Angin sore
berembus pelan, membelai pucuk-pucuk rumput yang bergoyang lembut di atas
bukit. Langit memerah jingga, seolah ikut mengenang kisah yang pernah ada. Di
sanalah aku berdiri, di tempat yang sama—tempat terakhir kali kita tertawa
bersama.
Aku duduk di
rerumputan, menyentuhkan jemari ke tanah yang masih mengingat jejak kaki kita.
Di hadapanku, bayanganmu seperti hidup kembali.
“Ingat nggak
waktu kita ke sini pertama kali?”
Suaramu seolah
berbisik di telingaku.
Aku menoleh
cepat. Tapi hanya angin yang menjawab, menyisakan getir dalam dada.
“Waktu itu kamu
lupa bawa sandal, dan kita jalan kaki hampir dua kilometer.”
Aku terkekeh
kecil, getir. Suara tawa yang dulu membahana kini tinggal gema dalam benakku.
Aku memejamkan
mata, membiarkan kenangan menyeruak tanpa permisi.
“Kamu percaya
nggak, kalau aku bisa lihat masa depan?” tanyamu dulu, saat kita merebahkan
tubuh di atas padang rumput, menatap awan-awan yang mengapung malas di langit
biru.
“Apa yang kamu
lihat?” aku bertanya sambil mencubit lenganmu pelan.
“Kita. Di rumah
kayu kecil. Kamu lagi masak, aku lagi baca buku. Terus sore harinya, kita duduk
bareng di teras, ngopi sambil lihat hujan turun.”
Aku hanya
tersenyum waktu itu. Tapi dalam hati, aku percaya. Sangat percaya.
Kini, aku
menyusuri kembali jalan setapak yang dulu sering kita lalui. Setiap batu,
setiap ranting, setiap desah angin, seperti mengenal langkah-langkah kita.
Aku terhenti di
sebuah pohon tua. Di sana, di batangnya, masih tertoreh nama kita: “A
& K, selamanya.”
"Ternyata
selamanya itu bisa patah juga, ya,"
gumamku lirih.
Langit
menggantung kelabu. Aroma tanah yang lembap membawa ingatan pada suatu sore di
bawah hujan.
“Kita
kehujanan, terus kamu malah nari-nari di tengah jalan,” ujarku waktu itu.
“Biarin, aku
mau ngerasain jadi anak film Korea!” katamu, tertawa lepas.
Lalu kau
menarik tanganku, dan kita berputar-putar dalam tawa dan gerimis. Jalanan
basah, tapi hatiku hangat. Sangat hangat.
Waktu memaksa
kita menjauh, tapi tidak pernah benar-benar memisahkan hatiku darimu.
"Aku harus
pergi," katamu suatu malam.
“Kenapa harus
pergi kalau semua terasa begitu benar?” tanyaku, mencoba meredam air mata.
“Karena hidup
kadang tidak adil untuk cinta yang terlalu sempurna,” bisikmu.
Sejak malam
itu, tak ada lagi pesan masuk darimu. Tak ada lagi panggilan larut malam. Yang
tersisa hanya diam—dan aku yang terus menunggumu di antara detik-detik yang
membeku.
Kini,
tahun-tahun telah berlalu. Tapi aku masih sering kembali ke tempat ini. Duduk
diam, menatap langit yang sama, berharap semesta mengirimkanmu kembali.
“Kalau suatu
saat aku pergi, dan kamu tetap mencintaiku... temui aku di sini,”
kau pernah berbisik, kala senja menyelimuti kita.
Maka inilah
aku. Masih menunggumu. Masih mencintaimu.
Karena aku
percaya, cinta yang ditanam dalam keikhlasan tidak akan pernah layu. Ia akan
tumbuh, bahkan dalam sepi. Ia akan hidup, bahkan dalam kenangan.
Dan jika takdir
mengizinkan, jika semesta berbaik hati, mungkin suatu hari... kau akan kembali.
Membawa pelukan yang dulu kutinggalkan di dadamu, dan kita akan kembali menulis
cerita—di lembaran waktu yang baru, di bawah langit yang sama, di antara detik-detik
yang membeku.
Bab 2: Pada
Senja yang Membawa Namamu Kembali
Sudut
Pandang: Kau
Langkahku
terhenti tepat di tepi bukit itu. Jantungku berdetak pelan, seolah takut
mengganggu ketenangan semesta. Tempat ini… masih sama. Padang rumputnya,
semilir anginnya, bahkan aroma kenangan yang menggantung di udara—semua masih
utuh seperti saat terakhir aku meninggalkannya.
Tapi aku yang
kembali ke sini, tak lagi sama.
Sudah lama aku
berkelana, mencari arti dari keputusan yang dulu aku buat. Pergi darimu adalah
luka yang tak pernah sembuh, dan setiap malam sejak saat itu, aku dihantui
tanya: Bagaimana jika aku bertahan?
Dan sekarang,
semesta seolah menjawab.
Di bawah pohon
tua itu, kulihat punggung yang begitu kukenal. Diam. Tegar. Tapi juga rapuh
dalam senyap.
“Apa kamu masih
ingat aku?” tanyaku lirih, nyaris seperti bisikan yang dibawa angin.
Dia menoleh
perlahan. Wajahnya… tak banyak berubah. Mata itu masih sama—teduh dan dalam.
Tapi ada sepasang genangan di sana, dan aku tahu, hatinya belum benar-benar
pulih.
“Aku ingat
semua tentangmu,” jawabnya. “Aku ingat, bahkan hal-hal yang kamu pikir sudah
kamu lupakan.”
Aku terpaku.
Langit di belakangnya terbakar jingga, seperti melukis ulang cerita kita yang
dulu.
Kami duduk
bersama di bawah pohon tua itu. Hening. Tapi bukan hening yang asing. Ini
hening yang penuh rindu.
“Aku kembali,”
kataku akhirnya.
“Kenapa?”
“Karena tak
satu hari pun aku bisa hidup tanpa bayanganmu.”
Dia terdiam.
Tangannya meremas rumput kecil di sampingnya, seolah berusaha meredam gemuruh
perasaannya.
