Jumat, 01 Agustus 2025

Cerpen : Peta Hati Pak Onram dan Bintang Kecil Bernama Adis Ababa

 

Di kelas yang sering bergema dengan suara peta dunia yang diceritakan seolah dongeng, Pak Onram berdiri seperti mercusuar tua—tegak, tenang, dan sedikit murung. Ia adalah guru Ilmu Pengetahuan Sosial yang sudah mengajar lebih dari separuh hidupnya, dan kini sedang bersiap-siap menutup peta hidupnya sebagai pendidik.

Namun, sejak beberapa bulan terakhir, ada satu hal yang membuat pagi-paginya tidak terasa kosong. Seorang murid perempuan kelas delapan yang sering melambai riang setiap ia lewat di depan ruang guru, memanggil dengan cara yang tak pernah ia duga:

“Pak Onraaaam...! Good morning! How are you today?”
Dengan tawa yang selalu tiba sebelum langkahnya.

Gadis itu bernama Adis, namun Pak Onram, entah sejak kapan, memanggilnya dengan penuh sayang: Adis Ababa—seperti ibu kota Ethiopia yang pernah ia ceritakan di kelas tentang negara-negara Afrika. Nama itu kemudian menjadi lelucon kecil, dan Adis menerimanya dengan bahagia.

Suatu hari, selepas bel pulang, Adis menghampiri ruang guru membawa buku tipis berjudul “Little Women”.

“Pak Onram, lihat ini... I found this book in the library! All in English! I think I understood eighty percent of it.”

Pak Onram terkekeh, meneguk teh hangatnya yang sudah tak lagi panas.

“Hebat. Aku bahkan tidak yakin aku bisa memahami judulnya saat seumurmu dulu.”

Adis tertawa, duduk di bangku kayu tua di seberangnya.

“Tapi kenapa sih, Pak, pelajaran IPS nggak ada bahas-bahas Inggrisnya? Kalau saja ada... pasti saya tambah semangat.”

Pak Onram menatapnya sebentar, lalu berkata, “Adis, dunia ini seperti peta. Setiap ilmu itu seperti benua—ada yang penuh gunung pengetahuan, ada yang berupa samudra bahasa. Tugasmu bukan memilih satu, tapi berani berlayar dari satu benua ke benua lain.”

Adis memiringkan kepalanya, senyum tipis muncul di wajah mungilnya.
“Jadi... maksud Bapak, saya bisa cinta IPS juga, ya?”

“Bisa. Seperti kau mencintai bahasa Inggris. Kau hanya perlu menemukan cerita di dalamnya. Seperti kisah revolusi, perjuangan, sejarah. Itu semua juga puisi, hanya saja tanpa rima.”

Langit mulai redup di luar jendela ruang guru. Angin menerbangkan selembar peta tua yang tergantung di papan.

Adis memandangnya lalu berkata,
“Kalau Bapak pensiun, siapa yang akan bercerita tentang sungai Nil atau jalur sutra dengan mata berbinar seperti Bapak?”

Pak Onram terdiam, menatap ke luar.
“Mungkin tak ada. Tapi aku yakin, akan ada murid-murid seperti Adis, yang suatu hari akan menceritakan dunia dengan caranya sendiri.”

Beberapa minggu kemudian, pada hari ulang tahun sekolah, Adis maju ke panggung kecil di aula. Ia membacakan puisi karyanya dalam bahasa Inggris, ditulis khusus untuk Pak Onram.

“A map once hung on a classroom wall,
With stories whispered through every fall.
A teacher stood, with soul so wide,
His compass heart, our trusted guide.
Though time may take him far from here,
His voice in us will still appear.”

Ketika selesai, ruangan hening. Lalu tepuk tangan riuh. Dan di bangku guru, Pak Onram menyeka sudut matanya yang basah.

Seusai acara, Adis datang menghampiri.

“Pak, itu tadi untuk Bapak. Terima kasih sudah membuat saya mencintai dunia.”

Pak Onram menjawab pelan,
“Dan terima kasih, Adis Ababa, karena membuat dunia saya terasa lebih muda, walau usia saya tak bisa mundur lagi.”

Hari itu, peta di kelas Pak Onram tetap tergantung. Tapi kini, satu titik kecil bertanda bintang diberi nama oleh hatinya sendiri:

Adis, si bintang kecil yang tak pernah tersesat dalam peta manapun.

Pak Onram menatap langit yang menggantung sendu. “Adis, apakah kau pernah berpikir menjadi guru?”

Adis mengangguk, matanya berbinar.

“I want to be an English teacher someday. But not just any teacher. I want to be one whose words stay long after the bell rings. Like you.”

Pak Onram tersenyum. Lelahnya seolah larut dalam kalimat itu.

“Menjadi guru bukan tentang gelar atau gaji. Tapi tentang meninggalkan jejak di hati mereka yang belum tahu arah. Dan kau, Adis Ababa, sudah memulainya bahkan sebelum kau dewasa.”

Adis duduk di tangga kelas, menatap sepatu kainnya.
“Pak, nanti kalau Bapak sudah pensiun… masihkah Bapak ingat aku?”

Pak Onram terdiam. Ia lalu duduk di sampingnya, menatap halaman sekolah yang mulai sepi.

“Aku akan mengingatmu seperti aku mengingat matahari pertama di bulan Mei. Hangat, cerah, dan membuat hidupku terasa hidup kembali di ujung jalan panjang.”

Adis tersenyum, menahan air mata kecil yang hampir tumpah.
“Nanti kalau aku jadi guru, aku akan bilang ke murid-muridku, ‘Dulu aku punya guru. Namanya Pak Onram. Dialah yang pertama kali percaya aku bisa terbang.’

Pak Onram menatap langit lagi. Kali ini, dengan mata yang agak basah.

“Dan aku akan selalu percaya kau bisa terbang lebih tinggi dari siapa pun, Adis. Karena kau bukan hanya pandai. Kau adalah cahaya kecil di tengah kelas yang tak pernah padam.”

Matahari sore jatuh perlahan di balik gedung tua. Di antara langkah yang menuju pulang, tertinggal dua sosok—seorang guru yang akan pergi, dan seorang murid yang baru saja mengerti makna tinggal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar