Senin, 07 Juli 2025

Cerpen JEJAK PARFUM DI MEJA MAKAN

 


Tidak ada yang berubah di rumah keluarga Siswanta—kecuali satu aroma aneh yang merayap di sudut dinding: wangi sandalwood bercampur bunga sedap‑malam. Aromanya melekat pada selendang Meme, ibunda Yculiana, dan setiap jejaknya meninggalkan pertanyaan yang tak terucap. Di balik aroma itu, sebuah kisah lama terbangun kembali.

Di tempat lain, Yculiana—akuntan muda—baru pulang membawa laporan neraca berbeban lembur. Namun beban terbesar bukan angka, melainkan firasat. Ketika ia memeluk Meme, ia tahu: ada rahasia menari di antara detak jantung ibunya.

 

Malam pekat. Jam dinding bersuara lirih seperti detak luka. Yculiana baru meneguk teh ketika suara notifikasi ponsel Meme terdengar: ting!

Meme (menahan helaan napas, mengetik cepat):
“Aku merindukanmu. —M”

Haryan (balas secepat kilat):
“Esok, Café Terracotta pukul tujuh. Masih seperti dulu, Sayang. —H”

Senyum Meme merekah, seperti mawar yang dipaksa tumbuh di tanah tandus. Yculiana melihat pantulan senyum itu dalam cangkirnya — dan cangkir itu retak.

 

Di café yang terbuat dari dinding bata ekspos, Haryan datang dengan jas tua namun mahal. Ia mengecup punggung tangan Meme—gestur klasik yang membuat Meme lupa ia istri orang.

Haryan: “Dua puluh tahun, Sas. Kau tetap aroma hujan pertama.”
Meme (pipinya merona): “Dan kau tetap hujan yang kutunggu, meski rumahku telah kering.”
Haryan (mendekat, suara tercekat): “Aku punya toko besar; uang cukup; tapi hatiku sepi. Datanglah kapan pun.”
Meme (berbisik): “Kalau kesepianmu adalah rumah, izinkan aku membukakan tirai.”

Mereka saling menatap seperti burung-burung kecil lupa bahwa sangkar orang lain telah tersedia.

 

Hujan menetes di atap seng warung kopi, menulis simfoni sedih. Yonramo, lelaki sederhana dengan mata kelam penuh puisi, menyeruput robusta murahan saat Yculiana datang dengan payung patah.

Yculiana (menggigil sedikit): “Kenapa selalu di warung ini?”
Yonramo (tersenyum, memperbaiki syal lusuhnya): “Karena di sini cahaya lampu kuning memantulkan matamu paling jernih.”
Yculiana (tersipu, lalu menatap dalam): “Kau tahu? Aku lelah menjadi angka di neraca orang lain.”
Yonramo: “Aku pun lelah jadi ayah yang separuhnya hilang di kelas les.”
Yculiana (menyentuh punggung tangannya): “Kalau begitu, mari kita jadi utuh di remang ini.”

Mereka tak sadar, remang itu adalah lubang.

 

Seminggu kemudian, di gang sepi beraroma cempaka, Yculiana—dengan dress kerja masih rapi—bersandar di dinding lembap. Yonramo datang, menyelipkan sekotak permen karamel.

Yonramo (menyentuh helai rambutnya): “Setiap kali anakku makan permen ini, ia tertawa. Kuambil satu untuk mengingatkan diriku pada tawa yang lain—tawamu.”
Yculiana (suara bergetar): “Lalu… ketika semua ini terbuka?”
Yonramo (menarik napas dalam): “Kita lari. Kota ini luas. Aku bisa jadi tukang kayu, kau membuka bimbingan belajar.”
Yculiana (mata berkaca): “Kau berjanji?”
Yonramo (menempelkan jari di bibirnya): “Demi setiap bait puisi yang kuajarkan, aku berjanji.”

Janji itu membungkus mereka seperti selimut, padahal di luar, hujan kebenaran kian deras.

 

Pak Siswanta merasa toko pasarnya menurun omzet. Entah kenapa, pelanggan tampak enggan. Ia pulang lebih cepat suatu siang, membawa sekantung rambutan. Saat melintasi blok pertokoan mewah, ia melihat istrinya keluar dari mobil sedan milik Haryan.

Hatinya patah sebelum sempat protes. Ia pulang dengan sorot mata tajam, namun diam sampai malam.

 

Di dapur, Meme sedang merebus air. Siswanta meletakkan rambutan, menatap istrinya seakan asing.

Pak Siswanta (suaranya rendah, menahan gelora):
“Sas, mobil siapa itu?”
Meme (tercengang, gagap):
“M-mobil? Oh… pemasok baru.”
Pak Siswanta:
“Pemasok macam apa yang menggandeng tanganmu sebelum kau turun?”
Meme (memejamkan mata, mengatur napas):
“Wan… aku… butuh ruang bernapas.”
Pak Siswanta (suara gemetar):
“Bernapaslah dalam rumah ini! Jangan di dada lelaki lain!”

Kata‑kata itu seperti palu menghantam beling. Meme terisak, namun hatinya justru makin memihak Haryan—lelaki yang membuatnya merasa muda lagi.

 

Malam berikutnya, Pak Siswanta belum selesai berkutat dengan rasa sakit saat ia menerima pesan foto dari pedagang pasar: potret Yculiana digandeng Yonramo di atas ojek.

Ia simpan foto itu. Ia pulang, memanggil Ycul ke ruang tamu. Meme terlibat otomatis.

Pak Siswanta (menahan marah, memperlihatkan foto di ponsel):
“Ini apa?!”
Yculiana (memandang tajam, tak gentar):
“Cinta, Ayah.”
Pak Siswanta:
“Cinta pada suami orang?!”
Yculiana (meletup):
“Kalau Ibu boleh mencintai suami orang, kenapa aku tidak?!”

(Meme terhenyak, menatap Ycul dengan wajah pucat)

Meme (suaranya pecah):
“Nak, Ibu… Ibu menyesal…”
Yculiana (membalikkan tubuh pada Meme, suara menampar):
“Penyesalan apa? Kau masih menyimpan parfum mahal darinya!”
Pak Siswanta (mendorong kursi, suara membentur dinding):
“Cukup! Rumah ini bukan pasar dosa! Kalian memperdagangkan kesetiaan!”

Piring porselen pecah di lantai ketika Meme menjatuhkan gelas. Ratapan menyatu dengan gerimis di luar.

 

Di kamar, Siswanta duduk di kursi rotan, Meme berdiri di depan lemari. Lampu temaram menciptakan bayangan kelam.

Pak Siswanta (pandangannya basah):
“Aku mungkin bukan kaya, tapi aku selalu pulang membawakan senyummu.”
Meme (menangis tersedu):
“Kau membawakan senyum, tapi lupa melihat air mataku. Aku kesepian, Wan.”
Pak Siswanta (mengetukkan jemari di lutut):
“Kesepianmu tak membenarkan kecurangan.”
Meme:
“Lalu cintaku harus kusimpan dalam kotak besi? Aku wanita, bukan bayangan toko.”
Pak Siswanta (suara rendah tapi tajam):
“Kalau hatimu rumah sewa, keluarkan aku, pasang papan ‘kosong’ saja!”

Meme jatuh berlutut. Tangisnya menutup malam, tapi tidak memadamkan dendam Siswanta.

 

Esok sorenya, Meme kabur sebentar ke hotel bintang tiga, kamar 506. Di sana Haryan menunggu dengan setangkai anggrek ungu.

Haryan (memeluk Meme erat): “Tinggal saja dia, Sas. Toko besarku untukmu. Rumah lebar, mobil, apa saja.”
Meme (terisak bahagia sekaligus takut): “Ayah anakku marah besar. Ycul terluka.”
Haryan: “Mari mulai dari nol. Anak-anakmu akan mengerti: ibunya berhak bahagia.”
Meme (mencium telapak tangannya): “Janji padaku… kau takkan mundur?”
Haryan (menarik Meme ke dada): “Kutulis namamu di setiap faktur toko, Sayang.”

Di luar jendela, lampu kota berkedip—seakan menyiratkan: janji di ketinggian sering jatuh di trotoar.

 

Malam sama, di studio musik kosong tempat Yonramo kadang mengisi kelas vokal, Ycul memetik gitar lawas. Bait lagu patah hati mengisi udara.

Yonramo (mendorong pintu, membawa dua gelas cokelat panas):
“Untuk menenangkan ribut dunia.”
Yculiana (tersenyum pahit):
“Dunia ini memang ribut, tapi kita bisa jadi lagunya.”
Yonramo (mengelus pipinya):
“Aku mungkin lelaki miskin janji, tapi satu ini pasti: aku mencintaimu, tanpa koma.”
Yculiana (menariknya ke pelukan):
“Ajak aku kabur malam ini.”
Yonramo (menutup mata):
“Ada anak yang menunggu dongeng. Istriku menunggu obat. Aku… terbelah.”
Yculiana (menahan isak):
“Kalau begitu biarkan aku jadi sayap patahmu. Tak usah terbang, asalkan kita jatuh bersama.”
Yonramo (mencium keningnya lama):
“Sayap patah tetap sakit, Ycu. Aku tak ingin kau berdarah.”

Mereka berpelukan, panas napas berpadu dengan dingin realitas—sebelum pintu studio diketuk keras oleh dua pria: sepupu Yonramo, diutus istrinya. Dengan tatapan tajam, mereka membawa Yon pulang paksa. Ycul hanya bisa menjerit tertahan.

 

Keesokan malam, Pak Siswanta menandatangani surat gugatan cerai—tanpa niat benar‑benar mengajukannya, tapi sebagai ultimatum. Ia meletakkannya di meja makan, lalu pergi.

Meme pulang larut. Melihat surat itu, ia gemetar. Ia telepon Haryan, memohon bertemu lagi. Namun yang mengangkat justru istri Haryan:

Istri Haryan (suara dingin):
“Ibu Meme, suami saya sedang menggendong anak kami yang demam. Tolong jangan ganggu keluarga kami lagi.”

Telepon terputus. Dunia Meme runtuh; ia terduduk seperti boneka kehilangan isian kapas.

 

Beberapa hari setelah kekacauan, hujan besar membasahi kota. Yculiana turun dari taksi di depan rumah, membawa map keuangan. Ia melihat ibunya duduk di teras, wajah sembab.

Meme (berbisik, serak):
“Haryan memilih keluarganya. Ayahmu hampir pergi.”
Yculiana (menghela napas panjang, duduk di samping Meme):
“Yonramo pun pulang. Istrinya sakit parah. Anak-anaknya butuh ayah.”
Meme (menitikkan air mata, menggenggam tangan Ycul):
“Kesalahan kita membuat luka yang tak bisa dihitung.”
Yculiana:
“Angka saja ada batasnya, Bu. Luka? Tak terhingga.”

Mereka saling merangkul dalam hujan. Tangis ibu–anak mencairkan dendam, meski bekasnya tetap terpatri di dinding kalbu.

 

13. Rekonsiliasi—Tidak Sempurna, Tapi Nyata

Pak Siswanta pulang membawa payung sobek dan wajah letih. Ia melihat istri dan putrinya berpelukan. Ia tak bicara, hanya menaruh payung, duduk di samping mereka, dan meraih bahu Meme.

Pak Siswanta (pelan):
“Kita semua salah. Tapi keluarga bukan bangunan yang sekali retak langsung roboh. Kita punya semen bernama maaf.”
Meme (terisak):
“Aku rela dibenci, asal diberi kesempatan menambal.”
Yculiana (menatap ayahnya dengan mata berkabut):
“Aku pun minta diampuni, Yah. Satu kesalahan susah dihitung, apalagi dua.”

Mereka bertiga saling meraih. Hujan turun seperti baptisan baru bagi keluarga itu—mencuci namun tidak menghapus noda; hanya menipiskan.

 

Dua bulan kemudian, toko Pak Siswanta kembali ramai. Meme membantu menghitung stok setiap pagi, sesekali menulis pesan renungan di dinding toko: “Setia bukan tidak tergoda, tapi memilih pulang.”

Yculiana sibuk di kantor, namun tiap Minggu ia mengajar les gratis anak-anak kuli pasar—membayar hutang moral pada istri Yonramo yang kini mulai sembuh. Yonramo? Ia kerap mengirim pesan singkat: “Anakku tertawa lagi hari ini.” Itu cukup.

Pada malam tenang, Yculiana berdiri di depan cermin retak yang dulu sempat hendak dibuang Meme. Pantulan dirinya terpecah-pecah, namun tetap menyatu. Ia mengingat segala janji, segala air mata, segala pisau kata-kata.

Ia lalu menuliskan sebuah catatan, ditempel pada pinggir cermin:

“Cinta tanpa nalar hanyalah kilau singkat. Ia akan padam—menyisakan asap yang menusuk mata paling dalam.”

Cermin itu masih retak, tetapi memantulkan cahaya lampu kamar dengan indah—mengingatkan mereka bahwa manusia bukan makhluk sempurna; hanya pengembara yang belajar pada setiap garis luka.

Dan ketika angin senja menembus jendela, keluarga Siswanta tahu: badai boleh datang lagi, namun mereka kini berdiri lebih dekat, saling menambal celah, menanti fajar dengan hati yang pernah patah—namun kini lebih kuat daripada sebelumnya.

 

ANALISIS ALOKASI WAKTU TAHUN PELAJARAN 2025-2026

 

PEMERINTAH KOTA MALANG

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

SMP NEGERI 8 MALANG

Alamat : Jl. Arjuna 19 Malang

 


ANALISIS ALOKASI WAKTU

TAHUN PELAJARAN 2025-2026

 

Mata Pelajaran    : IPS

Kelas/Semester  : IX / Ganjil

 

Fase                        : D

Alokasi Waktu      :

 

PERHITUNGAN MINGGU/JAM EFEKTIF

 

A.             PERHITUNGAN JAM EFEKTIF

I.         Jumlah Minggu :                                      II.       Jumlah Minggu Tidak Efektif :

No

Bulan

Jml. Minggu

 

Bulan

Kegiatan

Jml. Minggu

1

Juli

5

 

Juli

Kegiatan Awal Masuk Sekolah

2

2

Agustus

5

 

September

Penilaian Tengah Semester

1

3

Sepetember

4

 

Desember

Penilaian Akhir Semester

1

4

Oktober

5

 

Desember

Libur Semester

1

5

November

4

 

 

 

 

6

Desember

4

 

 

 

 

Jumlah

27

 

Jumlah

5

 

III.      Banyaknya Minggu Efektif        : 275 = 22 Minggu

IV       Banyaknya Jam Pelajaran         : 22 Minggu x 3 Jam Pelajaran = 66 Jam Pelajaran

 

B.             DISTRIBUSI ALOKASI WAKTU

No

Tujuan Pembelajaran

Alokasi Waktu

1

1.1

Peserta didik mampu Menjelaskan dinamika perubahan sosial dan dampaknya terhadap  kehidupan masyarakat

15 JP

1.2

Peserta didik mampu Membedakan antara modernisasi dan globalisasi

1.3

Perserta didik mampu Menganalisis dinamika globalisasi dan pengaruhnya terhadap   kehidupan masyarakat

1.4

Peserta didik mampu Mengevaluasi implementasi pelestarian budaya di masyarakat

1.5

Peserta didik mampu Merancang kolaborasi upaya pewarisan kearifan lokal di era modernisasi dan globalisasi.

2

2.1

Peserta didik mampu  Menjelaskan peran uang dan lembaga keuangan di tengah kehidupan masyarakat

12 JP

2.2

Peserta didik mampu  Membedakan ciri-ciri antara interaksi masyarakat di dunia nyata

dan digital.

2.3

Peserta didik mampu  Menganalisis bentuk-bentuk kegiatan ekonomi berbasis perkembangan teknologi digital.

2.4

Peserta didik mampu  Mengevaluasi kemampuan diri sendiri dan lingkungan sekitar  dalam menerapkan kemampuan dasar literasi finansial

Jumlah Jam Cadangan

0 JP

Jumlah Alokasi Waktu

0 JP

            Banyaknya Jam Pelajaran            : 22 Minggu x 3 Jam Pelajaran = 66 Jam Pelajaran

Jumlah Jam Cadangan                   : 0 Jam Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran Efektif      : 66 Jam Pelajaran - 0 Jam Pelajaran

                                                           : 66 Jam Pelajaran

 

 

Mengetahui,

Kepala SMP Negeri 8 Malang

 

 

Sri Nuryani M.Pd.

NIP. 19661116 199003 2 009            

 

 

Malang,   1 Juli 2024

Guru Mata Pelajaran

 

 

Drs Sumarno.

NIP. 1966308 200501 1 006

 

 

 

PEMERINTAH KOTA MALANG

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

SMP NEGERI 8 MALANG

Alamat : Jl. Arjuna 19 Malang

 


ANALISIS ALOKASI WAKTU

TAHUN PELAJARAN 2023-2024

 

Mata Pelajaran    : IPS

Kelas/Semester  : IX/ Genap

 

Fase                        : D

Alokasi Waktu      :

 

PERHITUNGAN MINGGU/JAM EFEKTIF

 

A.        PERHITUNGAN JAM EFEKTIF

I.         Jumlah Minggu :                                      II.       Jumlah Minggu Tidak Efektif :

No

Bulan

Jml. Minggu

 

Bulan

Kegiatan

Jml. Minggu

1

Januari

4

 

Juli

Kegiatan Awal Masuk Sekolah

2

2

Februari

4

 

September

Penilaian Tengah Semester

1

3

Maret

4

 

Desember

Penilaian Akhir Semester

1

4

April

5

 

Desember

Libur Semester

1

5

Mei

4

 

 

 

 

6

Juni

5

 

 

 

 

Jumlah

26

 

Jumlah

5

 

III.      Banyaknya Minggu Efektif        : 265 = 21 Minggu

IV       Banyaknya Jam Pelajaran         : 21 Minggu x 3 Jam Pelajaran = 63 Jam Pelajaran

 

B.        DISTRIBUSI ALOKASI WAKTU

No

Tujuan Pembelajaran

Alokasi Waktu

1

3.1

Peserta didik mampu  Menjelaskan upaya pembangunan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.

15 JP

3.2

Peserta didik mampu  Mendeskripsikan upaya pembangunan yang sudah dilakukan di Indonesia sejak periode awal kemerdekaan hingga saat ini.

3.3

Peserta didik mampu  Menganalisis tolok ukur pembangunan.

3.4

Peserta didik mampu  Mengevaluasi proses pembangunan yang dilakukan di lingkungan setempat.

3.5

Peserta didik mampu  Merancang kampanye dukungan terhadap pembangunan Indonesia untuk menjadi negara maju.

2

4.1

Peserta didik mampu  Menjelaskan keragaman lingkungan alam dan masyarakat di dunia

12 JP

4.2

Peserta didik mampu  Mendeskripsikan penyebab terjadinya kerja sama internasional

4.3

Peserta didik mampu  Menganalisis keterlibatan Indonesia dalam kerja sama internasional.

4.4

Peserta didik mampu  Menganalisis isu global yang berlangsung dalam konteks lokal.

4.5

Peserta didik mampu  Menjelaskan upaya pembangunan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.

Jumlah Jam Cadangan

0 JP

Jumlah Alokasi Waktu

0 JP

 

Banyaknya Jam Pelajaran            : 21 Minggu x 3 Jam Pelajaran = 63 Jam Pelajaran

Jumlah Jam Cadangan                   : 0 Jam Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran Efektif      : 63 Jam Pelajaran - 0 Jam Pelajaran

                                                           : 63 Jam Pelajaran

 

 

Mengetahui,

Kepala SMP Negeri 8 Malang

 

Sri Nuryani M.Pd.

NIP. 19661116 199003 2 009            

 

 

Malang,   1 Juli 2024

Guru Mata Pelajaran

 

Drs Sumarno.

NIP. 1966308 200501 1 006