“Kamu tahu,”
lanjutku, “di banyak malam yang panjang, aku berharap bisa kembali ke detik
sebelum aku pergi. Memelukmu lebih erat. Membatalkan segalanya. Tapi waktu… tak
pernah memberi jalan pulang.”
“Tapi sekarang
kamu di sini,” katanya lirih.
Aku mengangguk.
“Tapi mungkin… aku terlalu terlambat.”
Dia menatapku.
Lama. Seakan mencari jawaban bukan hanya dari mataku, tapi dari jiwaku.
“Kita memang
tak bisa mengulang yang dulu,” ucapnya pelan. “Tapi kalau kamu masih mencintai
versi diriku yang dulu… mungkin kamu bisa mulai mengenal aku yang sekarang.”
Hening
menyelubungi kami. Tapi kali ini, ada harapan yang berembus bersama angin.
Aku mengulurkan
tangan. “Maukah kau berjalan bersamaku, sekali lagi?”
Dia menatap
tanganku. Lalu menatap mataku. Kemudian, perlahan… dia mengangguk.
Dan pada senja
yang membawa namanya kembali, aku tahu, semesta memberiku satu kesempatan lagi.
Bukan untuk mengulang masa lalu. Tapi untuk menciptakan hari esok—bersama.
Bab 3: Dalam
Diam, Aku Belajar Menemukanmu Lagi
Langit mendung
menggantung rendah sore itu, seperti menahan tangis yang belum sempat tumpah.
Kami duduk berdua di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang tak terlalu
ramai, tapi cukup tenang untuk menyusun kembali puing-puing yang pernah
tercerai.
Dia duduk di
seberangku, menatap cangkir kopinya dengan sorot mata yang tak mudah aku
tafsirkan. Mungkin gugup. Mungkin ragu. Atau… mungkin, seperti aku, dia juga
sedang berjuang melawan bayang-bayang masa lalu.
“Kamu masih
suka kopi hitam?” tanyaku mencoba memecah diam.
“Aku belajar
menyukainya sejak kamu pergi,” jawabnya sambil tersenyum kecil. “Aneh, ya?”
Aku menatapnya.
“Tidak. Itu… manis. Meski pahit.”
Kami tertawa
kecil. Tawa canggung yang seperti mencari jalannya sendiri di antara
puing-puing yang belum selesai dibereskan. Tapi setidaknya, itu awal.
Hari-hari
setelahnya, kami mulai melangkah perlahan. Tidak sebagai dua orang asing. Tapi
juga belum sepenuhnya seperti dulu.
Kami kembali
berjalan di trotoar malam, seperti yang biasa kami lakukan bertahun-tahun lalu.
Tapi kali ini, tak ada tangan yang menggenggam. Hanya jarak yang dijaga dengan
penuh kehati-hatian.
“Aku takut,”
aku mengaku suatu malam, saat kami duduk di bawah lampu taman.
“Takut apa?”
tanyanya lembut.
“Takut
kehilanganmu lagi. Takut berharap, lalu hancur.”
Dia menoleh,
menatapku lama. “Aku juga. Tapi bukankah kita sudah kehilangan satu sama lain
sekali? Mungkin… yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian untuk percaya,
bukan untuk menghindar.”
Ucapan itu
membekas dalam. Tapi rasa tak pernah sesederhana kata. Karena dalam diriku,
masih ada luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan di matanya, aku tahu, masih
ada bagian dari dirinya yang bertanya: Apakah kamu akan pergi lagi?
Pada hari
Minggu yang cerah, kami memutuskan pergi ke tempat dulu kami sering
menghabiskan waktu—bukit di mana kami pertama kali saling mengungkapkan mimpi.
Kami duduk di
atas tikar kecil, membawa bekal seadanya. Angin menyapa dengan ramah. Awan
berjalan lambat di langit yang biru.
“Kamu tahu?”
katanya sambil menatap langit. “Ada bagian dari diriku yang selalu berharap
kamu kembali. Tapi aku juga takut. Takut kamu datang hanya untuk mengucapkan
selamat tinggal kedua kali.”
Aku menoleh
padanya. “Aku datang untuk bertahan. Tapi aku tahu, kata-kata tidak cukup.”
Dia menunduk.
“Aku ingin percaya. Tapi hatiku belum sekuat dulu.”
Aku mengangguk
pelan. “Kalau begitu, biarkan aku membuktikannya lewat tindakan. Tak perlu
terburu-buru. Kita bisa mulai… dari hal kecil.”
Sejak saat itu,
kami belajar mencintai dengan cara yang baru. Tak lagi dengan gairah yang
terburu-buru, tapi dengan kesabaran. Kami berbagi pagi tanpa janji, hanya
secangkir teh dan obrolan ringan. Kami membaca buku yang sama, saling
menggarisbawahi kalimat yang menyentuh hati. Kami tertawa atas hal-hal konyol,
bertukar lelucon seperti dulu. Tapi juga, kami belajar duduk bersama dalam
diam—menerima bahwa cinta tak selalu bicara, kadang cukup ada.
Hubungan kami
menjadi semacam rumah yang belum selesai dibangun. Tapi pondasinya mulai kuat.
Kami tak menuntut kesempurnaan, hanya kejujuran. Kadang kami masih berselisih,
kadang masih menatap satu sama lain dengan tatapan ragu. Tapi di tengah semua
itu, ada satu hal yang perlahan tumbuh kembali: harapan.
“Kalau suatu
hari aku ragu lagi…” katanya suatu malam.
“Pegang
tanganku,” jawabku cepat. “Dan ingat, aku juga sedang belajar mempercayai cinta
yang pernah kita tinggalkan.”
Dan dalam
pelukan senja yang baru, aku tahu, kisah kami tak lagi tentang mengulang masa
lalu. Tapi tentang menulis ulang hari esok, dengan tinta yang lebih
jujur, dan cinta yang lebih dewasa.
Bab 4: Saat
Masa Lalu Mengetuk Pintu
Hujan turun
pelan-pelan sore itu, seperti suara pelan dari masa lalu yang datang mengetuk
hati.
Kami baru saja
selesai makan malam ketika teleponnya berdering. Wajahnya yang semula tenang
tiba-tiba berubah. Matanya menyipit, lalu ekspresinya kaku. Ia menatap layar
ponselnya lama sekali, sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah.
“Halo?”
Aku tidak
mendengar percakapan penuh, tapi dari caranya menjauh, aku tahu—itu bukan
percakapan biasa.
Ketika ia
kembali ke meja, dia diam. Jemarinya memainkan sendok yang sudah tak digunakan.
Aku tak ingin mendesak, tapi aku tahu, keheningan ini adalah pertanda.
“Kamu nggak mau
cerita?” tanyaku hati-hati.
Dia menghela
napas. “Itu… Dinda. Dia kembali.”
Hatiku
mencelos. Nama yang tak asing, tapi sudah lama kutenggelamkan dalam riak-riak
yang berusaha kuabaikan.
Dinda. Mantan
kekasihnya. Perempuan yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya,
sebelum aku datang lagi. Aku tahu tentang mereka, dia pernah cerita. Tentang
bagaimana Dinda pergi untuk karier di luar negeri. Tentang patah hati yang tak
pernah benar-benar dia akui.
“Dia cuma mau
ketemu, katanya. Bukan apa-apa,” ucapnya.
Aku menatap
matanya, mencari kejujuran. “Dan kamu… mau?”
Dia menunduk.
“Aku nggak tahu. Aku bingung. Aku cuma... nggak mau menyakiti siapa-siapa
lagi.”
Dan di sanalah
percikan luka itu kembali menyala. Bukan karena Dinda. Tapi karena
ketidakpastian. Karena aku merasa, belum cukup kuat untuk kalah satu kali lagi.
Malam itu aku
pulang lebih dulu, membawa rindu yang belum sempat jadi pelukan, membawa cemas
yang tak ingin kujadikan pertengkaran.
Di kamarku, aku
duduk lama, memeluk lutut di atas ranjang. Bayangan wajahnya terus bermain di
kepala, bersama tanya-tanya yang mengganggu: Apa dia masih menyimpan
perasaan itu? Apa aku hanya tempat singgah sementara?
Aku tidak
menelepon. Tidak mengirim pesan. Aku memberi ruang. Tapi juga menyimpan ragu.
Aku mencoba percaya, namun seperti berjalan di atas jembatan kayu yang
lapuk—aku takut tenggelam lagi.
Dua hari
kemudian, dia muncul di depan pintu rumahku, basah oleh gerimis.
“Aku nggak jadi
ketemu dia,” ucapnya tanpa aku tanya.
“Kenapa?”
suaraku nyaris tak terdengar.
“Karena aku
sadar, aku sudah berhenti berjalan mundur. Dan kamu adalah rumah yang ingin aku
bangun, bukan rumah yang pernah aku tinggalkan.”
Aku terdiam.
Tak tahu harus bahagia atau masih terluka.
“Aku tidak
minta kamu langsung percaya,” lanjutnya. “Tapi beri aku kesempatan untuk
membuktikan. Bukan karena Dinda kembali, tapi karena aku tahu, aku tak mau
kehilangan kamu lagi.”
Aku menarik
napas panjang. Jujur, hatiku masih genting. Tapi di balik rasa sakit, ada benih
yang tumbuh—benih harapan yang belum mati.
“Aku juga
belajar sesuatu,” kataku. “Bahwa cinta bukan tentang tak pernah diuji, tapi
tentang bertahan meski dunia memberi alasan untuk menyerah.”
Kami saling
menatap lama, dan dalam diam itu, aku tahu, kami sama-sama takut. Tapi kami
juga sama-sama ingin bertahan.
Dan di tengah
hujan yang makin deras, dia menggenggam tanganku. Tidak dengan janji, tapi
dengan ketulusan.
Mungkin
perjalanan kami belum selesai diuji. Tapi hari itu, kami memilih untuk tidak
lari, tidak lagi bersembunyi. Kami memilih untuk menghadapi masa
lalu bersama, meski luka belum sepenuhnya sembuh.
Bab 5: Rumah
yang Belum Selesai Dibangun
Kami duduk
berdua di beranda kecil rumah kontrakan yang sering kujadikan tempat berteduh
dari sepi. Angin sore mengalir pelan, membawa bau tanah basah dan suara burung
yang kembali ke sarang. Di hadapan kami, secangkir teh mulai mendingin.
“Gimana
kalau... kita tinggal bareng aja?” tanyanya, pelan.
Aku menoleh,
menatap matanya yang penuh harap tapi juga ragu.
“Maksud kamu?”
“Bukan yang
buru-buru, bukan langsung nikah besok. Tapi... aku pengin bangun pagi dan lihat
kamu di sana. Aku pengin ada kamu tiap malam. Kita bisa mulai dari yang kecil.
Beli rak buku bareng. Tanam pohon di halaman. Mulai nyicil mimpi.”
Jantungku
berdetak cepat. Bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya, masa
depan tak terasa mustahil. Kami tertawa membayangkan betapa anehnya aku
harus berbagi bantal, betapa dia mungkin bakal lupa tutup odol, betapa hidup
bersama bukan hanya soal cinta tapi juga kompromi.
Kami mulai
mencari-cari tempat tinggal, menyimpan gambar dapur kecil, balkon mungil, dan
tirai warna krem. Setiap hari terasa seperti mendekat pada sesuatu yang dulu
hanya angan.
Tapi semua itu
perlahan retak ketika kabar itu datang.
Ibunya jatuh
sakit. Tak parah, tapi cukup untuk membuatnya pulang lebih sering. Dan di
sanalah, realita mulai menampakkan wajahnya.
“Ibu minta aku
pulang. Katanya... kenapa nggak cari perempuan yang lebih ‘jelas’ aja. Yang
keluarganya dikenal. Yang seiman.”
Kata-kata itu
menusuk seperti sembilu. Meski ia tak pernah bicara soal agama atau asal-usulku
sebelumnya, ternyata keluarganya menyimpannya seperti bisul yang kini pecah.
“Jadi... aku
nggak ‘jelas’ di mata mereka?” tanyaku pelan.
Dia meraih
tanganku, tapi aku menghindar. Bukan marah. Tapi aku lelah.
Kami tak
bertengkar. Tapi hening di antara kami lebih menyakitkan dari debat manapun.
Hari-hari
selanjutnya terasa seperti berjalan di atas beling. Kami masih saling bertemu,
tapi obrolan kami tak lagi semeriah dulu. Bahkan, membicarakan rak buku atau
tirai krem kini terasa asing, seperti benda-benda di mimpi yang tiba-tiba
memudar.
“Aku nggak mau
kehilangan kamu,” katanya suatu malam. “Tapi aku juga nggak bisa terus bentrok
sama ibu.”
“Jadi, apa yang
akan kamu pilih?”
Dia diam. Dan
di situlah aku tahu, tidak semua cinta berani memilih.
Malam itu aku
menangis. Bukan karena dia tidak mencintaiku. Tapi karena aku mulai
sadar, tidak semua cinta berani melawan dunia.
Namun, saat aku
nyaris menyerah, dia datang lagi. Dengan mata sembab dan suara gemetar.
“Aku nggak akan
pergi. Tapi mungkin... kita butuh waktu. Bukan untuk saling menjauh, tapi untuk
menguat. Untuk membuktikan pada dunia, kalau kita bukan hanya dua orang yang
jatuh cinta—tapi dua orang yang siap berjuang.”
Aku menatapnya
lama. Aku tahu, perjalanan ini tak akan mudah. Akan ada banyak luka, penolakan,
dan air mata. Tapi jika dia bersedia tetap tinggal—maka aku pun akan bertahan.
“Kalau begitu,”
kataku lirih, “kita akan bangun rumah kita sendiri. Meskipun untuk itu... kita
harus mulai dari puing-puing.”
Dan kami pun
saling menggenggam lagi. Bukan karena semua sudah selesai, tapi karena
kami siap menghadapinya bersama.
Bab 6: Janji
yang Tidak Disaksikan Langit
Hujan turun
pelan hari itu. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat dunia terasa seperti
menggigil bersama kami.
Kami berdiri di
sebuah ruangan sempit—bukan aula, bukan gereja, bukan masjid besar—hanya rumah
seorang sahabat lama, dengan tirai lusuh dan aroma teh manis yang menua. Tidak
ada bunga, tidak ada iring-iringan, tidak ada orang tua yang memeluk kami
dengan air mata haru.
Yang ada
hanyalah kami. Dan satu orang saksi. Dan sepasang cincin tipis yang kami beli
semalam di sebuah toko perhiasan kecil, nyaris tanpa memilih.
“Kita jadi?”
tanyaku waktu itu, masih menggenggam tangannya erat.
“Jadi. Karena
kalau aku harus memilih antara kehilanganmu dan kehilangan semua yang lain… aku
pilih kamu.”
Suaranya
tenang, tapi matanya basah. Aku tahu dia ragu. Bukan karena tidak mencintaiku.
Tapi karena jauh di dalam sana, ada luka yang belum selesai ditawar: luka
karena harus memilih untuk tidak diakui oleh mereka yang
membesarkannya.
Pernikahan itu
singkat. Kami mengucapkan janji dengan suara lirih, lebih mirip bisikan dari
dua jiwa yang terdesak oleh takdir.
“Aku menikahkan
diriku kepadamu... dengan mahar ini... dan janji untuk tidak pergi, meski dunia
mengusir kita.”
Tanganku
gemetar saat menyentuh cincin yang dingin itu. Dalam hening yang menyusul, tak
ada musik. Hanya suara hujan yang menetes di atap seng, seperti tangisan langit
yang tahu: ini bukan pernikahan yang diimpikan dua anak manusia yang saling
mencinta.
Setelah itu,
kami duduk berdua. Saling menggenggam, saling memandang, tapi tidak ada tawa
seperti biasanya. Ada cinta, ya. Tapi juga ada luka yang samar mulai tumbuh.
“Kamu sedih?”
tanyaku.
Dia menoleh.
“Enggak... tapi aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut suatu
hari nanti... semua ini terasa seperti kesalahan.”
Aku mencium
punggung tangannya. Lama. Dalam.
“Aku tidak
pernah merasa kamu adalah kesalahan. Mungkin dunia yang salah, karena membuat
cinta kita jadi dosa hanya karena perbedaan nama, keyakinan, atau keluarga.”
Malam itu kami
tidur berdua, untuk pertama kalinya sebagai suami-istri. Tapi bukan di tempat
tidur berbunga, bukan di kamar hotel dengan linen putih. Hanya kasur tipis di
sudut rumah kontrakan yang selama ini jadi saksi bisu percakapan kami tentang
masa depan.
Dan di tengah
malam, saat aku terbangun karena suara hujan yang belum berhenti, aku
menatapnya yang tertidur dengan napas tenang. Hati ini berbisik:
Apakah ini
akan cukup?
Apakah cinta akan tetap bertahan meski terus disembunyikan?
Aku tak punya
jawabannya. Tapi yang kupunya adalah tangan ini—yang akan terus menggenggam,
meski harus berdarah.
Bab 7: Cinta
yang Tersembunyi
Hari-hari
setelah pernikahan itu tidak seperti yang kami bayangkan. Bukan karena kami
tidak saling mencintai, tetapi karena kami hanya bisa berbagi cinta dalam diam.
Setiap langkah yang kami ambil seperti menari di atas seutas tali yang tipis,
seolah-olah dunia menunggu kami jatuh.
Kami tinggal di
kontrakan yang kecil, sebuah rumah yang bahkan tidak bisa disebut rumah—hanya
empat dinding dan satu atap yang menangis bersama hujan. Kami tidak bisa
menunjukkan apapun kepada dunia, tidak ada yang tahu bahwa kami sudah menikah.
Tidak ada foto bersama di media sosial, tidak ada kebahagiaan yang bisa kami
tunjukkan. Kami hanya punya satu sama lain, dan itu kadang terasa tidak cukup.
“Kenapa kita
tidak bisa lebih bebas?” tanyaku suatu malam.
Dia duduk di
meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. “Karena dunia tidak siap
untuk kita.”
Suara itu penuh
dengan rasa sakit, tetapi juga keletihan yang sudah lama kami simpan. Kami
tahu, cinta kami tidak cukup kuat untuk mengubah pandangan orang-orang,
terutama keluarganya. Ibu masih menelpon setiap minggu, bertanya kapan dia akan
kembali pulang, kapan dia akan bertemu dengan calon menantu yang mereka
pilihkan. Ayahnya tidak pernah berbicara padanya sejak kami memutuskan untuk
menikah tanpa restu.
“Aku rindu
ibu,” katanya suatu malam, suaranya hampir patah.
“Aku juga,”
jawabku, meski rasanya lebih seperti mengaku ke dalam kekosongan. “Tapi aku
tahu kita harus kuat. Kita... kita punya satu sama lain.”
“Tapi itu tidak
cukup, kan?”
“Tentu saja
cukup. Cinta kita cukup untuk bertahan.”
Dia tidak
menjawab. Hanya menunduk, menggenggam tanganku dengan lemah.
Pernikahan ini,
yang dulu terasa seperti janji penuh harapan, kini terasa seperti beban yang
semakin berat. Aku merindukan tawa kami yang dulu—tawa yang begitu ringan dan
penuh dengan kebebasan. Kini, tawa itu terasa seperti kenangan yang mulai
memudar, hilang dalam kesunyian.
Kami mulai
terbiasa dengan rutinitas yang kosong—pagi-pagi bekerja, malam-malam kembali ke
rumah yang tidak pernah bisa kami banggakan. Setiap kali aku melihat wajahnya
yang lelah, aku merasa tak mampu memberikan apapun selain cinta yang terus
tersembunyi.
Suatu hari,
saat kami sedang duduk di balkon rumah kontrakan yang sederhana, dia memecah
keheningan.
“Aku harus
kembali. Aku harus bicara dengan ibu. Aku harus meluruskan semuanya,” katanya,
suaranya penuh dengan keputusan.
“Kamu yakin?”
tanyaku, meski hatiku meronta.
“Aku tak bisa
terus seperti ini. Aku ingin dia tahu, aku ingin dia menerima kita. Kita tidak
bisa terus hidup dalam bayang-bayang.”
Keinginan itu
muncul begitu kuat, dan aku tahu betul apa yang dia rasakan. Keluarganya adalah
dunia yang tak bisa ia lupakan begitu saja. Tapi apa yang bisa kami lakukan?
Kami sudah memilih jalan ini—jalan yang tidak ada tempat untuk ragu. Aku merasa
seakan-akan semuanya telah diputuskan untuk kami, tanpa pilihan lain.
Aku menatap
matanya yang mulai berkaca-kaca. Tanpa kata-kata, aku merengkuhnya, dan dia
membalas pelukanku. Tidak ada air mata, hanya keteguhan dalam diam.
“Kalau kamu
pergi, aku tunggu di sini,” kataku, suaraku hampir tak terdengar.
“Aku akan
kembali. Aku janji.”
Tapi saat ia
pergi, dunia terasa lebih sepi dari sebelumnya. Aku duduk di ruang kosong yang
kami huni, menatap cermin tanpa melihat apa pun. Aku tahu perjalanan ini tidak
mudah. Kami berdua tahu, tak ada jaminan bahwa keluarganya akan menerima kami.
Tidak ada yang bisa menjamin bahwa cinta ini akan berhasil.
Namun aku tahu
satu hal—meski kami harus melalui segala kesulitan, meski cinta kami harus
bersembunyi di balik tirai gelap, aku akan tetap menunggu. Karena cinta yang
tulus bukanlah tentang pengakuan dari dunia. Cinta sejati adalah tentang kesetiaan,
bahkan saat dunia tidak mengerti.
Bab 8: Di
Ambang Restu yang Tak Pernah Datang
Rumah itu masih
sama seperti dulu—pagar besi hitam yang sedikit berkarat, taman kecil dengan
mawar putih yang disukai ibunya, dan suara burung-burung yang ramai menyambut
pagi. Tapi bagi Dira, rumah itu tak lagi menyambut seperti dulu. Ada sesuatu
yang dingin di udara. Sesuatu yang menusuk lebih dari angin pagi.
Dia berdiri di
depan pintu dengan tangan gemetar. Sebuah koper kecil di samping kakinya, dan
harapan besar di dalam dadanya. Harapan bahwa hari ini akan berbeda. Hari ini,
mereka mungkin akan mendengar. Mungkin akan mengerti.
Pintu dibuka
oleh ibunya. Wajah perempuan paruh baya itu kaku, hanya sesaat matanya melembut
melihat anak perempuannya, sebelum kembali mengeras.
“Kamu datang
juga akhirnya,” suara ibu lirih, tajam namun rindu terselubung.
Dira
mengangguk. “Aku ingin bicara, Bu. Dengan Ibu dan Ayah. Sekali saja. Dengarkan
aku.”
Mereka duduk di
ruang tamu, ruang yang pernah jadi tempat kenangan manis saat Dira kecil dulu
bermain piano atau meringkuk di pangkuan ibunya. Kini ruangan itu terasa asing,
dingin, seperti ruang pengadilan tak bersuara.
Ayahnya masuk.
Diam, mengenakan batik rapi dan tatapan tajam yang tidak pernah ia kenal saat
kecil. Tidak ada senyum. Hanya penilaian.
“Apa yang kamu
ingin katakan, Dira?” tanya ayah, nada suaranya datar.
“Aku sudah
menikah. Dengan Arga,” ucap Dira pelan tapi tegas. “Kami bahagia. Tapi... aku
ingin kalian tahu. Aku ingin kalian menerima.”
Ibunya langsung
membuang muka. Ayahnya menghela napas panjang, dan ruangan itu mendadak sunyi.
Sunyi yang menusuk lebih dari teriakan.
“Menikah di
belakang kami?” suara Ayah retak. “Kau tega sekali.”
“Kami terpaksa.
Karena kalian tidak pernah memberi kesempatan. Bahkan untuk mengenalnya.”
“Kami
mengenalnya lebih dari cukup. Dan kami tahu, dia bukan yang terbaik untukmu,”
ibu memotong, suaranya tinggi dan getir. “Dia laki-laki biasa, tanpa kepastian.
Kami ingin masa depan untukmu, Dira. Bukan kesia-siaan.”
“Tapi aku
bahagia, Bu. Bukankah itu yang penting?”
“Bahagia sesaat
tidak akan menyelamatkanmu nanti. Cinta tidak cukup ketika hidup mulai
menampar. Kau akan kembali ke sini menangis, dan saat itu, semuanya sudah
terlambat.”
Dira menatap
mereka, air mata mulai mengalir tanpa ia sadari. “Kalian tidak percaya padaku?”
“Kami percaya
padamu, tapi kami lebih percaya bahwa ini salah,” jawab ayah. “Dan satu-satunya
jalan agar kamu bisa kembali ke keluarga ini adalah… berpisah darinya.”
Kata-kata itu
menghantam seperti badai. Ruangan runtuh dalam diam. Dira tidak berkata
apa-apa. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Tangannya gemetar di
pangkuannya. Seluruh tubuhnya menolak menerima, tapi hatinya tahu—ini bukan
tawaran, ini ultimatum.
“Aku tidak
bisa,” suara Dira akhirnya keluar, parau. “Aku tidak bisa meninggalkan Arga.
Dia adalah hidupku.”
Ibunya menoleh
dengan mata memerah. “Lalu kamu pilih dia, dan tinggalkan kami?”
Dira berdiri
perlahan. Ia menatap kedua orang tuanya—manusia yang membesarkannya, memberinya
segalanya… kecuali ruang untuk memilih cinta.
“Aku tidak
meninggalkan siapa pun,” katanya pelan. “Tapi jika harus memilih... maka aku
akan tetap bersamanya. Karena dia tidak pernah menyuruhku memilih. Karena dia
mencintaiku tanpa syarat, bahkan ketika dunia menolak kami.”
Ia pergi dengan
langkah lemah namun pasti. Pintu tertutup dengan lembut di belakangnya, tapi
suara-suara dari dalam masih menggemakan luka yang belum sembuh.
Di luar, hujan
mulai turun. Dira berdiri sebentar di bawah gerimis, wajahnya mendongak ke
langit. Air mata dan hujan bercampur menjadi satu.
Di kejauhan,
Arga berdiri di dekat mobil, menatapnya dengan tatapan cemas. Dira berjalan
mendekat, lalu meraih tangannya dan menempelkan pipinya di dadanya.
“Mereka masih
belum bisa menerima,” bisiknya.
Arga mengangguk
pelan. Ia sudah menduganya. Tapi tetap, hatinya ikut perih.
“Kita masih
punya satu sama lain,” katanya, mencoba menguatkan, meski suaranya juga
bergetar.
“Tapi sampai
kapan harus seperti ini, Ga? Sampai kapan cinta kita bersembunyi dari mata
dunia?”
Tak ada jawaban
yang cukup pasti. Tapi malam itu, mereka kembali ke rumah kecil mereka—dengan
hati yang makin berat, tapi juga cinta yang tak menyerah.
Mungkin…
mungkin ini bukan akhir. Tapi awal dari perjuangan yang lebih dalam.
Bab 9: Retak
yang Tak Bisa Disatukan
Hari-hari
setelah pertemuan itu berjalan seperti meniti kaca. Tipis. Rapuh. Satu langkah
salah, dan luka bisa menyayat lebih dalam.
Dira tak lagi
banyak bicara. Ia tetap membuatkan kopi, seperti biasa. Tapi tak ada senyum
saat menghidangkannya. Tak ada candaan kecil. Tak ada obrolan tentang masa
depan.
Arga pun mulai
berubah. Ia lebih banyak diam. Ia tahu Dira sedang berperang—antara
mempertahankan cinta, atau pulang pada keluarganya. Dan Arga tahu, pertarungan
seperti itu selalu menyakitkan… bagi keduanya.
“Aku dapat
tawaran kerja di luar kota,” kata Arga suatu malam, suaranya pelan seperti
angin.
Dira menoleh.
“Kapan?”
“Minggu depan.”
Hening.
Dira mengangguk
pelan. “Ambil saja. Itu bagus untuk kamu.”
Arga
menatapnya, seolah ingin mengatakan, bagus untuk kita. Tapi kalimat
itu tak pernah ia ucapkan. Karena ia tahu, sudah lama tidak ada lagi “kita”
yang utuh. Yang ada hanyalah dua hati yang bertahan, tapi tak lagi tumbuh
bersama.
“Kamu ikut?”
tanyanya pelan.
Dira tersenyum,
tipis sekali. “Kamu tahu jawabannya, Ga.”
Dan di situlah
akhirnya keduanya tahu—cinta yang tidak diberi tempat, perlahan akan
kehilangan akar. Meski mereka ingin terus bertahan, realitas sudah
terlalu kejam. Terlalu banyak luka. Terlalu banyak tangis yang dipendam.
Keesokan
harinya, mereka duduk di bangku taman kecil, tak jauh dari rumah kontrakan
mereka. Matahari sore menyinari wajah Dira yang pucat. Arga menggenggam
tangannya.
“Aku minta
maaf,” bisiknya. “Karena tidak bisa membuat dunia menerima kita.”
“Bukan
salahmu,” kata Dira. “Bukan salah siapa-siapa. Mungkin memang cinta kita datang
di waktu yang salah. Di keluarga yang salah. Di dunia yang belum siap.”
“Tapi kalau
waktu bisa diulang…”
“Aku tetap akan
memilih kamu,” potong Dira. “Selalu.”
Tangis meledak
tanpa suara. Arga memeluknya erat, seolah tak ingin dunia merenggut detik-detik
terakhir itu. Di pelukan itu, ada ribuan kenangan. Tawa. Mimpi. Rencana. Dan
sayangnya—semua hanya akan tinggal cerita.
Sore itu,
mereka berpisah. Bukan karena berhenti mencinta. Tapi karena mereka terlalu
mencinta untuk saling menyakiti lebih jauh.
Dira berdiri di
ambang pintu, melihat Arga berjalan pergi. Tak ada kata perpisahan. Hanya
tatapan yang menyimpan ribuan “kalau saja”.
Dan ketika
pintu tertutup, Dira tahu… sejak hari itu, tak akan ada lagi dua
cangkir kopi di pagi hari.
Hanya satu.
Untuk dirinya sendiri.
Dan untuk kenangan yang akan ia simpan, diam-diam.
Bab 10:
Ruang yang Tak Pernah Kututup
Langit pagi
tampak pucat saat Dira berdiri di ambang rumah lamanya. Rumah yang pernah ia
tinggalkan dengan air mata, kini ia datangi kembali dengan harapan yang
tertatih. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu. Bukan karena takut ditolak,
tapi karena ia tahu—butuh keberanian besar untuk kembali ke tempat yang dulu
tak memberinya pelukan.
Pintu dibuka
oleh ibunya. Raut wajah itu sedikit terkejut, tapi tidak keras. Tidak sekeras
yang Dira bayangkan dalam mimpinya.
“Aku pulang,
Bu…” suara Dira lirih, nyaris tenggelam oleh gemuruh dadanya sendiri.
Ibunya
memandangnya lama, lalu melangkah mundur. "Masuklah."
Tak ada
pelukan. Tapi keheningan itu sudah cukup. Itu adalah awal dari sesuatu. Dan
Dira tahu, kadang yang paling menyembuhkan bukan pelukan
hangat—melainkan kehadiran yang diterima kembali.
Hari-hari
berikutnya berjalan lambat. Tapi Dira belajar untuk sabar. Ia membantu di
dapur, menyapu halaman, dan duduk di ruang tengah menonton berita seperti dulu.
Kadang ayahnya hanya mengangguk saat berpapasan. Kadang ibunya memanggilnya
untuk makan malam. Semua seperti puzzle yang retak, tapi berusaha utuh kembali.
Di malam-malam
sunyi, ia masih sering mengingat Arga. Masih memeluk bantalnya erat, berharap
keajaiban datang lewat mimpi. Masih menulis di buku hariannya—tentang rindu
yang tak pernah mati.
“Hari ini aku
belajar membuat masakan kesukaanmu, Ga. Tapi rasanya belum pas. Seperti hidupku
sekarang… ada yang kurang.”
Kadang ia
menatap ponselnya lama, berharap ada notifikasi dari nomor yang tak lagi aktif.
Namun waktu
mengajarkan banyak hal: bahwa mencintai juga bisa berarti merelakan
seseorang menemukan dirinya sendiri, sebelum bisa kembali.
Suatu hari,
Dira duduk sendiri di taman kecil dekat rumah. Tempat itu dulu biasa mereka
datangi. Angin sore membelai rambutnya. Ia menatap langit dan tersenyum.
“Kalau kamu
dengar ini, Ga… aku masih di sini. Masih percaya. Masih menunggu. Tapi kalau
pun tak kembali… setidaknya kamu tahu, cinta ini belum mati.”
Dan untuk
pertama kalinya, air mata itu jatuh bukan karena luka, tapi
karena cinta yang sudah belajar tumbuh sendiri. Tak lagi menuntut,
tak lagi memaksa. Tapi tetap hangat, tetap setia.
Dira belum tahu
apakah takdir akan membawanya kembali pada Arga.
Tapi
kini, ia siap.
Siap
menyambutnya jika suatu hari Arga pulang.
Dan siap berjalan sendiri jika cinta itu hanya cukup untuk menjadi kenangan
yang tak pernah usang.
Karena untuk
Dira, cinta sejati bukan tentang memiliki… tetapi tentang tetap
menyalakan cahaya, meski dalam kegelapan yang tak pasti.
Bab 11 —
Penantian yang Tak Pernah Pudar
Waktu telah
mengikis banyak hal—rambut hitam yang mulai memutih, sorot mata yang tak lagi
terang, dan semangat yang tak lagi muda. Tapi rasa itu, rasa yang tertanam
dalam sunyi dan tumbuh dalam kenangan, tak pernah benar-benar mati.
Sudah dua puluh
lima tahun sejak Arga terakhir menatap wajah Dira. Dua puluh lima tahun sejak
mereka memutuskan untuk saling melepas, demi kehormatan, demi keluarga, demi
luka yang tak bisa dibalut hanya dengan cinta.
Sekarang, Arga
duduk di ruang tengah rumahnya, di samping istrinya yang sedang menjahit.
Mereka tak banyak bicara. Pernikahan mereka baik-baik saja, cukup sejuk, cukup
tenang, cukup… wajar.
Namun di dalam
dirinya, ada ruang yang tidak pernah ia buka pada siapa pun. Sebuah ruang
bernama Dira.
Setiap malam,
sebelum tidur, ia menatap satu foto yang ia simpan di dalam dompet—usang,
warnanya telah memudar, tapi senyuman Dira di sana masih utuh, seperti dulu.
Itu satu-satunya yang tidak pernah ia buang.
Istrinya tahu,
meski tak pernah bertanya. Ia hanya menyimpan kesedihan diam-diam, dan mungkin
kelelahan karena tahu, sebagian hati Arga tak pernah sepenuhnya menjadi
miliknya.
Dira, di tempat
berbeda, hidup sendiri. Ia tak pernah menikah. Setelah perpisahan itu, ia
mencoba, pernah membuka hati—sekali dua kali. Tapi tak ada yang bisa menyamai
keteduhan Arga, cara lelaki itu menggenggam tangannya dalam diam, atau
memanggil namanya seperti sedang berdoa.
Setiap ulang
tahunnya, Dira menulis surat yang tak pernah ia kirim. Kepada Tuhan. Kepada
Arga. Kepada dirinya sendiri.
"Tuhan,
jika aku dilahirkan kembali, aku ingin mencintainya di kehidupan yang tidak
membuat kami saling kehilangan."
Ia masih
menyimpan kunci kecil—benda kenangan dari rumah sewa kecil tempat mereka pernah
menyusun masa depan dalam sunyi, dengan cinta yang sembunyi-sembunyi.
Kini, rumah itu sudah jadi ruko. Tapi setiap kali ia melewati bangunan itu,
jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Tapi hidup
tidak berhenti menertawai harapan.
Suatu malam,
Arga duduk di mobilnya, memarkir di depan gedung tua tempat dulu ia dan Dira
pertama kali bertemu saat kuliah. Ia menatap bangunan itu dengan mata yang
berair.
Ia tahu Dira
tinggal di kota ini. Ia tahu alamatnya dari teman lama. Tapi langkahnya selalu
gagal mendekat.
Karena ia takut:
Takut Dira sudah bahagia.
Takut kehadirannya hanya jadi luka baru.
Takut ia akan semakin jatuh, dan tidak bisa pulang lagi ke hidup yang sudah ia
bangun.
Tapi yang
paling ia takutkan:
Bahwa Dira juga masih menunggu.
Bahwa semua ini bukan tentang dia saja. Bahwa cinta ini… masih hidup di dua
hati yang tak pernah bisa bersatu.
Pada malam itu,
di bawah langit yang tak memberi tanda apa pun, dua jiwa yang lelah saling
menunggu dalam jarak.
Dira menatap jendela, memeluk syal yang dulu pernah Arga hadiahkan.
Sementara Arga menunduk di setir mobilnya, menangis dalam sunyi yang tak
seorang pun tahu.
Mereka hidup.
Mereka bernapas.
Mereka mencintai.
Tapi tidak bisa bersama.
Dan seperti
hujan yang turun tanpa aba-aba, mereka hanya bisa berdoa dalam diam.
Mungkin Tuhan masih menyimpan satu keajaiban. Tapi mereka pun mulai belajar,
bahwa tidak semua cinta harus dimiliki.
Beberapa cinta
hanya ditakdirkan untuk bertahan dalam hati—selamanya.
Bab 12 — Dalam
Hening yang Terlambat
Senja sore itu
temaram, seperti hati Dira yang telah lama pasrah. Ia melangkah pelan menyusuri
trotoar sebuah taman kota—taman yang dulu pernah jadi saksi canda tawa dua jiwa
yang berani bermimpi. Kini, tempat itu berubah. Lebih ramai, lebih hidup. Tapi dalam
diri Dira, yang terasa justru sebaliknya: sunyi, seperti ruang-ruang dalam hati
yang sudah lama tak dijamah tawa.
Tangannya
menggenggam buku tua yang hendak ia kembalikan ke perpustakaan kecil di pojok
taman. Buku itu ia temukan kembali di lemari usang. Judulnya “Perihal
Rindu yang Tak Selesai.”
Ia tidak pernah
menyangka, di tempat sederhana itulah takdir mempermainkan garis waktu dengan
cara yang paling tak terduga.
Arga tidak
seharusnya berada di sana hari itu. Ia datang hanya untuk mengantar
keponakannya yang ikut kegiatan di taman. Tapi saat ia menoleh, napasnya
tercekat.
Dira.
Berdiri
beberapa langkah darinya. Rambutnya tergerai, sebagian beruban, tapi tetap
dengan tatapan yang sama—tatapan yang dulu membuat dunia menjadi tenang.
Mereka
sama-sama terdiam.
Tak ada musik
dramatis. Tak ada pelukan haru. Hanya mata yang saling menatap, membawa dua
puluh lima tahun luka dan rindu dalam satu kedipan.
“Dira...”
Suara itu pecah
di antara debur napas yang terpendam terlalu lama.
Dira tersenyum kecil. “Aku pikir kita nggak akan pernah ketemu lagi.”
“Seharusnya
tidak,” bisik Arga, lirih. “Tapi aku senang kita masih diberi waktu untuk...
menyapa.”
Mereka berjalan
pelan. Tak banyak kata. Hanya tawa pendek yang sesekali pecah. Seperti dua
orang asing yang pernah saling mencintai, dan kini mencoba memeluk masa lalu
tanpa menyentuh luka yang sudah terlalu dalam.
“Aku pikir kamu
sudah lupa,” kata Dira sambil menatap langit yang mulai berubah kelabu.
“Tidak pernah,”
jawab Arga. “Aku menyebut namamu setiap malam. Dalam hati. Dalam doa.”
Dira
mengangguk. “Aku pun begitu... Tapi waktu bukan sahabat yang adil, ya?”
“Bahkan Tuhan
pun kadang diam terlalu lama,” gumam Arga.
Mereka duduk di
bangku taman. Tangannya nyaris menyentuh milik Dira, tapi kemudian ia urungkan.
Bukan karena tidak ingin, tapi karena ia tahu: beberapa hal hanya indah
saat tidak digenggam.
“Jadi ini...
akhir cerita kita?” tanya Dira.
“Bukan akhir,”
jawab Arga. “Ini halaman terakhir dari buku pertama. Mungkin di kehidupan lain,
kita bisa menulis kisah yang tak harus diakhiri dengan perpisahan.”
Dira tersenyum,
matanya mulai basah. “Aku akan menunggu cerita itu. Meski harus lahir kembali
seribu kali.”
Arga berdiri.
Jam di tangannya berdetak. Waktu memanggilnya pulang ke kehidupan yang telah ia
ikrarkan. Dira pun berdiri, mengangguk perlahan.
Mereka tak
berpelukan. Tak menggenggam tangan. Hanya saling memandang, menyimpan kenangan
itu dalam ruang paling sunyi.
Saat Arga
melangkah pergi, Dira menutup matanya, lalu membuka buku tua itu, membacakan
satu kutipan yang entah mengapa terasa seperti takdir:
"Beberapa
cinta tidak ditulis untuk memiliki. Hanya untuk mengingat. Dan dikenang
selamanya."
Langit perlahan
turun hujan.
Dan di bawah rinainya, dua hati saling melepaskan untuk terakhir kalinya.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar