Rabu, 09 April 2025

NOVEL PENDEK . " Beberapa cinta tidak ditulis untuk memiliki. Hanya untuk mengingat. Dan dikenang selamanya".

 



Angin sore berembus pelan, membelai pucuk-pucuk rumput yang bergoyang lembut di atas bukit. Langit memerah jingga, seolah ikut mengenang kisah yang pernah ada. Di sanalah aku berdiri, di tempat yang sama—tempat terakhir kali kita tertawa bersama.

Aku duduk di rerumputan, menyentuhkan jemari ke tanah yang masih mengingat jejak kaki kita. Di hadapanku, bayanganmu seperti hidup kembali.

“Ingat nggak waktu kita ke sini pertama kali?”

Suaramu seolah berbisik di telingaku.

Aku menoleh cepat. Tapi hanya angin yang menjawab, menyisakan getir dalam dada.

“Waktu itu kamu lupa bawa sandal, dan kita jalan kaki hampir dua kilometer.”

Aku terkekeh kecil, getir. Suara tawa yang dulu membahana kini tinggal gema dalam benakku.


Aku memejamkan mata, membiarkan kenangan menyeruak tanpa permisi.

“Kamu percaya nggak, kalau aku bisa lihat masa depan?” tanyamu dulu, saat kita merebahkan tubuh di atas padang rumput, menatap awan-awan yang mengapung malas di langit biru.

“Apa yang kamu lihat?” aku bertanya sambil mencubit lenganmu pelan.

“Kita. Di rumah kayu kecil. Kamu lagi masak, aku lagi baca buku. Terus sore harinya, kita duduk bareng di teras, ngopi sambil lihat hujan turun.”

Aku hanya tersenyum waktu itu. Tapi dalam hati, aku percaya. Sangat percaya.


Kini, aku menyusuri kembali jalan setapak yang dulu sering kita lalui. Setiap batu, setiap ranting, setiap desah angin, seperti mengenal langkah-langkah kita.

Aku terhenti di sebuah pohon tua. Di sana, di batangnya, masih tertoreh nama kita: “A & K, selamanya.”

"Ternyata selamanya itu bisa patah juga, ya,"
gumamku lirih.

Langit menggantung kelabu. Aroma tanah yang lembap membawa ingatan pada suatu sore di bawah hujan.

“Kita kehujanan, terus kamu malah nari-nari di tengah jalan,” ujarku waktu itu.

“Biarin, aku mau ngerasain jadi anak film Korea!” katamu, tertawa lepas.

Lalu kau menarik tanganku, dan kita berputar-putar dalam tawa dan gerimis. Jalanan basah, tapi hatiku hangat. Sangat hangat.


Waktu memaksa kita menjauh, tapi tidak pernah benar-benar memisahkan hatiku darimu.

"Aku harus pergi," katamu suatu malam.

“Kenapa harus pergi kalau semua terasa begitu benar?” tanyaku, mencoba meredam air mata.

“Karena hidup kadang tidak adil untuk cinta yang terlalu sempurna,” bisikmu.

Sejak malam itu, tak ada lagi pesan masuk darimu. Tak ada lagi panggilan larut malam. Yang tersisa hanya diam—dan aku yang terus menunggumu di antara detik-detik yang membeku.


Kini, tahun-tahun telah berlalu. Tapi aku masih sering kembali ke tempat ini. Duduk diam, menatap langit yang sama, berharap semesta mengirimkanmu kembali.

“Kalau suatu saat aku pergi, dan kamu tetap mencintaiku... temui aku di sini,”
kau pernah berbisik, kala senja menyelimuti kita.

Maka inilah aku. Masih menunggumu. Masih mencintaimu.

Karena aku percaya, cinta yang ditanam dalam keikhlasan tidak akan pernah layu. Ia akan tumbuh, bahkan dalam sepi. Ia akan hidup, bahkan dalam kenangan.

Dan jika takdir mengizinkan, jika semesta berbaik hati, mungkin suatu hari... kau akan kembali. Membawa pelukan yang dulu kutinggalkan di dadamu, dan kita akan kembali menulis cerita—di lembaran waktu yang baru, di bawah langit yang sama, di antara detik-detik yang membeku.

Bab 2: Pada Senja yang Membawa Namamu Kembali

Sudut Pandang: Kau

Langkahku terhenti tepat di tepi bukit itu. Jantungku berdetak pelan, seolah takut mengganggu ketenangan semesta. Tempat ini… masih sama. Padang rumputnya, semilir anginnya, bahkan aroma kenangan yang menggantung di udara—semua masih utuh seperti saat terakhir aku meninggalkannya.

Tapi aku yang kembali ke sini, tak lagi sama.

Sudah lama aku berkelana, mencari arti dari keputusan yang dulu aku buat. Pergi darimu adalah luka yang tak pernah sembuh, dan setiap malam sejak saat itu, aku dihantui tanya: Bagaimana jika aku bertahan?

Dan sekarang, semesta seolah menjawab.

Di bawah pohon tua itu, kulihat punggung yang begitu kukenal. Diam. Tegar. Tapi juga rapuh dalam senyap.

“Apa kamu masih ingat aku?” tanyaku lirih, nyaris seperti bisikan yang dibawa angin.

Dia menoleh perlahan. Wajahnya… tak banyak berubah. Mata itu masih sama—teduh dan dalam. Tapi ada sepasang genangan di sana, dan aku tahu, hatinya belum benar-benar pulih.

“Aku ingat semua tentangmu,” jawabnya. “Aku ingat, bahkan hal-hal yang kamu pikir sudah kamu lupakan.”

Aku terpaku. Langit di belakangnya terbakar jingga, seperti melukis ulang cerita kita yang dulu.

Kami duduk bersama di bawah pohon tua itu. Hening. Tapi bukan hening yang asing. Ini hening yang penuh rindu.

“Aku kembali,” kataku akhirnya.

“Kenapa?”

“Karena tak satu hari pun aku bisa hidup tanpa bayanganmu.”

Dia terdiam. Tangannya meremas rumput kecil di sampingnya, seolah berusaha meredam gemuruh perasaannya.

“Kamu tahu,” lanjutku, “di banyak malam yang panjang, aku berharap bisa kembali ke detik sebelum aku pergi. Memelukmu lebih erat. Membatalkan segalanya. Tapi waktu… tak pernah memberi jalan pulang.”

“Tapi sekarang kamu di sini,” katanya lirih.

Aku mengangguk. “Tapi mungkin… aku terlalu terlambat.”

Dia menatapku. Lama. Seakan mencari jawaban bukan hanya dari mataku, tapi dari jiwaku.

“Kita memang tak bisa mengulang yang dulu,” ucapnya pelan. “Tapi kalau kamu masih mencintai versi diriku yang dulu… mungkin kamu bisa mulai mengenal aku yang sekarang.”

Hening menyelubungi kami. Tapi kali ini, ada harapan yang berembus bersama angin.

Aku mengulurkan tangan. “Maukah kau berjalan bersamaku, sekali lagi?”

Dia menatap tanganku. Lalu menatap mataku. Kemudian, perlahan… dia mengangguk.

Dan pada senja yang membawa namanya kembali, aku tahu, semesta memberiku satu kesempatan lagi. Bukan untuk mengulang masa lalu. Tapi untuk menciptakan hari esok—bersama.

Bab 3: Dalam Diam, Aku Belajar Menemukanmu Lagi

Langit mendung menggantung rendah sore itu, seperti menahan tangis yang belum sempat tumpah. Kami duduk berdua di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang tak terlalu ramai, tapi cukup tenang untuk menyusun kembali puing-puing yang pernah tercerai.

Dia duduk di seberangku, menatap cangkir kopinya dengan sorot mata yang tak mudah aku tafsirkan. Mungkin gugup. Mungkin ragu. Atau… mungkin, seperti aku, dia juga sedang berjuang melawan bayang-bayang masa lalu.

“Kamu masih suka kopi hitam?” tanyaku mencoba memecah diam.

“Aku belajar menyukainya sejak kamu pergi,” jawabnya sambil tersenyum kecil. “Aneh, ya?”

Aku menatapnya. “Tidak. Itu… manis. Meski pahit.”

Kami tertawa kecil. Tawa canggung yang seperti mencari jalannya sendiri di antara puing-puing yang belum selesai dibereskan. Tapi setidaknya, itu awal.

Hari-hari setelahnya, kami mulai melangkah perlahan. Tidak sebagai dua orang asing. Tapi juga belum sepenuhnya seperti dulu.

Kami kembali berjalan di trotoar malam, seperti yang biasa kami lakukan bertahun-tahun lalu. Tapi kali ini, tak ada tangan yang menggenggam. Hanya jarak yang dijaga dengan penuh kehati-hatian.

“Aku takut,” aku mengaku suatu malam, saat kami duduk di bawah lampu taman.

“Takut apa?” tanyanya lembut.

“Takut kehilanganmu lagi. Takut berharap, lalu hancur.”

Dia menoleh, menatapku lama. “Aku juga. Tapi bukankah kita sudah kehilangan satu sama lain sekali? Mungkin… yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian untuk percaya, bukan untuk menghindar.”

Ucapan itu membekas dalam. Tapi rasa tak pernah sesederhana kata. Karena dalam diriku, masih ada luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan di matanya, aku tahu, masih ada bagian dari dirinya yang bertanya: Apakah kamu akan pergi lagi?

Pada hari Minggu yang cerah, kami memutuskan pergi ke tempat dulu kami sering menghabiskan waktu—bukit di mana kami pertama kali saling mengungkapkan mimpi.

Kami duduk di atas tikar kecil, membawa bekal seadanya. Angin menyapa dengan ramah. Awan berjalan lambat di langit yang biru.

“Kamu tahu?” katanya sambil menatap langit. “Ada bagian dari diriku yang selalu berharap kamu kembali. Tapi aku juga takut. Takut kamu datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal kedua kali.”

Aku menoleh padanya. “Aku datang untuk bertahan. Tapi aku tahu, kata-kata tidak cukup.”

Dia menunduk. “Aku ingin percaya. Tapi hatiku belum sekuat dulu.”

Aku mengangguk pelan. “Kalau begitu, biarkan aku membuktikannya lewat tindakan. Tak perlu terburu-buru. Kita bisa mulai… dari hal kecil.”

Sejak saat itu, kami belajar mencintai dengan cara yang baru. Tak lagi dengan gairah yang terburu-buru, tapi dengan kesabaran. Kami berbagi pagi tanpa janji, hanya secangkir teh dan obrolan ringan. Kami membaca buku yang sama, saling menggarisbawahi kalimat yang menyentuh hati. Kami tertawa atas hal-hal konyol, bertukar lelucon seperti dulu. Tapi juga, kami belajar duduk bersama dalam diam—menerima bahwa cinta tak selalu bicara, kadang cukup ada.

Hubungan kami menjadi semacam rumah yang belum selesai dibangun. Tapi pondasinya mulai kuat. Kami tak menuntut kesempurnaan, hanya kejujuran. Kadang kami masih berselisih, kadang masih menatap satu sama lain dengan tatapan ragu. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang perlahan tumbuh kembali: harapan.

“Kalau suatu hari aku ragu lagi…” katanya suatu malam.

“Pegang tanganku,” jawabku cepat. “Dan ingat, aku juga sedang belajar mempercayai cinta yang pernah kita tinggalkan.”

Dan dalam pelukan senja yang baru, aku tahu, kisah kami tak lagi tentang mengulang masa lalu. Tapi tentang menulis ulang hari esok, dengan tinta yang lebih jujur, dan cinta yang lebih dewasa.

Bab 4: Saat Masa Lalu Mengetuk Pintu

Hujan turun pelan-pelan sore itu, seperti suara pelan dari masa lalu yang datang mengetuk hati.

Kami baru saja selesai makan malam ketika teleponnya berdering. Wajahnya yang semula tenang tiba-tiba berubah. Matanya menyipit, lalu ekspresinya kaku. Ia menatap layar ponselnya lama sekali, sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah.

“Halo?”

Aku tidak mendengar percakapan penuh, tapi dari caranya menjauh, aku tahu—itu bukan percakapan biasa.

Ketika ia kembali ke meja, dia diam. Jemarinya memainkan sendok yang sudah tak digunakan. Aku tak ingin mendesak, tapi aku tahu, keheningan ini adalah pertanda.

“Kamu nggak mau cerita?” tanyaku hati-hati.

Dia menghela napas. “Itu… Dinda. Dia kembali.”

Hatiku mencelos. Nama yang tak asing, tapi sudah lama kutenggelamkan dalam riak-riak yang berusaha kuabaikan.

Dinda. Mantan kekasihnya. Perempuan yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sebelum aku datang lagi. Aku tahu tentang mereka, dia pernah cerita. Tentang bagaimana Dinda pergi untuk karier di luar negeri. Tentang patah hati yang tak pernah benar-benar dia akui.

“Dia cuma mau ketemu, katanya. Bukan apa-apa,” ucapnya.

Aku menatap matanya, mencari kejujuran. “Dan kamu… mau?”

Dia menunduk. “Aku nggak tahu. Aku bingung. Aku cuma... nggak mau menyakiti siapa-siapa lagi.”

Dan di sanalah percikan luka itu kembali menyala. Bukan karena Dinda. Tapi karena ketidakpastian. Karena aku merasa, belum cukup kuat untuk kalah satu kali lagi.

Malam itu aku pulang lebih dulu, membawa rindu yang belum sempat jadi pelukan, membawa cemas yang tak ingin kujadikan pertengkaran.

Di kamarku, aku duduk lama, memeluk lutut di atas ranjang. Bayangan wajahnya terus bermain di kepala, bersama tanya-tanya yang mengganggu: Apa dia masih menyimpan perasaan itu? Apa aku hanya tempat singgah sementara?

Aku tidak menelepon. Tidak mengirim pesan. Aku memberi ruang. Tapi juga menyimpan ragu. Aku mencoba percaya, namun seperti berjalan di atas jembatan kayu yang lapuk—aku takut tenggelam lagi.

Dua hari kemudian, dia muncul di depan pintu rumahku, basah oleh gerimis.

“Aku nggak jadi ketemu dia,” ucapnya tanpa aku tanya.

“Kenapa?” suaraku nyaris tak terdengar.

“Karena aku sadar, aku sudah berhenti berjalan mundur. Dan kamu adalah rumah yang ingin aku bangun, bukan rumah yang pernah aku tinggalkan.”

Aku terdiam. Tak tahu harus bahagia atau masih terluka.

“Aku tidak minta kamu langsung percaya,” lanjutnya. “Tapi beri aku kesempatan untuk membuktikan. Bukan karena Dinda kembali, tapi karena aku tahu, aku tak mau kehilangan kamu lagi.”

Aku menarik napas panjang. Jujur, hatiku masih genting. Tapi di balik rasa sakit, ada benih yang tumbuh—benih harapan yang belum mati.

“Aku juga belajar sesuatu,” kataku. “Bahwa cinta bukan tentang tak pernah diuji, tapi tentang bertahan meski dunia memberi alasan untuk menyerah.”

Kami saling menatap lama, dan dalam diam itu, aku tahu, kami sama-sama takut. Tapi kami juga sama-sama ingin bertahan.

Dan di tengah hujan yang makin deras, dia menggenggam tanganku. Tidak dengan janji, tapi dengan ketulusan.

Mungkin perjalanan kami belum selesai diuji. Tapi hari itu, kami memilih untuk tidak lari, tidak lagi bersembunyi. Kami memilih untuk menghadapi masa lalu bersama, meski luka belum sepenuhnya sembuh.

Bab 5: Rumah yang Belum Selesai Dibangun

Kami duduk berdua di beranda kecil rumah kontrakan yang sering kujadikan tempat berteduh dari sepi. Angin sore mengalir pelan, membawa bau tanah basah dan suara burung yang kembali ke sarang. Di hadapan kami, secangkir teh mulai mendingin.

“Gimana kalau... kita tinggal bareng aja?” tanyanya, pelan.

Aku menoleh, menatap matanya yang penuh harap tapi juga ragu.

“Maksud kamu?”

“Bukan yang buru-buru, bukan langsung nikah besok. Tapi... aku pengin bangun pagi dan lihat kamu di sana. Aku pengin ada kamu tiap malam. Kita bisa mulai dari yang kecil. Beli rak buku bareng. Tanam pohon di halaman. Mulai nyicil mimpi.”

Jantungku berdetak cepat. Bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya, masa depan tak terasa mustahil. Kami tertawa membayangkan betapa anehnya aku harus berbagi bantal, betapa dia mungkin bakal lupa tutup odol, betapa hidup bersama bukan hanya soal cinta tapi juga kompromi.

Kami mulai mencari-cari tempat tinggal, menyimpan gambar dapur kecil, balkon mungil, dan tirai warna krem. Setiap hari terasa seperti mendekat pada sesuatu yang dulu hanya angan.

Tapi semua itu perlahan retak ketika kabar itu datang.

Ibunya jatuh sakit. Tak parah, tapi cukup untuk membuatnya pulang lebih sering. Dan di sanalah, realita mulai menampakkan wajahnya.

“Ibu minta aku pulang. Katanya... kenapa nggak cari perempuan yang lebih ‘jelas’ aja. Yang keluarganya dikenal. Yang seiman.”

Kata-kata itu menusuk seperti sembilu. Meski ia tak pernah bicara soal agama atau asal-usulku sebelumnya, ternyata keluarganya menyimpannya seperti bisul yang kini pecah.

“Jadi... aku nggak ‘jelas’ di mata mereka?” tanyaku pelan.

Dia meraih tanganku, tapi aku menghindar. Bukan marah. Tapi aku lelah.

Kami tak bertengkar. Tapi hening di antara kami lebih menyakitkan dari debat manapun.

Hari-hari selanjutnya terasa seperti berjalan di atas beling. Kami masih saling bertemu, tapi obrolan kami tak lagi semeriah dulu. Bahkan, membicarakan rak buku atau tirai krem kini terasa asing, seperti benda-benda di mimpi yang tiba-tiba memudar.

“Aku nggak mau kehilangan kamu,” katanya suatu malam. “Tapi aku juga nggak bisa terus bentrok sama ibu.”

“Jadi, apa yang akan kamu pilih?”

Dia diam. Dan di situlah aku tahu, tidak semua cinta berani memilih.

Malam itu aku menangis. Bukan karena dia tidak mencintaiku. Tapi karena aku mulai sadar, tidak semua cinta berani melawan dunia.

Namun, saat aku nyaris menyerah, dia datang lagi. Dengan mata sembab dan suara gemetar.

“Aku nggak akan pergi. Tapi mungkin... kita butuh waktu. Bukan untuk saling menjauh, tapi untuk menguat. Untuk membuktikan pada dunia, kalau kita bukan hanya dua orang yang jatuh cinta—tapi dua orang yang siap berjuang.”

Aku menatapnya lama. Aku tahu, perjalanan ini tak akan mudah. Akan ada banyak luka, penolakan, dan air mata. Tapi jika dia bersedia tetap tinggal—maka aku pun akan bertahan.

“Kalau begitu,” kataku lirih, “kita akan bangun rumah kita sendiri. Meskipun untuk itu... kita harus mulai dari puing-puing.”

Dan kami pun saling menggenggam lagi. Bukan karena semua sudah selesai, tapi karena kami siap menghadapinya bersama.

Bab 6: Janji yang Tidak Disaksikan Langit

Hujan turun pelan hari itu. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat dunia terasa seperti menggigil bersama kami.

Kami berdiri di sebuah ruangan sempit—bukan aula, bukan gereja, bukan masjid besar—hanya rumah seorang sahabat lama, dengan tirai lusuh dan aroma teh manis yang menua. Tidak ada bunga, tidak ada iring-iringan, tidak ada orang tua yang memeluk kami dengan air mata haru.

Yang ada hanyalah kami. Dan satu orang saksi. Dan sepasang cincin tipis yang kami beli semalam di sebuah toko perhiasan kecil, nyaris tanpa memilih.

“Kita jadi?” tanyaku waktu itu, masih menggenggam tangannya erat.

“Jadi. Karena kalau aku harus memilih antara kehilanganmu dan kehilangan semua yang lain… aku pilih kamu.”

Suaranya tenang, tapi matanya basah. Aku tahu dia ragu. Bukan karena tidak mencintaiku. Tapi karena jauh di dalam sana, ada luka yang belum selesai ditawar: luka karena harus memilih untuk tidak diakui oleh mereka yang membesarkannya.

Pernikahan itu singkat. Kami mengucapkan janji dengan suara lirih, lebih mirip bisikan dari dua jiwa yang terdesak oleh takdir.

“Aku menikahkan diriku kepadamu... dengan mahar ini... dan janji untuk tidak pergi, meski dunia mengusir kita.”

Tanganku gemetar saat menyentuh cincin yang dingin itu. Dalam hening yang menyusul, tak ada musik. Hanya suara hujan yang menetes di atap seng, seperti tangisan langit yang tahu: ini bukan pernikahan yang diimpikan dua anak manusia yang saling mencinta.

Setelah itu, kami duduk berdua. Saling menggenggam, saling memandang, tapi tidak ada tawa seperti biasanya. Ada cinta, ya. Tapi juga ada luka yang samar mulai tumbuh.

“Kamu sedih?” tanyaku.

Dia menoleh. “Enggak... tapi aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut suatu hari nanti... semua ini terasa seperti kesalahan.”

Aku mencium punggung tangannya. Lama. Dalam.

“Aku tidak pernah merasa kamu adalah kesalahan. Mungkin dunia yang salah, karena membuat cinta kita jadi dosa hanya karena perbedaan nama, keyakinan, atau keluarga.”

Malam itu kami tidur berdua, untuk pertama kalinya sebagai suami-istri. Tapi bukan di tempat tidur berbunga, bukan di kamar hotel dengan linen putih. Hanya kasur tipis di sudut rumah kontrakan yang selama ini jadi saksi bisu percakapan kami tentang masa depan.

Dan di tengah malam, saat aku terbangun karena suara hujan yang belum berhenti, aku menatapnya yang tertidur dengan napas tenang. Hati ini berbisik:

Apakah ini akan cukup?
Apakah cinta akan tetap bertahan meski terus disembunyikan?

Aku tak punya jawabannya. Tapi yang kupunya adalah tangan ini—yang akan terus menggenggam, meski harus berdarah.

Bab 7: Cinta yang Tersembunyi

Hari-hari setelah pernikahan itu tidak seperti yang kami bayangkan. Bukan karena kami tidak saling mencintai, tetapi karena kami hanya bisa berbagi cinta dalam diam. Setiap langkah yang kami ambil seperti menari di atas seutas tali yang tipis, seolah-olah dunia menunggu kami jatuh.

Kami tinggal di kontrakan yang kecil, sebuah rumah yang bahkan tidak bisa disebut rumah—hanya empat dinding dan satu atap yang menangis bersama hujan. Kami tidak bisa menunjukkan apapun kepada dunia, tidak ada yang tahu bahwa kami sudah menikah. Tidak ada foto bersama di media sosial, tidak ada kebahagiaan yang bisa kami tunjukkan. Kami hanya punya satu sama lain, dan itu kadang terasa tidak cukup.

“Kenapa kita tidak bisa lebih bebas?” tanyaku suatu malam.

Dia duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. “Karena dunia tidak siap untuk kita.”

Suara itu penuh dengan rasa sakit, tetapi juga keletihan yang sudah lama kami simpan. Kami tahu, cinta kami tidak cukup kuat untuk mengubah pandangan orang-orang, terutama keluarganya. Ibu masih menelpon setiap minggu, bertanya kapan dia akan kembali pulang, kapan dia akan bertemu dengan calon menantu yang mereka pilihkan. Ayahnya tidak pernah berbicara padanya sejak kami memutuskan untuk menikah tanpa restu.

“Aku rindu ibu,” katanya suatu malam, suaranya hampir patah.

“Aku juga,” jawabku, meski rasanya lebih seperti mengaku ke dalam kekosongan. “Tapi aku tahu kita harus kuat. Kita... kita punya satu sama lain.”

“Tapi itu tidak cukup, kan?”

“Tentu saja cukup. Cinta kita cukup untuk bertahan.”

Dia tidak menjawab. Hanya menunduk, menggenggam tanganku dengan lemah.

Pernikahan ini, yang dulu terasa seperti janji penuh harapan, kini terasa seperti beban yang semakin berat. Aku merindukan tawa kami yang dulu—tawa yang begitu ringan dan penuh dengan kebebasan. Kini, tawa itu terasa seperti kenangan yang mulai memudar, hilang dalam kesunyian.

Kami mulai terbiasa dengan rutinitas yang kosong—pagi-pagi bekerja, malam-malam kembali ke rumah yang tidak pernah bisa kami banggakan. Setiap kali aku melihat wajahnya yang lelah, aku merasa tak mampu memberikan apapun selain cinta yang terus tersembunyi.

Suatu hari, saat kami sedang duduk di balkon rumah kontrakan yang sederhana, dia memecah keheningan.

“Aku harus kembali. Aku harus bicara dengan ibu. Aku harus meluruskan semuanya,” katanya, suaranya penuh dengan keputusan.

“Kamu yakin?” tanyaku, meski hatiku meronta.

“Aku tak bisa terus seperti ini. Aku ingin dia tahu, aku ingin dia menerima kita. Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang.”

Keinginan itu muncul begitu kuat, dan aku tahu betul apa yang dia rasakan. Keluarganya adalah dunia yang tak bisa ia lupakan begitu saja. Tapi apa yang bisa kami lakukan? Kami sudah memilih jalan ini—jalan yang tidak ada tempat untuk ragu. Aku merasa seakan-akan semuanya telah diputuskan untuk kami, tanpa pilihan lain.

Aku menatap matanya yang mulai berkaca-kaca. Tanpa kata-kata, aku merengkuhnya, dan dia membalas pelukanku. Tidak ada air mata, hanya keteguhan dalam diam.

“Kalau kamu pergi, aku tunggu di sini,” kataku, suaraku hampir tak terdengar.

“Aku akan kembali. Aku janji.”

Tapi saat ia pergi, dunia terasa lebih sepi dari sebelumnya. Aku duduk di ruang kosong yang kami huni, menatap cermin tanpa melihat apa pun. Aku tahu perjalanan ini tidak mudah. Kami berdua tahu, tak ada jaminan bahwa keluarganya akan menerima kami. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa cinta ini akan berhasil.

Namun aku tahu satu hal—meski kami harus melalui segala kesulitan, meski cinta kami harus bersembunyi di balik tirai gelap, aku akan tetap menunggu. Karena cinta yang tulus bukanlah tentang pengakuan dari dunia. Cinta sejati adalah tentang kesetiaan, bahkan saat dunia tidak mengerti.

Bab 8: Di Ambang Restu yang Tak Pernah Datang

Rumah itu masih sama seperti dulu—pagar besi hitam yang sedikit berkarat, taman kecil dengan mawar putih yang disukai ibunya, dan suara burung-burung yang ramai menyambut pagi. Tapi bagi Dira, rumah itu tak lagi menyambut seperti dulu. Ada sesuatu yang dingin di udara. Sesuatu yang menusuk lebih dari angin pagi.

Dia berdiri di depan pintu dengan tangan gemetar. Sebuah koper kecil di samping kakinya, dan harapan besar di dalam dadanya. Harapan bahwa hari ini akan berbeda. Hari ini, mereka mungkin akan mendengar. Mungkin akan mengerti.

Pintu dibuka oleh ibunya. Wajah perempuan paruh baya itu kaku, hanya sesaat matanya melembut melihat anak perempuannya, sebelum kembali mengeras.

“Kamu datang juga akhirnya,” suara ibu lirih, tajam namun rindu terselubung.

Dira mengangguk. “Aku ingin bicara, Bu. Dengan Ibu dan Ayah. Sekali saja. Dengarkan aku.”

Mereka duduk di ruang tamu, ruang yang pernah jadi tempat kenangan manis saat Dira kecil dulu bermain piano atau meringkuk di pangkuan ibunya. Kini ruangan itu terasa asing, dingin, seperti ruang pengadilan tak bersuara.

Ayahnya masuk. Diam, mengenakan batik rapi dan tatapan tajam yang tidak pernah ia kenal saat kecil. Tidak ada senyum. Hanya penilaian.

“Apa yang kamu ingin katakan, Dira?” tanya ayah, nada suaranya datar.

“Aku sudah menikah. Dengan Arga,” ucap Dira pelan tapi tegas. “Kami bahagia. Tapi... aku ingin kalian tahu. Aku ingin kalian menerima.”

Ibunya langsung membuang muka. Ayahnya menghela napas panjang, dan ruangan itu mendadak sunyi. Sunyi yang menusuk lebih dari teriakan.

“Menikah di belakang kami?” suara Ayah retak. “Kau tega sekali.”

“Kami terpaksa. Karena kalian tidak pernah memberi kesempatan. Bahkan untuk mengenalnya.”

“Kami mengenalnya lebih dari cukup. Dan kami tahu, dia bukan yang terbaik untukmu,” ibu memotong, suaranya tinggi dan getir. “Dia laki-laki biasa, tanpa kepastian. Kami ingin masa depan untukmu, Dira. Bukan kesia-siaan.”

“Tapi aku bahagia, Bu. Bukankah itu yang penting?”

“Bahagia sesaat tidak akan menyelamatkanmu nanti. Cinta tidak cukup ketika hidup mulai menampar. Kau akan kembali ke sini menangis, dan saat itu, semuanya sudah terlambat.”

Dira menatap mereka, air mata mulai mengalir tanpa ia sadari. “Kalian tidak percaya padaku?”

“Kami percaya padamu, tapi kami lebih percaya bahwa ini salah,” jawab ayah. “Dan satu-satunya jalan agar kamu bisa kembali ke keluarga ini adalah… berpisah darinya.”

Kata-kata itu menghantam seperti badai. Ruangan runtuh dalam diam. Dira tidak berkata apa-apa. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Tangannya gemetar di pangkuannya. Seluruh tubuhnya menolak menerima, tapi hatinya tahu—ini bukan tawaran, ini ultimatum.

“Aku tidak bisa,” suara Dira akhirnya keluar, parau. “Aku tidak bisa meninggalkan Arga. Dia adalah hidupku.”

Ibunya menoleh dengan mata memerah. “Lalu kamu pilih dia, dan tinggalkan kami?”

Dira berdiri perlahan. Ia menatap kedua orang tuanya—manusia yang membesarkannya, memberinya segalanya… kecuali ruang untuk memilih cinta.

“Aku tidak meninggalkan siapa pun,” katanya pelan. “Tapi jika harus memilih... maka aku akan tetap bersamanya. Karena dia tidak pernah menyuruhku memilih. Karena dia mencintaiku tanpa syarat, bahkan ketika dunia menolak kami.”

Ia pergi dengan langkah lemah namun pasti. Pintu tertutup dengan lembut di belakangnya, tapi suara-suara dari dalam masih menggemakan luka yang belum sembuh.

Di luar, hujan mulai turun. Dira berdiri sebentar di bawah gerimis, wajahnya mendongak ke langit. Air mata dan hujan bercampur menjadi satu.

Di kejauhan, Arga berdiri di dekat mobil, menatapnya dengan tatapan cemas. Dira berjalan mendekat, lalu meraih tangannya dan menempelkan pipinya di dadanya.

“Mereka masih belum bisa menerima,” bisiknya.

Arga mengangguk pelan. Ia sudah menduganya. Tapi tetap, hatinya ikut perih.

“Kita masih punya satu sama lain,” katanya, mencoba menguatkan, meski suaranya juga bergetar.

“Tapi sampai kapan harus seperti ini, Ga? Sampai kapan cinta kita bersembunyi dari mata dunia?”

Tak ada jawaban yang cukup pasti. Tapi malam itu, mereka kembali ke rumah kecil mereka—dengan hati yang makin berat, tapi juga cinta yang tak menyerah.

Mungkin… mungkin ini bukan akhir. Tapi awal dari perjuangan yang lebih dalam.

Bab 9: Retak yang Tak Bisa Disatukan

Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan seperti meniti kaca. Tipis. Rapuh. Satu langkah salah, dan luka bisa menyayat lebih dalam.

Dira tak lagi banyak bicara. Ia tetap membuatkan kopi, seperti biasa. Tapi tak ada senyum saat menghidangkannya. Tak ada candaan kecil. Tak ada obrolan tentang masa depan.

Arga pun mulai berubah. Ia lebih banyak diam. Ia tahu Dira sedang berperang—antara mempertahankan cinta, atau pulang pada keluarganya. Dan Arga tahu, pertarungan seperti itu selalu menyakitkan… bagi keduanya.

“Aku dapat tawaran kerja di luar kota,” kata Arga suatu malam, suaranya pelan seperti angin.

Dira menoleh. “Kapan?”

“Minggu depan.”

Hening.

Dira mengangguk pelan. “Ambil saja. Itu bagus untuk kamu.”

Arga menatapnya, seolah ingin mengatakan, bagus untuk kita. Tapi kalimat itu tak pernah ia ucapkan. Karena ia tahu, sudah lama tidak ada lagi “kita” yang utuh. Yang ada hanyalah dua hati yang bertahan, tapi tak lagi tumbuh bersama.

“Kamu ikut?” tanyanya pelan.

Dira tersenyum, tipis sekali. “Kamu tahu jawabannya, Ga.”

Dan di situlah akhirnya keduanya tahu—cinta yang tidak diberi tempat, perlahan akan kehilangan akar. Meski mereka ingin terus bertahan, realitas sudah terlalu kejam. Terlalu banyak luka. Terlalu banyak tangis yang dipendam.

Keesokan harinya, mereka duduk di bangku taman kecil, tak jauh dari rumah kontrakan mereka. Matahari sore menyinari wajah Dira yang pucat. Arga menggenggam tangannya.

“Aku minta maaf,” bisiknya. “Karena tidak bisa membuat dunia menerima kita.”

“Bukan salahmu,” kata Dira. “Bukan salah siapa-siapa. Mungkin memang cinta kita datang di waktu yang salah. Di keluarga yang salah. Di dunia yang belum siap.”

“Tapi kalau waktu bisa diulang…”

“Aku tetap akan memilih kamu,” potong Dira. “Selalu.”

Tangis meledak tanpa suara. Arga memeluknya erat, seolah tak ingin dunia merenggut detik-detik terakhir itu. Di pelukan itu, ada ribuan kenangan. Tawa. Mimpi. Rencana. Dan sayangnya—semua hanya akan tinggal cerita.

Sore itu, mereka berpisah. Bukan karena berhenti mencinta. Tapi karena mereka terlalu mencinta untuk saling menyakiti lebih jauh.

Dira berdiri di ambang pintu, melihat Arga berjalan pergi. Tak ada kata perpisahan. Hanya tatapan yang menyimpan ribuan “kalau saja”.

Dan ketika pintu tertutup, Dira tahu… sejak hari itu, tak akan ada lagi dua cangkir kopi di pagi hari.

Hanya satu.
Untuk dirinya sendiri.
Dan untuk kenangan yang akan ia simpan, diam-diam.

Bab 10: Ruang yang Tak Pernah Kututup

Langit pagi tampak pucat saat Dira berdiri di ambang rumah lamanya. Rumah yang pernah ia tinggalkan dengan air mata, kini ia datangi kembali dengan harapan yang tertatih. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu. Bukan karena takut ditolak, tapi karena ia tahu—butuh keberanian besar untuk kembali ke tempat yang dulu tak memberinya pelukan.

Pintu dibuka oleh ibunya. Raut wajah itu sedikit terkejut, tapi tidak keras. Tidak sekeras yang Dira bayangkan dalam mimpinya.

“Aku pulang, Bu…” suara Dira lirih, nyaris tenggelam oleh gemuruh dadanya sendiri.

Ibunya memandangnya lama, lalu melangkah mundur. "Masuklah."

Tak ada pelukan. Tapi keheningan itu sudah cukup. Itu adalah awal dari sesuatu. Dan Dira tahu, kadang yang paling menyembuhkan bukan pelukan hangat—melainkan kehadiran yang diterima kembali.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Tapi Dira belajar untuk sabar. Ia membantu di dapur, menyapu halaman, dan duduk di ruang tengah menonton berita seperti dulu. Kadang ayahnya hanya mengangguk saat berpapasan. Kadang ibunya memanggilnya untuk makan malam. Semua seperti puzzle yang retak, tapi berusaha utuh kembali.

Di malam-malam sunyi, ia masih sering mengingat Arga. Masih memeluk bantalnya erat, berharap keajaiban datang lewat mimpi. Masih menulis di buku hariannya—tentang rindu yang tak pernah mati.

“Hari ini aku belajar membuat masakan kesukaanmu, Ga. Tapi rasanya belum pas. Seperti hidupku sekarang… ada yang kurang.”

Kadang ia menatap ponselnya lama, berharap ada notifikasi dari nomor yang tak lagi aktif.

Namun waktu mengajarkan banyak hal: bahwa mencintai juga bisa berarti merelakan seseorang menemukan dirinya sendiri, sebelum bisa kembali.


Suatu hari, Dira duduk sendiri di taman kecil dekat rumah. Tempat itu dulu biasa mereka datangi. Angin sore membelai rambutnya. Ia menatap langit dan tersenyum.

“Kalau kamu dengar ini, Ga… aku masih di sini. Masih percaya. Masih menunggu. Tapi kalau pun tak kembali… setidaknya kamu tahu, cinta ini belum mati.”

Dan untuk pertama kalinya, air mata itu jatuh bukan karena luka, tapi karena cinta yang sudah belajar tumbuh sendiri. Tak lagi menuntut, tak lagi memaksa. Tapi tetap hangat, tetap setia.

Dira belum tahu apakah takdir akan membawanya kembali pada Arga.

Tapi kini, ia siap.

Siap menyambutnya jika suatu hari Arga pulang.
Dan siap berjalan sendiri jika cinta itu hanya cukup untuk menjadi kenangan yang tak pernah usang.

Karena untuk Dira, cinta sejati bukan tentang memiliki… tetapi tentang tetap menyalakan cahaya, meski dalam kegelapan yang tak pasti.

Bab 11 — Penantian yang Tak Pernah Pudar

Waktu telah mengikis banyak hal—rambut hitam yang mulai memutih, sorot mata yang tak lagi terang, dan semangat yang tak lagi muda. Tapi rasa itu, rasa yang tertanam dalam sunyi dan tumbuh dalam kenangan, tak pernah benar-benar mati.

Sudah dua puluh lima tahun sejak Arga terakhir menatap wajah Dira. Dua puluh lima tahun sejak mereka memutuskan untuk saling melepas, demi kehormatan, demi keluarga, demi luka yang tak bisa dibalut hanya dengan cinta.

Sekarang, Arga duduk di ruang tengah rumahnya, di samping istrinya yang sedang menjahit. Mereka tak banyak bicara. Pernikahan mereka baik-baik saja, cukup sejuk, cukup tenang, cukup… wajar.

Namun di dalam dirinya, ada ruang yang tidak pernah ia buka pada siapa pun. Sebuah ruang bernama Dira.

Setiap malam, sebelum tidur, ia menatap satu foto yang ia simpan di dalam dompet—usang, warnanya telah memudar, tapi senyuman Dira di sana masih utuh, seperti dulu. Itu satu-satunya yang tidak pernah ia buang.

Istrinya tahu, meski tak pernah bertanya. Ia hanya menyimpan kesedihan diam-diam, dan mungkin kelelahan karena tahu, sebagian hati Arga tak pernah sepenuhnya menjadi miliknya.


Dira, di tempat berbeda, hidup sendiri. Ia tak pernah menikah. Setelah perpisahan itu, ia mencoba, pernah membuka hati—sekali dua kali. Tapi tak ada yang bisa menyamai keteduhan Arga, cara lelaki itu menggenggam tangannya dalam diam, atau memanggil namanya seperti sedang berdoa.

Setiap ulang tahunnya, Dira menulis surat yang tak pernah ia kirim. Kepada Tuhan. Kepada Arga. Kepada dirinya sendiri.

"Tuhan, jika aku dilahirkan kembali, aku ingin mencintainya di kehidupan yang tidak membuat kami saling kehilangan."

Ia masih menyimpan kunci kecil—benda kenangan dari rumah sewa kecil tempat mereka pernah menyusun masa depan dalam sunyi, dengan cinta yang sembunyi-sembunyi.
Kini, rumah itu sudah jadi ruko. Tapi setiap kali ia melewati bangunan itu, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.


Tapi hidup tidak berhenti menertawai harapan.

Suatu malam, Arga duduk di mobilnya, memarkir di depan gedung tua tempat dulu ia dan Dira pertama kali bertemu saat kuliah. Ia menatap bangunan itu dengan mata yang berair.

Ia tahu Dira tinggal di kota ini. Ia tahu alamatnya dari teman lama. Tapi langkahnya selalu gagal mendekat.
Karena ia takut:
Takut Dira sudah bahagia.
Takut kehadirannya hanya jadi luka baru.
Takut ia akan semakin jatuh, dan tidak bisa pulang lagi ke hidup yang sudah ia bangun.

Tapi yang paling ia takutkan:
Bahwa Dira juga masih menunggu.
Bahwa semua ini bukan tentang dia saja. Bahwa cinta ini… masih hidup di dua hati yang tak pernah bisa bersatu.


Pada malam itu, di bawah langit yang tak memberi tanda apa pun, dua jiwa yang lelah saling menunggu dalam jarak.
Dira menatap jendela, memeluk syal yang dulu pernah Arga hadiahkan.
Sementara Arga menunduk di setir mobilnya, menangis dalam sunyi yang tak seorang pun tahu.

Mereka hidup.
Mereka bernapas.
Mereka mencintai.
Tapi tidak bisa bersama.

Dan seperti hujan yang turun tanpa aba-aba, mereka hanya bisa berdoa dalam diam.
Mungkin Tuhan masih menyimpan satu keajaiban. Tapi mereka pun mulai belajar, bahwa tidak semua cinta harus dimiliki.

Beberapa cinta hanya ditakdirkan untuk bertahan dalam hati—selamanya.

Bab 12 — Dalam Hening yang Terlambat

Senja sore itu temaram, seperti hati Dira yang telah lama pasrah. Ia melangkah pelan menyusuri trotoar sebuah taman kota—taman yang dulu pernah jadi saksi canda tawa dua jiwa yang berani bermimpi. Kini, tempat itu berubah. Lebih ramai, lebih hidup. Tapi dalam diri Dira, yang terasa justru sebaliknya: sunyi, seperti ruang-ruang dalam hati yang sudah lama tak dijamah tawa.

Tangannya menggenggam buku tua yang hendak ia kembalikan ke perpustakaan kecil di pojok taman. Buku itu ia temukan kembali di lemari usang. Judulnya “Perihal Rindu yang Tak Selesai.”

Ia tidak pernah menyangka, di tempat sederhana itulah takdir mempermainkan garis waktu dengan cara yang paling tak terduga.


Arga tidak seharusnya berada di sana hari itu. Ia datang hanya untuk mengantar keponakannya yang ikut kegiatan di taman. Tapi saat ia menoleh, napasnya tercekat.

Dira.

Berdiri beberapa langkah darinya. Rambutnya tergerai, sebagian beruban, tapi tetap dengan tatapan yang sama—tatapan yang dulu membuat dunia menjadi tenang.

Mereka sama-sama terdiam.

Tak ada musik dramatis. Tak ada pelukan haru. Hanya mata yang saling menatap, membawa dua puluh lima tahun luka dan rindu dalam satu kedipan.

“Dira...”

Suara itu pecah di antara debur napas yang terpendam terlalu lama.
Dira tersenyum kecil. “Aku pikir kita nggak akan pernah ketemu lagi.”

“Seharusnya tidak,” bisik Arga, lirih. “Tapi aku senang kita masih diberi waktu untuk... menyapa.”


Mereka berjalan pelan. Tak banyak kata. Hanya tawa pendek yang sesekali pecah. Seperti dua orang asing yang pernah saling mencintai, dan kini mencoba memeluk masa lalu tanpa menyentuh luka yang sudah terlalu dalam.

“Aku pikir kamu sudah lupa,” kata Dira sambil menatap langit yang mulai berubah kelabu.

“Tidak pernah,” jawab Arga. “Aku menyebut namamu setiap malam. Dalam hati. Dalam doa.”

Dira mengangguk. “Aku pun begitu... Tapi waktu bukan sahabat yang adil, ya?”

“Bahkan Tuhan pun kadang diam terlalu lama,” gumam Arga.


Mereka duduk di bangku taman. Tangannya nyaris menyentuh milik Dira, tapi kemudian ia urungkan. Bukan karena tidak ingin, tapi karena ia tahu: beberapa hal hanya indah saat tidak digenggam.

“Jadi ini... akhir cerita kita?” tanya Dira.

“Bukan akhir,” jawab Arga. “Ini halaman terakhir dari buku pertama. Mungkin di kehidupan lain, kita bisa menulis kisah yang tak harus diakhiri dengan perpisahan.”

Dira tersenyum, matanya mulai basah. “Aku akan menunggu cerita itu. Meski harus lahir kembali seribu kali.”

Arga berdiri. Jam di tangannya berdetak. Waktu memanggilnya pulang ke kehidupan yang telah ia ikrarkan. Dira pun berdiri, mengangguk perlahan.

Mereka tak berpelukan. Tak menggenggam tangan. Hanya saling memandang, menyimpan kenangan itu dalam ruang paling sunyi.

Saat Arga melangkah pergi, Dira menutup matanya, lalu membuka buku tua itu, membacakan satu kutipan yang entah mengapa terasa seperti takdir:

"Beberapa cinta tidak ditulis untuk memiliki. Hanya untuk mengingat. Dan dikenang selamanya."

Langit perlahan turun hujan.
Dan di bawah rinainya, dua hati saling melepaskan untuk terakhir kalinya.

Tamat.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar