakah mungkin sahabat kecilnya
itu—Yculia—adalah penulis anonim yang kini mengisi layar ponselnya dengan
tulisan penuh misteri? Onram mulai merenung, mencari jawaban dalam benaknya. Ia
membandingkan gaya tulisan yang ia baca dengan gaya berbicara Yculia di masa
lalu. Kenangan akan suara lembutnya, cara dia menggulung kata-kata dengan
hati-hati, semuanya kembali hadir, seperti bayangan yang menari-nari di ujung
pikirannya.
Onram menyandarkan punggungnya pada dinding, matanya
terpejam sejenak, berusaha mengingat. Ia mencoba memanggil kembali setiap
percakapan yang pernah mereka lakukan. Kata-kata Yculia selalu penuh dengan
makna, selalu menyentuh jauh lebih dalam daripada yang terlihat. Dan tulisan
yang ia baca itu, setiap kata, setiap kalimat, mengingatkan Onram pada Yculia
yang dulu—sahabatnya yang cerdas, penuh misteri, dan selalu punya cara untuk
membuatnya merasa bahwa ada sesuatu lebih besar yang sedang terjadi di dunia ini.
Onram (berbicara pelan kepada dirinya sendiri, hampir
tak terdengar):
"Yculia… apakah itu kamu?"
Senyuman kecil terukir di wajahnya, meskipun hatinya penuh
dengan keraguan. Rasanya seperti menemukan potongan puzzle yang hilang, namun
tidak cukup yakin dengan gambaran lengkapnya. Mengingat Yculia yang dulu, ada
banyak hal yang ia ingat—kebiasaan berbicara, cara dia mengamati dunia dengan
cara yang unik, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan.
Semua itu, kini, seakan-akan hidup kembali dalam tulisan-tulisan anonim yang
ada di ponselnya.
Mungkin, hanya mungkin, Yculia memang penulis di balik akun
misterius ini. Namun, jika itu benar, mengapa ia bersembunyi? Apa yang
membuatnya menghilang begitu saja, dan apa yang membuatnya memilih untuk
kembali dengan cara yang tak terduga?
Onram memutuskan untuk membaca lebih banyak lagi catatan
yang diunggah akun misterius itu, berharap menemukan lebih banyak petunjuk.
Setiap kata yang ia baca terasa semakin akrab, seolah dunia ini memang sudah
mengaturnya untuk kembali bertemu dengan masa lalu yang tak bisa ia lupakan.
Namun, ada juga rasa takut yang mengusik. Takut akan jawaban yang mungkin akan
menghancurkan segala yang ia percayai selama ini.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka
halaman-halaman baru dari akun tersebut, setiap kata membawanya semakin dekat
pada sebuah kebenaran yang mungkin lebih pahit daripada yang ia bayangkan.
Konflik Awal
Di bawah cahaya bulan yang lembut, Onram duduk terdiam di
tepi jendela kamar, matanya menatap kosong ke luar. Langit malam terbentang
luas, dihiasi bintang-bintang yang bersinar dengan gemerlap yang tak terhitung.
Namun, di dalam hatinya, ada kekosongan yang lebih dalam daripada gelapnya
langit yang ia pandang. Sesuatu yang lebih gelap dari bayang-bayang malam
itu—sebuah pertanyaan yang terus menghantuinya.
Haruskah ia menghubungi akun itu?
Sebuah pemikiran yang datang dan pergi, seperti gelombang yang datang
menghantam pantai, meninggalkan jejak yang semakin dalam. Hatinya terasa berat,
bingung, dan penuh ketidakpastian. Jika itu benar-benar Yculia, sahabat
kecilnya yang hilang begitu saja, maka apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia
melangkah maju, mencari tahu kebenarannya, atau justru membiarkan semua ini
tetap menjadi misteri, tetap terkubur dalam masa lalu yang seharusnya tidak
perlu digali?
Onram (berbicara pelan, hampir berbisik pada dirinya
sendiri):
"Jika itu benar dia... jika itu Yculia, aku tidak tahu harus merasa
apa. Haruskah aku mencari tahu? Atau lebih baik aku biarkan masa lalu tetap
terkubur, seperti yang seharusnya?"
Kata-kata itu terlontar dengan suara gemetar, seakan dia
sendiri pun tak tahu apakah jawabannya akan memberi ketenangan atau malah
semakin mengoyak hati yang sudah lama terluka. Sebuah dilema yang berat,
seberat hatinya yang mulai terhimpit oleh kesedihan yang tak terucapkan.
Namun, ada sesuatu yang lebih mendalam—sesuatu yang
menjeratnya dengan ketakutan. Jika itu benar-benar Yculia, jika ia memang
sahabatnya yang hilang selama ini, apakah Onram telah gagal melihat
petunjuk-petunjuk yang ada? Apakah selama ini, Yculia diam-diam berteriak minta
tolong melalui setiap kata yang ia tulis tanpa Onram pernah sadar? Seandainya
ia tahu, seandainya ia lebih peka—mungkinkah mereka tidak terpisah begitu lama?
"Kenapa aku tidak bisa melihatnya?"
Onram bertanya-tanya, bibirnya bergetar saat pikiran itu datang menyergap. Ada
rasa takut yang mengerikan dalam dirinya, sebuah ketakutan bahwa ia telah
melewatkan kesempatan untuk menyelamatkan sahabat yang paling berharga dalam
hidupnya. Apakah selama ini ia telah membiarkan Yculia berjuang sendirian,
tanpa menyadari bahwa ia membutuhkan pertolongan? Apakah sahabatnya itu telah
menderita dalam diam, menahan segala luka dalam kesendirian yang begitu dalam,
tanpa ada yang tahu?
Jika benar Yculia, maka kesalahan terbesar Onram adalah
ketidaktahuannya—ketidaksadarannya terhadap teriakan yang tak terdengar. Selama
ini, di dunia yang penuh kebisingan ini, mungkin ia terlalu sibuk dengan
hidupnya sendiri, terlalu terlarut dalam pikiran dan perasaannya sendiri,
hingga ia gagal melihat seseorang yang begitu dekat dengannya sedang terpuruk
dalam kegelapan.
Dengan setiap detik yang berlalu, Onram merasa semakin
terperangkap dalam pikirannya. Antara rasa ingin tahu yang membara dan rasa
takut yang mengerikan, hatinya berada di persimpangan yang penuh dengan
keraguan.
"Jika itu benar kamu, Yculia... aku tak akan bisa
memaafkan diriku."
Rasa sakit itu kembali menyeruak, lebih dalam, lebih tajam.
Selama bertahun-tahun, ia sudah mencoba mengubur masa lalu, mencoba menjalani
hidup tanpa memikirkan apa yang hilang. Namun sekarang, seolah-olah masa lalu
itu datang kembali, mengetuk pintu hatinya dengan cara yang tak terduga. Apa
yang harus ia lakukan? Menggali kembali kenangan yang penuh dengan rasa sakit,
atau membiarkan semuanya tetap terkubur, agar tidak ada lagi yang terluka?
Malam itu, Onram merasa terpecah. Di dalam diri yang rapuh
ini, ada suara yang berbisik, meminta ia untuk menghubungi akun misterius itu,
untuk membuka kembali pintu yang selama ini ia coba tutup. Tetapi, ada juga
suara lain yang menyarankan untuk membiarkan semuanya pergi, seperti
bayang-bayang yang hilang ditelan malam.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih,"
katanya lagi, hampir tanpa suara. "Tapi satu hal yang aku tahu—aku
tidak bisa terus hidup seperti ini, dengan keraguan yang tak pernah
berhenti."
Di luar jendela, angin malam berhembus pelan, seakan turut
menyaksikan pertempuran batin yang sedang berlangsung di dalam diri Onram. Apa
yang akan ia pilih? Sebuah keputusan yang bisa mengubah semuanya, membawa
kembali masa lalu yang hilang, atau membiarkannya tetap tersembunyi di dalam
bayang-bayang, terlupakan dalam waktu?
Keheningan malam semakin tebal, menyelimuti setiap sudut
ruangan dengan kelembutan yang hanya bisa dimiliki oleh waktu yang terlambat.
Di bawah cahaya ponsel yang redup, Onram duduk tertegun, matanya menatap layar
yang kini tampak lebih berat dari sebelumnya. Setiap detik terasa seperti
tarikan nafas yang panjang, setiap detik penuh dengan penantian. Kata-kata yang
ingin ia tulis sudah terbungkus dalam hatinya, namun menunggu saat yang tepat
untuk meluncur keluar.
Tangan Onram gemetar perlahan saat ia mengetikkan pesan itu.
"Aku mengenal caramu menulis. Jika ini kamu... aku
minta maaf karena butuh waktu selama ini untuk mendengarkan."
Kalimat itu, meskipun sederhana, mengandung beban yang
begitu dalam, seolah-olah sebuah penyesalan yang lama terpendam akhirnya
ditemukan. Onram berhenti sejenak, matanya tak bergerak dari layar, mencoba
memahami setiap kata yang baru saja ia ketik. Ada kehangatan, tetapi juga
kekosongan yang begitu terasa. Apakah ini cukup? Apakah kalimat ini bisa
memperbaiki semua yang telah hilang?
Ia menghela napas panjang, ragu-ragu. Jari-jarinya membeku
di atas layar, seolah menunggu petunjuk dari dunia yang seakan terdiam. Dalam
keraguan yang begitu jelas, Onram menekan tombol “kirim”. Suara klik itu
terdengar sangat keras, begitu kontras dengan heningnya malam. Layar ponsel itu
pun seketika menjadi gelap.
Sekarang, hanya ada hening yang memenuhi ruang. Sebuah
keputusan yang tak bisa diubah, sebuah pesan yang kini meluncur ke dunia yang
tidak bisa ia kontrol. Apa yang akan terjadi setelah ini? Tidak ada yang tahu.
Yang Onram tahu hanyalah bahwa ia baru saja mengambil langkah yang besar,
langkah yang mengubah segalanya.
Kadang, untuk mendengarkan hati seseorang, kita harus
terlebih dahulu mendengarkan diri kita sendiri.
Bab 2 - Tanggapan yang Tak Terduga
Malam itu, waktu seolah berhenti bergerak. Onram terjaga
dalam kegelisahan yang tak terucapkan, matanya tak bisa lepas dari layar
ponselnya yang gelap. Setelah mengirimkan pesan itu, ada rasa berat yang
mengikat dadanya, seolah setiap detik yang berlalu semakin memperdalam
keraguannya. Ponsel yang biasanya menjadi alat hiburan atau penghubung dengan
dunia luar kini terasa seperti pengingat yang tak berujung. Ia terus menunggu,
memeriksa berulang kali, seolah berharap sesuatu—apapun—akan muncul di layar itu,
menandakan bahwa ada seseorang di sisi lain yang mendengarkan.
Namun, layar tetap kosong.
"Kenapa aku merasa seperti ini?"
Pertanyaan itu berputar-putar dalam pikirannya, menggetarkan setiap sudut
hatinya yang kosong. Meskipun ia tahu bahwa menunggu tanggapan begitu cepat
mungkin takkan membuahkan hasil, ia tidak bisa menghindari kecemasan yang
menggerogoti dirinya. Ada perasaan yang mengganggu, rasa takut bahwa jika ini
benar-benar Yculia, jika pesan itu benar-benar sampai padanya, maka segala yang
telah terkubur dalam hati Onram akan terungkap begitu saja. Rasa takut itu
begitu nyata, seperti bayangan yang menempel erat di setiap gerakannya, menekan
lebih keras dengan setiap menit yang berlalu.
Malam yang seharusnya penuh dengan kedamaian kini berubah
menjadi ruang yang sempit, dipenuhi oleh kenangan-kenangan masa lalu yang
kembali menghantui. Wajah Yculia—sahabat kecil yang pernah berbagi mimpi dan
tawa—kini terasa jauh, begitu jauh. Kenangan mereka bersama, yang dulu begitu
hidup, kini hanya sebuah lukisan samar yang terhapus oleh waktu. Apakah mungkin
ia akan kembali? Apakah mungkin mereka bisa menemukan jalan untuk saling
terhubung lagi?
"Aku harus sabar," Onram berbisik pada
dirinya sendiri, mencoba menenangkan diri yang cemas. Namun, kata-kata itu
hanya terdengar kosong di telinga. Bagaimana bisa ia sabar, ketika masa lalu
yang ia coba lupakan kini datang kembali dengan cara yang tak terduga? Bahkan
detik yang berjalan pun terasa terlalu lama, seolah ia terjebak dalam dunia
yang menunggu sesuatu yang tak pasti.
Untuk mencoba menenangkan pikirannya yang berlarian liar,
Onram mulai mencari cara-cara untuk mengalihkan perhatian. Ia mengambil buku
yang tergeletak di meja, namun kata-kata di halaman itu tampak begitu datar,
tidak mampu menyentuh hatinya. Gitar yang terletak di sudut kamar pun tak
memberinya ketenangan. Ia memainkan senar-senar itu, menciptakan melodi yang
terdengar asing di telinganya, seakan lagu yang pernah ia kenal telah
kehilangan makna.
Tak kunjung ada tanggapan. Onram mulai berjalan tanpa tujuan
di sekitar rumah, langkahnya terdengar hampa, seolah mengikuti ritme
ketidakpastian. Setiap sudut yang ia lalui seperti membawa kenangan tentang
Yculia—kenangan yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti bayangan yang
semakin menjauh.
Namun, meskipun ia mencoba untuk mengalihkan pikirannya, ada
satu hal yang tak bisa ia hindari: pikirannya selalu kembali pada pesan itu.
Pesan yang telah ia kirimkan dengan penuh keraguan, pesan yang kini terjebak
dalam ruang waktu yang tak tahu akan memberi jawaban atau justru semakin
menambah luka yang belum sembuh.
Kecemasan itu semakin menggigit, semakin mendalam. Seiring
berjalannya waktu yang terasa semakin lambat, Onram hanya bisa
menunggu—menunggu sesuatu yang mungkin takkan pernah datang, atau mungkin akan
datang dengan cara yang lebih mengejutkan dari yang ia bayangkan.
Di dalam setiap detik yang berlalu, ada harapan yang tumbuh,
meskipun disertai dengan ketakutan akan kekecewaan. Namun, dalam ketidakpastian
itulah kita belajar untuk menemukan arti dari setiap langkah yang kita ambil.
Tanggapan dari Akun Anonim
Pagi itu datang dengan sinar matahari yang lembut menyusup
melalui jendela kamar, menerangi sudut-sudut ruangan yang selama ini diliputi
oleh bayang-bayang kekhawatiran. Namun, bagi Onram, pagi itu terasa
berbeda—lebih cemas, lebih menegangkan. Seperti sebuah pertanda, ponselnya
bergetar dengan notifikasi yang muncul tiba-tiba, memecah keheningan pagi yang
selama ini menyelimutinya.
Matanya terpaku pada layar, dan dalam sekejap, seluruh dunia
terasa terhenti. Ada pesan baru dari akun anonim yang selama ini ia
tunggu-tunggu. Jantung Onram berdegup kencang, terasa seperti berdetak lebih
cepat daripada biasanya, seolah setiap detakan itu adalah pertanda dari sesuatu
yang sangat besar, sesuatu yang telah lama terkubur dalam hatinya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Onram membuka pesan itu.
Kalimat yang tertulis di sana begitu singkat, namun terasa begitu dalam,
seperti sebuah rahasia yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu.
"Kamu masih ingat? Aku tak pernah benar-benar
pergi."
Hatinya seolah berhenti berdetak. Kalimat itu menghantamnya
dengan kekuatan yang tak terduga, mengguncang setiap bagian dari dirinya yang
selama ini terasa kosong. "Aku tak pernah benar-benar pergi."
Kata-kata itu, sederhana namun penuh dengan makna, seperti sebuah pintu yang
perlahan terbuka, mengungkapkan sesuatu yang sangat ia rindukan namun juga
sangat ia takuti.
Tanpa ragu, Onram mengenali gaya penulisan itu—gaya yang
begitu familiar, begitu khas, seperti sentuhan yang tak pernah hilang meski
berlalunya waktu. Yculia. Dia tak salah menebak. Hanya satu kalimat, namun itu
cukup untuk membuat hatinya berdebar kencang. Rasa yang pernah ia kenal, rasa
yang dulu begitu dekat, kini kembali hadir dengan cara yang tak terduga.
Onram tidak bisa menahan diri. "Ini benar-benar
kamu, Yculia." Suara itu bergema dalam pikirannya, berulang-ulang,
seperti sebuah mantra yang tak bisa ia lepaskan. Ia tahu, tanpa keraguan
sedikit pun, bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang akan membawanya kembali
ke masa lalu yang penuh dengan kenangan—kenangan yang begitu manis namun juga
penuh dengan luka.
Pesan itu, meskipun singkat, terasa seperti serangkaian kata
yang sangat berarti, seperti sebuah pembukaan dari bab yang telah lama
tertutup. Dan di dalam setiap kata, ada rasa yang lebih dalam—ada rasa yang
mengingatkan Onram pada segala hal yang telah hilang. Yculia, yang selama ini
ia anggap telah hilang, kini kembali dengan satu kalimat yang cukup untuk
membangkitkan semuanya.
Ia duduk terdiam, menatap pesan itu tanpa bisa berbuat
apa-apa, hanya merasakan setiap detik yang berlalu membawa lebih banyak
kerinduan dan penyesalan. Dunia sekitar seolah menghilang, hanya ada dirinya
dan pesan itu, yang menyiratkan sebuah pertemuan yang tak terelakkan, sebuah
kenyataan yang siap untuk ia hadapi.
Dalam satu kalimat, ada banyak hal yang tidak terucapkan.
Terkadang, kata-kata adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, membawa
kita kembali pada sesuatu yang tak pernah benar-benar pergi.
Kenangan Kembali Muncul
Onram duduk terdiam, seakan terhanyut dalam gelombang waktu
yang membawa dirinya kembali ke masa lalu. Pesan dari Yculia seakan membuka
sebuah pintu yang selama ini terkunci rapat, dan kini kenangan-kenangan yang
telah lama terlupakan mulai muncul dengan jelas di benaknya. Setiap detik yang
berlalu terasa seperti kilas balik yang menghidupkan kembali wajah-wajah yang
pernah ia kenal dengan begitu baik, suara tawa yang dulu begitu akrab di
telinga, dan kebersamaan yang penuh dengan harapan.
Masa kecil mereka, yang dulu dipenuhi dengan petualangan
sederhana namun berharga, kini terasa sangat jauh. Ia teringat bagaimana mereka
berlarian bersama di halaman belakang rumah, bermain gitar di bawah pohon besar
di taman, dan bercakap-cakap tentang impian-impian mereka yang tak terbatas.
Waktu itu, dunia terasa begitu luas dan penuh dengan kemungkinan. Mereka
berbicara tentang masa depan, tentang perjalanan yang akan mereka tempuh
bersama, tentang rencana-rencana yang akan mereka capai sebagai sahabat sejati.
Namun kini, saat Onram mengingatnya kembali, ada satu
perasaan yang mengganggu hatinya—perasaan yang tak bisa ia hindari. Kenapa
aku tidak tahu? Kenapa ia tidak tahu bahwa Yculia, sahabat kecil yang
selalu ada di sampingnya, menyimpan luka begitu dalam, begitu lama, tanpa
pernah memberitahunya? Betapa ia merasa terasing dari Yculia yang dulu begitu
dekat, terpisah oleh sesuatu yang tidak ia pahami.
Rasa bersalah itu menghantui setiap sudut pikirannya. Mengapa
aku tidak berusaha lebih keras untuk menjangkau Yculia setelah keluarganya
hancur? Pertanyaan itu terngiang di telinganya, berputar-putar, mengisi
kekosongan yang kini terasa begitu menyakitkan. Ia merasa seolah-olah telah
meninggalkan seorang teman di tengah badai yang tak terelakkan, sementara ia
sibuk dengan kehidupannya sendiri, tidak pernah menyadari betapa besar rasa
sakit yang dialami oleh orang yang paling ia percayai.
Sejak saat itu, hidup mereka berpisah, dan Onram selalu
berharap suatu hari mereka akan menemukan jalan kembali satu sama lain. Namun
kenyataannya, ia tak pernah benar-benar mencari tahu apa yang terjadi pada
Yculia. Apakah dia terluka? Apakah dia membutuhkan seseorang untuk
mendengarnya? Semua pertanyaan itu menghujam jantungnya dengan tajam,
mengingatkan bahwa kadang-kadang, dalam kesibukan kita mencari kebahagiaan
sendiri, kita lupa bahwa orang lain mungkin diam-diam merasakan kesedihan yang
tak terlihat oleh mata.
Kenangan-kenangan itu kini menyelimuti dirinya seperti
selimut yang terlalu berat. Ia teringat senyuman Yculia yang cerah, penuh
percaya diri, yang dulu selalu menyinari hari-harinya. Namun kini, senyuman itu
hanya tinggal bayangan, menghilang seiring berjalannya waktu, meninggalkan
ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun. Kenangan manis mereka bersama
menjadi pedang yang menusuk jantungnya, mengingatkan bahwa mungkin Yculia telah
menanggung segala luka itu seorang diri, tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang
peduli.
Onram menundukkan kepala, mencoba menenangkan hatinya yang
penuh dengan rasa bersalah. Mungkin ini saatnya untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang ia buat, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya
terjadi pada Yculia. Mungkin sudah terlambat, tetapi tidak ada yang lebih
menyakitkan daripada membiarkan kenangan-kenangan itu terus mengganggu, tanpa
pernah memberikan kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Setiap kenangan membawa luka, dan setiap luka membutuhkan
waktu untuk sembuh. Namun, terkadang kita hanya perlu kembali pada masa itu
untuk menemukan cara untuk memperbaiki apa yang telah hilang.
Konflik Meningkat
Onram terjebak dalam dilema yang tak terpecahkan, perasaan
yang begitu kuat mengguncang dirinya. Hatinya terbelah antara keinginan untuk
mendekat dan ketakutan yang menahan langkahnya. Yculia, sahabat yang pernah
begitu dekat, kini seolah menjadi sosok yang jauh, begitu misterius. Di balik
pesan singkat yang ia terima, ada luka yang mungkin lebih dalam dari yang ia
bayangkan—luka yang telah terkubur begitu lama, seiring berjalannya waktu.
Ia ingin membantu Yculia, ingin meraih tangannya dan
menawarkan apa yang ia bisa untuk menyembuhkan luka-luka yang terpendam. Namun,
bagaimana caranya mendekat? Sudah begitu lama mereka terpisah, komunikasi yang
dulu begitu mudah kini terasa seperti jembatan yang rapuh, hampir runtuh oleh
waktu. Bagaimana mungkin ia bisa menyentuh kembali sesuatu yang telah lama
mengeras, membeku dalam kesedihan yang tak tampak? Apakah Yculia benar-benar
ingin berbicara dengannya? Atau justru, apakah dia lebih memilih untuk tetap
menyembunyikan luka-lukanya, meredam semuanya dalam diam, tanpa ada yang tahu?
Setiap pertanyaan itu menghantui Onram, mengisi ruang-ruang
kosong dalam pikirannya. Ia merasa ragu, seolah setiap langkah yang ia ambil
bisa membawa mereka lebih jauh lagi, menjauh dari segala yang pernah mereka
miliki. Ketakutannya begitu besar—takut jika ia terlalu mendekat, Yculia akan
merasa terbebani. Takut jika ia membuka pintu itu terlalu lebar, Yculia justru
akan menjauh, menyembunyikan dirinya lebih dalam lagi, seperti yang pernah
terjadi sebelumnya.
Namun, di sisi lain, ada harapan yang tak bisa ia
tinggalkan. Harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuk mereka
saling menemukan kembali. Mungkin, di balik segala luka dan kesedihan, ada
peluang untuk sembuh bersama, untuk berbagi beban yang selama ini masing-masing
mereka tanggung sendiri. Apakah mungkin mereka masih bisa saling membantu?
Apakah masih ada ruang untuk persahabatan mereka, ruang yang cukup untuk
menyembuhkan segala yang terluka?
Onram menggenggam ponselnya dengan erat, membaca kembali
pesan dari Yculia, yang seolah-olah mengundangnya untuk melangkah ke dalam
dunia yang sudah lama tertutup rapat. Hatinya berdebar, di antara ketakutan dan
harapan yang saling tarik-menarik. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan
mudah. Untuk menemukan kembali apa yang telah hilang, mereka harus melewati
banyak rintangan—termasuk rintangan dalam diri mereka sendiri.
Tapi satu hal yang ia yakin: jika mereka benar-benar ingin
sembuh, mereka harus melakukannya bersama. Entah itu dengan mengungkapkan
segala yang tersembunyi, atau dengan membiarkan waktu menyembuhkan luka mereka.
Hanya ada satu cara untuk mengetahui—dan itu adalah dengan berani membuka pintu
yang telah lama terkunci.
Dalam setiap langkah menuju masa lalu, ada ketakutan yang
menghalangi, namun juga harapan yang membawa kita maju. Terkadang, untuk
menyembuhkan, kita harus berani membuka luka yang telah lama terpendam.
Keputusan Onram
Waktu seolah terhenti saat Onram memandang layar ponselnya,
matanya terpaku pada ruang kosong tempat ia akan menulis. Sebuah keputusan
besar menggantung di hatinya, mengguncang setiap inci keraguannya. Tak ada lagi
ruang untuk berpikir lama—ia harus memilih, apakah ia akan terus terjebak dalam
ketidakpastian atau berani melangkah menuju apa yang selama ini ia takutkan.
Keputusan itu, meskipun terasa begitu berat, akhirnya datang dengan sendirinya,
seperti angin yang perlahan menggerakkan daun-daun yang telah lama diam.
Dengan hati yang dipenuhi keberanian yang terlambat, ia
mulai mengetik. Jari-jarinya menari di atas layar, menuliskan kata-kata yang
selama ini terpendam dalam lubuk hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah
pertama, langkah yang tak bisa diambil mundur. Tidak ada lagi ruang untuk
menunggu atau berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Pesan yang ia tulis kali ini berbeda. Ia tidak lagi
bersembunyi di balik kata-kata yang ambigu atau cemas tentang bagaimana
kata-katanya akan diterima. Kali ini, ia memilih untuk terbuka, untuk jujur,
tanpa menyembunyikan apapun. Kata-kata itu mengalir begitu natural, seolah-olah
berbicara langsung dari hatinya, tanpa ada yang tertahan.
"Aku tidak tahu apa yang kamu alami," tulisnya
dengan perlahan, "tapi aku ingin berada di sini, jika kamu siap untuk
berbicara."
Ada kejujuran dalam setiap huruf yang terangkai. Ia tahu,
ini bukan hanya sekadar pesan biasa. Ini adalah pengakuan dari hati yang rindu
untuk mendengar, untuk memahami, untuk membuka kembali jalan yang lama
tertutup. Tidak ada janji, tidak ada tekanan—hanya sebuah keinginan sederhana
untuk berada di sampingnya, jika hanya untuk memberi sedikit kenyamanan,
sedikit ruang untuk Yculia berbicara.
Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, Onram menekan tombol
"kirim." Layar ponselnya seakan menyatu dengan keheningan malam yang
masih menyelimuti ruang itu, sementara di dalam dirinya, segala perasaan yang
terkunci seolah mulai terlepaskan sedikit demi sedikit. Mungkin ini adalah awal
dari sesuatu yang baru, mungkin juga bukan. Namun, yang ia tahu pasti adalah
bahwa ia tidak ingin lagi terjebak dalam ketakutan yang menghalanginya untuk
melakukan apa yang seharusnya ia lakukan bertahun-tahun yang lalu.
Pesan itu adalah langkah pertama yang ia ambil, dan meskipun
tak tahu apa yang akan datang, Onram merasa, setidaknya, ia sudah berusaha.
Kadang-kadang, untuk memulai sesuatu yang baru, kita
harus melepaskan rasa takut dan memberi ruang bagi kejujuran untuk
tumbuh—meskipun itu berarti membuka pintu yang telah lama tertutup.
Onram duduk terpaku, matanya tak lepas dari layar ponselnya.
Waktu terasa berjalan begitu lambat, detik-detiknya seakan menekan dadanya
dengan berat yang tak tertahankan. Ia menunggu, dan setiap detik yang berlalu
adalah waktu yang penuh dengan kegelisahan. Hatinya berdegup kencang, dipenuhi
ketakutan yang menggerogoti setiap sudut perasaan, namun di sisi lain, ada
harapan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya—harapan yang mengingatkannya
bahwa mungkin inilah saatnya untuk mengambil langkah yang selama ini terabaikan.
Pesan yang ia kirimkan hanyalah sebuah awal, langkah pertama
yang telah lama tertunda. Ia tahu bahwa ini bukanlah akhir, tetapi justru
permulaan dari perjalanan yang penuh ketidakpastian. Apakah Yculia akan
merespon? Apakah ia akan menerima atau malah menghindari? Semua pertanyaan itu
berputar-putar di pikirannya, namun pada saat yang sama, ada sebuah kesadaran
yang datang dengan tenang: Mungkin inilah waktunya.
Waktu untuk berhenti menunggu, waktu untuk berhenti ragu.
Waktu untuk melangkah, meski dengan hati yang masih penuh ketakutan.
"Mungkin ini saatnya untuk tidak hanya menunggu,"
pikirnya, menatap layar yang seakan membisu. "Tapi mengambil langkah
pertama yang sudah terlalu lama kutunda."
Dengan napas yang berat, Onram menunggu, namun kali ini ia
tidak hanya menunggu—ia menunggu dengan penuh keberanian, seperti seseorang
yang akhirnya menemukan kekuatan untuk melangkah, meskipun jalannya penuh kabut
dan ketidakpastian.
Kadang, kita menunggu dengan harapan, namun tak pernah
tahu bahwa langkah pertama yang kita takutkan adalah kunci untuk membuka pintu
yang sudah lama tertutup.
Pertemuan Tak Terduga
Hari-hari berlalu dengan lambat, berlarut-larut seperti
aliran sungai yang enggan bergerak. Onram merasa waktu tidak lagi berfungsi
seperti biasanya. Setiap detik terasa terhambat oleh rasa cemas yang mencekam,
seperti awan gelap yang terus menggelayuti langit hatinya. Ia menghabiskan
hari-harinya dengan mata yang tak pernah lepas dari layar ponsel, berharap,
menunggu, namun pesan yang ia kirimkan masih tetap tanpa balasan. Ruang kosong
di ponselnya itu seolah menjadi cermin dari kekosongan yang menghimpit dadanya—kekosongan
yang datang bersama dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Rasa ragu mulai mencengkeram jiwanya. Apakah ia telah
melangkah terlalu cepat? Mungkin kata-katanya terlalu terbuka, terlalu
mendalam, terlalu mendesak. Semua yang ia rasakan kini seperti sebuah
kebingungannya yang semakin mengembang, mengisi setiap sudut pikirannya.
Keputusan yang tadinya tampak begitu jelas kini menjadi kabur, seperti bayangan
yang bergoyang tak tentu arah. Apakah ini memang saat yang tepat? Ataukah ia
terlalu terburu-buru dalam membuka kembali pintu yang seharusnya dibiarkan
terkunci rapat?
Di tengah segala keraguan itu, ketakutan terbesar Onram
adalah bahwa Yculia mungkin tidak ingin bertemu dengannya. Bayangan tentang
penolakan, tentang kata-kata yang mungkin terlontar dari Yculia yang akan
mengakhiri semua harapan yang ia pelihara, menghantuinya. Apakah Yculia
sudah benar-benar melupakan semuanya? Apakah luka-luka lama itu sudah
menghapus segala ingatan tentang mereka? Setiap pertanyaan itu membuat hatinya
bergetar, menambah berat setiap langkah yang ia coba ambil.
Waktu terasa terbuang begitu saja, dan Onram mulai merasa
seperti terjebak dalam ruang hampa, tanpa arah dan tujuan. Ia berpikir lagi
tentang masa lalu mereka—tentang bagaimana mereka pernah begitu dekat,
bagaimana dunia mereka begitu terikat dalam tawa dan cerita-cerita penuh
impian. Namun kini, segala sesuatu terasa seperti bayangan samar yang sulit
dijangkau, dan ia hanya bisa menunggu, bertanya-tanya apakah Yculia masih ada
di dunia yang sama dengannya, atau jika ia hanyalah kenangan yang sudah terhapus
begitu saja.
Pikiran-pikiran itu terus berputar, mengisi ruang kosong
yang ada dalam dirinya. Dan dalam setiap detik yang terlewat, Onram semakin
sadar bahwa, meskipun waktu tidak bergerak secepat yang ia inginkan, hatinya
tetap terikat pada satu harapan yang kecil—bahwa mungkin, hanya mungkin, Yculia
masih menunggunya, sama seperti ia menunggu jawaban dari pesan yang telah ia
kirimkan.
Kadang, dalam menunggu, kita tidak hanya menunggu
jawaban, tetapi juga bertanya-tanya tentang keberanian kita sendiri untuk
menghadapi apa yang mungkin tidak pernah datang.
Balasan yang Datang Setelah Hening
Sore itu, langit tampak murung, seolah ikut merasakan
kegelisahan yang telah lama menggerogoti hati Onram. Ia duduk di meja kecil di
samping jendela, memandang keluar dengan mata yang kosong. Beberapa hari
berlalu tanpa kabar, dan setiap detik yang terlewat semakin menambah berat
keraguan di dalam dadanya. Pikiran-pikirannya berputar-putar, seakan tak ada
ujungnya, sementara hatinya menantikan sesuatu yang tak kunjung datang—hingga
akhirnya, layar ponselnya menyala.
Dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya,
Onram meraih ponsel itu, perasaan cemas dan berharap bercampur aduk dalam
dirinya. Begitu membuka layar, sebuah pesan singkat dari Yculia muncul, seperti
angin yang menerobos lewat celah jendela, membawa harapan setelah sekian lama
keheningan yang menyelimuti.
"Ada tempat yang dulu kita kunjungi... malam ini, aku
akan ada di sana."
Kata-kata itu seperti membelah keheningan yang sudah terlalu
lama membelenggunya. Tidak ada kata-kata panjang, hanya sebuah kalimat
sederhana yang penuh makna—yang cukup untuk membuat jantung Onram berhenti
sejenak. Taman kota—tempat mereka sering duduk berdua, berbicara tentang masa
depan yang penuh mimpi dan tawa—tempat yang penuh kenangan yang kini terasa
sangat jauh, bahkan seolah hilang ditelan waktu.
Onram menatap pesan itu dengan mata yang mulai basah, ada
kehangatan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Ia bisa merasakan getaran di
setiap huruf yang ditulis oleh Yculia, seolah-olah dia juga sedang menunggu,
sama seperti dirinya.
Dengan hati yang penuh keraguan dan harapan, Onram segera
membalas, memastikan waktu dan tempat untuk pertemuan itu. Ada banyak hal yang
ingin ia katakan, tetapi kata-kata terasa begitu sempit, tidak mampu
menggambarkan segala perasaan yang berkecamuk. Namun, yang ia tahu pasti adalah
bahwa malam itu, di bawah langit yang sama, mereka akan bertemu lagi—mungkin
untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Ponsel Onram bergetar lagi. Pesan dari Yculia masuk, sekadar
memberi konfirmasi.
"Jam tujuh, seperti dulu."
Dengan satu napas dalam, Onram menatap jam di dinding. Waktu
yang terasa begitu lama akhirnya bergerak kembali, dan ia merasa dunia seakan
kembali berputar dengan tujuan yang jelas. Semua yang pernah mereka alami,
semua kenangan yang pernah mereka bagi, kini seperti sebuah panggilan yang
memanggilnya kembali ke tempat yang penuh dengan sejarah mereka.
Ia menyimpan ponselnya dan berdiri dari kursi, menyeringai
sejenak pada dirinya sendiri, seperti seseorang yang tengah bersiap menjalani
sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Malam itu, di taman kota yang dulu
menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka, Onram akan berhadapan dengan masa lalu
yang terlupakan, dengan kenangan yang mengalir kembali seperti sungai yang
tidak pernah berhenti mengalir.
Kadang, kata-kata yang tak terucap jauh lebih kuat dari
apa yang kita harapkan—dan dalam keheningan, mungkin hanya ada satu pesan yang
benar-benar kita tunggu untuk diterima.
Menyusuri Kenangan Lama
Langkah-langkah Onram bergema pelan di jalanan berbatu,
menyusuri taman kota yang perlahan ditelan senja. Angin berhembus lembut,
membawa aroma tanah basah dan bisikan-bisikan halus dari masa yang seakan
enggan benar-benar pergi. Ia tiba lebih awal—seperti biasa, seperti
dulu—seolah-olah dirinya takut melewatkan satu detik pun dari pertemuan yang
telah dinanti bertahun-tahun.
Bangku tua itu masih berdiri di tempat yang sama, di bawah
naungan pohon-pohon besar yang dahannya membentuk kanopi alami. Catnya mulai
pudar, kayunya retak-retak dimakan usia, namun di mata Onram, ia tetaplah tak
tergantikan—sebuah altar kenangan, tempat ribuan percakapan kecil dan tawa
riang pernah mengisi ruang di antara mereka.
Perlahan, Onram duduk. Ia membiarkan tubuhnya tenggelam
dalam keheningan yang akrab, sementara matanya memandang kosong ke arah
cakrawala yang berpendar jingga. Jemarinya meraba permukaan bangku, seolah
mencari sisa-sisa jejak tangan kecil mereka dulu, saat dunia masih terasa
sederhana dan masa depan terbentang luas seperti langit di atas sana.
Potongan-potongan masa lalu menyeruak tanpa permisi—suara
tawa Yculia yang jernih, percakapan-percakapan tak berujung tentang mimpi-mimpi
besar mereka, tentang tempat-tempat yang ingin mereka jelajahi, tentang dunia
yang kala itu tampak begitu mungkin untuk mereka genggam. Ada kehangatan yang
menguar dari setiap kenangan, namun juga sayatan halus di dalam dada, mengingat
betapa mudahnya semua itu terlepas.
Perasaan bersalah menggelayut di hatinya, berat seperti
kabut yang enggan sirna. Ia bertanya dalam diam: mengapa ia membiarkan jarak
tumbuh begitu jauh? Mengapa ia tidak lebih keras berusaha untuk mencarinya saat
dunia Yculia runtuh tanpa peringatan?
Dan kini, di antara rindu yang belum pernah benar-benar
padam dan penyesalan yang menua dalam kesunyian, Onram menunggu—membiarkan
waktu mempertemukan mereka kembali, di tempat di mana semuanya pernah bermula.
Yculia Muncul
Senja menggigil di ujung cakrawala, melukiskan langit dengan
semburat merah yang perlahan direngkuh kelam. Daun-daun tua berbisik pelan,
mengantar angin yang membawa aroma tanah basah dan rindu yang tak terucapkan.
Dari kejauhan, di antara bayang-bayang pepohonan yang
menggigil diterpa angin sore, Yculia muncul. Langkahnya pelan, seakan masih
berdebat dengan dirinya sendiri di tiap hentakan kaki. Rambutnya, kini lebih
panjang, tergerai seperti tirai malam, menari malu-malu bersama desir angin.
Ada letih yang bersarang di sudut matanya, sebuah kelelahan yang tak semata
berasal dari tubuh, melainkan dari hati yang terlalu lama memanggul sunyi.
Namun ketika matanya bertemu dengan pandang Onram, dunia
seakan berhenti sejenak. Ada sesuatu yang masih tetap sama—tatapan itu, seperti
sungai yang dalam, mengalirkan berjuta cerita yang belum pernah benar-benar
selesai diucapkan.
Yculia berdiri di hadapannya, ragu-ragu. Sejenak, dunia
terasa rapuh; seolah suara sekecil bisikan pun mampu meruntuhkan
dinding-dinding yang mereka bangun bertahun-tahun lamanya. Dengan napas pelan
yang hampir patah, Yculia akhirnya melangkah mendekat, lalu duduk di samping
Onram. Tak ada kata. Tak ada salam. Hanya kehadiran yang terasa lebih berat
daripada berjuta kalimat yang mungkin bisa mereka ucapkan.
Keheningan itu bukan kekosongan. Ia penuh sesak dengan
hal-hal yang ingin diucapkan tapi tak mampu. Dengan luka yang ingin
diperlihatkan tapi masih takut disalahpahami. Dan dalam sunyi itu, dua jiwa
yang pernah saling menemukan kini saling membaca kembali, dalam bahasa diam
yang hanya mereka berdua pahami.
Onram menoleh perlahan, mencari kekuatan dalam tatapan
Yculia. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, suaranya
serak, nyaris pecah:
"Kau tahu," bisiknya, seolah takut
kata-katanya akan membuat Yculia menghilang lagi, "sepanjang waktu
ini... aku terus berharap kita akan kembali duduk di bangku ini. Tapi kupikir,
mungkin aku sudah terlambat menemukanmu."
Yculia menunduk, jemarinya bermain-main di tepi bangku,
seolah mencari jejak kecil masa lalu yang masih tersisa di sana. Saat ia
akhirnya menjawab, suaranya serak namun indah, seakan dibentuk dari puing-puing
kenangan:
"Tak ada yang benar-benar pergi, Onram... Kadang,
kita hanya terlalu patah untuk kembali berjalan."
Onram menatapnya, mencari sesuatu—apa pun—di mata itu. Dan
ia menemukannya: kesedihan, tentu saja. Tapi juga keberanian kecil yang
bersinar di antara reruntuhan luka.
"Aku ingin berjalan bersamamu lagi," kata
Onram perlahan, suaranya nyaris bergetar. "Meskipun jalannya retak,
meskipun kita harus belajar dari awal... aku ingin kita mencoba lagi."
Yculia menutup mata sejenak, membiarkan angin malam
mengeringkan sisa air mata yang tak sempat tumpah. Ketika ia membuka matanya,
ada cahaya baru di sana—lembut, rapuh, tapi nyata.
"Aku tidak menjanjikan apa-apa," bisiknya. "Aku
masih belajar mempercayai langkahku sendiri..."
Onram tersenyum kecil, senyum yang mengandung seluruh
kesabaran dunia.
"Tak apa," jawabnya. "Kita bisa
berjalan perlahan. Seperti dulu. Satu langkah kecil... lalu langkah
lainnya."
Untuk pertama kalinya dalam sekian tahun, Yculia membiarkan
dirinya tersenyum. Tipis. Rapuh. Tapi di balik itu, ada seberkas cahaya yang
belum padam.
Di atas mereka, bintang-bintang pertama mulai berkedip di
langit malam—saksi bisu bahwa dua jiwa yang patah pun bisa menemukan jalannya
pulang.
Kadang, pertemuan bukan soal menemukan yang sempurna,
tapi tentang menerima yang rusak—dan tetap memilih untuk berjalan bersamanya
dalam gelap.
Awal Percakapan
Malam menggantung di atas kepala mereka, pekat dan penuh
rahasia, sementara cahaya temaram dari lampu taman mengguratkan bayang-bayang
panjang di tanah. Di antara desir angin yang membawa aroma rumput basah, Onram
menelan kegugupan yang mencekik tenggorokannya.
Ia melirik sekilas pada Yculia yang duduk di sampingnya,
membiarkan diam berbicara lebih lama dari yang seharusnya. Lalu, dengan suara
yang pelan dan sedikit gemetar, seolah takut melukai keheningan itu, Onram
membuka mulutnya.
"Aku..." Ia menarik napas dalam, mencoba
merangkai kata-kata yang telah berputar di kepalanya berhari-hari. "Aku
tidak tahu harus mulai dari mana... Tapi aku ingin tahu... bagaimana
kabarmu."
Kata-katanya melayang di antara mereka, rapuh, seakan satu
tiupan kecil saja bisa mematahkannya. Onram mengutuk dirinya dalam hati karena
terdengar begitu kikuk, begitu tak berdaya di hadapan seseorang yang dulu
begitu akrab, namun kini terasa seperti dunia yang asing.
Yculia tersenyum. Bukan senyum yang cerah seperti yang
pernah ia kenal, melainkan senyum kecil yang penuh luka, seolah-olah ia
berusaha keras menahan sesuatu yang hampir tumpah. Ia mengangkat kepalanya
perlahan, menatap Onram dengan mata yang menyimpan lautan cerita yang belum
pernah diceritakan.
Dengan suara lirih, hampir seperti bisikan yang dipetik dari
dasar hati yang lelah, Yculia menjawab,
"Kabarku baik..." Ia berhenti sejenak,
membiarkan jeda itu menggantung berat di udara. "Tapi aku bukan yang
dulu, Ram."
Kalimat itu menghujam lebih dalam daripada yang mungkin
Yculia sadari. Onram merasakan dadanya sesak, seolah seseorang baru saja
mengoyak sesuatu yang rapuh di dalam dirinya. Ia menunduk, menatap tangannya
yang terkepal di atas pangkuannya, mencoba menemukan keberanian untuk tidak
menampakkan kesedihan yang meluap begitu saja.
"Aku mengerti," bisiknya akhirnya, nyaris
tak terdengar. "Tak ada yang benar-benar tetap sama, bukan?"
Yculia menatap langit, seolah mencari jawaban di antara
gugusan bintang yang bertaburan di sana.
"Beberapa hal tetap sama," katanya,
suaranya setenang riak di permukaan danau yang dalam. "Seperti rasa
kehilangan... yang diam-diam tetap tinggal, bahkan saat semua orang mengira
kita sudah melupakannya."
Onram menoleh, menatap Yculia dengan mata yang mulai basah.
Ia ingin berkata bahwa ia menyesal. Bahwa ia seharusnya berlari mencarinya
dulu. Bahwa ia seharusnya tidak membiarkan waktu menggerus mereka begitu saja.
Tapi kata-kata itu terasa terlalu kecil untuk menebus semua yang sudah
terlewat.
Akhirnya, ia hanya bisa berkata dengan suara parau,
"Aku... aku minta maaf. Untuk semua diamku, untuk
semua jarakku... untuk semua waktu yang membuatmu merasa sendirian."
Yculia tersenyum lagi, senyum yang kali ini nyaris seperti
sebuah luka yang terbuka.
"Tak semua luka butuh permintaan maaf,"
ucapnya perlahan. "Kadang, kita hanya butuh seseorang yang duduk di
samping kita... dan tetap tinggal, bahkan saat kita tak mampu berkata
apa-apa."
Malam merangkul mereka dengan kelembutannya yang kelam. Di
antara derasnya kenangan dan penyesalan, dua jiwa yang pernah tersesat mulai
saling menemukan bayangannya kembali—bukan dengan kata-kata besar, melainkan
dengan kehadiran kecil yang tak tergantikan.
Kadang, memulai kembali bukan tentang memperbaiki semua
yang rusak, tapi tentang berani duduk bersama di atas puing-puing itu—dan
berkata, "Aku di sini."
Konflik Emosional
Keheningan di antara mereka perlahan retak, pecah oleh
keberanian yang mengalir lambat dari luka yang telah lama terkubur. Yculia
menggenggam jemari tangannya sendiri erat-erat, seolah mencari pegangan di
tengah riuh perasaannya yang terombang-ambing.
Suara Yculia terdengar parau ketika ia akhirnya berbicara,
begitu pelan hingga hampir tenggelam dalam desir angin malam.
"Aku kehilangan adikku, Ram," katanya,
matanya menatap kosong ke kejauhan, ke arah di mana lampu-lampu kota berpendar
remang. "Semuanya terjadi begitu cepat... Aku bahkan tidak sempat
mengucapkan selamat tinggal."
Onram menoleh, menatapnya, tapi Yculia tak membalas
pandangan itu. Ia terus bicara, suaranya seperti pecahan kaca yang menyayat.
"Setelah itu... rumahku pecah. Bukan hanya retak,
tapi benar-benar runtuh. Orang tuaku..." ia tertawa kecil, getir, "mereka
terlalu sibuk saling menyalahkan sampai lupa... aku masih ada di sana."
Onram merasa jantungnya mencengkerut mendengar setiap kata
itu. Ada rasa sesak, rasa bersalah yang menyesakkan ruang dadanya.
"Aku..." Onram mencoba berbicara, tapi
kata-kata itu patah di tenggorokannya. "Aku tidak tahu... Ycu. Aku
bahkan tidak pernah bertanya. Aku bodoh..."
Yculia menoleh pelan, untuk pertama kalinya menatapnya
langsung. Ada kelelahan di mata itu, namun juga ada sesuatu yang lain—sebuah
kerinduan yang terluka.
"Bukan salahmu, Ram," katanya lembut,
meskipun suaranya gemetar. "Aku yang memilih pergi. Aku memilih diam.
Kadang... diam itu satu-satunya tempat aku merasa aman."
Onram menggeleng perlahan, air mata menggenang di pelupuk
matanya. "Tapi aku seharusnya ada untukmu. Aku seharusnya mencari...
menjemputmu dari keheningan itu."
Yculia tersenyum tipis, getir.
"Bagaimana mungkin kamu menemukan seseorang yang
bahkan dirinya sendiri tidak tahu sedang tersesat?"
Hening kembali turun, kali ini lebih berat, lebih penuh.
Onram hanya bisa menatap Yculia—sahabat kecilnya yang kini begitu jauh dan
dekat dalam satu waktu. Ia ingin merengkuhnya, ingin memeluk semua luka yang
pernah ditanggung gadis itu sendirian.
Namun ia tahu, beberapa luka hanya bisa disembuhkan oleh
kesabaran, bukan oleh tangan yang terburu-buru.
Maka, dengan suara serak, Onram hanya berkata,
"Aku di sini sekarang. Aku mungkin terlambat... tapi
aku tidak akan pergi lagi."
Yculia mengalihkan pandangannya ke langit malam, di mana
bintang-bintang berkedip malu-malu di balik tirai kelam.
"Aku takut, Ram," bisiknya, seolah mengaku
kepada malam itu sendiri. "Takut membuka semua ini... takut berharap
lagi."
Onram menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara
penuh tekad,
"Kalau begitu, biarkan aku duduk di sini. Sampai
kamu siap. Aku tidak akan memaksa, tidak akan mendesak. Aku hanya akan... tetap
tinggal."
Dan di antara luka yang belum sembuh, di bawah langit malam
yang membisu, dua hati yang pernah hilang perlahan-lahan menemukan jalan
kembali—bukan dengan kata-kata yang sempurna, tapi dengan kesediaan untuk hadir
dalam ketidaksempurnaan itu sendiri.
"Kadang, bentuk cinta yang paling dalam adalah tetap
tinggal... bahkan ketika tak ada janji bahwa semuanya akan baik-baik
saja."
Senja telah bergulir menjadi malam yang tenang, namun di
bangku taman tua itu, waktu seolah berhenti. Lampu-lampu jalan memercikkan
cahaya kuning pudar ke dedaunan yang bergoyang perlahan ditiup angin. Suara
kota yang jauh di seberang hanya terdengar seperti bisikan.
Yculia menunduk, kedua tangannya saling meremas di
pangkuannya, seolah menggenggam luka yang terlalu lama dipendam. Ia menarik
napas dalam, lalu melepaskannya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Aku tahu... aku harusnya lebih terbuka,"
katanya, perlahan. Suaranya bergetar, seperti seutas benang yang digantung di
antara harapan dan ketakutan. "Aku harusnya bicara. Tapi aku takut,
Ram. Takut kalau saat aku mulai membuka mulut... semuanya akan runtuh."
Onram menoleh, menatapnya dengan mata yang tak sekadar
melihat, tapi merasakan. Dalam diamnya, ada simpati yang dalam, dan cinta yang
tak bersyarat. Ia tak buru-buru menjawab, memberi ruang bagi luka itu untuk
bernapas.
Lalu, dengan suara selembut angin malam, ia berkata,
"Kita tak harus membongkar segalanya hari ini...
atau besok. Aku di sini, Ycu. Jika kamu siap... kita bisa berjalan bersama.
Pelan-pelan saja. Tidak ada yang perlu kamu buktikan."
Yculia menatapnya. Mata itu, yang dulu penuh canda dan
cahaya, kini berkaca-kaca, menampung rindu yang tak sempat diucapkan, dan luka
yang selama ini disembunyikan dalam diam. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah
menahan sesuatu yang nyaris pecah.
"Kamu... benar-benar masih di sini, ya?"
suaranya serak, seperti hujan pertama yang jatuh di tanah kering.
Onram tersenyum kecil, tulus, namun matanya menyimpan riak
duka yang dalam. Ia mengangguk pelan.
"Aku mungkin terlambat... tapi aku belum pernah
benar-benar pergi."
Keheningan kembali turun, tapi kali ini bukan sebagai jarak.
Melainkan sebagai jembatan. Antara dua jiwa yang pernah terpisah oleh waktu,
oleh rasa takut, oleh kehilangan yang tak terucapkan. Dan kini, perlahan,
membangun ulang sesuatu yang pernah runtuh: kepercayaan.
Di malam yang lembut itu, tanpa kata-kata tambahan, Yculia
menyandarkan kepalanya ke bahu Onram. Bukan sebagai tanda bahwa semuanya sudah
sembuh, tapi bahwa ia lelah... dan bahwa akhirnya, ada bahu untuk beristirahat.
"Kadang, harapan bukanlah teriakan lantang,
melainkan napas yang dihembuskan pelan—cukup untuk memberitahu dunia bahwa kita
masih bertahan."
Langit malam menggantung bagai kanvas biru tua, ditaburi
bintang-bintang yang malu-malu menyala. Di bawah sinarnya yang lembut, dua
siluet tampak duduk berdekatan di bangku taman yang tua—sebuah saksi bisu dari
masa kecil yang dulu penuh tawa dan mimpi sederhana.
Angin malam mengelus lembut rambut Yculia yang tergerai, dan
Onram tetap di sisinya, tak banyak berkata-kata, tapi kehadirannya lebih
lantang dari suara manapun. Mereka tak butuh banyak kalimat untuk menyadari
bahwa luka di dalam mereka tak bisa sembuh dalam semalam—namun setidaknya,
mereka kini tak lagi menanggungnya sendiri.
Yculia akhirnya membuka suara, suaranya masih rapuh namun
kini lebih jujur:
"Terima kasih… karena tak menyerah padaku. Meski aku
sudah menyerah berkali-kali pada diriku sendiri."
Onram menoleh padanya, dan dalam cahaya lampu taman yang
temaram, matanya memancarkan kelembutan yang belum pernah Yculia lihat sejak
mereka terakhir berbagi malam seperti ini.
"Aku pun menyesal… karena membiarkan waktu
menjauhkan kita. Tapi kalau kamu bersedia... aku ingin menebus semuanya. Meski
harus mulai dari percakapan kecil, malam ini."
Yculia tersenyum, pelan. Bukan senyum sempurna—masih ada
lelah di sana, masih ada sisa tangis yang belum sepenuhnya kering. Tapi ada
secercah cahaya yang mulai menyala, yang menandakan bahwa ia mulai percaya:
mungkin, ia bisa bertumbuh lagi. Bersama.
"Kita mungkin tidak bisa kembali ke masa
lalu..." gumamnya pelan, "tapi mungkin, kita bisa berjalan ke
masa depan... dengan langkah yang lebih jujur."
Dan mereka pun duduk di sana, lama. Menyusuri jejak-jejak
luka dengan kata yang hati-hati, menambal yang retak dengan saling dengar,
saling diam, dan saling tinggal.
"Malam itu, mereka tidak saling menyelamatkan—mereka
hanya saling menemani. Dan kadang, itulah bentuk cinta paling tulus yang bisa
diberikan."
Bab 4 — Langkah-langkah yang Hilang
Musim hujan baru saja merintik, seolah langit pun tahu
betapa banyak hal yang belum sempat terucap. Onram dan Yculia mulai berjalan
berdampingan lagi, meski langkah mereka masih ragu dan tak seragam. Pertemuan
demi pertemuan terjadi tanpa banyak rencana, namun selalu dengan hati yang
tertatih, mencoba menambal celah-celah waktu yang pernah menjauhkan.
Taman yang dulu menjadi ruang rahasia mereka kini seperti
mengenali kembali dua jiwa yang pernah tumbuh di bawah naungannya. Namun kini,
tiap tawa terdengar sedikit getir, dan tiap diam menyimpan makna yang lebih
dalam.
Pada suatu sore yang tenang, mereka duduk di bawah pohon
flamboyan yang tak lagi serimbun dulu. Daun-daunnya berguguran, seolah ikut
melepaskan beban yang menggantung di dada mereka.
"Dulu," ucap Onram pelan sambil menatap
langit, "kita pernah ingin membuat buku bersama. Buku berisi
cerita-cerita kita... Ingat?"
Yculia mengangguk perlahan, senyumnya samar, seakan
menyentuh luka yang belum sembuh.
"Aku ingat," jawabnya, suaranya nyaris
seperti bisikan, "tapi sejak semua itu terjadi... aku takut membuka
halaman baru. Seolah-olah... aku tidak pantas punya cerita lagi."
Onram menoleh, menatapnya. Ada semburat sedih di sorot
matanya, tapi juga ada tekad yang mulai menghangat.
"Kalau begitu," katanya lembut, "biarkan
aku menulisnya bersamamu. Kita mulai dari bab yang tak pernah sempat kita
tulis."
Keheningan menyusul. Namun kali ini, hening itu tak mencubit
hati. Ia terasa seperti selimut tipis di antara dua hati yang perlahan membuka
kembali jendela masa lalu, dan mengizinkan cahaya kecil masuk.
Yculia menunduk, jarinya bermain-main dengan ujung syal
lusuh yang melilit lehernya.
"Aku kehilangan terlalu banyak langkah,"
ucapnya pelan, "terlalu banyak jejak yang tak bisa kulacak. Kadang aku
merasa... aku sendiri bahkan tak tahu siapa aku sekarang."
Onram meraih tangannya, tak menggenggam erat, hanya
menyentuh cukup untuk menunjukkan: ia ada.
"Maka kita temukan langkah-langkah itu bersama.
Meski jalannya panjang, meski harus kita tempuh perlahan. Aku... tak akan pergi
lagi."
Yculia menatapnya. Di matanya ada sesuatu yang selama ini
terkunci—sejenis pengharapan yang nyaris punah, namun belum mati.
"Mereka tidak sedang mencoba kembali ke masa lalu,
melainkan membangun jalan baru, dari puing-puing hari yang pernah mereka kubur
dalam diam."
Yculia Membuka Lebih Banyak Luka
Hari itu, angin sepoi-sepoi berbisik lembut, seperti
menyadari bahwa ada cerita yang telah lama terkunci dan kini tiba saatnya untuk
diungkap. Mereka duduk di bangku taman yang sama, tempat yang dulu penuh dengan
tawa dan impian. Namun kali ini, udara terasa lebih berat, penuh dengan
keheningan yang menunggu untuk dipecahkan.
Yculia menghela napas dalam-dalam, wajahnya tampak sedikit
lebih muram. Ada kekhawatiran yang membayang di matanya, seolah-olah setiap
kata yang akan diucapkannya bisa melukai lebih dalam.
"Onram..." suaranya hampir seperti bisikan,
namun cukup untuk membuat Onram menoleh, memberi perhatian penuh padanya. "Aku...
aku tak tahu bagaimana memulai, tapi... aku harus mengatakan ini."
Onram menatapnya, tanpa mengganggu, hanya memberi ruang agar
Yculia bisa berbicara.
"Setelah semuanya hancur... setelah mereka semua
pergi," Yculia melanjutkan, suara berat dengan kepedihan yang
mengekang, "aku merasa seperti terperangkap dalam dunia yang gelap,
sepi, dan penuh kekosongan. Seperti ada lubang besar dalam diriku, dan aku tak
tahu bagaimana cara mengisinya."
Matanya berkilau oleh bayang-bayang masa lalu, mengenang
hari-hari yang tak pernah bisa dilupakan.
"Aku merasa... kalau aku tetap ada di sekitar
kalian, aku hanya akan menjadi beban. Jadi aku memilih untuk pergi. Tanpa
memberi tahu siapa pun. Tanpa mengatakan apa-apa."
Onram terdiam, hatinya terhimpit oleh kata-kata itu. Rasa
sakit yang terpendam di mata Yculia begitu jelas, dan seolah menyayat setiap
bagian dari dirinya.
"Tapi..." Yculia melanjutkan, suaranya
semakin perlahan, "meskipun aku pergi... aku selalu mencari tahu
tentangmu. Lewat media sosial, melalui gambar-gambar yang kamu unggah,
tulisan-tulisanmu. Aku ingin sekali menghubungimu, tapi..." Ia
terdiam, seolah kata-kata itu menghalangi jalannya. "Tapi aku merasa
sudah terlalu lama hilang. Aku merasa malu."
Hati Onram bergetar mendengar pengakuan itu. Semua yang
telah terjadi, semua ketidakpastian yang ia rasakan selama bertahun-tahun, kini
sedikit demi sedikit mulai terjawab.
"Kenapa kamu tidak menghubungiku?" Onram
bertanya, suaranya dipenuhi dengan emosi yang ia coba tahan. "Aku
selalu ada di sini, Yculia. Aku tidak akan menganggapmu sebagai beban."
Yculia menunduk, air mata perlahan mengalir di pipinya. "Karena
aku takut. Takut kamu akan membenciku, takut aku akan merusak segalanya...
seperti yang sudah terjadi."
Onram mengulurkan tangan, meraih tangannya dengan lembut,
memberikan kenyamanan yang sudah lama hilang.
"Yculia," suara Onram bergetar, "kita
tak pernah merusak apapun. Kita hanya terluka, dan sekarang... kita bisa sembuh
bersama. Jangan lagi rasa takut itu menghalangimu."
Yculia menatapnya, air mata yang jatuh dari matanya terasa
seperti pelepasan, sebuah langkah kecil menuju penyembuhan. "Aku tak
pernah ingin menyakiti kamu, Onram. Aku hanya... terlalu takut untuk menghadapi
kenyataan."
Keheningan mengisi ruang di antara mereka, namun kali ini,
keheningan itu tak lagi memisahkan mereka. Ia terasa seperti sebuah pemahaman
yang terbentuk perlahan, satu yang tak perlu diucapkan, namun ada di sana, di
dalam hati mereka.
"Dan di tengah luka yang baru terbuka, mereka berdua
menemukan kenyataan yang mengikat mereka kembali — bahwa meskipun waktu telah
mengubah banyak hal, perasaan mereka satu sama lain tetap tak
tergantikan."
Onram Merasa Bersalah, Tapi Juga Bersemangat
Hari-hari berlalu, dan setiap pertemuan mereka seperti
membuka lembaran baru dari sebuah buku lama yang terlupakan. Di setiap tatapan
Yculia, Onram merasakan sebuah kekuatan yang tak terjelaskan, sebuah ikatan
yang telah lama ada, meski terpendam. Namun, di balik setiap detik kebersamaan
mereka, Onram tidak bisa menepis perasaan bersalah yang semakin dalam.
"Aku... aku merasa bodoh," Onram
mengatakannya dalam keheningan suatu sore ketika mereka berjalan bersama di
sepanjang jalan setapak yang sepi, di bawah naungan pohon-pohon yang
menyembunyikan cahaya matahari. "Kenapa aku tidak melihat semua ini
dulu? Kenapa aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
Yculia menoleh padanya, matanya tak lagi penuh dengan
kebekuan seperti dulu. Ada kehangatan, meskipun masih samar, yang memancar dari
sorot matanya. "Kita semua punya bagian yang terlupakan, Onram. Aku...
aku tidak bisa memaksa kamu untuk tahu. Tidak ada yang bisa mengerti luka kita
selain kita sendiri."
Onram terdiam sejenak, merasa seolah dunia runtuh dalam satu
kata itu. "Tapi aku seharusnya bisa melihatnya... aku seharusnya lebih
peka. Aku merasa seperti gagal, Yculia. Aku seharusnya ada untukmu."
Suara Onram bergetar, penuh penyesalan yang menggantung di udara.
Yculia menggeleng pelan. "Kamu tidak gagal. Kamu
hanya... tidak tahu. Dan aku, aku juga tidak tahu bagaimana caranya memberi
tahu kamu apa yang sedang kutanggung." Ia berhenti sejenak, menatap
langit yang mulai memerah karena senja, "Tapi sekarang... aku tidak
ingin lagi terjebak dalam masa lalu."
Onram menggenggam tangan Yculia dengan lembut, seolah ingin
memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana, bahwa mereka berdua kini berdiri
di tempat yang sama, meski perjalanan itu panjang dan penuh luka.
"Aku tidak akan lagi meninggalkanmu, Yculia. Aku
janji." Suara Onram bergetar, namun penuh keyakinan. "Kita
akan berjalan bersama. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku akan
berusaha."
Yculia menatapnya dengan mata yang penuh makna, seperti ada
sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. "Aku... aku juga tidak
tahu bagaimana kita akan melakukannya. Tapi jika ada satu hal yang aku
percayai, itu adalah kita bisa membangun sesuatu yang baru. Sesuatu yang
mungkin bisa menghapus sedikit luka yang ada."
Onram merasakan semangat itu mengalir kembali ke dalam
dirinya. Mungkin mereka tidak bisa menghapus masa lalu yang kelam, tetapi
mereka bisa menciptakan kenangan baru yang akan menjadi cahaya di tengah
kegelapan. "Maka kita mulai dari sini, Yculia. Dari langkah kecil yang
akan membawa kita jauh lebih dekat."
Mereka berhenti di ujung jalan setapak, berdiri di bawah
pohon yang kini merunduk dengan dedaunan yang mulai jatuh, sebagai tanda musim
berganti. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, tetapi bukan lagi keheningan
yang menakutkan. Keheningan ini adalah keheningan yang penuh dengan harapan
baru.
"Mari kita mulai dengan makan siang bersama,"
kata Onram, mencoba memecah kesunyian yang ada. "Tidak ada lagi yang
harus dipikirkan, hanya kita, dan waktu kita bersama."
Yculia tersenyum tipis, senyum yang sudah lama tidak ia
berikan dengan tulus. "Aku suka itu."
Mereka berjalan berdampingan, langkah mereka kini tidak lagi
terasing, tetapi penuh dengan tujuan, dan meskipun banyak jalan yang harus
mereka lewati, setidaknya mereka tidak lagi berjalan sendirian.
"Dua jiwa yang terluka, kini saling memberi
kesempatan untuk sembuh. Langkah demi langkah, mereka mulai menjalin kembali
ikatan yang pernah terputus, membawa harapan bahwa mungkin, hanya mungkin,
mereka bisa mengatasi masa lalu dan membangun masa depan bersama."
Konfrontasi dengan Masa Lalu
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin
berbisik pelan, membawa kesunyian yang mendalam. Onram dan Yculia duduk di
bangku taman, seperti biasa, tetapi ada yang berbeda. Mungkin itu karena
kedalaman percakapan yang menggantung di antara mereka, seolah-olah malam itu
tidak hanya menyelimuti mereka dengan gelap, tetapi juga dengan segala
ketakutan yang lama terpendam.
Yculia menundukkan kepala, jarinya meremas lembut ujung
jaketnya. Ada kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan, meskipun sudah berusaha
menutupinya dengan senyum. Namun malam ini, senyum itu tidak bisa lagi
menyembunyikan apa yang ada di dalam dirinya.
"Aku takut, Onram," suaranya terdengar
begitu pelan, namun setiap kata yang terucap terasa begitu berat. "Aku
takut aku akan terus terjebak dalam masa lalu... dan tidak bisa melangkah
maju."
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti batu besar yang
jatuh, mengguncang ketenangan yang telah mereka coba bangun. Onram menatap
Yculia dengan mata yang penuh kekhawatiran. Matanya berkilat, penuh dengan
perasaan yang tak terucapkan, dan seiring dengan itu, hati Onram mulai
merasakan betapa dalam luka yang Yculia sembunyikan.
Ia tidak buru-buru menjawab. Ia hanya mendekat, berusaha
untuk memberi ruang bagi Yculia untuk melanjutkan, untuk memberi ruang bagi
ketakutannya yang lama terbungkus.
"Aku merasa seperti waktu terus berjalan, tetapi aku
tak bisa mengikutinya," Yculia melanjutkan, suaranya sedikit gemetar. "Setiap
langkahku terasa seperti aku mundur, seperti aku tidak bisa melepaskan masa
lalu itu... semua rasa sakit, kehilangan, dan ketidakpastian yang tak pernah
hilang."
Onram menghela napas pelan, mencoba memahami sepenuhnya
setiap kata yang keluar dari bibir Yculia. Ia merasakan kedalaman perasaan yang
begitu rumit, yang begitu tersiksa. Namun, di balik kesedihan itu, ada sebuah
hasrat untuk melangkah bersama, untuk membantu sahabatnya yang kini begitu
rapuh.
"Yculia," suara Onram terdengar rendah
namun penuh empati. "Aku... aku tidak bisa mengubah masa lalu. Kita
tidak bisa. Tapi aku ada di sini, sekarang. Aku akan selalu ada untukmu. Aku
tidak akan membiarkanmu berjalan sendirian."
Yculia menatapnya, matanya berbinar sedikit, seolah harapan
yang telah lama ia pendam mulai terungkap. "Tapi bagaimana jika aku
gagal? Bagaimana jika aku tak bisa melepaskan semua itu?"
Onram meraih tangan Yculia dengan lembut, menggenggamnya
erat seakan ingin mengikatkan harapan di antara mereka. "Kita tidak
perlu melakukannya sendirian. Tidak ada yang salah dengan melangkah
pelan-pelan, bahkan jika itu berarti kita harus menghadapi ketakutan kita
bersama."
Ada keheningan sejenak antara mereka. Yculia memejamkan
mata, mengusap pelan air mata yang tanpa sadar jatuh. "Aku... aku tidak
tahu apakah aku bisa melakukannya, Onram. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin
mencoba, kalau ada orang yang bisa membuatku merasa bahwa masih ada
harapan."
Onram tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan pengertian
dan kehangatan. "Kamu sudah membuat langkah besar, Yculia. Menghadapi
ketakutan itu sendiri adalah sebuah keberanian. Sekarang, mari kita hadapi masa
depan bersama. Aku akan membantumu mencari cahaya, seberapa pun gelapnya malam
ini."
Yculia menatap Onram dengan penuh haru, seolah-olah untuk
pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar
melihat dan memahami dirinya. "Terima kasih, Onram. Untuk semua yang
kamu beri, untuk semua yang kamu lakukan... Aku tidak pernah bisa mengungkapkan
betapa berarti kamu untukku."
Onram mengangguk, lalu berkata dengan suara yang penuh
ketulusan, "Tidak perlu mengucapkan terima kasih. Kita teman. Dan teman
selalu ada untuk satu sama lain, tidak peduli apapun yang terjadi."
Mereka duduk diam sejenak, saling berbagi keheningan yang
penuh makna, seperti dua jiwa yang mulai menyembuhkan luka satu sama lain.
Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan apa yang mereka rasakan, tetapi
kehadiran mereka satu sama lain sudah cukup untuk menyembuhkan sedikit luka
yang telah lama menganga.
"Malam itu, di bawah bintang-bintang yang perlahan
mulai bermunculan, Onram dan Yculia menyadari bahwa perjalanan mereka belum
selesai. Masa lalu mungkin masih menghantui, namun mereka tahu bahwa bersama,
mereka bisa menghadapinya—langkah demi langkah."
Tiba-tiba, Sebuah Rintangan Baru
Hari itu, udara terasa begitu mencekam. Yculia duduk di
bangku taman yang kini sudah menjadi tempat mereka berbagi banyak cerita, namun
kali ini, ada beban yang lebih berat di hatinya daripada sebelumnya. Di tangan
kirinya, ia memegang surat resmi yang baru saja diterimanya—sebuah tawaran
pekerjaan di luar kota. Sebuah kesempatan yang sangat ia dambakan selama ini,
namun di sisi lain, keputusan itu datang dengan beban yang tidak bisa ia
hindari.
Onram duduk di sampingnya, menyadari bahwa ada sesuatu yang
berbeda pada sikap Yculia. Hening. Pikirannya tampak jauh, terjebak dalam
pergulatan batin yang mendalam. Ia menunggu, memberi ruang agar Yculia bisa
membuka diri.
Akhirnya, Yculia menatap Onram dengan mata yang penuh
kebimbangan, dan dengan suara yang berat, ia berkata, "Aku... aku
mendapat tawaran pekerjaan di luar kota. Ini adalah kesempatan yang aku
tunggu-tunggu. Semua yang aku impikan, akhirnya datang. Tapi..." Ia
terhenti sejenak, kata-kata seperti terjebak di tenggorokannya.
Onram menatapnya dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa apa
yang akan datang selanjutnya akan menjadi ujian bagi mereka berdua. "Tapi?"
tanya Onram dengan lembut, seakan meminta Yculia untuk melanjutkan, meskipun ia
tahu ini bukanlah percakapan yang mudah.
Yculia menghela napas panjang, seolah mencoba menimbang
seluruh dunia dalam pikirannya. "Aku merasa terjebak, Onram. Ini
kesempatan besar untuk masa depanku, tapi... aku juga baru saja mulai membangun
kembali sesuatu yang berarti antara kita. Aku tidak tahu apakah aku harus
melangkah maju, mengejar impianku, atau tetap di sini dan mengurus luka-luka
yang belum sembuh."
Ada keheningan yang panjang, dan angin malam yang menderu
seakan menjadi saksi bisu atas kebingungannya. Onram menggenggam tangannya
dengan lembut, mencoba memberi kekuatan melalui sentuhan itu.
"Yculia," suara Onram terdengar rendah,
penuh perhatian. "Aku tahu ini sulit. Mungkin terlalu sulit untuk
diputuskan sekarang. Tetapi, apa yang aku tahu adalah... aku ingin kamu
bahagia. Jika ini adalah jalan yang bisa membawa kebahagiaan dan kedamaian
untukmu, aku tidak bisa menghalanginya."
Yculia menatapnya dengan mata yang sedikit basah,
menyembunyikan segala keraguan yang menggerogoti hatinya. "Tapi
bagaimana dengan kita, Onram? Aku baru saja mulai merasa bahwa aku bisa membuka
hatiku lagi, dan sekarang kamu harus merelakan aku pergi?" Suaranya
bergetar, seolah-olah menahan amarah dan kesedihan yang meluap.
Onram menunduk, mencoba menenangkan diri. Ia merasa
seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar keputusan ini. Yculia
bukan hanya sahabatnya; dia adalah bagian dari masa lalu yang tidak ingin ia
lepaskan. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa cinta bukanlah tentang memiliki,
melainkan memberi kebebasan.
"Aku tidak bisa memberimu jawaban yang mudah,
Yculia," kata Onram perlahan, matanya penuh dengan kejujuran yang
mendalam. "Tapi aku tahu satu hal—aku ingin kamu mengejar impianmu.
Jika aku benar-benar peduli padamu, aku tidak akan pernah menghalangimu."
Yculia menundukkan kepalanya, merasakan perasaan yang begitu
bergejolak dalam dirinya. "Aku takut, Onram. Aku takut bahwa jika aku
pergi, aku akan kehilanganmu selamanya. Dan jika aku tinggal, aku takut aku
akan menahanmu dari jalanmu sendiri. Aku merasa seperti berada di persimpangan
yang tidak bisa aku pilih."
Onram memandangnya dengan penuh kasih, dan dalam keheningan
malam itu, ia berkata dengan tegas namun penuh kelembutan, "Kadang-kadang,
kita harus membiarkan orang yang kita cintai terbang, meskipun hati kita ingin
mereka tetap di sini. Aku akan selalu ada, apapun yang terjadi. Tapi aku tahu,
jika ini yang terbaik untukmu, aku tidak akan memintamu untuk tetap tinggal.
Ini bukan tentang kita, Yculia... ini tentang hidupmu."
Yculia menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Terima
kasih, Onram. Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkannya. Tapi aku tidak
bisa tidak merasa... merasa bahwa keputusan ini, apapun yang aku pilih, akan
mengubah segalanya."
Onram menggenggam tangannya dengan erat, sebuah janji diam
yang mengikat mereka. "Apa pun keputusanmu, aku akan selalu
mendukungmu. Kita bisa memilih jalan yang berbeda, tapi itu tidak berarti kita
akan pernah jauh dari satu sama lain."
"Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang,
Yculia dan Onram tahu bahwa tak ada jalan yang mudah. Namun, mereka juga tahu
bahwa setiap langkah yang mereka ambil, baik bersama atau terpisah, akan tetap
mengikat mereka dalam kenangan dan harapan yang tak pernah padam."
Onram Menghadapi Dilema
Ketika kabar itu sampai ke telinga Onram, hatinya terasa
seakan terbelah. Matahari baru saja tenggelam, menyisakan langit yang memerah,
tapi cahaya itu tidak cukup untuk menghangatkan perasaan yang mulai membeku
dalam dirinya. Yculia—sahabat yang telah lama hilang—akan pergi lagi,
meninggalkan segala sesuatu yang baru saja mereka bangun bersama.
Onram terdiam, mencoba mencerna kalimat yang baru saja
keluar dari mulut Yculia. “Aku harus pergi, Onram. Ini kesempatan yang tidak
bisa aku tolak. Aku harus mulai dari sini... jauh dari masa lalu.”
Ia merasa tubuhnya seperti dipenuhi batu-batu berat, dan
suara yang dulu seringkali mengisi setiap ruang menjadi hening dalam
pikirannya. Bagaimana mungkin ia merelakan Yculia pergi begitu saja? Namun, di
sisi lain, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh dilewatkan untuk
sahabatnya. Suara hatinya berseru untuk tidak melepaskan, namun akal sehatnya
berkata bahwa ini adalah jalan yang tepat untuk Yculia.
“Aku tahu ini penting bagimu,” Onram mulai berbicara
dengan suara yang bergetar, mencoba mengendalikan emosi yang hampir meledak. “Tapi...
bagaimana dengan kita, Yculia? Apakah kita bisa tetap saling berbicara, saling
ada, meskipun jarak yang akan memisahkan kita?”
Yculia menunduk, wajahnya yang lelah tampak penuh
pertanyaan. “Aku tidak tahu, Onram. Aku takut, aku tidak ingin kehilanganmu
lagi. Tapi aku juga takut jika aku terus tinggal di sini, aku akan terjebak
dalam luka yang sama.”
Onram menggigit bibir, berjuang untuk menahan diri agar
tidak menunjukkan betapa besar luka yang tengah menggerogoti hatinya. Ia tidak
ingin menahan Yculia, tetapi ia juga tidak siap melepaskannya begitu saja. “Tapi
aku juga takut, Yculia. Takut jika aku membiarkanmu pergi, kita akan kehilangan
kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku... aku tidak siap untuk itu.”
Ada keheningan yang panjang. Angin yang berhembus membawa
rasa dingin yang menusuk. Onram melihat ke dalam mata Yculia, di sana ia
melihat keraguan yang sama, kebimbangan yang terperangkap di antara mereka. Ia
tahu bahwa ini bukan sekadar masalah memilih tempat untuk pergi atau tinggal,
tapi ini adalah ujian terbesar bagi perasaan mereka.
Yculia melangkah mendekat, duduk di sampingnya. “Aku
tidak ingin kau merasa terbebani, Onram. Aku tahu kau ingin aku tetap di sini,
dan aku... aku ingin begitu juga. Tapi aku merasa seperti... seperti aku sudah
lama tenggelam dalam bayang-bayangku sendiri. Mungkin ini saatnya untuk mencoba
keluar dari kegelapan itu.”
Onram menatapnya dalam-dalam, jiwanya terasa
terombang-ambing di antara rasa cinta dan rasa kehilangan yang tak terelakkan. “Jadi
ini tentang melangkah maju, ya?” tanyanya dengan suara serak. “Mungkin
aku tak bisa berbuat banyak untuk mencegahmu pergi, tapi aku ingin kamu tahu
bahwa apapun yang terjadi, aku akan ada di sini, menunggu.”
Yculia menundukkan kepalanya, merasakan gelombang emosi yang
menghantamnya. Ia merasa seperti di persimpangan jalan yang tak pernah ia
bayangkan sebelumnya. “Onram...” Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan
air mata yang perlahan menetes. “Aku tidak ingin pergi... dengan rasa
bersalah ini. Tapi... aku juga tidak tahu bagaimana bisa tetap tinggal tanpa
mengorbankan apa yang masih ada di dalam diriku.”
Onram menggenggam tangannya dengan lembut, meskipun hatinya
terasa terkoyak. “Jangan biarkan rasa takut membuatmu ragu, Yculia. Jika
pergi adalah jalan yang harus kamu tempuh untuk menemukan dirimu yang sejati,
maka aku akan mendukungmu. Aku tidak bisa menahanmu, meskipun hatiku begitu
berat.”
Yculia menatapnya, terdiam sejenak, merasakan perasaan yang
begitu dalam dan tak terungkapkan. “Terima kasih, Onram... Terima kasih
karena selalu ada untukku.”
Mereka duduk bersebelahan, diam, hanya mendengarkan suara
detak jantung mereka yang semakin rapat, meski tak ada kata yang terucap.
Keduanya merasa seolah dunia sedang menguji mereka, dan tidak ada yang bisa
memprediksi arah mana yang akan mereka pilih.
"Malam itu, di bawah langit yang bintang-bintang
terbenam, mereka tahu bahwa cinta tidak selalu berarti bersama, namun
terkadang, cinta sejati adalah memberi ruang untuk tumbuh, meskipun perpisahan
itu terasa seperti pisau yang menembus hati."
Percakapan yang Mengubah Segalanya
Malam itu, taman yang dulu menyaksikan tawa mereka kini
terasa sunyi. Angin berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun pohon yang rimbun,
namun tidak mampu mengusir rasa gelisah yang menggantung di udara. Onram dan
Yculia duduk bersebelahan di bangku yang telah usang oleh waktu. Bangku yang
sama tempat mereka dulu mengukir kenangan manis, tempat pertama kali mereka
bertemu setelah bertahun-tahun berpisah.
Namun malam ini, rasanya segala sesuatu berubah. Keheningan
yang mereka ciptakan, meskipun hangat, terasa lebih berat dari sebelumnya.
Waktu seolah berhenti, menunggu kata-kata yang belum terucapkan.
Yculia menunduk, menggenggam erat ujung gaunnya yang
terlipat di pangkuan, sebelum akhirnya membuka suara, suaranya lembut namun
sarat dengan keraguan yang dalam. “Aku tidak tahu apakah aku bisa terus
berada di sini, Onram.” Suaranya bergetar, seakan ada beban besar yang
ingin ia lepaskan, namun sulit untuk diungkapkan. “Aku tidak tahu apakah aku
bisa melanjutkan semuanya. Aku tidak ingin kita terluka lebih dalam.”
Onram mendengarkan dengan seksama, hatinya terasa berat
mendengar kata-kata itu. Ia menatap Yculia, mencoba membaca setiap lekuk emosi
yang tersembunyi di matanya. Yculia yang dulu penuh cahaya kini tampak seperti
bayangan yang masih mencari jalan keluar dari kegelapan yang membungkusnya.
Tanpa kata, Onram meraih tangan Yculia, menggenggamnya
dengan lembut namun penuh keyakinan. Tangan mereka bersatu, seakan dunia ini
hanya milik mereka berdua. Ia bisa merasakan getaran tubuh Yculia yang mulai
gemetar, dan ia tahu, betapa besar ketakutan yang sedang menyelimuti sahabatnya
itu.
“Apapun yang kamu pilih, aku ingin kamu tahu, Yculia,”
suara Onram lembut, namun penuh dengan keyakinan yang tidak bisa disangkal. “Aku
akan selalu mendukungmu. Ini perjalanan kita, dan aku ingin kita berjalan
bersama, apapun itu.”
Mata Yculia terpejam, mencoba menenangkan diri di tengah
kebingungannya. Ia merasakan kehangatan dari genggaman tangan Onram, seolah itu
adalah satu-satunya pelabuhan yang masih bisa ia tuju. Ia ingin percaya, namun
rasa takut itu terus menggerogoti jiwanya. “Aku takut, Onram,” bisiknya
pelan. “Aku takut jika aku memilihmu, aku akan membawa luka ini terus
bersamaku. Aku takut jika aku tetap di sini, aku akan mengulang kesalahan yang
sama.”
Onram menatap Yculia, matanya penuh dengan ketulusan. “Luka
itu bagian dari perjalanan kita, Yculia. Kita tak akan pernah bisa
menghindarinya. Tapi kita bisa memilih untuk menghadapinya bersama.” Ia
mengangkat tangan Yculia ke dadanya, di mana jantungnya berdegup begitu
kencang, seolah ingin meyakinkan sahabatnya bahwa ada ruang yang aman di sana. “Aku
tidak ingin kita hanya berjalan di antara kenangan-kenangan lama, tapi aku
ingin kita berjalan menuju masa depan, meski langkah kita mungkin lambat.”
Yculia terdiam, wajahnya kini dibasahi air mata yang
perlahan menetes, namun di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai menghangat.
Sesuatu yang sudah lama terkubur dalam-dalam—harapan. “Kau tahu, Onram...”
Suaranya pecah, penuh dengan isak yang terpendam. “Aku merasa seperti... aku
sudah terlalu lama berjalan sendirian. Tapi aku takut, takut jika aku memberi
kesempatan lagi, aku akan kehilangan diriku sendiri.”
Onram menggenggam tangan Yculia dengan lebih erat,
menatapnya dengan penuh pengertian. “Yculia, kamu tidak akan pernah
kehilangan dirimu. Karena kamu bukan hanya bagian dari masa laluku, tapi kamu
adalah bagian dari perjalanan hidupku yang masih panjang. Dan apapun yang
terjadi, aku akan selalu ada, untuk kamu.”
Keheningan itu datang kembali, tapi kali ini tidak terasa
berat. Hanya ada kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka, sebuah
pengertian yang lebih mendalam, yang mungkin baru bisa mereka rasakan setelah
melalui begitu banyak luka dan jarak.
“Mungkin,” Yculia berkata perlahan, suaranya penuh
keraguan namun juga harapan, “Mungkin aku bisa mulai lagi. Tidak untuk
melupakan, tapi untuk berdamai dengan semua ini.”
Onram tersenyum lembut, walaupun hatinya masih terasa rapuh.
“Kita mulai dari sini, Yculia. Perlahan. Tidak perlu terburu-buru.”
Dan di bawah langit yang bertabur bintang, mereka duduk
bersama, menggenggam tangan satu sama lain, mencoba menemukan kembali arah
mereka. Perjalanan ini, meskipun penuh dengan ketidakpastian, kini terasa
sedikit lebih terang.
"Di bawah langit yang luas, mereka tahu bahwa
meskipun jalan ini penuh dengan keraguan, cinta sejati tidak mengharuskan
mereka untuk sempurna. Hanya membutuhkan satu hal: keberanian untuk melangkah
maju, bersama."
Setelah malam panjang penuh kata-kata yang tidak terucapkan,
Yculia menarik napas dalam-dalam. Ada ketenangan yang perlahan meresap ke dalam
dirinya, meskipun masih ada banyak pertanyaan yang bergelayut dalam hati.
Dengan perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke Onram, mata mereka
bertemu—sebuah tatapan yang penuh makna, seperti dua jiwa yang telah berperang
dengan dirinya sendiri dan kini saling mencari jalan keluar dari
kebingungannya.
“Aku… aku butuh waktu,” kata Yculia akhirnya,
suaranya lembut namun penuh dengan keteguhan. “Aku ingin memberi diriku
ruang untuk berpikir, untuk merasa. Aku tak bisa terburu-buru mengambil
keputusan. Aku takut, Onram. Aku takut jika aku melangkah tanpa memberi diriku
kesempatan untuk menyembuhkan.”
Onram menatap Yculia dengan hati yang terbuka. Ia tahu betul
bahwa tidak ada jalan pintas untuk penyembuhan, dan kadang, perjalanan itu
membutuhkan waktu yang lebih panjang dari yang mereka inginkan. Tanpa
mengucapkan kata-kata berlebihan, ia hanya mengangguk pelan, merasakan berat
yang sama, tetapi juga sebuah rasa tenang yang muncul ketika ia menyadari bahwa
ia tidak akan pernah memaksa Yculia untuk berlari sebelum ia siap.
“Aku mengerti,” jawab Onram dengan suara yang lembut
namun penuh ketulusan. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan, Yculia. Aku
tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini, menunggu, memberi ruang untuk
kamu menemukan jawabannya. Karena apapun yang terjadi, aku akan selalu
mendukungmu.”
Di saat itu, keheningan terasa begitu damai. Tidak ada
keraguan atau ketakutan yang menghantui mereka. Hanya ada sebuah pengertian
yang dalam, bahwa meskipun mereka masing-masing tengah berdiri di ujung yang
berbeda, perjalanan mereka tetap berjalan dalam arah yang sama—menuju
penyembuhan, menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan.
Yculia menatap Onram, matanya yang berkaca-kaca kini mulai
meredup, digantikan oleh senyum kecil yang tulus. “Terima kasih, Onram.
Karena kamu selalu ada di sini, bahkan saat aku merasa aku tak pantas
mendapatkannya.”
“Kamu pantas, Yculia,” jawab Onram, suara lembutnya
penuh keyakinan. “Kamu selalu pantas.”
Malam itu berakhir dengan keduanya duduk dalam hening yang
nyaman, bernafas dalam satu ritme yang sama. Mereka tahu bahwa apapun yang
terjadi, apapun keputusan yang akan diambil Yculia, mereka telah menempuh
perjalanan panjang bersama. Dan kadang, keputusan terbesar adalah memberi
ruang—ruang untuk masa depan yang belum pasti, sambil tetap memegang erat
kenangan yang sudah mereka ukir bersama.
"Mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka telah
menempuh perjalanan jauh bersama. Dan kadang, keputusan terbesar adalah memberi
ruang untuk masa depan, sambil tetap memegang erat kenangan bersama."
Bab 5 — Keputusan yang Terbuka
Saat matahari terbenam di balik cakrawala, membawa rona
jingga yang lembut ke langit malam, Yculia berdiri di ambang pintu kehidupan
yang baru. Ia tahu, keputusan yang diambilnya adalah sebuah langkah besar.
Melangkah pergi dari kota yang penuh kenangan, meninggalkan segala yang ia
kenal, untuk mengejar mimpinya yang lebih besar. Tapi di dalam hatinya, masih
ada kepedihan yang membelit—berat, tetapi tak bisa dihindari.
"Aku harus pergi, Onram," kata Yculia
pelan, suaranya tergetar oleh kepastian yang datang setelah sekian lama. "Ini
bukan tentang meninggalkanmu, atau kita. Ini tentang aku. Tentang aku yang
sudah terlalu lama terjebak di masa lalu, yang perlu menemukan dirinya
sendiri."
Onram berdiri di sampingnya, merasa seolah dunia yang ia
kenal runtuh sedikit demi sedikit. Namun, dalam hatinya, ada rasa yang lebih
besar dari sekadar penolakan—rasa yang mengerti bahwa ini adalah pilihan yang
harus diambil Yculia, meski itu membuat hatinya terasa kosong.
"Aku tahu," jawab Onram dengan suara yang
hampir tak terdengar, "Aku tahu ini adalah untuk kamu. Dan aku akan
selalu mendukungmu, meski itu terasa sangat sulit."
Mereka saling memandang, ada keheningan yang dalam, seperti
sebuah jurang yang terbentang di antara mereka. Namun, keheningan itu bukanlah
sebuah ketidakpastian—melainkan pengertian yang diam-diam tumbuh di antara
mereka. Sebuah pengertian bahwa meskipun jalan mereka mungkin berbeda untuk
sementara waktu, mereka akan tetap berjuang dalam cara mereka masing-masing.
"Aku takut," kata Yculia lagi, dengan suara
yang sedikit gemetar. "Aku takut aku akan melupakanmu. Aku takut aku
akan melupakan kita."
"Tidak ada yang bisa menghapus kenangan kita,
Yculia," Onram menjawab, perlahan meraih tangan Yculia, menggenggamnya
dengan penuh kelembutan. "Kita akan selalu ada di hati masing-masing,
meski kita tak lagi bersama setiap hari. Itu tak akan pernah berubah."
Air mata yang sejak tadi tersembunyi di sudut mata Yculia
akhirnya jatuh, mengalir tanpa bisa ditahan lagi. Tapi ini bukanlah air mata
penyesalan, melainkan air mata harapan yang akhirnya ditemukan. Harapan untuk
masa depan, meski jalan yang mereka tempuh tidak lagi bersisian.
"Aku tidak ingin kita berakhir seperti ini, Onram.
Aku tidak ingin kenangan kita menjadi beban yang menghantui." Yculia
berbicara dengan terbata-bata, merasakan betapa beratnya kata-kata itu keluar. "Tapi
aku harus melangkah, harus menjalani hidupku sendiri."
Onram menatapnya dengan mata yang dalam, mencoba menyelami
setiap kata yang diucapkan Yculia, dan di balik semuanya, ada satu hal yang ia
tahu pasti: mereka akan baik-baik saja. Mungkin tak sekarang, mungkin tidak
dalam waktu dekat, tapi suatu hari nanti, mereka akan menemukan jalan mereka
masing-masing, dan kenangan indah itu akan tetap hidup.
"Aku mengerti, Yculia," jawab Onram, dengan
suara yang bergetar tapi penuh ketulusan. "Kamu harus melangkah. Dan
aku akan selalu ada untukmu, bahkan jika aku hanya bisa mengingatmu dari
jauh."
Yculia menyeka air mata yang mengalir di pipinya, menatap
Onram dengan pandangan yang lebih tenang, meskipun hatinya masih terasa berat. "Terima
kasih. Terima kasih karena selalu ada untukku, karena selalu mengerti. Aku
tidak akan pernah lupa itu."
Mereka berdiri dalam keheningan yang penuh dengan rasa sakit
dan penerimaan. Keputusan itu sudah dibuat, dan meskipun hati mereka terluka,
ada sebuah rasa kedamaian yang mulai tumbuh, seperti benih yang baru saja
ditanam, siap untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar.
"Aku akan merindukanmu," kata Onram, pelan,
penuh perasaan.
"Aku juga," jawab Yculia, suaranya
bergetar, tapi kali ini dengan sebuah senyum yang tulus, meskipun penuh dengan
kesedihan.
Bab 5 berakhir dengan mereka berdua berdiri di ambang
perpisahan, tapi juga di ambang sebuah awal. Mereka tahu bahwa meskipun
perjalanan ini terasa berat, mereka akan selalu saling mendukung, dengan
kenangan yang takkan pernah pudar, dan harapan yang takkan pernah hilang.
"Kadang, keputusan terbesar adalah merelakan
seseorang untuk menemukan dirinya sendiri, meskipun hati kita tetap tinggal di
tempat yang sama. Dan meskipun perpisahan terasa seperti akhir dari segalanya,
itu hanyalah permulaan dari perjalanan yang baru, yang kita jalani dengan
kenangan yang tak akan pernah hilang."
Perpisahan yang Tidak Mudah
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah dunia
sendiri pun menahan napas. Keberangkatan Yculia sudah semakin dekat, dan
semakin dekat pula ketegangan yang menggantung di antara mereka. Setiap detik
terasa begitu berharga, namun juga menyakitkan. Onram merasa seolah waktu tak
cukup untuk mengungkapkan semua perasaannya. Ada keraguan di dalam dadanya,
seperti bayangan yang tak bisa diusir—takut kehilangan Yculia untuk selamanya.
Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa Yculia berhak untuk mengejar impian dan masa
depannya. Itu adalah kesempatan yang datang sekali seumur hidup, dan meskipun
hatinya terasa terbelah, ia berusaha memberi ruang untuknya.
Mereka menghabiskan hari-hari terakhir bersama dengan cara
yang mereka kenal: berjalan di taman yang kini terasa lebih sunyi dari
sebelumnya, duduk di bangku tempat mereka berbagi cerita dan mimpi-mimpi remaja
yang dulu. Terkadang, mereka berbicara dengan tawa yang ringkih, mengenang
kebodohan masa lalu yang tampak begitu jauh. Tapi lebih sering, keheningan itu
yang berbicara, lebih dalam dari kata-kata yang mungkin tak bisa terucap.
"Dulu, rasanya dunia tak pernah seberat ini,
kan?" Yculia berkata perlahan, menatap pohon-pohon besar di sekitar
mereka yang tampak begitu kokoh, namun juga mengingatkan pada kenangan yang
rapuh. "Mungkin kita terlalu cepat berpikir bahwa semuanya akan
baik-baik saja, tanpa menyadari bahwa kita juga bisa hancur."
Onram menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan berbagai
perasaan—cinta, rindu, tapi juga keputusasaan yang diam-diam ia sembunyikan. "Kita
tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, kan?" jawabnya, suaranya
serak. "Tapi aku percaya, Yculia, bahwa setiap langkah kita membawa
kita lebih dekat pada apa yang seharusnya kita jalani."
Yculia terdiam, menatap langit yang perlahan menggelap,
seolah ingin menyembunyikan seluruh dunia dari pandangan mereka. "Tapi
aku takut," katanya, suara yang hampir tak terdengar, "Aku
takut kalau aku pergi, aku akan meninggalkan lebih dari sekadar kota ini. Aku
takut kalau aku pergi, aku akan kehilangan kamu. Aku akan kehilangan
kita."
Onram merasakan setiap kata Yculia seperti serpihan yang
menembus hatinya. Namun, ia tahu, dalam hatinya yang terdalam, bahwa ini adalah
waktu yang tepat untuk mereka berdua—untuk mereka masing-masing, meskipun itu
berarti harus melepaskan.
"Kita tidak pernah benar-benar bisa kehilangan satu
sama lain, Yculia," Onram berkata dengan lembut, mencoba memberi
kekuatan pada kata-katanya. "Apa pun yang terjadi, kamu akan selalu ada
di sini," ia menyentuh dadanya, "Di sini, di hati ini. Dan
meskipun kamu pergi, aku tahu kamu akan membawa bagian dari kita bersama."
Yculia menatapnya, matanya yang biasanya tajam kini penuh
dengan kehangatan dan kebingungan yang sama. "Aku ingin tetap dekat,
aku ingin tetap menjadi bagian dari hidupmu, Onram."
"Aku tahu," Onram menjawab, mengulurkan
tangannya, menggenggam tangan Yculia dengan erat. "Aku juga ingin itu,
lebih dari apa pun. Tapi aku ingin kamu bahagia, ingin kamu mengejar segala hal
yang kamu impikan."
Keheningan mengisi ruang di antara mereka. Angin malam
berbisik lembut, namun seolah tak mampu menghapuskan ketegangan yang terasa
begitu nyata. Yculia menunduk, merasakan beratnya perpisahan yang semakin
dekat. "Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakan selamat tinggal,
Onram."
"Tidak ada kata yang cukup untuk itu,"
Onram menjawab, suaranya hampir hilang. "Tapi kita tidak perlu
mengatakan selamat tinggal. Kita hanya perlu percaya bahwa perjalanan kita
belum berakhir. Kita akan selalu menemukan jalan kembali, bahkan jika itu hanya
lewat kenangan."
Yculia mengangguk pelan, airmata yang sudah lama tertahan
akhirnya jatuh, membasahi pipinya. "Aku akan merindukanmu, Onram,"
katanya, suaranya terhenti oleh isak tangis yang tak bisa ia tahan lagi.
"Aku juga, Yculia," jawab Onram, dengan
suara yang serak. "Tapi aku akan terus berjuang untuk kita. Dan aku
akan menunggumu, menunggu sampai waktunya kita bertemu lagi."
Malam itu, mereka berdua duduk dalam keheningan yang penuh
dengan perasaan yang tak terucapkan. Di bawah langit yang gelap, dengan
bintang-bintang yang perlahan menyinari dunia mereka, mereka tahu bahwa
perpisahan ini tidak mudah, namun kadang, untuk menemukan kebahagiaan sejati,
mereka harus berani mengambil langkah yang sulit.
Dan meskipun mereka berpisah, ada harapan yang
tumbuh—harapan bahwa suatu hari nanti, jalan mereka akan bertemu lagi, di waktu
yang tepat.
Kata-Kata Terakhir Sebelum Berpisah
Keheningan yang menggantung di udara terasa semakin berat
seiring waktu yang semakin menipis. Malam itu, taman tempat mereka pertama kali
bertemu kembali dipenuhi dengan nuansa perpisahan yang tak terhindarkan. Semua
yang pernah mereka bagi, semua yang pernah mereka impikan, kini terasa seperti
bayangan yang mengabur di ujung malam. Yculia memandang Onram, matanya yang
biasa tajam kini penuh dengan kebingungan dan ketegangan yang tak terucapkan.
Dan di tengah keheningan yang penuh emosi itu, Yculia
akhirnya menemukan kata-kata yang sulit untuk diucapkan, namun harus keluar
dari bibirnya. "Onram, aku tahu ini sulit... tapi aku harus
pergi." Suaranya begitu lembut, namun setiap kata itu terasa seperti
pedang yang menembus hati. "Aku tidak bisa terus terjebak di masa lalu.
Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupku."
Onram terdiam, wajahnya dipenuhi dengan keteguhan yang
dipaksakan, namun ada sesuatu yang cair di matanya. Rasa sakit itu datang
seperti ombak yang tak terhindarkan. Seakan seluruh dunia berhenti berputar
sejenak. Betapa berat rasanya mendengar kata-kata itu, kata-kata yang mengubah
segalanya, namun ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus diambil.
"Aku akan selalu ada untukmu, bahkan kalau kita
terpisah jauh," jawab Onram dengan suara yang bergetar, namun penuh
dengan ketulusan. "Jangan lupakan aku, Yculia." Ia mengulurkan
tangan, bukan untuk menghentikan langkahnya, tetapi untuk memberikan kekuatan,
meskipun hatinya sendiri terasa rapuh.
Yculia menundukkan kepalanya, air matanya yang sebelumnya
tertahan kini mulai jatuh dengan perlahan, menetes di pipinya seperti hujan
yang tak bisa dihentikan. "Aku tidak akan lupa, Onram,"
katanya, suaranya penuh dengan isak. "Kamu adalah bagian yang selalu
ada di dalam hatiku, meski jarak memisahkan kita."
Onram menatapnya dalam-dalam, ada segenap perasaan yang
bergejolak dalam dirinya—rindu, cinta, dan keikhlasan yang begitu sulit untuk
dipahami. "Kita mungkin akan jauh, Yculia," katanya, suaranya
pelan, namun penuh makna, "tapi hati kita akan selalu dekat, bahkan
ketika jarak membentang begitu jauh."
Yculia mengangguk pelan, menyeka air matanya dengan lembut.
Waktu seolah berhenti, dan dalam sekejap itu, mereka merasakan bahwa meskipun
tubuh mereka akan terpisah, jiwa mereka telah saling mengikat dalam perjalanan
yang tak bisa dilupakan.
Mereka berdua berdiri dalam keheningan yang penuh
perasaan—keheningan yang lebih bermakna daripada ribuan kata yang mungkin bisa
mereka ucapkan. Hanya ada mereka berdua, dalam moment terakhir ini, sebelum
Yculia melangkah pergi, meninggalkan Onram dengan semua kenangan indah yang
akan selalu mereka bawa dalam hati masing-masing.
"Selamat tinggal, Onram," kata Yculia,
suara itu hampir tak terdengar, namun penuh dengan perasaan yang begitu dalam.
"Sampai jumpa, Yculia," jawab Onram, dengan
penuh keikhlasan meskipun hatinya merasa teriris. "Semoga jalanmu penuh
dengan kebahagiaan, dan aku akan selalu berharap yang terbaik untukmu."
Dan dengan satu langkah terakhir, Yculia berjalan pergi,
sementara Onram tetap berdiri, menyaksikan sosok yang pernah begitu dekat
dengannya menjauh. Kepergian itu meninggalkan kekosongan, namun juga secercah
harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, jalan mereka akan bersatu lagi.
Keputusan Besar Yculia
Keputusan Yculia untuk melangkah pergi bukanlah keputusan
yang lahir dalam semalam, melainkan sebuah perjalanan panjang yang dipenuhi
dengan keraguan, tangisan, dan luka yang tersembunyi. Di bawah langit malam
yang pekat, saat Onram mengucapkan kata-kata terakhirnya, ia tahu bahwa ini
adalah saat yang harus ia hadapi — untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yculia
benar-benar merasa bebas. Namun, kebebasan itu datang dengan harga yang sangat
mahal.
"Aku harus pergi, Onram," kata Yculia
dengan suara yang tegas, meskipun ada gemetar yang samar di ujung kalimatnya. "Ini
bukan untuk menghindar, ini untuk menemukan diriku sendiri."
Onram menatapnya dengan mata yang mulai terasa kosong,
seolah ia baru saja kehilangan bagian dari dirinya. Yculia berjalan pergi,
langkahnya mantap namun hati Onram tahu bahwa dalam setiap jejak kaki yang ia
tinggalkan, ada luka yang semakin dalam. Kepergian Yculia adalah perpisahan
yang mengoyak semuanya — namun, ia tahu, meskipun berat, ini adalah jalan yang
harus ditempuh oleh sahabatnya.
Yculia melangkah semakin jauh, namun di dalam hatinya ada
rasa lega yang tak terlukiskan. "Ini untuk aku, Onram,"
gumamnya pada dirinya sendiri, seolah mencari konfirmasi dari keheningan malam.
"Aku harus meraih apa yang belum sempat kuambil."
Sedangkan Onram, yang menyaksikan sosok Yculia menjauh,
merasakan sepi yang begitu pekat, lebih pekat daripada malam yang menggelap. Ia
tahu, perasaan yang bercampur antara kehilangan dan kebingungan itu bukanlah
hal yang mudah untuk dilalui. Tetapi di balik perasaan kosong itu, ada sesuatu
yang tumbuh — secercah harapan. Meskipun mereka terpisah, meskipun dunia seolah
menghapuskan jejak-jejak kebersamaan mereka, ia tahu bahwa apa yang mereka
miliki akan selalu menjadi bagian dari dirinya.
"Aku akan belajar untuk berdiri sendiri,"
bisik Onram, seakan berbicara kepada dirinya sendiri, mencari kekuatan di
tengah kehampaan yang ia rasakan. "Aku akan menemukan impian-impian
yang selama ini kutinggalkan."
Ia merasa seperti ada luka yang menganga di dalam hatinya,
namun di sisi lain, ada rasa harapan yang perlahan-lahan tumbuh. Meski hubungan
mereka tak lagi sama, meskipun takdir telah membawa mereka ke jalannya
masing-masing, Onram percaya bahwa Yculia dan dirinya akan selalu saling
mengingat — meskipun dalam bentuk yang berbeda. Mereka akan tetap terhubung,
meski tak lagi berada dalam ruang yang sama.
Yculia telah mengambil langkah besar untuk dirinya sendiri.
Begitu pula dengan Onram. Meskipun jalan mereka terpisah, ia tahu bahwa
kepergian Yculia memberi mereka kebebasan untuk tumbuh, untuk menemukan siapa
mereka sebenarnya, dan untuk terus melangkah menuju masa depan yang penuh
dengan kemungkinan, meski tanpa satu sama lain.
Menemukan Kembali Tujuan Hidup
Onram berdiri di depan meja, tangannya menggenggam pena
dengan erat, menulis formulir pendaftaran untuk menjadi seorang pegawai negeri.
Bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi sebuah langkah besar menuju impian yang
pernah terlupakan. Menjadi seorang guru—itu adalah tujuan yang selama ini
tersembunyi di sudut hatinya, terkubur oleh rutinitas yang tak pernah
memberinya kesempatan untuk bernafas. Kini, setelah sekian lama, dia memutuskan
untuk melangkah, untuk mencari arti baru dalam hidupnya.
Setiap kata yang ia tulis pada formulir itu terasa seperti
sebuah harapan yang dihidupkan kembali. Menjadi seorang guru bukan sekadar
memberi pengetahuan kepada orang lain, tetapi juga menjadi bagian dari sebuah
perubahan, dari sebuah perjalanan panjang untuk membuat dunia ini sedikit lebih
baik.
Namun, meskipun ia memutuskan untuk melangkah maju,
bayang-bayang Yculia tak pernah benar-benar menghilang. Setiap langkahnya,
setiap momen yang ia jalani, masih ada kenangan tentang mereka yang membekas
begitu dalam. Yculia—dengan senyumnya yang hangat, dengan ceritanya yang penuh
warna—terus mengisi ruang di dalam hatinya, tak peduli betapa ia berusaha
menghindar.
Suatu sore, Onram duduk di bangku taman yang dulu sering
mereka kunjungi, memandangi langit yang perlahan berubah warna. Ia teringat
akan tawa mereka yang pernah menggema di sini, tentang percakapan panjang
mereka yang sering kali tak berujung. Kenangan itu datang kembali, seperti
angin yang datang tanpa diundang.
"Kenapa aku masih mencarimu dalam setiap sudut
hariku?" bisiknya pada diri sendiri.
Hatinya terasa sepi, seperti ruang kosong yang tidak bisa ia
isi dengan apapun selain kenangan. Namun, meski kesepian itu menyakitkan, ada
sesuatu yang lebih dalam—perasaan bahwa mereka berdua telah saling memberi.
Setiap kali ia mengenang Yculia, Onram tak hanya merasakan
kesedihan. Ada rasa syukur yang datang bersama luka, rasa terima kasih yang
perlahan tumbuh. Mereka pernah saling berbagi, saling memberi, meski kini
mereka berada di jalan yang berbeda. Mereka telah tumbuh bersama, meski dalam
keterpisahan.
"Kita mungkin tidak lagi bersama," ucap
Onram pelan, "tapi aku tahu, kita telah membuat satu sama lain lebih
kuat. Kita saling melengkapi meski dalam jarak yang jauh."
Itulah yang ia yakini. Meskipun jalan mereka berpisah,
meskipun ia kini mulai melangkah menuju tujuannya yang baru, Yculia tetap
menjadi bagian dari dirinya—dalam cara yang tak terlihat, dalam kenangan yang
tetap hidup dalam setiap langkahnya.
Onram tahu, dengan atau tanpa Yculia di sisinya, ia harus
terus berjalan. Ia harus mengejar mimpinya, dan pada akhirnya, ia akan
menemukan bahwa segala yang ia alami, setiap kenangan dan luka, adalah bagian
dari perjalanan yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Seperti
seorang guru yang harus mengajar dengan penuh hati, ia pun harus terus
mengajarkan dirinya untuk hidup, untuk mencintai, dan untuk menemukan
kebahagiaan yang layak ia raih.
Yculia Memulai Babak Baru
Yculia berdiri di ambang pintu apartemen kecilnya, memandang
keluar jendela yang menghadap ke jalanan kota yang sibuk. Lampu-lampu kota
berkelap-kelip, menciptakan cahaya lembut di malam yang hening. Di dalam
dirinya, ada perasaan campur aduk—kesepian yang menusuk, namun juga harapan
yang perlahan tumbuh, meski masih rapuh.
Ini adalah awal baru baginya, sebuah langkah berani yang
penuh dengan ketidakpastian. Kota ini bukanlah rumah yang nyaman seperti yang
ia kenal, namun ia tahu bahwa ia harus menjalani hidup ini dengan cara yang
baru. Ia harus bangkit dari luka-luka lama dan menemukan kekuatannya sendiri.
Di tempat kerjanya yang baru, Yculia belajar untuk menjalani
rutinitas yang padat, berusaha menutupi perasaan yang kadang datang begitu
mendalam. Setiap senyuman yang ia berikan kepada orang-orang baru di sekitarnya
terasa seperti topeng, menutupi luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh. Tetapi
perlahan, dengan setiap hari yang berlalu, ada sesuatu yang mulai berubah dalam
dirinya. Ia merasa sedikit lebih kuat, sedikit lebih bisa menerima kenyataan
yang dulu ia tolak begitu keras.
Namun, meski kota ini menawarkan banyak kemungkinan baru, di
malam-malam sepi, Yculia tidak bisa menghindari perasaan kosong yang datang
begitu tiba-tiba. Ia masih menulis—di akun anonimnya, di tempat yang tak ada
yang mengenalnya. Di sana, ia bisa berbicara tentang segala hal yang ia simpan
dalam hati tanpa rasa takut akan penilaian. Setiap kata yang ia tulis adalah
sebuah pelarian, sebuah ruang di mana ia bisa melepaskan perasaan yang terlalu
berat untuk ia ungkapkan kepada siapa pun.
"Aku merasa sepi di sini," tulisnya dalam
sebuah pesan di akun itu, "Namun, entah kenapa, setiap kali aku
menulis, aku merasa sedikit lebih utuh. Seperti ada bagian dari diriku yang
kembali."
Meskipun jauh dari Onram, ada perasaan bahwa dunia
mereka—meskipun terpisah oleh jarak—masih saling terhubung. Yculia sering
memikirkan Onram, terutama di malam-malam sunyi, saat kenangan itu kembali
menyelinap masuk ke dalam pikirannya. Dia tahu, meskipun mereka berada di dunia
yang berbeda, ada ikatan yang tetap mengikat hati mereka.
"Apakah kamu akan pernah tahu, Onram?"
pikir Yculia, memandangi langit malam yang sama, meskipun terpisah jarak yang
jauh. "Apakah kamu tahu betapa besar pengaruhmu dalam hidupku? Bahkan
saat kita terpisah, kamu masih menjadi bagian dari perjalanan yang aku
jalani."
Yculia tidak pernah mengungkapkan semua ini secara langsung,
tetapi dalam tulisan-tulisannya yang tersembunyi, ia menemukan cara untuk
menyalurkan perasaan yang tak bisa ia katakan. Ia merasa lebih bebas di sana,
meski kesepian itu tetap ada. Setiap kata yang ia tulis adalah seperti saluran
bagi semua yang ia pendam—untuk mengatasi luka, untuk menerima kenyataan, dan
untuk mencari kedamaian di dalam dirinya.
Perjalanan Yculia belum selesai, dan ia tahu itu. Tetapi
untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia mulai merasa bahwa
langkah-langkah kecilnya membawa harapan. Ia mulai mempercayai bahwa meskipun
terkadang rasa sakit itu datang begitu mendalam, ada juga kekuatan yang
tersembunyi di dalamnya—sebuah kekuatan untuk bertahan, untuk bangkit, dan
untuk terus berjalan, meskipun tanpa Onram di sampingnya.
Reuni Tak Terduga
Beberapa bulan setelah Yculia pindah, Onram merasa hidupnya
kembali berjalan dalam ritme yang lebih tenang. Ia telah menemukan tujuannya
sendiri, menjalani hari-hari dengan penuh komitmen dan perjuangan, meski ada
kekosongan yang kadang sulit ia hapus. Namun, meskipun kesibukannya mengalihkan
perhatian, pikirannya masih sering melayang pada Yculia.
Suatu pagi yang tampak biasa, saat Onram sedang memeriksa
ponselnya setelah kelas selesai, ia mendapati sebuah pesan baru di akun sosial
media—sebuah pesan yang berasal dari akun anonim yang dulu selalu ia kenal.
Nama itu tak asing baginya. "Yculia," pikirnya, jantungnya
berdegup lebih cepat.
"Aku masih menulis," pesan itu dimulai
dengan kata-kata sederhana namun menyentuh. "Kehidupan baruku... kadang
terasa begitu asing, tapi aku mulai belajar menyesuaikan diri."
Onram duduk diam sejenak, merasa sebuah gelombang emosi
datang begitu mendalam. Ia ingin membalas, tetapi kata-kata terasa begitu berat
di bibirnya. Akhirnya, ia mengetik balasan yang sederhana, namun penuh makna:
"Aku senang mendengar kabarmu, Yculia. Aku selalu
berharap yang terbaik untukmu."
Beberapa hari berlalu, dan pesan itu berlanjut. Mereka mulai
berbicara dengan lebih terbuka, berbagi kisah hidup yang selama ini terpendam.
Yculia bercerita tentang kota barunya—tentang teman-teman baru yang ia temui,
tentang pekerjaannya yang menantang, dan tentang bagaimana ia perlahan belajar
untuk berdamai dengan masa lalunya.
"Aku sering merasa sepi di malam hari,"
tulisnya dalam salah satu pesan, "Tapi, anehnya, menulis di sini
membuatku merasa lebih dekat dengan masa lalu—denganmu."
Onram, meskipun jauh di sana, merasa hati yang dingin ini
mulai sedikit mencair. Ada sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya ketika
membaca kata-kata itu. Ia merasa seolah-olah mereka kembali menghubungkan
benang-benang yang terputus, berbicara tentang segala hal yang selama ini
tertahan.
"Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi jauh dari
semua yang aku kenal," balas Onram, "Tapi aku percaya kamu
bisa menemukan jalanmu, Yculia. Aku bangga melihatmu bertumbuh."
Mereka berbicara tentang kenangan, tentang masa lalu yang
tak bisa diubah, namun juga tentang masa depan yang penuh dengan kemungkinan
baru. Walaupun jarak tetap memisahkan mereka, perasaan saling mengerti itu
hadir kembali—seperti seberkas cahaya dalam kegelapan.
Di setiap pesan yang mereka tukar, ada kehangatan yang mulai
merayap masuk, meskipun hati masing-masing masih terluka. Percakapan mereka
semakin mendalam. Mereka tidak lagi berbicara hanya tentang kehidupan
sehari-hari, tetapi tentang mimpi, tentang harapan, dan tentang rasa takut yang
mereka simpan.
"Kadang, aku merasa tak pernah benar-benar pergi
dari tempat itu," Yculia mengungkapkan, "Tempat yang dulu kita
kunjungi bersama. Seperti ada bagian dari diriku yang masih tinggal di
sana."
Onram, di sisi lain, merasa ada sesuatu yang berubah dalam
dirinya. Ia merasa lebih kuat dari sebelumnya, meskipun jauh dari Yculia. "Kamu
tidak sendirian, Yculia," tulisnya, "Aku juga belajar untuk
menjalani hidupku, meski ada kekosongan yang tak bisa diisi."
Dan meskipun mereka berbicara dengan jarak yang memisahkan,
meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer, ada satu hal yang tetap:
hubungan mereka—meskipun tidak lagi sama—tetap ada. Sebuah ikatan yang telah
terbentuk begitu dalam, yang tak mudah terputus begitu saja.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa
depan," tulis Yculia di akhir percakapan mereka. "Tapi aku
tahu satu hal—bahwa kita telah membantu satu sama lain untuk menjadi lebih
baik."
Onram membalas dengan senyum yang lembut, meskipun hanya
bisa dibaca lewat kata-kata di layar. "Dan itu cukup, Yculia. Itu sudah
lebih dari cukup."
Malam itu, setelah mereka mengirimkan pesan terakhir sebelum
tidur, Onram merasa sebuah kedamaian dalam dirinya. Meskipun pertemuan mereka
tidak lagi seperti dulu, ia merasa bahwa mereka kembali menemukan jalan untuk
berbicara—meski hanya lewat kata-kata yang terketik di layar ponsel, tetapi
cukup untuk memberi mereka harapan.
Bukan perpisahan, melainkan sebuah reuni tak terduga yang
membawa kedamaian di tengah ketidakpastian.
Penutup Bab 5 — Keputusan yang Terbuka
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan Onram mulai merasakan
keheningan yang lebih akrab di hidupnya. Meski hatinya tidak sepenuhnya bebas
dari rasa rindu, ia mulai menerima kenyataan bahwa hubungan mereka mungkin
tidak akan pernah kembali seperti dulu. Tidak ada lagi pertemuan yang penuh
tawa dan percakapan panjang di bangku taman, tidak ada lagi tatapan mata penuh
harapan yang mereka bagi dengan begitu tulus.
Namun, di balik kesedihan itu, ada perasaan yang lebih
dalam: perasaan bahwa mereka telah tumbuh. Mereka telah berubah menjadi versi
terbaik dari diri mereka masing-masing, meskipun melalui jalan yang berbeda.
Onram menyadari bahwa kehilangan bukanlah akhir dari semuanya. Kepergian
Yculia, meski menyakitkan, membawanya pada pemahaman baru tentang hidup,
tentang dirinya, dan tentang arti cinta yang sesungguhnya.
Suatu malam, setelah berjam-jam merenung, Onram duduk di
kamar kecilnya, memandang ke luar jendela yang menghadap pada langit yang luas.
Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa mungkin, hubungan mereka memang harus
berakhir. Mungkin, mereka hanya perlu memberi ruang untuk diri mereka sendiri,
untuk berjalan di jalur yang mereka pilih masing-masing.
Tapi pada saat yang sama, ada sebuah kenyataan yang tak bisa
ia lupakan: meskipun terpisah oleh jarak, perasaan mereka tetap saling
terhubung. Tidak ada jarak yang bisa memisahkan mereka, tidak ada waktu yang
bisa merenggut kenangan yang sudah tertanam begitu dalam di hati mereka.
"Kita telah tumbuh," pikir Onram dengan
suara hati yang lirih. "Mungkin kita tidak bisa kembali seperti dulu.
Tapi kita telah menjadi lebih kuat. Kita telah menjadi lebih baik."
Dan dengan pemikiran itu, Onram merasa sebuah kedamaian
dalam dirinya, meskipun rasa kehilangan itu masih ada. Namun, ia tahu bahwa
mereka berdua sedang berada di jalur yang tepat, meskipun berbeda arah. Kadang,
dalam perjalanan hidup, kita perlu memberi ruang untuk perpisahan agar bisa
menemukan diri kita yang sebenarnya.
Malam itu, sebelum menutup mata, Onram mengetik sebuah pesan
singkat, hanya untuk dirinya sendiri:
"Mereka mungkin terpisah oleh jarak, namun hati
mereka tetap saling terhubung, seperti melodi yang tak pernah selesai, selalu
bergema dalam setiap kenangan."
Bab 6 — Mencari Kembali Harmoni
Onram kini telah memasuki babak baru dalam hidupnya.
Langkahnya semakin tegap, seiring dengan perjuangannya mengejar gelar S2 di
bidang ilmu sosial di universitas ternama. Berbagai penelitian dan kajian
ilmiah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya. Ia tenggelam dalam
teori-teori yang membuka wawasan, serta berbagai makalah yang menuntut
ketajaman analisa. Di luar itu, menulis tetap menjadi pelipur lara baginya,
seperti sebuah jendela yang membukakan jalan bagi perasaan yang sering kali
terlalu sulit untuk diungkapkan.
Pada suatu pagi yang cerah, Onram duduk di meja kerjanya,
pena di tangan, memandang selembar kertas kosong yang menunggu untuk terisi
dengan kata-kata. Di dunia akademis yang ia jalani, ia merasa menemukan
kedamaian, sebuah rutinitas yang memberi ketenangan meski terkadang membuatnya
terjebak dalam kesibukan yang melelahkan. Penelitian, diskusi, hingga
tulisan-tulisan ilmiah menjadi pelarian bagi pikirannya yang sering kali
kembali kepada kenangan yang belum sepenuhnya ia lepaskan.
"Terkadang aku merasa seperti sedang berlari,
Onram," gumamnya pelan, "Berlarian dari ingatan, dari perasaan
yang tak kunjung hilang."
Musim-musim berganti, dan Onram menemukan dirinya semakin
terbenam dalam dunia yang telah ia pilih. Gelar S2 ini menjadi bukti dari
perjuangannya yang tak kenal lelah, namun meski itu semua memberikan kepuasan
tersendiri, ada sebuah ruang kosong di dalam hatinya yang tak terisi oleh
apapun. Di tengah riuhnya kehidupan barunya, Onram sering kali merasa
kehilangan arah. Sesekali ia memejamkan mata dan membiarkan angin segar yang
masuk ke dalam ruangan menyapu wajahnya, mencoba menyapa ingatannya tentang Yculia.
Di tengah kesibukannya dengan dunia akademis dan hobinya
yang kini semakin mendalam dalam dunia penulisan, Onram masih merindukan
Yculia. Ia sering kali menemukan dirinya melamun, mengingat senyumannya yang
dulu selalu mampu menghangatkan hatinya, mengenang kata-kata mereka yang pernah
membangun harapan-harapan tentang masa depan yang indah. Namun kini, semua itu
terasa seperti bayangan yang hanya bisa ia genggam dalam kenangan.
Setiap kali ia menulis, entah itu artikel ilmiah atau
catatan pribadi, entah bagaimana, kata-kata itu selalu mengarah kepadanya.
Yculia. Hanya saja, kali ini, tak ada kata yang bisa benar-benar menggambarkan
perasaan itu, tak ada rangkaian kalimat yang mampu menyembuhkan luka yang telah
lama ia simpan dalam-dalam.
"Apakah aku akan selalu merindukannya seperti
ini?" Onram bertanya dalam hati. "Apakah kenangan kita akan
selamanya mengikatku?"
Pada suatu malam yang tenang, setelah seharian ia tenggelam
dalam tumpukan buku dan makalah, Onram duduk di balkon apartemennya yang
menghadap ke kota yang sibuk. Lampu-lampu di kejauhan berkelap-kelip seperti
bintang-bintang yang hilang di langit malam. Di tengah ketenangan itu, Onram
merasa seolah dunia sedang menunggu sesuatu darinya—sesuatu yang lebih dari
sekadar pencapaian akademis atau kesibukannya. Ada ruang kosong yang tak bisa
ia isi dengan segala hal yang ia pelajari, ada kekosongan yang hanya bisa diisi
oleh seseorang yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.
"Yculia..." bisik Onram, nama itu keluar
begitu saja dari bibirnya. "Kenapa aku selalu kembali kepadamu?"
Malam itu, ia menulis sebuah puisi, untuk dirinya sendiri,
untuk Yculia, meskipun ia tahu bahwa kata-kata itu tak akan pernah bisa sampai
kepadanya. Puisi itu adalah sebuah pernyataan, sebuah pengakuan, sebuah doa
dalam diam, bahwa meskipun mereka kini berjalan di jalan yang berbeda, Yculia
tetap menjadi bagian dari perjalanan hidupnya, selamanya terukir dalam
kenangannya.
Musik dan tulisan, dua hal yang kini menjadi pelarian dan
juga penolongnya. Namun di dalam hatinya, Onram tahu bahwa ada satu hal yang
masih perlu ia temukan: "Apakah aku bisa benar-benar melepaskan masa
lalu, atau akankah aku terus terikat pada kenangan itu, meskipun waktu telah
berlalu?"
Ia belum tahu jawaban pasti, namun satu hal yang ia yakini:
hidup akan terus berjalan, dan ia harus bisa menemukan cara untuk tetap
melangkah, meski dalam kesendirian yang tak mudah diterima.
Yculia Bertumbuh di Kota Baru
Kota baru itu tak sehangat kenangan, tapi cukup ramah untuk
memberinya ruang bernapas. Gedung-gedung tinggi menjulang seakan mengawasi tiap
langkahnya, namun Yculia belajar untuk tak gentar. Ia bekerja di sebuah kafe
mungil di sudut jalan, tempat wangi kopi dan senyum pelanggan membalut
keseharian yang dulu penuh sunyi. Di sana, ia bertemu orang-orang dengan cerita
mereka masing-masing, dan perlahan, kota itu menjadi sahabat yang tak banyak
bertanya—hanya menyediakan pelukan dalam bentuk langit senja dan trotoar
panjang yang tak pernah bosan menemaninya pulang.
"Aku suka kota ini," bisiknya suatu sore pada
temannya, Amira, saat mereka duduk di teras kafe selepas tutup. "Tapi
entah kenapa, aku masih sering merasa seperti sedang mencari sesuatu yang
tertinggal."
Amira menatapnya, lalu berkata pelan, "Mungkin bukan
sesuatu. Mungkin seseorang."
Yculia tak menjawab. Ia hanya tersenyum getir, membiarkan
angin malam menyusup ke dalam perasaannya yang kembali terusik.
Malam adalah waktu yang paling sunyi. Ketika lampu-lampu
kota menyala dan tawa-tawa orang lain mengisi kafe-kafe di sepanjang jalan,
Yculia memilih diam di kamar kecilnya. Ia menyibukkan diri dengan jurnal-jurnal
yang tak pernah selesai, puisi-puisi yang ditulis setengah hati, dan layar
ponsel yang kadang menampilkan kenangan dalam bentuk foto-foto lama.
Dalam salah satu malam itu, ia membuka akun anonimnya dan
mulai menulis:
"Aku bertumbuh, tapi hatiku tetap menoleh ke belakang.
Pada seseorang yang mengerti bahasa luka tanpa aku perlu berbicara. Apakah kamu
juga merasakannya, Onram?"
Seketika matanya memanas. Nama itu—nama yang masih tinggal
begitu dalam di nadinya—menyulut perih yang sudah lama ia tekan.
Ia mengusap air mata yang tumpah tanpa permisi, lalu berbisik pada dirinya
sendiri.
"Aku sudah pergi. Tapi kenapa sebagian hatiku masih
tinggal bersamanya?"
Malam-malam seperti ini selalu memaksanya jujur. Bahwa di
balik semua kemandirian dan senyuman yang ia tunjukkan pada dunia, ada bagian
yang masih menyimpan Onram seperti sebuah lagu lama yang tak pernah bisa ia
hapus dari daftar putar hidupnya.
Suatu malam, ia berdiri di balkon kamarnya, memandangi
bintang-bintang yang menggantung di langit kota asing itu. Tangannya
menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin, matanya sembab setelah menulis
panjang di jurnal pribadinya. Dan untuk pertama kalinya sejak ia meninggalkan
kota lama, ia berkata dalam hati, bukan dengan getir, tapi dengan lembut,
"Aku belum sembuh... tapi aku sedang berusaha. Dan
mungkin itu cukup untuk malam ini."
Perjalanannya masih panjang. Tapi kini, Yculia tahu:
bertumbuh tak selalu berarti melupakan. Kadang, itu berarti berdamai dengan
kenangan—dan mengizinkan hati untuk tetap merasa, meski sakit itu belum juga
reda.
Langit malam menggantung kelabu di atas kota baru yang masih
terasa asing bagi Yculia, meski hari-hari terus berjalan. Lampu-lampu jalan
menyala seperti bintang yang turun ke bumi, tapi tak satu pun memberi
kehangatan seperti yang dulu ia temukan dalam tatap mata seseorang yang kini
hanya tinggal dalam ingatan.
Di kamarnya yang sempit namun rapi, Yculia duduk bersandar
di tepi ranjang, jari-jarinya ragu menyentuh layar ponsel. Ada kegelisahan yang
sulit ia uraikan. Tentang pekerjaan yang menuntut, tentang kehidupan yang
kadang terasa seperti panggung yang terlalu ramai namun ia tetap merasa
sendiri.
Dan malam itu, seperti banyak malam lainnya, ia kembali
membuka akun anonim yang selama ini menjadi satu-satunya ruang aman untuk
meluapkan isi hati. Ia menulis, dengan jujur dan tanpa penahan:
"Aku bertanya-tanya, apakah langkahku ini benar? Apakah
aku sedang menuju sesuatu yang lebih baik, atau hanya menjauh dari satu-satunya
tempat yang bisa kusebut pulang? Kadang aku ingin kembali… bukan ke kota, tapi
ke hati yang pernah membuatku merasa utuh."
Ia mengirim pesan itu, lalu menatap layar dalam hening,
tanpa harapan akan ada balasan. Tapi hanya dalam hitungan menit, sebuah balasan
muncul. Nama pengirimnya tidak tertera, hanya sebuah huruf yang sudah sangat ia
kenali.
"Yculia… aku tahu kita jauh. Tapi aku ingin kamu tahu
aku selalu ada, meski jarak memisahkan kita."
Mata Yculia memburam seketika. Jemarinya gemetar. Kalimat
itu… sederhana, tapi terasa seperti pelukan yang datang dari masa lalu—hangat,
menenangkan, dan menyakitkan dalam waktu yang sama.
Ia membalas pelan, seolah takut mengusik perasaan yang mulai
tumbuh kembali.
"Kenapa kamu masih menungguku?"
Balasan itu tak lama datang.
"Karena kau tak pernah benar-benar pergi dari
hidupku."
Air mata Yculia jatuh begitu saja, tanpa perlawanan. Hati
yang selama ini ia kunci rapat-rapat, malam itu mulai terbuka kembali,
menyisakan ruang bagi kenangan dan harapan yang tak pernah benar-benar padam.
Percakapan mereka pun mengalir, seperti sungai yang akhirnya
menemukan jalannya kembali ke laut.
Mereka bicara tentang pekerjaan, tentang kesepian yang
mereka lawan setiap hari, tentang malam-malam yang sunyi namun tetap dijalani.
Tentang impian, dan tentang luka yang perlahan mereka pelajari untuk dipahami,
bukan dilupakan.
"Aku belajar menjadi kuat tanpamu, tapi itu tidak
berarti aku tidak merindukanmu."
– tulis Yculia.
"Aku belajar melepaskanmu, tapi itu tidak berarti aku
berhenti mencintaimu."
– balas Onram.
Dan di balik layar ponsel yang dingin, dua hati yang pernah
hancur kini saling menguatkan kembali, meski mereka tak tahu apakah takdir akan
membawa mereka bersatu, atau hanya memberi mereka ruang untuk saling
menyembuhkan dari kejauhan.
Namun malam itu, mereka tahu satu hal yang pasti: rasa
yang tulus tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu waktu yang tepat
untuk bicara kembali.
Hari-hari berlalu seperti lembaran-lembaran jurnal yang
ditulis setengah sadar—tak selalu jelas arah tujuannya, tapi tetap bergerak
maju. Di antara kesibukan mereka masing-masing, Onram dan Yculia perlahan
membangun kembali sesuatu yang dulu pernah runtuh: kejujuran tanpa topeng,
perasaan tanpa paksaan.
Mereka tidak berbicara setiap hari, namun saat pesan itu
datang, selalu terasa seolah waktu berhenti untuk memberi ruang bagi dua hati
yang masih mencari pulangnya.
Suatu malam, saat angin membawa hawa dingin dari jendela
kamar, Yculia menulis:
"Kadang aku iri melihat orang-orang yang begitu
mudah merasa bahagia. Aku di sini… sendiri, mencoba menjadi kuat, mandiri, dan
bebas. Tapi kenapa rasanya kosong, Onram? Kenapa aku masih merasa seperti ada
bagian diriku yang tertinggal?"
Pesan itu menggantung dalam diam, seperti nada minor dalam
lagu yang belum selesai.
Onram membaca perlahan, seperti menelusuri setiap luka yang
tersembunyi di balik kata-kata. Ia membalas dengan kalimat yang datang dari
lubuk hati yang juga belum pulih seutuhnya.
"Karena mungkin… bagian itu masih bersamaku. Sama
seperti sebagian dari diriku yang tertinggal di tempat kita dulu sering
berjalan berdua."
Yculia menatap layar ponselnya lama, membiarkan air matanya
jatuh satu demi satu. Bukan karena sedih, tapi karena kejujuran yang ia terima
terasa seperti pelukan yang sangat ia rindukan.
Ia membalas:
"Kamu tahu… kadang aku bertanya-tanya apakah
keputusan untuk pergi adalah bentuk keberanian, atau justru bentuk pelarian.
Aku mencoba mengejar hidup yang kupikir layak untukku. Tapi ternyata, semua ini
juga butuh lebih dari sekadar keberanian—ia butuh hati yang tenang. Dan hatiku
belum sampai ke sana."
Balasan Onram datang beberapa menit kemudian, tapi setiap
katanya terasa dalam.
"Aku pikir aku sudah belajar melepaskanmu, Yculia.
Tapi ternyata, hatiku tetap mencarimu dalam setiap melodi yang kutulis, dalam
setiap ruang kelas yang kosong setelah murid-murid pulang, dalam setiap sore
yang hening… Aku menyanyikan hidupku, tapi nadanya masih kamu."
Keheningan menyelimuti mereka, hanya terpecah oleh detak
jantung dan napas yang tak bisa saling didengar.
"Kalau begitu, kenapa kita tidak kembali saja?"
tulis Yculia perlahan.
Onram membaca kata-kata itu berkali-kali, sebelum akhirnya
membalas:
"Karena kita masih belajar berdiri. Tapi mungkin…
suatu saat, saat kita sudah bisa berjalan tanpa saling menyandarkan luka, kita
bisa berjalan berdampingan. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk
mencipta masa depan yang lebih bijak."
Dan malam itu, mereka tidak menuntaskan percakapan dengan
kesimpulan yang pasti. Tidak ada janji, tidak ada rencana. Tapi di antara
layar-layar ponsel dan jarak yang membentang, dua jiwa merasa sedikit lebih
utuh—karena akhirnya, mereka bisa berbicara tanpa saling menyakiti… dan saling
memahami tanpa harus memiliki.
Pertemuan yang Tak Terduga
Fragmen yang Kembali Bertaut
Beberapa bulan telah berlalu sejak pesan-pesan sunyi itu
mulai membangun jembatan di antara dua jiwa yang sempat tersesat dalam arah
masing-masing. Dunia tak pernah benar-benar kecil ketika dua hati masih saling
mengingat.
Suatu hari yang biasa namun terasa ganjil di dadanya, Yculia
tiba kembali di kota asal—tempat yang pernah ia tinggalkan dalam badai ragu,
kini menyambutnya dalam diam yang tenang. Kota itu tampak berbeda, namun aroma
kenangan masih menggantung di udara.
Ia datang untuk urusan pekerjaan, tapi ada sesuatu yang
bergetar lembut di hatinya ketika ia tahu: Onram juga di sini.
Dan saat ia mengetik pesan itu, jemarinya sedikit gemetar:
"Aku di kota. Untuk beberapa hari. Jika kamu
bersedia, mungkin kita bisa bertemu?"
Tak butuh waktu lama, balasan datang:
"Ada satu tempat yang rasanya belum benar-benar
selesai untuk kita… kafe di ujung jalan Taman Meranti. Kau ingat?"
Tentu ia ingat. Itu tempat di mana mereka dulu berbincang
setelah bertahun-tahun tidak bersua—tempat di mana diam mereka lebih jujur
daripada kata-kata.
Sore itu, langit seperti menggantungkan harapan dalam bias
cahaya keemasan. Yculia melangkah pelan ke dalam kafe. Aroma kopi, kayu tua,
dan musik jazz lembut mengisi ruang, menyambutnya seperti pelukan masa lalu
yang tak pernah usang.
Di pojok ruangan, Onram sudah duduk. Pandangannya menyapu
meja, seolah tengah mencari sesuatu—atau seseorang—yang tak pernah ia
benar-benar lupakan.
Yculia menghampiri dengan langkah yang hati-hati. Ketika
mata mereka bertemu, waktu seakan menguap.
"Yculia..." suara Onram nyaris seperti bisikan.
"Hai," jawabnya pelan, duduk perlahan di hadapan
pria yang wajahnya masih menyimpan sisa-sisa luka dan cinta yang dulu pernah
mereka bagi.
Keheningan menyapa mereka lebih dulu, seperti teman lama
yang tak ingin terburu-buru.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," Yculia
membuka suara.
"Tak perlu mulai dari apa pun," Onram menatapnya,
lembut. "Cukup duduk di sini bersamamu… rasanya sudah cukup untuk
sekarang."
Mereka berbicara. Tentang pekerjaan. Tentang mimpi-mimpi.
Tentang malam-malam panjang yang pernah mereka lewati sendiri. Tentang kesepian
yang diam-diam menjadi teman paling setia.
"Aku pikir aku sudah sembuh," kata Yculia, menatap
cangkir kopinya. "Tapi ternyata, luka bukan untuk dihapus. Ia tinggal,
tapi tak lagi menyakitkan. Hanya... mengingatkan."
"Aku pun begitu," jawab Onram. "Kupikir aku
telah melepasmu sepenuhnya. Tapi ketika musikku mulai tenang, ketika malam
menjadi sunyi, hatiku masih mencarimu… bukan untuk memilikimu kembali, tapi
sekadar memastikan kamu baik-baik saja."
Air mata Yculia jatuh pelan. Ia tersenyum dalam getir.
"Terima kasih, Onram. Untuk pernah mencintaiku sedalam
itu… dan untuk tak memaksaku kembali."
Onram menggenggam tangannya, sejenak. Tak erat, tak memaksa,
hanya menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
"Mungkin kita tak ditakdirkan untuk berjalan bersama
selamanya," katanya. "Tapi aku yakin, di titik ini… kita sudah lebih
kuat. Dan apapun bentuk hubungan ini nantinya—kenangan, sahabat, atau hanya
sekadar 'pernah ada'—aku akan tetap bersyukur pernah mengenalmu."
Kali ini, Yculia tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata
sejenak, mengizinkan air matanya mengalir tanpa malu.
Dan sore itu, di sudut kafe tempat sejarah mereka pertama
kali dimulai kembali, dua hati akhirnya berdamai—bukan dengan masa lalu, tapi
dengan kenyataan bahwa cinta sejati tidak selalu harus berakhir dengan
kebersamaan. Kadang, ia cukup hidup dalam diam yang saling mengerti.
Kafe kecil itu masih seperti dulu. Lampu kuning temaram,
aroma kopi yang menguar pelan, dan musik latar yang nyaris tak terdengar—seolah
waktu sengaja memperlambat langkahnya untuk memberi ruang pada dua jiwa yang
lama terpisah.
Onram, mengenakan kemeja biru tua yang rapi, meski kedua
tangannya tampak sibuk memainkan ujung lengan baju—sebuah kebiasaan lamanya
saat gugup.
Yculia matanya menyapu ruangan, lalu berhenti tepat di titik
yang paling ia takutkan sekaligus rindukan: tatapan mata Onram.
Sekejap mereka saling memandang. Tak ada kata. Tapi ada
gemuruh di dada, ada gema luka yang belum sepenuhnya sembuh, dan ada kerinduan
yang nyaris menyeruak keluar bersama napas pertama yang tertahan.
Yculia tersenyum tipis.
Onram dengan suara yang lebih serak dari biasanya. “Kau
masih suka teh chamomile?”
Ia mengangguk sambil duduk. “Dan kamu masih terlalu tepat
mengingat hal-hal kecil.”
Mereka tertawa kecil. Canggung, gugup, namun hangat—seperti
dua orang asing yang saling mengingat masa lalunya dalam diam.
“Jadi,” Yculia memulai, “kamu terlihat... lebih damai.”
“Tidak sepenuhnya,” Onram menatap meja, lalu mengangkat
pandangannya perlahan. “Tapi aku sedang belajar. Kamu juga... terlihat lebih
kuat.”
“Kadang kuat itu cuma topeng, Ram,” bisik Yculia. “Tiap
malam aku masih berbicara pada bayanganmu... dalam tulisan-tulisanku yang tak
pernah kau baca.”
“Dan aku mendengarmu,” ucap Onram lirih. “Di antara setiap
lembar buku yang kutulis, atau nada gitar yang kulepaskan tengah malam.”
Keheningan menyusup di antara mereka. Tapi kali ini bukan
karena ketidaknyamanan. Justru, ada ketenangan dalam diam yang seolah berkata: Aku
masih di sini. Meski tak lagi bersamamu, aku tak pernah pergi jauh.
Yculia menatap keluar jendela. “Aku pikir pertemuan ini akan
membuat segalanya kacau. Tapi ternyata, aku hanya rindu... untuk tidak harus
berpura-pura.”
“Aku juga,” jawab Onram pelan. “Rindu melihatmu tanpa harus
menebak-nebak perasaanmu lewat kata-kata yang tak pernah terkirim.”
Ia menarik napas dalam. “Ram... kau tahu? Aku tidak menyesal
pergi. Tapi aku juga tidak pernah benar-benar melepaskanmu.”
Onram menunduk. Sekilas ia menahan air mata. Tapi saat ia
berbicara, suaranya tenang dan jujur.
“Dan aku tidak pernah marah kau memilih jalanmu sendiri.
Karena dalam proses kehilanganmu... aku justru menemukan diriku yang hilang.”
Tangan mereka tak bersentuhan. Tapi mata mereka saling
menggenggam erat. Di antara ruang kosong yang tak terisi, mereka berbagi
kehangatan yang tak membutuhkan pelukan.
“Jadi... ini pertemuan atau perpisahan?” tanya Yculia dengan
senyum pahit.
“Ini...” Onram menatapnya dalam. “...adalah babak baru.
Bukan tentang kembali atau pergi. Tapi tentang menerima bahwa kita pernah
saling mencintai, dan cinta itu... tak selalu harus dimiliki.”
Mata Yculia berkaca-kaca, tapi ia mengangguk. “Dan itu
cukup.”
Saat mereka beranjak dari meja masing-masing, tak ada janji.
Tak ada ‘sampai jumpa’ atau ‘aku akan menunggumu.’ Hanya tatapan terakhir yang
menyampaikan ribuan kata yang tak sempat diucapkan.
Di balik semua itu, mereka tahu—cinta yang dewasa bukan
tentang memiliki. Tapi tentang mengizinkan seseorang tumbuh... meski jauh dari
pelukan kita.
Kenangan yang Kembali Bernyawa
Malam semakin larut, dan lampu-lampu kota menyala seperti
bintang-bintang yang jatuh ke bumi, menyinari kafe kecil tempat dua hati pernah
saling berdiam dan kini saling bicara kembali. Di antara aroma kopi yang menua
dan denting gelas yang beradu pelan, mereka duduk berhadapan—dua jiwa yang
pernah saling menggenggam, lalu melepas tanpa pernah benar-benar melupakan.
Yculia menatap cangkir di hadapannya, jari-jarinya menyusuri
uap hangat yang membumbung perlahan. Suaranya akhirnya pecah dalam lirih yang
nyaris seperti gumaman.
“Masih ingat saat kita tersesat di pinggiran kota, hanya
karena kita terlalu sibuk bercanda dan lupa arah pulang?” Ia tersenyum samar,
getir. “Waktu itu hujan, dan kita malah tertawa seperti anak-anak.”
Onram mengangguk pelan. “Kau basah kuyup, dan bilang, ‘kalau
hujan ini bisa mencuci semua luka, biarkan aku berdiri di bawahnya selamanya.’”
Ia terdiam sejenak. “Dan aku hanya bisa menatapmu, tanpa tahu bagaimana cara
menyembuhkan hatimu.”
Keheningan menyusup di sela napas mereka. Tapi kali ini,
bukan karena tak tahu harus berkata apa, melainkan karena keduanya sedang
kembali menelusuri jejak waktu di dalam pikiran masing-masing.
Yculia mengangkat wajahnya, dan di balik mata yang tampak
lebih dewasa, masih ada jejak luka yang belum benar-benar sembuh.
“Aku pergi, Ram. Bukan karena aku ingin melupakanmu... Tapi
karena aku ingin menemukan diriku sendiri, yang perlahan hilang dalam semua
kebisingan itu.”
Onram menatapnya. Pandangannya lembut, namun tajam seperti
langit yang menyimpan badai.
“Aku tahu. Dan meski aku tidak mengerti saat itu, kini aku
mengerti... bahwa cinta yang benar bukan soal menahanmu tetap tinggal, tapi
mengizinkanmu terbang setinggi yang kamu butuhkan.”
Yculia menahan napas, matanya mulai berkaca-kaca.
“Tapi tahu tidak?” katanya, suara mulai bergetar. “Sepanjang
kepergianku... ada ruang kosong yang tak pernah bisa diisi siapa pun. Bukan
karena aku tidak mencoba, tapi karena bagian itu... adalah milikmu.”
Onram tersenyum, tapi bibirnya gemetar. Ia menggenggam
cangkir dengan tangan yang sedikit bergetar.
“Dan aku menyimpan semua kenangan itu di tempat yang paling
sunyi di dalam diriku. Bukan untuk menahannya, tapi agar aku selalu ingat...
bahwa aku pernah mencintaimu dengan seluruh jiwaku.”
Hening lagi. Tapi hening yang menyelubungi mereka kini
adalah hening yang menyembuhkan. Bukan tentang kembali, bukan juga tentang
melanjutkan. Tapi tentang saling mengakui bahwa cinta mereka pernah hidup,
besar, dan tak pernah benar-benar mati.
Yculia menarik napas dalam-dalam. “Terima kasih, Ram. Bukan
hanya karena pernah mencintaiku... tapi karena kamu pernah jadi rumah, bahkan
saat aku memilih untuk pergi.”
Onram mengangguk, suaranya nyaris tak terdengar. “Dan
kamu... adalah musim yang paling indah, meski tak pernah tinggal selamanya.”
Penutup Bab 6 — Dalam Keheningan yang Menyembuhkan
Langkah mereka menyusuri trotoar malam seperti melodi pelan
yang mengiringi hati yang baru saja saling menemukan benang-benang halus yang
pernah kusut. Udara dingin mengelus pipi, namun tidak membuat mereka
menggigil—karena dalam keheningan itu, ada kehangatan yang tak butuh kata-kata.
Lampu-lampu jalan menebar cahaya temaram, memantulkan
bayang-bayang mereka di aspal yang basah. Onram berjalan di sisi kanan, Yculia
di sisi kiri. Tak ada jarak, tapi juga tak ada genggaman. Hanya kehadiran...
yang cukup.
Yculia membuka suara, lirih seperti bisikan angin yang
melewati dedaunan.
“Pernah nggak, kamu merasa... kita terlalu banyak diam, tapi
justru dari diam itu kita paling mengerti?”
Onram menoleh padanya, bibirnya melengkung kecil.
“Ya. Karena kadang, hal-hal paling dalam... tidak perlu
diucapkan untuk bisa dirasakan.”
Yculia mengangguk, senyumnya rapuh tapi jujur. “Aku lega
bisa bicara sama kamu, Ram. Bukan untuk kembali... tapi untuk mengerti.”
Onram menghela napas pelan, matanya menatap langit malam
yang kosong namun luas.
“Dan aku bersyukur kamu datang malam ini. Karena aku tahu,
ada luka yang tak bisa sembuh sendirian... tapi bisa reda saat dikenang
bersama.”
Langkah mereka melambat saat mendekati persimpangan. Tak ada
janji, tak ada kata perpisahan besar—hanya tatapan yang mengandung ribuan rasa
yang tak pernah sempat selesai dikisahkan.
Malam itu, mereka berpisah arah. Tapi tak lagi dengan duka
yang menyesakkan, melainkan dengan kelegaan yang tak terucap—seperti akhir dari
lagu yang panjang dan penuh ketegangan, namun ditutup dengan nada yang lembut
dan penuh penerimaan.
“Mereka tahu bahwa meskipun banyak hal yang telah
berubah, ada satu hal yang tetap tak tergoyahkan: hubungan mereka, yang
terjalin dalam keheningan, telah mengajarkan mereka untuk saling memahami lebih
dalam.”
Pilihannya Ada di Tangan Kita
🌙
Perasaan yang Semakin Mendalam
Waktu berlalu, namun ada hal-hal yang tak bisa ditinggalkan
begitu saja oleh waktu. Seperti embun yang tetap setia turun meski malam selalu
berakhir, begitu pula Onram dan Yculia yang kembali merajut percakapan dalam
diam layar dan kata-kata yang diketik dengan hati-hati.
Mereka berbicara hampir setiap malam, di sela-sela pekerjaan
dan kesibukan yang memisahkan kota dan waktu. Namun, dalam tiap pesan yang
dikirim, ada denyut yang tak kasatmata—getar hati yang perlahan kembali hidup,
meski tanpa janji atau kepastian.
Suatu malam, setelah percakapan panjang tentang kehidupan,
cuaca, dan buku-buku yang mereka baca, Yculia mengirim pesan yang membuat Onram
terdiam lebih lama dari biasanya.
"Ram... kadang aku berpikir, apakah kita memang
harus berpisah dulu, agar bisa bicara sedalam ini sekarang? Aku merasa...
seperti bisa mengenalmu ulang, tapi dari sisi yang lebih jujur."
Onram membaca pesan itu berulang kali. Lalu ia mengetik
dengan pelan, seolah memilih kata-kata seperti merangkai bunga yang akan
diletakkan di makam kenangan.
"Mungkin memang begitu, Cul. Mungkin luka-luka yang
dulu memisahkan kita, sedang mengajari kita cara mencintai dengan lebih tenang.
Lebih matang. Lebih ikhlas."
Beberapa menit hening berlalu. Lalu balasan itu datang,
singkat, tapi berat:
"Tapi bagaimana kalau perasaanku tumbuh lagi, Ram?
Aku takut... aku jatuh, dan kehilangan kamu lagi."
Onram menarik napas panjang. Hatinya berdegup—bukan karena
takut, tapi karena ia pun menyimpan kecemasan yang sama.
"Aku tidak pernah benar-benar pergi, Cul. Meskipun
kita memilih jalan masing-masing, kamu selalu tinggal di satu sudut yang tidak
bisa kugantikan."
Di balik layar ponselnya, Yculia tersenyum sendu. Matanya
memanas, bukan karena sedih, tapi karena rasa rindu yang perlahan berubah
menjadi keberanian untuk merasakan lagi.
"Jadi… apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kita jalani saja. Tanpa terburu-buru. Tanpa
menuntut arah. Tapi dengan jujur… dan dengan hati yang tidak lagi saling
menyakiti."
Dan malam itu, meski tak ada keputusan besar yang dibuat,
keduanya merasa lebih dekat dari sebelumnya. Perasaan itu tak lagi datang dari
kerinduan masa lalu, tapi dari kedewasaan yang tumbuh setelah banyak
kehilangan, dan dari keberanian untuk mencintai kembali, meski dengan cara yang
baru.
Kembali ke Masa Lalu
Sore itu, langit memudar ke warna senja yang temaram. Di
sebuah kedai kecil yang dipenuhi aroma kopi dan debur lembut musik
instrumental, Onram duduk berhadapan dengan sahabat lamanya, Raka. Gelas kopi
yang sudah dingin dibiarkan begitu saja, karena perbincangan mereka perlahan
berubah menjadi cermin dari masa lalu.
“Aku lihat kamu makin sibuk, Ram,” ucap Raka, menatap
sahabatnya yang kini tak lagi terlihat seceroboh dulu.
Onram tersenyum tipis, tapi matanya tidak ikut tersenyum.
“Ya… sibuk itu kadang menyelamatkan kita dari pikiran yang terlalu sering
datang tanpa diundang.”
Raka menaikkan alis. “Yculia?”
Onram tertawa kecil, bukan karena lucu. Lebih seperti
melepas sesuatu yang menyesakkan.
“Lucu ya… Sudah sejauh ini aku melangkah. Sudah sekian
banyak hal kulalui. Tapi perasaan itu… tetap diam di sana. Tidak bergerak,
tidak pergi. Seperti buku yang belum selesai kubaca, tapi juga tak sanggup
kututup.”
Raka menatapnya lama, lalu berkata dengan lembut, “Mungkin
itu karena hatimu tahu, belum ada yang bisa menggantikan halaman-halaman yang
kalian tulis bersama.”
Onram terdiam. Angin sore mengelus pipinya perlahan, seakan
ikut menyentuh luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
“Aku mencoba, Rak. Sungguh. Aku mencoba menjalani hidup
dengan baik. Aku belajar, aku mengajar, aku menulis… tapi setiap kali aku
merasa berhasil, ada ruang kosong yang entah kenapa tetap hampa. Dan ruang itu…
hanya punya satu nama.”
“Yculia,” ujar Raka, pelan.
Onram mengangguk perlahan. “Aku kira waktu akan membuatku
lupa. Tapi ternyata waktu hanya mengajarkan caraku untuk bertahan… tanpa pernah
benar-benar menghapusnya.”
Ada keheningan yang menggantung di antara mereka. Hening
yang tak memerlukan jawaban, karena semua yang perlu dikatakan sudah tertulis
jelas di raut wajah Onram.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Onram mengaku
pada dirinya sendiri:
bahwa di balik semua pertumbuhan dan keberhasilannya,
ia tetap seorang lelaki yang diam-diam menunggu,
bukan akan kembalinya seseorang,
melainkan akan keberanian untuk mencintai lagi—dari hati yang belum pernah
sepenuhnya pergi.
Yculia dan Kebingungannya
Di malam yang sunyi, ketika lampu-lampu kota hanya menjadi
cahaya kabur dari jendela apartemen kecilnya, Yculia duduk di lantai kayu
sambil memeluk lututnya. Secangkir teh yang sudah dingin dibiarkan utuh di meja
kecil. Musik instrumental mengalun pelan, namun hatinya justru riuh—dipenuhi
suara-suara yang tak bisa ia redam.
Ia memandang layar ponsel. Di sana, obrolan terakhirnya
dengan Onram masih terbuka. Pesan-pesan yang sederhana, hangat, tapi juga
menyisakan banyak tanda tanya.
"Apakah perasaan ini masih nyata, atau hanya gema
dari yang dulu pernah ada?" bisik hatinya.
Yculia menulis di jurnal yang selalu menemaninya, tinta
penanya bergetar, seakan tak mampu menyusul derasnya pikirannya:
"Aku mencintainya. Atau mungkin aku mencintai kenangan
tentang kami. Tapi mengapa setiap kali aku tertawa bersama orang lain, ada
bagian dari diriku yang merasa bersalah? Seolah aku meninggalkan sesuatu yang
belum tuntas."
Di hari-hari sibuknya sebagai barista dan penulis lepas,
Yculia tampak tangguh. Ia tertawa bersama rekan kerja, mengobrol dengan
pelanggan, dan menulis puisi di sela waktu luang. Tapi di malam hari, ia
menjadi gadis kecil yang kebingungan di persimpangan.
Malam itu, saat berbincang dengan sahabat barunya, Vina, ia
tak bisa menahan gejolak hatinya.
"Aku merasa… kosong," ucap Yculia lirih.
Vina menatapnya, bingung. "Padahal kamu terlihat
bahagia belakangan ini."
"Aku memang bahagia. Tapi tidak utuh," Yculia
menarik napas dalam. "Aku pikir dengan pergi, aku bisa sembuh. Aku bisa
tumbuh. Dan aku memang tumbuh, Vi. Tapi aku juga kehilangan bagian dari
diriku."
"Onram?"
Yculia menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
"Aku takut," bisiknya. "Takut kalau aku
kembali, semua akan sama. Tapi aku lebih takut lagi… kalau aku terus berjalan
ke depan, dan kehilangan satu-satunya orang yang pernah membuatku merasa
pulang."
Vina menggenggam tangannya. “Mungkin jawabannya bukan
tentang memilih tinggal atau pergi. Tapi tentang siapa yang membuatmu merasa
tetap jadi dirimu—apa pun pilihanmu.”
Yculia menatap langit dari balik jendela. Bintang-bintang di
atas sana diam, tapi mereka selalu hadir. Sama seperti Onram. Ia tak lagi
berada di sisinya, tapi entah mengapa, tak pernah benar-benar hilang dari
hatinya.
Keputusan yang Sulit
Yculia duduk di meja kecil apartemennya, matanya terfokus
pada email yang baru saja diterimanya. Tawaran pekerjaan itu mengundang
berbagai perasaan: kebanggaan, kecemasan, dan keraguan yang datang bersamaan.
Mungkin ini adalah impian yang telah ia kejar bertahun-tahun, kesempatan yang
tak mungkin ia lewatkan begitu saja. Tapi, dalam hati, ada satu pertanyaan yang
terus berulang: Apakah aku siap untuk meninggalkan semuanya—termasuk Onram?
Tawaran pekerjaan itu terletak di atas meja, seolah
mengintimidasi, menunggu jawaban. Keputusan itu begitu besar, sebanding dengan
perubahan yang akan datang. Di satu sisi, Yculia tahu bahwa ini adalah jalannya
untuk berkembang, untuk memperluas dunianya, tetapi di sisi lain, ia juga sadar
bahwa ini berarti semakin jauh dari Onram. Jarak yang semakin melebar antara
mereka.
Malam itu, Yculia membuka aplikasi pesan di ponselnya dan
mulai mengetik. Ia tahu bahwa, seperti sebelumnya, ia perlu berbicara dengan
Onram. Namun, kata-kata tak pernah semudah itu untuk diungkapkan.
“Onram...
Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Aku baru saja mendapatkan tawaran
pekerjaan di luar negeri. Ini adalah kesempatan yang aku impikan, tapi... aku
juga merasa cemas, takut ini akan semakin membuat kita jauh. Aku tak ingin
membuat keputusan yang salah, dan aku tahu kamu pasti merasakannya juga. Aku
hanya ingin kamu tahu, aku mencintaimu—dan ini bukan keputusan yang mudah.”
Pesan itu terabaikan cukup lama sebelum ia mengirimkannya.
Setelah beberapa detik yang terasa lama, layar ponselnya bergetar. Onram
membalas.
"Yculia, aku tahu betapa besar kesempatan ini bagi
kamu. Aku tahu ini adalah bagian dari impianmu. Jika aku bisa, aku ingin
berkata 'jangan pergi'. Tapi aku juga tahu, kamu harus mengejar apa yang
membuatmu hidup. Meskipun hatiku berat, aku ingin kamu bahagia."
Yculia merasa ada sesuatu yang menyentuh di dalam dirinya
saat membaca kata-kata itu. Onram tidak pernah menahan impiannya, bahkan jika
itu berarti melepaskan sesuatu yang berharga.
Namun, meskipun ia mencoba memberi ruang, hatinya masih
penuh dengan keraguan. Yculia menutup matanya sejenak, merenung.
Ketika mereka bertemu beberapa waktu lalu, ada begitu banyak
yang terpendam di antara mereka. Tawa dan obrolan ringan yang akhirnya berujung
pada pengakuan akan betapa dalamnya perasaan mereka, meskipun waktu dan jarak
telah menciptakan retakan. Lalu, apakah mereka siap untuk membiarkan kenyataan
mengubah arah hidup mereka selamanya?
Di sisi lain, Onram yang sudah membaca pesan Yculia itu,
duduk diam di kamarnya. Ada angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela, namun
hatinya tetap terasa terjebak dalam ketidakpastian. Dia tahu, seperti yang
Yculia katakan, bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Tapi apa
artinya impian-impian itu jika mereka terpisah lebih jauh lagi?
“Aku ingin mendukungmu, Yculia,” pikir Onram, “Tapi
apakah aku siap untuk kehilanganmu?”
Tapi dia tahu, kadang-kadang mencintai seseorang berarti
memberi mereka kebebasan untuk memilih jalan mereka sendiri—meski hati teriris.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Onram mengetikkan balasan yang penuh dengan
keikhlasan.
"Aku tak bisa memaksamu tinggal. Aku tahu ini adalah
kesempatan besar untukmu. Apa pun yang kamu pilih, aku akan selalu mendukungmu.
Hanya saja... aku takut, jika kita memilih jalan yang berbeda, kita takkan
pernah kembali lagi."
Keduanya tahu bahwa ini adalah titik di mana segalanya bisa
berubah—tidak hanya untuk hubungan mereka, tetapi untuk masa depan yang mereka
impikan. Semua yang telah terjadi, semua kenangan yang mengikat mereka, tiba
pada saat yang menentukan.
Apakah mereka akan berjalan beriringan, meski berjarak jauh?
Atau akankah mereka berpisah untuk mengejar impian masing-masing, dengan
kenangan yang akan tetap membekas selamanya?
Pertemuan yang Menentukan
Langit sore menggantung lembut di atas taman kecil yang dulu
menjadi saksi tawa dan diam mereka—tempat di mana semesta seolah pernah memberi
ruang bagi dua hati yang tak pernah bisa benar-benar saling menjauh.
Yculia tiba lebih dulu. Ia duduk di bangku kayu yang mulai
tampak tua, dikelilingi aroma bunga kamboja dan desir angin yang menyusup
lembut ke dalam napasnya. Jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan, seolah
berusaha menahan gugup yang menari-nari di dadanya.
Tak lama kemudian, Onram datang, berjalan pelan dengan
langkah hati-hati. Begitu mata mereka bertemu, tak ada sapaan panjang—hanya
tatapan yang dalam, yang seakan memuat segala pertanyaan yang selama ini tak
terucap.
“Sudah lama kita tidak ke sini,” kata Onram pelan, duduk di
sampingnya.
“Iya,” Yculia menjawab, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Tempat ini... belum berubah. Tapi kita sudah.”
Keheningan singgah sejenak. Burung gereja berkicau di
kejauhan, dan waktu terasa melambat.
“Aku dapat tawaran itu, Ram,” kata Yculia akhirnya, menoleh
menatap matanya. “Negara yang jauh. Impian lama yang sekarang begitu nyata.
Tapi... entah kenapa aku merasa seperti harus memilih antara itu dan... kamu.”
Onram tersenyum, meski senyum itu dipenuhi getir yang dalam.
Ia menunduk, meremas jemarinya sebentar, lalu berkata lirih, “Aku tahu ini
impianmu, Yculia. Impian yang kamu bangun bahkan sebelum kita bertemu. Dan aku
tahu, mencintai seseorang itu... bukan tentang menahannya. Tapi tentang
melepaskannya tumbuh.”
“Tapi bagaimana kalau tumbuh berarti saling kehilangan?”
suara Yculia bergetar, dan matanya mulai berkaca-kaca. “Bagaimana kalau aku
pergi dan semua ini... semua yang kita bangun lagi... hancur begitu saja?”
Onram menatapnya lama. Ada luka di balik pandangnya, tapi
juga ada keteguhan yang penuh cinta.
“Mungkin... mungkin memang kita harus berjalan ke arah yang
berbeda dulu, untuk tahu apakah jalan kita akan saling bertemu lagi,” ucapnya,
lirih dan penuh perasaan. “Aku tidak akan berjanji kita akan tetap sama. Tapi
aku bisa janjikan satu hal, Yculia—apa pun yang terjadi, kamu akan tetap jadi
bagian dari hidupku yang paling berarti.”
Air mata Yculia jatuh perlahan, tak bisa lagi ia tahan.
“Ram... aku takut,” katanya, nyaris terisak. “Aku takut
kehilangan kamu. Tapi aku juga takut kehilangan diriku sendiri.”
Onram menarik napas panjang, lalu dengan lembut menggenggam
tangannya.
“Kalau kamu harus memilih, pilihlah dirimu sendiri dulu.
Karena aku ingin mencintaimu bukan karena kamu tinggal, tapi karena kamu
bahagia—di mana pun kamu berada.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Tapi kali ini, bukan
karena kata-kata tak ada—melainkan karena hati mereka bicara dengan cara yang
hanya bisa dimengerti oleh dua jiwa yang saling mencintai, meski tak tahu
apakah akan selalu bersama.
Dan ketika matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan,
mereka tahu: hari itu mungkin tidak memberi jawaban pasti, tapi setidaknya
mereka telah saling mengerti.
Pembicaraan yang Membuka Jalan
Senja mulai merayap di langit taman yang perlahan memudar
warnanya, menorehkan semburat keemasan yang mengiringi percakapan terakhir
mereka sebelum keputusan besar itu diambil. Angin sore mengusap lembut wajah
mereka, seolah turut menyimak, menyentuh luka-luka yang belum benar-benar
sembuh.
Yculia menatap langit yang memerah, seakan berharap
jawabannya terukir di antara awan-awan yang bergulir pelan. Suaranya pelan,
nyaris seperti bisikan, namun mengandung beban yang telah lama ia pikul
sendiri.
"Aku lelah terus berdiri di antara masa lalu dan
masa depan, Ram. Selama ini aku takut membuat pilihan, takut kehilangan... tapi
aku sadar, aku tidak bisa terus hidup dengan bayangan dan keraguan,"
katanya, matanya sembab namun penuh keteguhan.
Onram menatap wajah Yculia yang mulai dikuasai oleh air
mata, tapi dalam tatapannya tak ada kemarahan, hanya kasih yang begitu diam dan
dalam. Ia tahu, ini bukan tentang mereka yang gagal. Ini tentang seseorang yang
akhirnya memilih dirinya sendiri.
"Jadi... kamu akan pergi?" tanyanya
perlahan.
Yculia mengangguk pelan, lalu menarik napas panjang. "Iya.
Aku akan terima tawaran itu. Aku butuh tahu siapa aku tanpa semua yang pernah
aku gantungkan padamu. Aku ingin tahu... apakah aku bisa berdiri tegak,
sendiri, dan tidak lagi menyesali apa pun."
Keheningan kembali hadir, tapi kali ini tidak membeku.
Justru meluruhkan segala yang tak sempat diucapkan. Onram menggenggam
jemarinya—erat, namun lembut.
"Aku mengerti. Dan meski ini menyakitkan..."
Ia menelan air liur, suaranya nyaris bergetar. "...aku bangga padamu.
Jika dunia mengharuskan kita berjalan di jalan yang berbeda, aku harap suatu
hari kita bertemu lagi sebagai dua versi terbaik dari diri kita sendiri."
Yculia menutup matanya sejenak, menahan air mata yang tak
tertahankan lagi.
"Terima kasih karena pernah menjadi rumah, Ram.
Terima kasih karena tidak menahanku, justru melepaskanku untuk tumbuh. Itu
cinta yang paling murni yang pernah aku rasakan."
Mereka tidak berpelukan. Tidak juga berciuman. Mereka hanya
duduk di bangku yang sama, di bawah langit yang pelan-pelan menggelap,
membiarkan semua kata yang telah terucap meresap ke dalam jiwa masing-masing.
Mereka tahu, cinta tak selalu berarti memiliki.
Terkadang, cinta adalah ketika kamu merelakan seseorang mengejar cahayanya
sendiri, meski bayangannya tak lagi bersamamu.
Keputusan Terakhir
Matahari sore menyapu taman kota dengan cahaya keemasan yang
lembut, seakan mengerti bahwa hari itu adalah perpisahan yang tak biasa. Di
bangku kayu yang sudah usang oleh waktu, Onram dan Yculia duduk berdampingan,
diam di antara desir angin dan bayang-bayang kenangan yang belum usai.
Yculia membuka suaranya perlahan, seperti takut merusak
keheningan yang terlalu sakral untuk dijeda.
“Aku akan berangkat tiga hari lagi,” bisiknya, nyaris
seperti doa yang tak ingin didengar dunia. “Tapi aku ingin kamu tahu… Aku tidak
pernah benar-benar pergi darimu.”
Onram menatapnya, dalam diam yang dalam, seolah menyimpan
seluruh semesta dalam bola matanya. “Aku tahu,” jawabnya akhirnya. “Dan kamu
juga harus tahu... aku tak pernah menyesal bertemu denganmu, jatuh cinta
padamu, dan membiarkanmu pergi untuk menemukan dirimu.”
“Kita bisa tetap terhubung, kan?” tanya Yculia dengan suara
parau, setengah harap, setengah ragu.
Onram tersenyum, sendu. “Tentu. Karena aku percaya, meski
waktu dan jarak mungkin memisahkan tubuh kita, jiwa kita masih punya jalan
untuk saling menyapa.”
Dan pada senja yang tak biasa itu, mereka saling menggenggam
tangan—erat, seolah hendak membekukan detik terakhir yang tak ingin dibiarkan
pergi.
Penutup Bab
Malam sebelum keberangkatan, Yculia membereskan koper
terakhirnya sambil sesekali menatap ponselnya—menanti pesan dari Onram yang tak
kunjung datang. Tapi ia tahu, diam Onram malam itu bukan karena ragu, tapi
karena percaya.
Di tempat lain, Onram duduk di kamar sempitnya, memandang
langit dari jendela yang setengah terbuka. Ia membayangkan Yculia, berjalan di
bandara dengan langkah tegap dan mata yang mungkin berkaca, tapi hatinya sudah
bulat.
Mereka memilih bukan karena tidak saling mencintai, tapi
karena cinta itu sendiri yang mengajarkan keberanian untuk merelakan.
"Keputusan itu berat, namun terkadang langkah yang
harus diambil bukanlah untuk bersama, tetapi untuk membiarkan diri kita tumbuh
dengan cara yang kita inginkan."
Bab 8 — Masa Depan yang Baru
🧩 1. Kehidupan Baru
Onram
Langit pagi di kota kecil itu masih sama—biru pucat dengan
awan tipis yang mengambang perlahan. Namun bagi Onram, segalanya telah berubah.
Ia tidak lagi berjalan sambil menunggu bayangan seseorang muncul di tikungan
jalan atau berharap nama itu muncul di layar ponselnya. Kini, ia berjalan
lurus, menatap ke depan, meskipun terkadang angin masih membawa jejak kenangan.
Hari-harinya diisi dengan semangat baru. Dunia pendidikan,
yang dulu hanya sekadar pekerjaan, kini menjadi panggilan jiwa. Ia mengabdikan
dirinya untuk menjadi jembatan bagi anak-anak muda menemukan makna, seperti ia
dulu mencarinya dalam keheningan malam dan puing-puing luka.
“Aku ingin menjadi suara yang membangkitkan harapan,
bukan yang menguburnya,” gumamnya suatu pagi, sembari menatap silabus
kuliah yang ia susun dengan sepenuh hati.
Pelatihan demi pelatihan, konferensi ilmiah, dan
jurnal-jurnal yang ia tulis mulai menegaskan kehadirannya dalam dunia akademik.
Namun di balik prestasi yang tampak, ada ruang hampa dalam dirinya—seperti nada
yang hilang di antara bait lagu yang tak selesai.
Kekosongan itu tak ia tolak, melainkan ia peluk dengan
lembut. Ia isi dengan melodi dari gitar tuanya yang kembali ia sentuh setiap
malam. Lagu-lagu yang dulu ia tulis untuk Yculia, kini menjadi doa untuk
dirinya sendiri—sebuah pelipur lara dan penanda bahwa ia masih hidup, masih
merasa, masih percaya.
Ia kembali menjelajah, bukan hanya tempat, tetapi juga hati.
Bertemu dengan orang-orang baru yang tak mencoba menggantikan apa yang telah
pergi, melainkan memperkaya warna hidupnya yang sempat kelam. Tawa sahabat,
diskusi hangat di ruang dosen, dan aroma kopi di pagi hari menjadi teman yang
setia menggantikan keheningan.
Dan di setiap keberhasilan kecil yang ia raih, ia tahu bahwa
ada bagian dari dirinya yang telah tumbuh—bukan dari melupakan, tetapi dari
menerima. Menerima bahwa tidak semua kisah cinta harus dimiliki untuk tetap
berarti.
Masa Depan yang Baru
🧩 2. Yculia di Luar
Negeri
Kota itu asing. Jalan-jalannya dipenuhi daun-daun musim
gugur yang berjatuhan seperti waktu yang tak bisa ia genggam. Bahasa yang
terdengar di sekelilingnya adalah musik baru—kadang merdu, kadang membuatnya
merasa tuli oleh keramaian yang tak ia pahami sepenuhnya.
Yculia melangkah dengan hati yang dibungkus keraguan, namun
matanya penuh nyala. Ia tahu, ini adalah kesempatan yang lama ia impikan.
Bekerja di bidang yang selama ini hanya menjadi bayangan di ujung malam, kini
menjadi kenyataan yang menuntut keberanian dan dedikasi penuh.
Hari-harinya sibuk. Ruang kerja dipenuhi grafik, strategi,
dan rapat-rapat internasional. Ada kepuasan yang tak bisa digantikan, ketika
hasil kerjanya diakui, ketika ia merasa berarti dalam ruang yang sangat besar
dan berbeda. Tapi di antara kesibukan itu, ada waktu-waktu hening, seperti
senja yang tiba terlalu cepat—ketika ingatan tentang Onram menyelinap pelan,
membawa kehangatan sekaligus kehampaan.
"Aku ada di tempat yang dulu kita bicarakan, Ram.
Tapi kenapa rasanya sepi?” bisiknya dalam hati, saat melihat pasangan
saling menggenggam tangan di stasiun bawah tanah.
Yculia berusaha terbuka—ia mulai mengenal teman baru,
mencicipi budaya yang berbeda, belajar bahasa baru, bahkan menemukan
kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuatnya tersenyum. Tapi meskipun semuanya
baru, hatinya tetap menyimpan yang lama. Sebuah ruang kecil di dadanya tetap
menjadi rumah bagi seseorang yang tidak ikut pergi.
Kerinduan itu tak selalu datang dengan air mata. Kadang, ia
hadir dalam bentuk secangkir kopi yang rasanya mirip dengan yang dulu sering
mereka minum. Kadang, dalam lagu yang tiba-tiba diputar di kafe, atau dalam
malam yang terlalu sunyi untuk disebut damai.
Ia tak menyesali keputusannya. Tapi ia juga tak pernah
berbohong pada dirinya sendiri. Bahwa di tengah kebebasan ini, ada bagian dari
masa lalu yang masih hidup, bukan sebagai beban, tetapi sebagai bukti bahwa ia
pernah sangat mencintai—dan dicintai.
Pesan-pesan yang Terus Mengalir
Mereka tak lagi berada di kota yang sama, tak menghirup
udara dari langit yang satu. Namun di antara kesibukan yang menyita dan dunia
yang terus bergerak, ada sesuatu yang tetap bertahan: percakapan-percakapan
kecil yang mengisi ruang sunyi di hati mereka.
Pesan-pesan itu tak datang setiap hari, tapi saat ia muncul,
selalu terasa seperti embusan hangat pada pagi yang dingin. Tak ada lagi
kata-kata cinta yang terang-terangan, tak ada janji yang dilemparkan ke langit.
Yang tersisa adalah cerita—tentang dunia yang kini mereka jalani sendiri, namun
tetap mereka bagikan satu sama lain.
“Aku baru pulang dari seminar tentang literasi budaya di
sini. Banyak hal baru yang aku pelajari... tapi lucunya, aku masih suka
membandingkan semuanya dengan hal-hal kecil yang dulu kita alami,” tulis
Yculia suatu malam dari sudut kamarnya yang asing, dengan mata yang tak kunjung
bisa terpejam.
“Aku baru saja menyelesaikan makalah tentang filsafat
pendidikan. Kamu pasti tertawa kalau tahu aku jadi begini serius. Tapi entah
kenapa, setiap kali aku menulis, aku seperti menulis untuk seseorang—untuk
kamu, mungkin,” balas Onram pada suatu pagi, ditemani aroma kopi yang
menyusup dari jendela kecil perpustakaan.
Yculia berbagi tentang budaya yang ia pelajari, tentang
bagaimana ia belajar hidup di antara bahasa yang belum akrab, dan bagaimana
rasa sepi kadang hadir tanpa undangan. Ia bercerita tentang sore yang ia
habiskan sendiri di taman kota, mengamati orang-orang berlalu-lalang, dan
betapa ia merindukan percakapan tanpa jeda bersama Onram.
Onram, di sisi lain, menumpahkan isi kepalanya lewat dunia
akademik yang kini menjadi pelariannya. Ia belajar, menulis, meneliti—semua
untuk menemukan bentuk dirinya yang baru. Tapi tetap saja, ada malam-malam
ketika ia duduk diam, membaca pesan Yculia berulang-ulang, seperti mendengarkan
lagu yang tak pernah usang.
Mereka tahu, hubungan ini sudah berubah. Tidak lagi soal
‘kita’, tapi tentang ‘aku’ dan ‘kamu’ yang saling menghormati ruang, saling
menjaga batas, namun tak sanggup benar-benar melepaskan. Ada benang halus yang
masih mengikat—bukan dalam bentuk janji, tapi dalam bentuk pemahaman yang
tumbuh dari luka, dan kasih yang tak lagi menuntut untuk dimiliki.
Setiap pesan menjadi pengingat diam-diam bahwa ada
seseorang, di tempat yang jauh, yang pernah menjadi rumah. Dan meski rumah itu
kini tak lagi mereka tinggali bersama, kenangan di dalamnya masih
menyala—lembut, sunyi, dan tetap bermakna.
Perjalanan Hidup yang Terpisah
Waktu berjalan dengan langkahnya yang tenang namun tak
terbendung. Kehidupan terus mengalir, dan Onram maupun Yculia pun melangkah di
jalan yang kini berliku namun menjanjikan. Takdir membawa mereka pada tujuan
yang berbeda, namun tak sepenuhnya membuat mereka benar-benar terpisah.
Onram kini mulai menapaki jalur impian yang selama ini hanya
ia pandang dari kejauhan. Dunia pendidikan membuka pintu-pintu baru
baginya—seminar, beasiswa, bahkan tawaran untuk menjadi pembicara muda yang
inspirasional. Di setiap podium yang ia injak, ada gema kecil di hatinya yang
berbisik, "Andai Yculia melihat ini..."
Sementara itu, di belahan dunia yang jauh, Yculia berkembang
menjadi sosok yang tangguh dan berkarisma. Dunia profesional menyambutnya
dengan tantangan dan peluang yang terus membentuknya menjadi pribadi yang utuh.
Ia menjelajah kota-kota baru, menghirup udara asing, dan menapaki kariernya
dengan keyakinan yang makin kuat. Namun di tengah kesibukannya, ada ruang kecil
di hatinya yang tak pernah benar-benar sunyi.
“Aku bangga padamu, Onram...” begitu bunyi salah satu
pesannya suatu malam, diselipkan di antara foto-foto seminar yang ia kirim
dengan senyum kecil yang tak bisa ditangkap kamera.
“Dan aku lebih bangga padamu, Yculia. Kamu akhirnya
sampai di tempat yang kamu impikan,” balas Onram, dalam jeda harinya yang
padat, seolah kata-kata itu adalah pelukan yang tak bisa lagi mereka berikan
secara langsung.
Mereka tahu bahwa hidup mereka telah memilih arah
masing-masing. Ada rasa bangga yang tumbuh di dada, melihat satu sama lain
melangkah lebih jauh. Namun di balik semua pencapaian itu, ada keheningan yang
berbicara pelan-pelan—tentang rindu yang tak terucap, tentang harapan yang
belum selesai.
Dan meski mereka tidak lagi berjalan beriringan, keduanya
tahu satu hal: tidak semua perpisahan berarti kehilangan. Terkadang, hidup
membawa dua jiwa ke arah yang berbeda agar mereka bisa tumbuh, agar ketika
suatu hari nanti mereka bertemu kembali—entah di perempatan mana dalam
hidup—mereka bisa menyapa satu sama lain, bukan dengan sesal, tapi dengan
senyum dan rasa syukur.
Peringatan yang Tidak Terucapkan
Langit kota sore itu berpendar keemasan ketika Onram
melangkah ke ruang seminar, jas biru senada dengan semangat yang selama ini ia
pupuk diam-diam. Di hadapannya, deretan peserta dari berbagai negara duduk
menanti, namun di balik semua sorot lampu dan tepuk tangan yang mengiringi
langkahnya ke podium, Onram merasa ada suara lain yang absen. Suara lembut yang
dulu selalu menyemangatinya, meski hanya lewat bisik dalam pesan singkat: “Kamu
bisa.”
Saat ia mulai berbicara tentang pendidikan yang membebaskan
dan membentuk karakter manusia, pikirannya sempat melayang—bukan pada materi
presentasinya, melainkan pada seseorang yang diam-diam menjadi alasan mengapa
ia tak pernah menyerah. Di hatinya, terukir satu nama yang tak ia sebutkan,
namun selalu hadir dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya: Yculia.
Di sisi lain dunia, Yculia menatap email yang berisi tawaran
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah kehormatan, langkah
besar yang telah ia impikan sejak lama. Namun, tangannya sempat ragu di atas
tombol balas, karena di dalam dirinya ada suara yang lirih berbisik,
“Apakah Onram tahu bahwa aku terus menyebut namanya dalam doaku?”
Malam itu, keduanya duduk sendiri di sudut ruang yang
berbeda benua, ditemani cahaya lampu dan kenangan yang menggantung di antara
jarak. Mereka tak mengirim pesan, tak menelepon, namun di hati masing-masing,
ada peringatan yang tak terucapkan:
“Aku ada di sini, meski tak di sisimu. Aku mendukungmu,
meski tak bisa menggenggam tanganmu.”
Keduanya tahu, dalam diam yang saling mereka rawat, ada
cinta yang tidak memaksa untuk dimiliki, namun cukup kuat untuk tetap
hidup—sebagai pengingat, sebagai penuntun, bahwa cinta sejati tidak selalu
berakhir dalam kebersamaan.
Dan meskipun dunia membawa mereka ke panggung yang berbeda,
ada bagian dari jiwa mereka yang selalu saling menoleh, walau hanya dalam doa
yang tak pernah dikirimkan.
Perubahan dalam Pandangan Mereka
Waktu berjalan seperti arus tenang yang tak pernah berhenti
mengalir—membawa serta kenangan, harapan, dan diam-diam mengukir kebijaksanaan
dalam hati mereka yang pernah saling menggenggam, lalu perlahan melepaskan.
Di sebuah malam yang sunyi setelah seminar besar itu, Onram
duduk di balkon kecil rumah indekosnya, menatap bintang-bintang yang
menggantung malu-malu di langit kota. Dalam diam, ia menyadari satu hal yang
dulu sulit ia terima: bahwa cinta sejati tidak selalu harus memiliki bentuk
kebersamaan. Bahwa perasaan yang tulus tidak selalu harus bertemu di ujung
jalan yang sama.
“Mungkin... mencintai bukan tentang berjalan beriringan,”
gumamnya lirih, “melainkan tentang berjalan dengan langkah masing-masing,
namun tetap mengirimkan doa yang sama di setiap persimpangan.”
Di sisi lain dunia, Yculia baru saja selesai menulis jurnal
malamnya. Di tengah kesibukannya menyesuaikan diri dengan kehidupan akademik
dan budaya yang baru, ia tiba-tiba merasakan kehangatan yang aneh—bukan dari
udara, tapi dari dalam dadanya. Sebuah pemahaman perlahan tumbuh: bahwa cinta
tak harus selalu berakhir dengan kata “bersama.”
“Aku tak harus berada di sisinya untuk mencintainya,”
tulisnya, “karena aku tahu... dia sedang tumbuh. Dan aku pun sedang mencoba
menjadi versi terbaik dari diriku. Mungkin itu cara kami saling mencintai
kini—dengan memberi ruang.”
Mereka mulai melihat cinta bukan lagi sebagai tempat
berlindung dari badai, tetapi sebagai angin lembut yang mendorong kapal impian
masing-masing untuk berlayar lebih jauh. Tanpa tali, tanpa jangkar, hanya
kepercayaan bahwa apa yang pernah dimulai dengan ketulusan, akan tetap hidup di
tempat yang seharusnya—di dalam hati, bukan di dalam genggaman.
Keputusan untuk Melangkah Maju
Langit sore itu memerah, seolah hendak memberi restu pada
dua hati yang memilih jalan berbeda namun tetap saling menyayangi dalam diam.
Onram berdiri di atas panggung sebuah seminar besar, menerima tepuk tangan dari
para hadirin atas pemikiran-pemikiran pendidikannya yang tajam namun berhati
lembut. Di balik senyumnya yang tenang, tersimpan bayangan seseorang yang
pernah menemaninya membangun impian—dan kini mendorongnya dari kejauhan.
Sementara itu, di sebuah kota kecil Eropa, Yculia menatap
layar laptopnya, surat penerimaan program doktoral terkemuka terpampang di
hadapan. Ia menutup mata sejenak, membiarkan keharuan menyapu dirinya. Di sudut
pikirannya, nama Onram masih bergetar lembut—bukan sebagai kenangan yang
menahan, tetapi sebagai kekuatan yang membebaskan.
Mereka kini berdiri di dua dunia yang berbeda, namun
masing-masing membawa bagian dari cinta yang pernah mereka rajut bersama. Tak
lagi dalam bentuk pelukan, namun dalam bentuk semangat untuk terus menjadi
versi terbaik dari diri mereka sendiri.
"Mungkin mereka tidak bersama lagi, tetapi mereka
tahu bahwa cinta sejati tidak selalu mengharuskan pertemuan. Kadang-kadang, ia
hadir dalam bentuk kesuksesan, dalam ruang yang memberi mereka kesempatan untuk
berkembang."
Mencari Titik Temu
1. Onram di Puncak Karir
Langit Jakarta menyambut pagi dengan kilau yang berbeda saat
Onram berdiri di podium, menerima penghargaan bergengsi dalam dunia pendidikan.
Tepuk tangan membanjiri ruangan, dan wajah-wajah penuh kagum menatapnya sebagai
simbol perubahan: seorang pemuda yang dahulu penuh luka, kini menjadi inspirasi
bagi banyak jiwa.
Bahkan media menyebut namanya sebagai “arkitek gagasan
pembelajaran humanis” — teori yang ia bangun dari pengalaman pahit dan manis,
dari ruang-ruang kelas kecil hingga diskusi intelektual lintas negara.
Namun, di balik gemerlap lampu sorot dan deretan prestasi
yang mengisi beranda berita, hati Onram terasa lengang.
Di kamar hotel malam itu, ia duduk sendiri, membuka
ponselnya hanya untuk menatap layar kosong. Tidak ada pesan baru dari Yculia.
Sudah berminggu-minggu mereka tak berkomunikasi. Bukan karena marah, bukan pula
karena saling melupakan. Hanya karena kehidupan mereka telah menuntut fokus
yang berbeda.
“Apakah semua ini cukup, jika tak bisa kubagi dengan
seseorang yang paling mengerti siapa aku sebelum semua ini terjadi?” gumamnya
lirih, seolah hanya dinding kamar yang diizinkan mendengar kerinduannya.
Onram menyadari, bahwa sejauh apapun ia melangkah, bayangan
Yculia tetap menjadi senyap yang paling bising dalam batinnya. Bukan karena ia
tak bisa hidup tanpanya, melainkan karena hanya Yculia yang pernah benar-benar
melihat luka-luka terdalamnya tanpa menghakimi.
Namun, ia juga tahu: perjalanan mereka telah berubah arah.
Dan seberapapun ia merindukan pertemuan, ia harus belajar menerima bahwa cinta,
seperti halnya manusia, bisa tumbuh—dan juga bisa berpindah bentuk.
“Mungkin aku tak lagi bisa menjemputmu di bandara,”
batinnya, menatap langit malam dari jendela tinggi. “Tapi aku bisa terus
mencintaimu… dari tempatku berdiri sekarang.”
Kesuksesan dan Kerinduan
Jauh di belahan dunia lain, di kota asing yang
lampu-lampunya tak pernah padam, Yculia berdiri di atas panggung penghargaan
dengan senyum penuh syukur. Pencapaian yang dulu hanya sebatas angan kini
terwujud satu demi satu: proyek sosialnya diberi pengakuan internasional, dan
namanya mulai dikenal di dunia yang ia perjuangkan.
Namun, di balik keberhasilan yang memeluknya hangat, ada
ruang kosong yang terus bergema—sepi yang tak pernah benar-benar pergi.
Setiap malam, ketika hiruk-pikuk kota mereda dan denting jam
terdengar lebih tajam dari biasanya, Yculia duduk sendiri di balkon kecil
apartemennya. Ia menatap langit—langit yang sama, pikirnya, yang juga dipandang
Onram dari belahan dunia lain.
"Apakah kau baik-baik saja, Ram?" bisiknya
lirih, seolah angin bisa menyampaikan pertanyaannya.
Kerinduan itu datang diam-diam, tak diundang namun tak bisa
ditolak. Ia mengingat caranya tertawa dengan Onram, caranya menangis dalam
pelukan laki-laki itu tanpa takut dihakimi. Ada kebersamaan yang tak digantikan
oleh pencapaian apa pun.
Yculia sering bertanya pada dirinya sendiri: apakah
keputusannya dulu benar? Apakah mengejar impian berarti harus menjauh dari hati
yang dulu begitu ia percaya?
Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih telah memberinya banyak
hal—pengalaman, kekuatan, dan kedewasaan. Tapi ia juga sadar bahwa tidak semua
keberhasilan bisa menyembuhkan luka hati. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah
satu tatapan yang mengerti, satu suara yang tak menghakimi, satu tangan yang
tetap menggenggam meski dunia berubah.
Dan nama itu, tetap ia jaga di dalam doa—tak terucap, tapi
selalu hidup.
Pertemuan Tak Terduga di Tempat yang Tak Terduga
Musim semi menyapa kota itu dengan lembut—bunga-bunga sakura
bermekaran di tepi trotoar, dan angin mengalun pelan, seolah tahu bahwa ada
sesuatu yang akan kembali tumbuh. Onram tiba di kota itu dengan ransel penuh
materi presentasi, namun juga dengan hati yang diam-diam berdebar oleh
kenangan.
Ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di tempat yang
diam-diam menyimpan cerita tentang Yculia. Ia tak tahu apakah ia ingin berharap
atau melupakan, namun aroma kota ini, suasananya, bahkan sinar mentarinya,
seakan membisikkan nama yang sama—berulang-ulang.
Sementara itu, Yculia menerima kabar tentang kedatangan
Onram melalui sebuah pengumuman universitas tempat ia bekerja. Hatinya terdiam
sejenak—ada gelombang yang bergemuruh dalam diamnya. Ia tahu, ia bisa saja
menghindar. Namun kali ini, ia tidak ingin lari.
Dengan langkah yang tak sepenuhnya yakin, ia mendatangi
lokasi acara. Ia tidak berniat untuk berbicara panjang, mungkin hanya melihat
dari kejauhan, memastikan bahwa lelaki yang pernah ia cintai itu benar-benar
baik-baik saja.
Namun takdir, seperti biasa, punya caranya sendiri untuk
mempertemukan dua jiwa yang belum selesai.
Di luar gedung yang semarak dengan keramaian, udara malam
terasa lebih segar. Onram dan Yculia berdiri bersebelahan di bawah cahaya lampu
jalan yang redup, suasana terasa sedikit canggung. Namun, di antara mereka, ada
semacam kenyamanan yang tak bisa dijelaskan—seperti dua sahabat yang telah lama
terpisah, bertemu lagi di tengah perjalanan.
Onram membuka percakapan terlebih dahulu, meskipun suaranya
terdengar ragu. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, menatap Yculia dengan cemas,
namun ada senyuman yang mencoba menyembunyikan kekhawatiran.
Yculia tersenyum kecil, mata teduh di balik kelopak. “Aku
baik-baik saja. Hanya… agak kaget, bisa ketemu di sini. Rasanya seperti takdir,
ya?”
Onram terkekeh pelan. “Takdir? Atau mungkin kebetulan yang
memang sudah waktunya datang.”
Mereka tertawa bersama, sejenak lupa akan beratnya jarak
yang pernah memisahkan mereka. Namun, di dalam tawa itu, ada kesunyian yang
perlahan merayap. Percakapan ringan mereka mulai meresap ke dalam kenangan yang
lebih dalam.
“Ram…” Yculia mulai, suara lembut namun jelas. “Aku bahagia
dengan hidupku sekarang. Pekerjaanku, semua yang telah aku pilih. Aku merasa
aku bisa menemukan diriku yang sebenarnya. Tapi…” Ia berhenti sejenak, mengatur
kata-kata. “Tapi ada kalanya aku merasa… ada sesuatu yang kurang.”
Onram menatapnya dengan intens. “Apa yang kurang?”
Yculia menarik napas panjang, lalu menatap jauh ke depan.
“Aku nggak bisa menghindar dari perasaan bahwa ada bagian dari diriku yang
hilang tanpa kamu di sisiku. Meskipun aku sudah membuat pilihan dan merasa
lebih baik sekarang, rasanya tetap ada kekosongan.”
Onram mendengus, meski hatinya berat mendengar kata-kata
itu. “Aku pun merasa hal yang sama.” Matanya menatap Yculia dengan kejujuran
yang dalam. “Aku merasa bebas, lebih fokus pada banyak hal… tapi ada kalanya
aku rindu kedekatan kita, yang dulu begitu mudah didapatkan. Aku rindu cara
kita berbicara tanpa harus banyak berpikir.”
Yculia menunduk, merasakan setiap kata itu seperti pedang
yang menembus hati. “Terkadang, aku berpikir apakah keputusan kita untuk
terpisah itu benar, atau apakah kita hanya melarikan diri dari apa yang
sebenarnya kita inginkan…”
“Tidak ada yang mudah dalam keputusan ini,” Onram berkata
perlahan. “Aku tahu, kita sama-sama memilih jalan kita sendiri. Tapi itu bukan
berarti perasaan ini hilang begitu saja.”
Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya suara langkah
kaki dari kejauhan yang terdengar.
Yculia melanjutkan, suaranya serak. “Aku tidak tahu apa yang
akan terjadi setelah ini, Ram. Tapi aku tahu satu hal. Kehidupan kita kini
berbeda, dan mungkin itu yang terbaik. Bukan karena kita tidak pernah saling
mencintai, tapi karena kita perlu hidup untuk diri kita masing-masing.”
“Iya, aku mengerti.” Onram mengangguk, meski hatinya
bergejolak. “Aku ingin kamu bahagia. Terlebih dari itu, aku ingin kita berdua
menemukan apa yang benar-benar kita cari—meski jalan kita kini terpisah.”
Yculia menatapnya dengan mata yang lembut, mengangguk pelan.
“Aku juga ingin itu. Mungkin cinta kita tidak akan pernah sama seperti dulu…
tapi itu tidak berarti kita tidak bisa belajar dari semua yang telah kita
lalui.”
“Aku percaya itu.” Onram tersenyum kecil, senyum yang penuh
makna. “Kita mungkin tidak bisa kembali lagi ke masa lalu, tapi mungkin masa
depan kita masih bisa saling mendukung, meski dari jauh.”
Dengan hati yang penuh, mereka berdiri dalam diam, menyadari
bahwa meskipun perasaan itu tak pernah sepenuhnya hilang, mereka telah
menemukan kedamaian dalam perjalanan mereka masing-masing.
Perenungan tentang cinta dan masa depan
Setelah pertemuan yang penuh makna itu, Onram dan Yculia
masing-masing melangkah jauh ke dalam pikiran mereka, membawa beban yang berat
namun juga sebuah pemahaman baru tentang hidup dan perasaan mereka.
Yculia berjalan perlahan di sepanjang jalan setapak kota
yang sibuk, pikirannya mengembara ke berbagai arah. Ia merasakan beban di dada,
namun juga ada rasa lega yang datang dengan penerimaan. “Kenapa aku selalu
merasa terjebak antara pilihan-pilihan besar dalam hidup?” batinnya. “Karir dan
cinta, selalu seakan ada di dua ujung yang berlawanan.” Namun, saat memikirkan
Onram, saat melihat kedalaman matanya yang penuh dengan pengertian, Yculia
mulai mengerti. Tidak ada yang perlu dipilih secara mutlak. Tidak ada yang
mengatakan bahwa ia harus melepaskan satu untuk mendapatkan yang lain.
Ia menoleh ke langit senja yang penuh warna, dan sebuah
perasaan tenang menyelimuti hatinya. Mungkin yang aku butuhkan hanyalah
menemukan cara untuk menyeimbangkan keduanya, tanpa mengorbankan impian dan
tanpa melupakan siapa aku sebenarnya. Dalam sekejap, Yculia merasa lebih
bebas. Ia tidak perlu lagi terjebak dalam dilema antara mengejar impian atau
menjaga cinta yang pernah ia miliki. Cinta itu tidak hilang; ia hanya
bertransformasi, menjadi kekuatan yang membimbingnya menuju masa depan yang
lebih luas, lebih penuh arti.
Sementara itu, di tempat lain, Onram duduk di ruang
kerjanya, memandang layar laptop yang kosong. Tangan kanannya menopang dagu,
dan matanya menerawang jauh, seakan mencari jawaban dalam keheningan. Aku
sudah begitu lama mencari tempat untuk diri sendiri dalam dunia ini,
pikirnya. “Tapi, kadang-kadang, rasanya aku hanya berjalan tanpa tujuan. Apa
artinya semua pencapaian ini tanpa orang yang benar-benar mengerti siapa aku?”
Di balik kesuksesan dan ketenaran yang ia raih dalam bidang
pendidikan, ada ruang kosong dalam dirinya yang sulit ia penuhi. Namun,
percakapan dengan Yculia itu membuka matanya. Cinta dan ambisi tidak harus
saling bertentangan. Aku bisa menjadi lebih baik dalam keduanya. Tapi mungkin,
aku hanya perlu belajar untuk tidak membebani diriku dengan masa lalu yang
tidak lagi bisa kuubah.
Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Satu hal yang Onram
sadari dengan jelas adalah bahwa ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi,
tetapi ia bisa memilih untuk maju dengan apa yang telah ia pelajari. Cinta itu
bukan sekadar tentang bersatu, melainkan tentang memberi ruang bagi
masing-masing untuk tumbuh dan menemukan jalannya.
Malam itu, Onram menulis di buku catatannya: Mungkin kita
tidak bersama lagi, tetapi kita saling menghargai. Cinta sejati bukan hanya
tentang memiliki, tetapi tentang memberi kebebasan kepada yang lain untuk
menjadi siapa mereka sesungguhnya.
Kedua jiwa yang terpisah ini akhirnya menemukan sebuah
kedamaian dalam perenungan mereka. Mereka tidak perlu lagi mencari pengakuan
dari satu sama lain untuk merasa lengkap. Mereka telah memberi ruang untuk diri
mereka masing-masing berkembang dan mengerti bahwa cinta—yang pernah ada di
antara mereka—akan selalu ada, meski dalam bentuk yang berbeda. Tidak ada
keputusan yang sepenuhnya benar atau salah, yang penting adalah menemukan
keseimbangan antara mengejar impian dan menjaga ikatan yang telah terbentuk.
Keputusan untuk melanjutkan perjalanan masing-masing
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang
yang berkilauan, Onram dan Yculia berdiri berdampingan, menatap kota yang telah
menjadi saksi perjalanan panjang mereka. Suasana seakan merenung, seiring
dengan percakapan mereka yang semakin dalam. Perasaan yang belum sepenuhnya
hilang masih ada, namun mereka tahu bahwa hidup mereka telah memilih jalur yang
berbeda.
“Sepertinya ini keputusan yang berat,” Yculia berkata, suara
hatinya terdengar lebih lembut dari biasanya. Matanya menatap jauh ke depan,
mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Aku tahu kita masih punya perasaan,
tapi aku juga tahu bahwa aku harus terus melangkah. Ini adalah jalanku, dan aku
harus menghadapinya dengan penuh keberanian.”
Onram mengangguk pelan, meskipun ada sedikit rasa sesak di
dadanya. "Aku mengerti, Yculia. Aku juga merasa hal yang sama. Kita telah
banyak berjuang bersama, tapi kini saatnya kita masing-masing mencari
kebahagiaan kita sendiri. Ini bukan berarti kita berhenti peduli, tapi
mungkin... kita perlu memberi ruang untuk diri kita berkembang lebih
jauh."
Mereka terdiam, merasakan angin malam yang sejuk menyapu
wajah mereka, memberi ruang bagi pikiran-pikiran yang belum terucapkan. Yculia
menggenggam erat tas kecil yang ia bawa, merasakan berat yang sama antara
kebahagiaan dan kesedihan yang saling berbaur.
"Jadi, kita akan tetap menjaga hubungan ini,
bukan?" tanya Yculia dengan sedikit keraguan.
Onram tersenyum, meskipun ada sesuatu yang tersembunyi di
balik senyumnya. "Iya, kita akan tetap saling mendukung, meskipun tidak
lagi seperti dulu. Kita tidak harus bersama untuk menunjukkan bahwa kita
peduli. Kadang, hubungan terbaik adalah yang mampu berkembang menjadi bentuk
lain, yang lebih bebas dan saling memberi ruang."
Yculia menatapnya, mata mereka bertemu dalam sebuah
pandangan yang penuh pengertian. "Aku akan selalu mendukungmu, Onram.
Meski kita tidak lagi berjalan berdampingan, aku tahu kita tetap akan berada di
sini untuk satu sama lain, entah dalam bentuk apa pun."
"Begitu juga aku," jawab Onram dengan suara yang
penuh ketulusan. "Kita berdua akan terus melangkah. Aku yakin, jalan kita
akan bertemu lagi suatu saat nanti, entah bagaimana atau di mana."
Di bawah cahaya bintang yang silau, mereka berdua berdiri
dalam kesunyian, merasa lebih ringan meski perjalanan yang akan datang tetap
penuh ketidakpastian. Mereka tahu, keputusan ini bukanlah akhir, tetapi sebuah
langkah menuju arah yang lebih matang. Dalam setiap kepergian, ada sesuatu yang
tetap terjaga—ikatan yang tak terlihat, namun tetap menghubungkan mereka.
Dengan satu langkah lagi, mereka berpamitan, membawa harapan
untuk masa depan yang lebih baik. Bukan sebagai pasangan yang saling memiliki,
tetapi sebagai dua individu yang saling memberi ruang untuk tumbuh, untuk
berkembang, dan untuk menjaga kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.
Melangkah maju dengan hati yang lebih terbuka
Onram kini kembali ke dunia pendidikan dengan semangat yang
baru. Keberhasilannya dalam bidang yang ia geluti semakin membawanya pada
pemahaman yang lebih dalam tentang hidup dan arti dari setiap langkah yang ia
ambil. Meskipun masa lalunya bersama Yculia tidak pernah benar-benar
menghilang, ia kini belajar untuk menyambut masa depan dengan hati yang lebih
lapang.
Sementara itu, Yculia, di sisi lain dunia yang jauh dari
rumah, melanjutkan karirnya dengan keyakinan yang semakin kuat. Ia menemukan
keseimbangan antara pencapaian yang terus ia raih dan perasaan yang mendalam
tentang masa lalunya. Di luar sana, di negeri yang jauh, ia tak lagi merasa
terombang-ambing. Setiap keputusan yang ia buat kini lebih teguh, lebih berani,
dan lebih bijaksana—sebuah langkah besar yang menyatu dengan dirinya yang baru.
Meskipun mereka tidak lagi berjalan beriringan, keduanya
kini lebih matang dalam memahami cinta, pengorbanan, dan persahabatan yang
sejati. Cinta yang dulu hadir dalam bentuk memiliki kini berubah menjadi bentuk
yang lebih bebas, lebih menerima, dan lebih menghargai ruang bagi keduanya
untuk berkembang.
Pada akhirnya, mereka sadar bahwa hidup tidak selalu tentang
memiliki satu sama lain dalam arti yang sempit. Terkadang, hal terbaik dalam
hidup adalah mengizinkan diri kita berjalan di jalan yang kita pilih, dengan
penuh keyakinan bahwa meskipun arah kita berbeda, kita masih bisa menemukan
satu sama lain di tempat yang tak terduga.
"Kadang, yang terbaik dalam hidup bukanlah memiliki
segalanya, tetapi mengizinkan diri kita untuk berjalan di jalan yang kita
pilih, dengan penuh keyakinan bahwa kita selalu bisa menemukan satu sama lain
di tempat yang berbeda."
Pertemuan yang Menghadirkan Kedamaian
Saat Onram dan Yculia bertemu kembali, ada sesuatu yang
berbeda dalam suasana hati mereka. Tidak ada lagi rasa canggung yang biasanya
datang bersama kenangan masa lalu yang menyakitkan. Mereka tidak lagi
terperangkap dalam perasaan yang dulu membayangi hubungan mereka. Kali ini,
pertemuan itu hadir dengan kedamaian yang luar biasa, seolah dunia berhenti
sejenak untuk memberi mereka ruang untuk saling memahami.
Di tengah percakapan yang mengalir tenang, mereka berbicara
tentang pencapaian-pencapaian mereka masing-masing. Namun, lebih dari sekadar
prestasi, mereka saling mendengarkan dengan penuh perhatian. Yculia
mengungkapkan bahwa ia tidak lagi merasa kehilangan. Ia merasa bahwa kedamaian
kini ada di dalam dirinya sendiri, jauh lebih dalam dari apapun yang pernah ia
cari di luar sana. “Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri lebih dulu,”
katanya dengan senyuman tulus.
Onram menatap Yculia dengan penuh pengertian, menyadari
bahwa dia pun merasakan hal yang sama. Meskipun cinta yang dulu mengikat mereka
begitu mendalam, kini ia melihat bahwa perasaan itu telah menjadi bagian dari
kenangan yang indah. "Aku juga merasa begitu," jawabnya dengan suara
yang penuh kehangatan. "Cinta itu selalu ada, tapi sekarang aku bisa
melihatnya dalam cahaya yang lebih terang, tanpa beban. Kenangan itu hanya
bagian dari perjalanan kita."
Mereka berdua tahu, meskipun jalan mereka telah berbeda, ada
kedamaian dalam kesadaran bahwa masing-masing telah menemukan kedamaian dalam
diri mereka. Tidak ada penyesalan, hanya rasa syukur atas perjalanan yang telah
mereka lalui bersama. Kini, keduanya berjalan dengan hati yang lebih ringan,
siap untuk terus melangkah, dengan keyakinan bahwa hidup mereka sudah berada di
jalur yang tepat, terlepas dari apapun yang terjadi di masa depan.
Mengucapkan Selamat Tinggal yang Penuh Cinta
Pada akhirnya, setelah semua yang telah mereka lewati, Onram
dan Yculia berdiri di tempat yang sama sekali berbeda. Mereka menyadari bahwa
meskipun mereka tidak bersama lagi, kedekatan dan penghargaan terhadap satu
sama lain tidak akan pernah pudar. Apa yang mereka miliki bersama—kenangan,
pembelajaran, dan perubahan yang telah terjadi dalam diri mereka—adalah sesuatu
yang tak ternilai harganya. Mereka berdua telah tumbuh menjadi individu yang
lebih kuat, lebih bijaksana, dan itu adalah hadiah terbesar yang mereka
dapatkan dari hubungan mereka.
Dalam momen penuh emosi, Onram dan Yculia saling berpelukan.
Pelukan itu bukan lagi pelukan penuh harapan atau rindu untuk kembali bersama,
tetapi pelukan yang dipenuhi dengan rasa syukur dan penghargaan. Mereka
berjanji untuk tetap mendukung satu sama lain, meskipun tidak lagi terikat
dalam hubungan romantis. Kehidupan mereka masing-masing mungkin sudah berada di
jalur yang berbeda, namun ikatan yang mereka miliki tetap abadi—sebagai teman,
sebagai orang yang pernah saling memberi banyak arti.
Ketika mereka berpisah, tidak ada air mata penyesalan. Yang
ada hanya senyuman tulus, sebuah pengakuan bahwa meskipun perjalanan mereka
berbeda, mereka telah memberi satu sama lain kebahagiaan yang tidak akan pernah
hilang. Mereka mengucapkan selamat tinggal dengan penuh cinta, tidak ada yang
tertinggal selain rasa syukur untuk segala hal yang telah mereka bagi bersama.
“Kita tidak selalu tahu apa yang akan datang, tetapi kadang-kadang, melepaskan
sesuatu adalah cara untuk menemukan kedamaian sejati. Dan mungkin, cinta yang
paling tulus adalah yang tidak membutuhkan kata-kata.”