Tema 1: Sebuah Pertemuan yang Tak Terduga
Langit sore di Jakarta kala itu memeluk bumi dengan warna
oranye keemasan yang membias dari ufuk barat. Di taman hotel bintang lima
tempat acara amal "Cahaya untuk Negeri" digelar, angin lembut
menebarkan aroma melati dan mawar dari taman yang terawat. Musik orkestra
mengalun lembut, seakan menambah magis suasana senja itu.
Di tengah keramaian tamu undangan berseragam formal dan
berbalut gaun elegan, tampak sosok Louis Tan, gadis Cindo muda yang memesona.
Rambut hitam sebahunya bergelombang lembut, matanya teduh namun bersinar tajam,
gaun putih gading yang membalut tubuhnya menjadikannya tampak seperti
perwujudan dewi klasik. Ia berjalan perlahan di antara bangku taman,
memperhatikan rangkaian lukisan anak-anak korban bencana yang dipajang di
sekitar area acara.
Dari arah lain, langkah santai seorang lelaki paruh baya
menghampiri. Marlo, lelaki berusia empat puluhan akhir, berwajah damai dan
kebapakan, mengenakan jas abu-abu dan dasi biru tua yang kontras dengan rambut
peraknya. Tatapan matanya tenang, namun dalam. Saat pandangan mereka
bertemu—sekejap, seakan waktu mematung. Dunia menjadi sunyi, hanya suara
dedaunan yang bersentuhan dan detak jantung yang bergemuruh.
Marlo melangkah lebih dekat, suaranya tenang, dalam seperti
suara hujan yang jatuh ke danau.
"Maaf... Anda Louis Tan, bukan?"
Louis menoleh, sedikit terkejut, namun senyumnya langsung
mengembang. "Iya, saya Louis. Dan Anda...?"
"Marlo. Saya bekerja di Yayasan Sahabat Rimba. Saya
sering membaca laporan kegiatan Anda di beberapa media komunitas."
Louis mengangkat alis, matanya membulat kagum. "Ah!
Yayasan yang aktif di Kalimantan, ya? Saya pernah membaca tentang pembangunan
sekolah hutan. Luar biasa. Dunia ini ternyata kecil sekali."
"Kecil sekali," sahut Marlo sambil tersenyum.
"Terutama kalau hati kita sama-sama tertuju pada hal yang serupa."
Mereka tertawa pelan. Beberapa saat kemudian, mereka
berjalan menyusuri taman, mencari bangku kosong di bawah naungan pohon
flamboyan yang mulai berbunga.
"Saya tidak menyangka bisa bertemu orang seperti Anda
di acara ini," ujar Louis sambil menatap langit senja yang mulai merona
ungu.
"Kenapa begitu?"
"Entah... Anda tampak seperti seseorang yang lebih suka
duduk di bawah pohon sambil membaca buku daripada menghadiri gala dinner."
Marlo tertawa, hangat. "Tebakan Anda benar. Tapi saya
tidak bisa menolak undangan dari anak-anak binaan kami. Mereka ingin saya
membawa laporan kemajuan dan... diam-diam berharap ada donatur baru."
"Donatur? Hmm... mungkin saya bisa membantu," kata
Louis dengan senyum penuh makna.
Senja terus menua, dan obrolan mereka mengalir begitu saja.
Tentang alam, tentang harapan untuk anak-anak yang hidup dalam keterbatasan,
tentang kecintaan pada dunia yang lebih damai.
Angin malam mulai turun, lembut menyentuh pipi Louis yang
memerah karena dingin dan mungkin sedikit... gugup. Marlo membuka jasnya dan
menyodorkannya.
"Kalau kamu kedinginan, silakan pakai ini."
Louis menatapnya lama, lalu menerima jas itu dan memakainya
perlahan.
"Terima kasih... Anda terlalu baik."
"Panggil saja aku Marlo."
"Baik... Marlo," ucap Louis lembut. Nama itu jatuh
dari bibirnya seperti bait pertama dari puisi yang indah.
Malam itu, di bawah langit yang perlahan bertabur bintang,
dua hati yang berbeda usia, latar, dan dunia, mulai merasakan getar yang sama.
Tak ada janji, tak ada harapan. Hanya pertemuan tak terduga yang menggugah
rasa—dan membuka lembaran pertama dari sebuah kisah cinta yang kelak akan
mengubah hidup mereka.
Tema 2: Menjalin Kerja Sama di Bidang Sosial yang Berbuah
Manis
Beberapa minggu setelah pertemuan mereka di acara amal,
Louis dan Marlo mulai terlibat dalam proyek bersama: pembangunan rumah baca di
sebuah desa kecil di Flores. Desa itu sunyi, dikelilingi perbukitan hijau dan
ladang jagung yang bergoyang pelan saat angin laut menerpa. Di sinilah cerita
mereka tumbuh, bukan hanya sebagai mitra kerja sosial, tapi juga sebagai dua
hati yang perlahan menyatu dalam diam.
Sore itu, di sebuah pondok bambu sederhana yang menjadi
pusat kegiatan proyek, Louis duduk di samping Marlo. Mereka baru saja selesai
mempresentasikan rencana desain rumah baca kepada kepala desa dan beberapa
pemuda setempat.
"Kamu tahu," ujar Louis sambil menyesap teh jahe
hangat buatan warga setempat, "aku tak pernah membayangkan kerja sosial
bisa seindah ini. Maksudku, sebelumnya aku menganggapnya sebagai bentuk
tanggung jawab moral. Tapi kini, setiap kali melihat anak-anak tersenyum hanya
karena buku-buku bekas yang kita bawa... hatiku ikut tersenyum."
Marlo menoleh padanya, matanya lembut. "Karena kamu
mulai melihat mereka dengan hati, bukan hanya dengan mata."
Louis tersenyum. "Kamu selalu punya cara untuk
merangkai kata-kata, Marlo. Kamu selalu tampak... bijaksana."
Marlo tersenyum malu. "Mungkin karena aku sudah hidup
lebih lama darimu. Tapi sejujurnya, aku belajar banyak darimu juga. Cara kamu
berbicara kepada warga tadi, penuh empati, dan energimu yang tak kenal
lelah—itu bukan sesuatu yang bisa dipelajari dari buku."
Mereka terdiam sejenak, menikmati semilir angin sore yang
membawa aroma tanah dan bunga liar. Di kejauhan, anak-anak berlari mengejar
layang-layang dari kertas koran.
"Marlo..." Louis memecah keheningan.
"Ya?"
"Apa kamu pernah takut? Maksudku, takut salah jalan?
Takut mencintai seseorang yang dunia mungkin tidak bisa terima?"
Marlo menghela napas panjang. "Setiap hari, Louis. Tapi
yang membuatku tetap melangkah adalah keyakinan. Bahwa jika kita melakukan
sesuatu dengan cinta, Tuhan akan membuka jalan meski penuh duri."
Louis menatap mata Marlo lama. "Aku suka caramu
mencintai dunia ini. Lembut, tanpa pamrih. Itu... membuatku ingin belajar
mencintai dengan cara yang sama."
"Dan aku suka caramu memperjuangkan sesuatu yang kamu
percaya, Louis. Kamu tak pernah ragu. Aku rasa, itulah yang membuatku selalu
ingin berada di sisimu, dalam proyek ini... dan mungkin lebih dari itu."
Wajah Louis memerah, bukan karena malu semata, tapi karena
hatinya seperti ditaburi kelopak bunga sakura.
"Kalau begitu... kita teruskan rumah baca ini sampai
selesai, ya? Biar cinta kita tumbuh seperti rak-rak yang kita susun bersama.
Perlahan, tapi kuat."
Marlo tersenyum. "Dan biarkan buku-buku itu jadi saksi,
bahwa kita pernah menulis kisah yang indah, di desa kecil ini, dengan cinta
yang besar."
Matahari tenggelam perlahan di balik bukit, menyisakan
langit jingga yang menawan. Di bawah cahaya remang, Louis dan Marlo duduk
berdampingan, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Tak ada janji muluk,
hanya kerja keras, hati yang terbuka, dan harapan bahwa cinta akan menemukan
jalannya—melalui halaman demi halaman buku, dan sentuhan demi sentuhan dalam
setiap aksi kemanusiaan.
Tema 3: Tiada Hari Tanpa Dirimu
Setelah proyek rumah baca selesai, Louis harus kembali ke
Jakarta. Marlo tetap tinggal di Flores untuk menyelesaikan program pelatihan
guru lokal. Jarak di antara mereka berubah menjadi dinding sunyi yang hanya
bisa ditembus oleh kata-kata dalam pesan dan suara dalam telepon malam hari.
Setiap pagi, Louis menanti satu pesan yang tak pernah absen:
“Sudah sarapan? Jangan lupa senyum hari ini.” Setiap malam, ia akan menelepon
hanya untuk mendengar suara Marlo membacakan doa, seperti dongeng pengantar
tidur.
Namun kerinduan tak bisa selalu dipuaskan lewat layar. Louis
mulai merasa hampa.
"Marlo... aku merasa seperti burung yang kehilangan
langit," kata Louis pada suatu malam, suaranya nyaris bergetar di ujung
telepon.
Marlo terdiam sesaat, lalu menjawab, "Dan aku merasa
seperti laut yang kehilangan pantainya, Louis. Tapi percayalah, langit dan laut
selalu saling mencerminkan meski berjauhan."
"Kita terlalu puitis malam ini," bisik Louis
dengan senyum kecil.
"Karena hanya dengan puisi kita bisa bertahan dari
rindu yang tidak pernah selesai."
Dua bulan kemudian, Louis memutuskan untuk kembali ke Flores
diam-diam. Ia merindukan mata teduh itu, suara dalam itu, kehadiran yang begitu
menenangkan. Namun saat ia tiba di rumah kayu kecil tempat Marlo tinggal, ia
mendapati Marlo tengah berbincang hangat dengan seorang perempuan relawan baru.
Louis berdiri di balik pohon, dadanya sesak.
Ketika Marlo akhirnya melihat Louis, ada sekejap hening.
Perempuan relawan itu pamit, dan tinggalah mereka berdua.
"Kenapa tidak bilang kalau kamu datang?" tanya
Marlo, lembut namun tegas.
"Aku ingin memberimu kejutan. Tapi ternyata... kejutan
itu malah jadi pertanyaan."
Marlo menghela napas dan mendekat. "Perempuan tadi
hanya relawan. Kamu tahu hatiku, Louis. Jangan izinkan bayangan menutupi
cahaya."
Louis menunduk. "Maaf. Aku hanya takut. Terlalu lama
tidak melihatmu, dan pikiranku... mulai menari-nari sendiri."
Marlo tersenyum dan meraih tangan Louis.
"Ketakutanmu... justru membuatku yakin bahwa cintamu nyata. Karena yang
mencinta, selalu takut kehilangan."
Louis tertawa pelan, lalu bersandar di bahu Marlo.
"Tiap hari tanpamu... seperti pagi tanpa cahaya."
"Dan tiap malam tanpamu... seperti laut tanpa
bintang," balas Marlo.
Senja turun perlahan, menyelimuti mereka dengan cahaya
keemasan. Laut di depan mereka tenang, dan burung-burung camar kembali ke
sarang. Mereka duduk berdua di dermaga kayu, tak butuh banyak kata lagi. Hanya
kehadiran yang utuh. Hanya cinta yang tenang.
Satu kerinduan telah selesai malam itu. Tapi mereka tahu,
rindu akan selalu datang. Dan mereka siap menyambutnya—dengan sabar, dengan
cinta, dan dengan puisi.
Tema 4: Kenyataan Pahit Namun Harus Diperjuangkan
Hubungan mereka akhirnya diketahui oleh keluarga Louis.
Ketika Louis membawa Marlo ke acara keluarga kecil, suasana hangat itu seketika
membeku.
"Dia lebih tua dari Ayahmu! Kamu mau jadi bahan omongan
seumur hidup?" bentak Ayah Louis dengan suara berat yang mengguncang ruang
tamu.
Ibu Louis meneteskan air mata, sementara Liona, kakak
perempuan Louis, hanya diam namun matanya menyimpan banyak suara.
"Dia baik, Ayah. Dia menghormatiku, lebih dari siapa
pun." Louis mencoba bertahan, meski suaranya nyaris tenggelam oleh desakan
amarah.
"Itu bukan cinta. Itu khayalan! Kamu masih muda, masih
bisa memilih seseorang yang sepadan."
"Marlo bukan pengganti siapa pun. Dia adalah pilihan
hatiku."
"Lalu bagaimana dengan masa depanmu? Anak-anakmu nanti
akan dipanggil cucu-cucu Ayahmu sendiri! Kamu pikir dunia akan menerima
kalian?"
Louis menatap ayahnya dalam-dalam. "Dunia mungkin tidak
menerima kami, tapi hati kami menerima satu sama lain."
Malam itu, Louis pulang dengan hati berat. Ia menelepon
Marlo, dan suara pria itu menyambut lembut.
"Kamu terlihat lelah."
"Karena aku habis bertempur dengan orang tuaku."
"Louis... aku tahu ini tidak mudah. Dan aku tahu aku
mungkin adalah keputusan paling irasional yang pernah kamu buat. Tapi..."
"Berhenti, Marlo," potong Louis dengan suara
bergetar. "Jangan bilang ini salah. Jangan pernah."
Marlo terdiam. Lalu ia berkata pelan, "Aku ingin kamu
bahagia, bahkan jika itu berarti tanpa aku."
"Tapi bahagiaku... adalah saat kamu bersamaku,"
Louis membalas dengan cepat.
"Kamu masih bisa mundur sekarang, sebelum terlalu jauh.
Aku... aku hanya takut kamu akan menyesal."
"Aku hanya akan menyesal kalau menyerah. Marlo, aku
ingin memperjuangkan ini. Bersama kamu."
Beberapa hari kemudian, Louis datang ke rumah Marlo. Mereka
duduk di teras rumah kayu itu, ditemani teh hangat dan angin sore yang menyapu
daun-daun jati.
"Marlo, kalaupun kita tidak bisa menikah sekarang,
bisakah kita tetap merencanakan masa depan bersama?" tanya Louis, matanya
serius namun lembut.
Marlo mengangguk pelan. "Kita bisa. Tapi aku ingin kita
berjalan pelan. Aku ingin kamu punya waktu untuk benar-benar yakin."
"Aku sudah yakin. Yang membuatku lelah adalah dunia
yang memaksaku untuk ragu."
"Dunia hanya akan diam jika kita membungkamnya dengan
karya. Maka mari kita kembali pada apa yang menyatukan kita: membantu orang
lain. Mungkin dari situ, kita akan temukan restu yang datang bukan dari mulut,
tapi dari hati."
Louis tersenyum. "Kau selalu punya cara rasional untuk
membuat hatiku semakin dalam padamu."
"Karena cinta bukan hanya tentang perasaan, Louis. Tapi
juga tentang keputusan untuk bertahan dalam perasaan itu."
Konflik itu belum selesai, namun malam itu mereka duduk
lebih dekat. Seperti dua perahu yang terombang-ambing di laut gelap, tapi
percaya bahwa mereka akan sampai ke pelabuhan yang sama. Bersama.
Tema 5: Pernikahan Senyap
Konflik keluarga Louis mencapai puncaknya.
"Kalau kamu melangkah keluar rumah ini hanya untuk pria
itu, maka jangan pernah kembali lagi!" teriak Ayah Louis dengan suara
menggelegar.
Louis berdiri di ambang pintu, koper kecil di tangan.
Matanya sembab, namun wajahnya tetap tegar. Di belakangnya, Liona berdiri diam,
lalu maju dan memeluk adik perempuannya.
"Aku tahu kamu terluka, Louis... tapi jangan pernah
kehilangan siapa dirimu hanya untuk menyenangkan orang lain."
"Terima kasih, Kak... Kamu satu-satunya yang tidak
membuatku merasa seperti orang asing di rumah ini."
Liona tersenyum pahit. "Jangan takut, aku akan
mengalihkan perhatian Ayah dan Ibu. Pergilah... Jika itu adalah kebahagiaanmu,
jangan ragu."
Louis tak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu melangkah ke
dunia yang tak menjanjikan kenyamanan, namun penuh harapan.
Di luar rumah, telah menunggu seseorang dengan senyum penuh
kehangatan: kakak laki-laki Marlo, Darius.
"Kamu yakin akan ini?" tanyanya sambil membuka
pintu mobil.
"Aku tidak yakin dunia akan menerima kami, tapi aku
yakin hatiku hanya untuk Marlo."
Darius mengangguk. "Kalau begitu, aku akan menjadi
saksimu. Aku tahu siapa adikku. Ia bukan pria sempurna, tapi ia mencintaimu
dengan cara yang dalam dan tulus."
Malam itu, di sebuah rumah sederhana di pinggir kota, dengan
hanya saksi dua teman dekat dan Darius sebagai wali, Louis dan Marlo mengucap
janji.
Marlo memandang mata Louis, yang tampak bersinar di bawah
temaram lampu minyak.
"Dengan nama Tuhan yang kini juga menjadi Tuhanmu, aku
berjanji akan menjagamu, mencintaimu, dan menua bersamamu, jika itu
diperkenankan takdir."
Louis menahan air mata. Suaranya gemetar tapi jelas saat ia
membalas:
"Aku telah kehilangan banyak hal untuk sampai di sini.
Tapi tak ada satu pun yang kusesali. Karena bersamamu... aku menemukan diriku
yang sesungguhnya."
Mereka tidak memiliki gaun mewah, tidak ada pesta besar,
tidak ada restu yang hadir secara terang-terangan—namun di ruangan kecil itu,
cinta hadir dengan seluruh kesuciannya. Mereka menikah dalam senyap, namun hati
mereka bersorak dengan nyaring.
Dan malam itu, di bawah langit yang tak bertanya, mereka
bersatu dalam ikatan yang tidak diakui dunia, namun dirasakan oleh semesta.
Tema 6: Berjuang Bersama Sekuat Tenaga
Mereka pindah ke sebuah desa kecil di lereng pegunungan
Flores, tempat angin membawa harum tanah basah dan suara jangkrik menggantikan
bising kota. Rumah mereka sederhana, berdinding kayu dan beratapkan seng, namun
di dalamnya—ada cinta yang terus menyala, tak pernah redup.
Setiap pagi Louis menyapu halaman sekolah alam yang mereka
bangun bersama. Anak-anak desa menyambutnya dengan tawa riang, sementara Marlo
mengajar mengaji dan berkebun, mengenalkan konsep keberlanjutan dengan sabar
dan penuh kasih.
"Marlo," Louis duduk di serambi sore itu sambil
menatap matahari tenggelam di balik bukit. "Kita seperti hidup di dunia
sendiri ya? Dunia kecil yang kita bangun dari reruntuhan luka."
Marlo tersenyum, meletakkan cangkir teh di hadapannya.
"Dan dunia kecil ini cukup bagiku, asal ada kamu di dalamnya."
Louis tersenyum lebar, menggenggam tangannya. "Aku
selalu ingin hidup seperti ini. Bermanfaat, tapi tetap saling menguatkan. Kamu
tahu... waktu kita mengajar anak-anak cara membuat kompos dari sampah organik,
aku merasa hidupku punya arti."
"Dan waktu kamu mengajari mereka menulis puisi, mereka
mulai memahami bahwa dunia bisa diubah lewat kata-kata. Kamu tahu, Louis,
kadang cinta tidak selalu harus besar dan membahana. Ia bisa hadir dalam bentuk
paling sederhana: seperti secangkir teh yang kamu buatkan untukku setiap
malam."
Louis tertawa pelan. "Atau seperti caramu memijat
kakiku yang pegal setelah menyapu sepanjang pagi."
Mereka tertawa bersama. Tapi perjuangan itu tidak selalu
mudah.
Malam itu, hujan turun deras, dan atap rumah mereka bocor di
beberapa sudut. Louis memindahkan baskom untuk menampung air sambil menghela
napas.
"Apa kita terlalu nekat, Marlo? Meninggalkan semuanya
hanya untuk cinta?"
Marlo menatapnya lama, lalu berdiri dan merangkul pundaknya.
"Kita mungkin nekat. Tapi kita juga berani. Dan keberanian adalah mata
uang paling langka di dunia yang sering menyerah sebelum mencoba."
Louis menyandarkan kepala di dada Marlo. "Aku takut
kadang... takut kalau kita gagal, takut kalau dunia benar."
"Louis," bisik Marlo, mengangkat dagunya,
"kita tidak sedang mengejar pembuktian. Kita hanya ingin menjadi rumah
bagi satu sama lain. Dan rumah bukan tentang sempurna, tapi tentang pulang yang
selalu diterima."
Mereka memutuskan membuat program pengembangan desa berbasis
komunitas: taman baca, pelatihan menjahit untuk ibu-ibu muda, dan kelas
pengembangan diri untuk remaja. Louis membuat modul-modul pelatihan yang
inspiratif, Marlo mengajak tokoh-tokoh lokal untuk ikut bergabung.
"Cinta itu... kalau tidak memberi manfaat ke sekitar,
hanya jadi kenikmatan egois. Aku tak ingin cinta kita seperti itu," kata
Marlo suatu malam.
"Kamu selalu punya cara membuat aku mencintaimu lebih
dari sebelumnya," sahut Louis dengan mata berkaca-kaca.
Dan di tengah segala kesederhanaan dan keterbatasan, mereka
menjadi cahaya. Bukan hanya bagi satu sama lain, tapi bagi banyak jiwa di
sekitarnya.
Tema 7: Menyerah atau Diperjuangkan
Hari itu, kabar tentang pernikahan Louis dan Marlo akhirnya
sampai juga ke telinga orang tua Louis. Ayahnya yang terkejut langsung
memanggilnya pulang ke rumah, di tengah ketegangan yang merayap di udara. Louis
datang dengan hati berdebar, mengetahui bahwa tak ada yang mudah tentang
pertemuan kali ini.
Saat ia melangkah masuk ke dalam ruang tamu, ayahnya yang
duduk tegak dengan wajah merah membara langsung berdiri dan menatapnya dengan
penuh amarah.
“Apa yang sudah kamu lakukan, Louis?” suara Ayahnya begitu
tajam, seperti pedang yang baru dihunus. “Kamu benar-benar menikah dengan pria
itu, Marlo? Pria yang jauh lebih tua darimu? Apa yang ada di pikiranmu? Kamu
mau menghancurkan masa depanmu sendiri?!”
Louis menatap Ayahnya dengan tatapan tegas namun penuh luka.
“Ayah, ini adalah keputusan hidupku. Marlo adalah orang yang aku pilih. Dia
baik, penuh kasih, dan sudah membuktikan dirinya bukan hanya untukku, tapi juga
untuk banyak orang di luar sana.”
Ayahnya menyeringai, nada suaranya semakin naik. “Dia
mungkin baik di matamu, tapi dia bukan pria yang layak untukmu. Dia tidak
sebanding dengan keluarga kita. Kamu tidak tahu apa yang dia bawa untuk
hidupmu—apakah kamu akan hidup dengan penderitaan karena mengikuti nafsu?”
“Ayah,” Louis berusaha menahan air mata, “Aku tidak
mengikuti nafsu. Aku mengikuti hatiku. Aku ingin hidup dengan cinta dan tujuan
yang lebih besar, dan Marlo adalah bagian dari itu. Aku ingin bersama seseorang
yang menghargai aku, yang membimbingku.”
Ibunya, yang selama ini lebih diam, akhirnya berbicara
dengan suara penuh kesedihan, “Louis... ibu tidak tahu bagaimana menjelaskan
ini padamu. Kamu menginginkan pria yang lebih tua, dengan latar belakang yang
berbeda, dan... agama yang berbeda? Apakah kamu pikir ini akan mudah? Apa yang
akan orang katakan tentang kita?”
Louis memejamkan matanya sejenak, mengatur napas. “Ini
adalah pilihan hidupku, Bu. Dan aku tidak bisa mundur hanya karena takut pada
apa yang orang lain katakan. Aku sudah berjuang untuk ini.”
Ayahnya maju, mendekat dan memegang bahu Louis dengan keras.
“Kamu harus memilih, Louis! Kamu mau tetap menjadi bagian dari keluarga ini
atau terus menerus berhubungan dengan pria itu? Kalau kamu tetap bertahan, aku
tidak akan pernah menganggapmu anakku!”
Louis merasakan jantungnya dihimpit oleh kata-kata itu,
namun dia tetap berdiri tegak, dengan wajah yang keras namun hati yang dipenuhi
keraguan. “Ayah, aku memilih Marlo. Aku memilih hidupku sendiri, dengan cinta
yang aku yakini.”
Namun, sebelum ayahnya bisa merespon, Liona—kakak perempuan
Louis—berdiri dari kursinya dan berkata dengan suara rendah namun penuh
keyakinan, “Cukup, Ayah. Kalau kamu merasa dia salah, aku akan membantu dia.
Louis adalah adikku, dan dia berhak membuat keputusan hidupnya sendiri.”
Kata-kata Liona membuat ketegangan semakin memuncak. Louis
menatap kakaknya dengan rasa terima kasih yang mendalam. “Kak... Terima kasih.”
Ayahnya terdiam, sejenak. “Kamu juga tidak mengerti, Liona!
Ini bukan hanya tentang cinta, ini tentang harga diri keluarga!”
Marlo yang sudah mengetahui keadaan itu, datang dengan
tenang ke rumah Louis. Meskipun ketegangan terasa begitu kental, ia tidak
mundur. Dengan langkah pasti, ia melangkah ke depan, berdiri di samping Louis,
dan berbicara dengan suara yang dalam dan penuh rasa hormat.
“Ayah, Ibu... Saya tahu keputusan saya tidak akan pernah
bisa memuaskan semua orang. Tetapi, saya berjanji bahwa saya akan menjaga Louis
dengan segenap jiwa dan raga saya. Saya akan membimbingnya, mencintainya, dan
memberikan yang terbaik untuknya. Saya tahu saya tidak sempurna, dan saya tidak
meminta restu. Saya hanya meminta kesempatan untuk menunjukkan bahwa cinta kami
bukanlah khayalan, melainkan kenyataan yang akan kami perjuangkan bersama.”
Ayah Louis menatap Marlo dengan tatapan penuh kebencian.
“Kamu bukan siapa-siapa bagiku, Marlo. Kamu hanya akan menjadi penghalang bagi
hidup anakku! Kalau kamu terus ada dalam hidupnya, aku akan memastikan kamu
tidak punya tempat di sini!”
Marlo tidak mundur, meskipun kata-kata itu terasa sangat
tajam. Ia hanya menatap ayah Louis dengan penuh kesabaran, dan berkata dengan
suara yang penuh keyakinan, “Saya tidak takut dengan ancaman, Pak. Karena saya
tahu, apapun yang terjadi, saya akan berjuang untuk cinta ini. Tidak ada yang
bisa menghalangi kami.”
Louis merasakan kekuatan dari kata-kata Marlo, dan dalam
hatinya, ia tahu bahwa ia sudah memilih dengan benar. Meskipun dunia di luar
mereka penuh dengan ketidaksetujuan dan ancaman, ia tidak merasa sendirian.
Marlo ada di sisinya, siap berjuang bersamanya.
Di luar, hujan turun deras, namun di dalam rumah itu, Louis
dan Marlo berdiri bersama, siap menghadapi dunia—bersama, dalam cinta yang tak
akan pernah goyah.
Tema 8: Aku Sudah Berusaha, Namun Apa Dayaku
Waktu terus berputar, membawa Louis ke dalam sebuah dilema
yang semakin dalam. Setiap malam, ia duduk di samping ibunya yang sakit,
merawatnya dengan penuh kasih sayang. Namun, di dalam hatinya, sebuah kehampaan
yang dalam tak bisa disembunyikan. Keluarganya, terutama ayahnya, tetap menutup
mata terhadap pernikahannya dengan Marlo. Mereka tidak pernah mengakui, bahkan
memandangnya sebagai sebuah keputusan yang salah.
Louis, yang dulu begitu bangga dengan identitas keluarganya,
kini merasa terombang-ambing antara dua dunia yang saling bertentangan. Cinta
yang begitu murni terhadap Marlo, dan kewajiban untuk menjaga keharmonisan
dengan orang tua yang tak pernah bisa menerima keputusannya.
Suatu sore, ketika langit Jakarta mendung dengan awan
kelabu, Louis berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya. Wajahnya
lelah, matanya merah karena kurang tidur. Ia merasakan beban yang berat di
dadanya. Setelah sekian lama berusaha, ia merasa seperti sudah mencapai
batasnya.
Ketika Marlo datang ke rumahnya, wajah Louis terlihat sangat
murung. Marlo menatapnya dengan penuh perhatian, mengamati setiap gerak-gerik
Louis, seakan bisa membaca segala yang terpendam dalam hati lelaki itu.
Louis melangkah mendekat dan duduk di samping Marlo,
memegang tangannya, namun ada jarak yang tak bisa dijembatani di antara
mereka—jarak yang tercipta oleh perbedaan dunia yang mereka jalani.
“Marlo, aku... aku sudah mencoba semuanya. Aku sudah merawat
ibuku, mencoba berbicara dengan Ayah, mencari titik temu. Tapi sepertinya
semuanya sia-sia,” ucap Louis, suaranya berat dan penuh keputusasaan.
Marlo hanya diam sejenak, merasakan setiap kata yang keluar
dari mulut Louis. Ia tahu betapa beratnya bagi Louis untuk menghadapi kenyataan
ini. Marlo menyentuh wajah Louis dengan lembut, mengusap keringat yang
membasahi pelipisnya.
“Aku tahu kamu berusaha keras, Louis. Aku tahu betapa kamu
mencintai keluargamu, betapa kamu berusaha agar semuanya kembali seperti dulu.
Tapi kita tidak bisa terus memaksakan segalanya, bukan?”
Louis menatap Marlo dengan penuh rasa bersalah. "Aku
tidak tahu lagi, Marlo... aku mencintaimu, dan aku ingin kita bersama, tapi aku
juga tidak bisa mengabaikan keluargaku. Mereka adalah bagian dari hidupku, dan
aku tidak bisa begitu saja meninggalkan mereka. Aku sudah berusaha sekuat
tenaga, namun... aku gagal. Mereka tetap tidak menerima kita."
Marlo menggenggam tangan Louis lebih erat, mencoba
memberikan kekuatan meski ia sendiri merasa rapuh. "Kamu sudah berjuang,
Louis. Aku tahu itu. Tetapi kadang, kita harus menerima kenyataan bahwa tidak
semua perjuangan akan berakhir sesuai harapan. Cinta kita memang kuat, tetapi
dunia kita tidak selalu berpihak."
Louis menunduk, terdiam. Di dalam hatinya, rasa sakit dan
kebingungannya membuncah. Ia tidak ingin kehilangan Marlo, namun ia juga tak
bisa mengabaikan orang tuanya yang kini semakin menua dan semakin rapuh. Ia
merasa terjepit antara dua pilihan yang sama-sama sulit.
Marlo menarik napas panjang, lalu berbicara dengan suara
yang penuh ketulusan. "Aku tidak ingin melihatmu hancur, Louis. Aku ingin
kita bertahan, tetapi jika ini harus berakhir... aku akan rela. Karena aku
tahu, kamu sudah berusaha. Dan aku... aku tidak ingin kamu mengorbankan dirimu
hanya untuk membuatku bahagia. Aku ingin kamu bahagia dengan caramu
sendiri."
Air mata Louis mulai mengalir, meskipun ia berusaha keras
menahan. Ia menatap Marlo, merasa seolah seluruh dunia runtuh di hadapannya.
"Marlo, aku sudah berusaha. Aku berjanji akan selalu mencintaimu, tapi aku
tidak tahu lagi bagaimana caranya agar semuanya baik-baik saja. Aku tidak bisa
memilih antara kamu dan keluargaku. Dan aku merasa... aku tidak pantas
memilikimu jika aku terus merusak segalanya."
Marlo menatap Louis dalam-dalam. "Louis... cinta kita
sudah cukup kuat untuk mengatasi banyak hal. Tetapi terkadang, kita harus
memahami bahwa ada saatnya kita harus melepaskan. Kita berdua berhak untuk
menemukan kebahagiaan, meski itu bukan dalam bentuk yang kita harapkan. Jika
itu berarti kita harus berpisah untuk sementara waktu, maka kita harus berbuat
demikian. Aku tidak ingin kamu hancur karena cinta kita."
Louis menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang
semakin sulit ia tahan. "Jadi... kita harus berpisah? Apakah ini yang
terbaik untuk kita?"
Marlo tersenyum pahit. "Kadang, berpisah bukan berarti
akhir dari segalanya. Mungkin ini hanya sementara, Louis. Mungkin suatu saat
nanti kita akan bertemu kembali, dengan hati yang lebih kuat, dengan dunia yang
lebih menerima kita."
Louis menggenggam tangan Marlo dengan sangat erat, seakan
tidak ingin melepaskannya. "Aku akan selalu mencintaimu, Marlo. Meskipun
kita harus terpisah, hatiku tetap milikmu."
Marlo menatap Louis dengan penuh kasih, kemudian membisikkan
kalimat yang akan selalu tinggal di hati mereka berdua: "Aku tahu, Louis.
Aku tahu. Tidak ada yang bisa memisahkan kita, bahkan jika kita terpisah oleh
waktu dan ruang."
Dan saat itu, dalam keheningan yang mendalam, mereka berdua
tahu bahwa cinta mereka tidak akan pernah mati. Namun, terkadang cinta harus
berjuang dengan cara yang berbeda—menghormati waktu, menghormati keluarga, dan
menghormati diri sendiri.
Tema 9: Kenyataan Pahit yang Harus Diterima
Malam itu, hujan turun perlahan, seakan alam pun turut
merasakan kesedihan yang membalut hati mereka. Suara rintik hujan yang
membasahi tanah, menambah kesedihan yang terpendam di dalam dada. Di tengah
malam yang sepi, di depan rumah kecil yang dulu penuh tawa, Louis dan Marlo
berdiri berhadapan, tangan mereka saling menggenggam erat, namun ada jarak tak
terlihat yang memisahkan mereka.
Setelah sekian lama berjuang, mereka harus menerima
kenyataan pahit ini. Cinta yang begitu murni, yang telah mereka bangun bersama,
harus terhenti di titik ini, karena takdir yang lebih besar memanggil mereka
untuk berpisah. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan
yang mengiris hati, tidak ada kalimat yang bisa menjelaskan betapa beratnya
keputusan ini, namun mereka tahu, inilah yang harus dilakukan.
Louis menatap Marlo, matanya yang biasa penuh dengan
keyakinan kini dipenuhi keraguan dan kesedihan. "Marlo... aku tidak pernah
membayangkan hari ini datang begitu cepat. Aku mencintaimu lebih dari apapun,
lebih dari apa yang bisa diungkapkan kata-kata. Tapi mungkin ini saatnya kita
menerima kenyataan bahwa kita... tidak bisa bersama."
Marlo menatap Louis dengan mata yang berkaca-kaca, meskipun
hatinya terasa hancur, ia berusaha untuk tetap tegar. "Louis, aku tahu.
Aku sudah tahu ini akan datang. Meskipun aku berusaha meyakinkan diriku,
meskipun aku berharap takdir akan berpihak pada kita, aku tahu kita tidak bisa
melawan dunia yang begitu besar dan keras ini."
Louis menggenggam tangan Marlo lebih erat, seakan ingin
mengingat setiap detik yang telah mereka lalui bersama. "Marlo, aku tidak
tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpamu. Kamu adalah bagian dari diriku, lebih
dari apa pun yang pernah ada. Tapi aku juga tahu, kita berdua harus melangkah,
meskipun langkah itu terasa begitu berat."
Marlo mengangguk perlahan, air mata mulai mengalir di
pipinya. "Aku akan menunggumu, Louis. Tak peduli berapa lama waktu yang
dibutuhkan, aku akan menunggu, bahkan jika waktu itu berarti menunggu sampai
ajal menjemputku."
Louis menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan cinta dan
kesedihan. "Jangan menunggu terlalu lama, Marlo. Aku ingin kamu hidup
penuh kebahagiaan, meskipun itu tanpa aku. Aku tidak bisa meminta lebih, karena
aku tahu aku sudah meminta terlalu banyak darimu."
Mereka berdua diam dalam keheningan yang menyesakkan, hanya
suara hujan yang terdengar di sekeliling mereka, seperti melodi yang mengiringi
perpisahan yang tak terhindarkan. Marlo kemudian melangkah mendekat, dan tanpa
kata-kata, ia memeluk Louis dengan lembut, membiarkan segala perasaan itu
keluar, menyatu dengan tubuhnya yang kini terasa sangat jauh.
Louis membalas pelukan itu, membiarkan dirinya tenggelam
dalam kehangatan tubuh Marlo untuk terakhir kalinya. "Jika takdir
mempertemukan kita lagi, aku akan datang tanpa ragu, Marlo. Karena aku tahu, di
dalam hatiku, kamu akan selalu ada. Aku tidak akan pernah bisa
melupakanmu."
Marlo menghela napas, mengusap punggung Louis dengan lembut,
seakan berusaha menguatkan dirinya sendiri. "Aku pun akan menunggumu,
Louis. Bahkan jika dunia ini berubah, bahkan jika segala sesuatu tidak berjalan
sesuai harapan, aku akan menunggumu... walau sampai ajal menjemputku."
Air mata Marlo mengalir deras, namun ia tidak
menghiraukannya. Louis menghapus air matanya dengan jemari lembut, mencoba
menenangkan Marlo yang tampak rapuh. "Jangan menangis, Marlo. Ini bukan
akhir. Hanya sebuah jeda, sebuah ruang yang harus kita beri untuk diri kita
sendiri. Mungkin kita akan bertemu kembali, mungkin tidak. Tapi jika takdir itu
ada, kita akan dipertemukan lagi, di waktu yang tepat."
Marlo menatap Louis dengan penuh kasih. "Aku tahu.
Meskipun kita harus berpisah sekarang, hatiku akan selalu bersama kamu. Tidak
ada satu detik pun yang berlalu tanpa aku memikirkanmu."
Mereka berdua hanya saling menatap, mengerti bahwa kata-kata
lagi-lagi tidak cukup untuk menggambarkan perasaan mereka. Sambil menahan isak,
Marlo perlahan melepaskan pelukan itu, meninggalkan Louis dengan hati yang
terluka, tetapi dengan satu harapan—bahwa cinta mereka, meskipun terpisah oleh
waktu dan ruang, akan tetap ada di dalam hati mereka masing-masing.
Louis melihat Marlo berjalan pergi, langkahnya semakin
menjauh, dan hatinya terasa hancur. Namun, ia tahu, ini adalah keputusan yang
harus mereka terima. Cinta tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan, tetapi
terkadang, kebahagiaan itu ada dalam menerima kenyataan dan belajar untuk
melepaskan.
Dan saat Marlo menghilang di balik hujan yang semakin deras,
Louis berbisik pelan, "Aku akan selalu mencintaimu, Marlo. Selamanya,
meskipun kita tak lagi bersama."
Langit pun menangis bersama mereka, mengiringi perpisahan
yang penuh dengan kenangan indah dan kesedihan mendalam.
Tema 10: Berharap untuk Bertemu Kembali Walau Hanya Sekejap
Setahun sudah berlalu sejak perpisahan mereka yang mengiris
hati. Waktu, yang sering kali terasa tak adil, seolah memisahkan segala harapan
dan kenangan indah dalam kekosongan yang tak terisi. Louis, meskipun sering
kali terjaga dalam kesepian, berusaha menjalani hidupnya tanpa kehadiran Marlo.
Namun, hatinya, yang tak bisa lupa, selalu mencari jejak-jejak masa lalu yang
penuh dengan cinta.
Hari itu, Louis berada di Jogja, menghadiri seminar
pendidikan yang telah direncanakan jauh sebelumnya. Kota yang penuh dengan
sejarah dan keindahan itu membuatnya merindukan momen-momen sederhana yang dulu
ia bagi bersama Marlo. Ia berjalan keluar dari aula seminar, dengan langkah
yang sedikit terburu-buru, namun jiwanya merasa kosong. Tiba-tiba, dari
kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing—Marlo.
Marlo duduk di bangku taman, dengan kepala sedikit
tertunduk, membaca sebuah buku. Hanya terlihat siluetnya yang tenang, dan Louis
merasa jantungnya berdebar, seolah waktu kembali berputar ke masa lalu, ke
saat-saat penuh tawa dan tangis bersama.
"Marlo...?" Louis memanggil dengan suara yang
serak, sedikit terkejut. Hati yang terkunci rapat seketika terbuka, dan semua
kenangan itu kembali datang begitu saja.
Marlo menoleh, dan dalam kilasan pandangan pertama, Louis
bisa melihat betapa banyak yang telah berubah. Mata Marlo yang dulu penuh
dengan harapan, kini tampak lebih tenang, lebih dewasa. Senyumnya yang lembut,
tak lagi mengandung kesedihan yang sama, namun ada kehangatan yang masih
terasa. "Louis," jawab Marlo, suaranya tak kalah lembut, penuh makna.
Mereka saling menatap dalam diam, tak ada kata-kata yang
keluar, hanya keheningan yang terasa lebih dalam dari segala bentuk percakapan.
Louis merasa seolah-olah dunia kembali menjadi kecil, hanya ada mereka berdua
di dalamnya, meski ada jarak yang terentang begitu jauh di antara mereka.
Setahun yang lalu, mereka adalah dua orang yang saling mencintai, kini hanya
dua orang yang berusaha mengerti betapa waktu telah mengubah segala sesuatu.
Louis duduk di samping Marlo, dengan sedikit canggung.
"Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya, menatap
tangan yang sedikit gemetar.
Marlo tersenyum tipis, masih dengan mata yang lembut.
"Tidak perlu ada kata-kata, Louis. Kita hanya perlu duduk dan menikmati
waktu yang ada."
Mereka berbicara lama, namun pembicaraan mereka tak lagi
tentang perasaan yang dulu membara. Kini, mereka hanya berbicara tentang
kehidupan mereka setelah berpisah. Tentang perjalanan mereka masing-masing,
tentang bagaimana mereka berusaha tumbuh meski tanpa satu sama lain.
"Bagaimana kamu?" tanya Louis, suaranya rendah,
penuh perhatian.
Marlo mengangguk perlahan. "Aku baik. Hidup di desa...
itu memberikan banyak waktu untuk merenung. Aku belajar banyak, Louis. Tentang
diriku, tentang dunia, tentang arti cinta yang sesungguhnya."
Louis menatapnya, matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan
kekaguman. "Aku... aku senang mendengar itu. Aku selalu tahu, kamu adalah
orang yang luar biasa."
"Begitu juga kamu, Louis," jawab Marlo dengan
lembut. "Kita mungkin tidak bersama lagi, tapi aku percaya bahwa setiap
langkah yang kita ambil membawa kita ke tempat yang tepat."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Bukan keheningan yang
menakutkan, tetapi keheningan yang penuh dengan kedamaian. Mereka tidak lagi
menginginkan pelukan atau permintaan untuk kembali bersama. Tidak ada keinginan
untuk mengulang masa lalu, hanya keinginan untuk menerima segala yang telah
terjadi, dengan lapang hati.
Louis menghela napas panjang. "Aku selalu berharap bisa
bertemu denganmu lagi, meskipun hanya sebentar. Untuk melihatmu bahagia, untuk
tahu bahwa kamu telah menemukan jalanmu."
Marlo menoleh, matanya yang lembut bersinar. "Aku pun
berharap begitu, Louis. Walau tak bisa bersama, aku tahu kamu akan selalu ada
di hatiku. Tidak ada waktu yang cukup untuk melupakan kenangan kita."
Mereka duduk dalam keheningan yang lebih mendalam, hanya
suara angin dan gemericik air yang terdengar di sekitar mereka. Setiap detik
bersama terasa seperti keajaiban yang terpendam, seakan waktu itu sendiri
mengerti bahwa pertemuan mereka adalah hal yang lebih dari sekedar kebetulan.
"Aku rasa kita tidak perlu mencari alasan untuk
bertemu, Marlo," ucap Louis, suaranya bergetar. "Terkadang, hanya
pertemuan singkat seperti ini yang cukup untuk membuat hati kita merasa
lengkap."
Marlo mengangguk, senyumnya kini lebih dalam, lebih penuh
arti. "Dan mungkin, ini adalah cara takdir memberitahuku bahwa meskipun
kita tak bersama, kita tetap akan saling mengingat. Cinta yang sesungguhnya
tidak selalu harus bersama. Cinta yang sesungguhnya adalah menghargai kenangan
dan memberi ruang untuk kedua hati."
Louis merasa air mata itu hampir menetes, namun ia
menahannya. "Kamu benar, Marlo. Aku akan selalu mengingatmu, bahkan jika
kita harus berpisah lagi setelah ini. Kamu akan selalu menjadi bagian dari
hidupku, dalam cara yang tak terlihat."
"Dan kamu juga akan selalu ada dalam pikiranku,"
jawab Marlo dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh dengan kesan terakhir
yang begitu dalam.
Mereka berdua saling tersenyum, tidak ada lagi penyesalan.
Tidak ada lagi rasa sakit. Hanya ada kedamaian yang datang setelah berjuang dan
menerima kenyataan. Walau pertemuan mereka singkat, namun perasaan itu tetap
abadi.
Ketika mereka berpisah, tak ada pelukan atau janji yang
terucap. Hanya langkah yang saling meninggalkan jejak di tanah yang sama, dan
harapan bahwa mungkin suatu saat nanti, takdir akan mempertemukan mereka
kembali. Bukan untuk mengulang masa lalu, tetapi untuk membiarkan cinta mereka
tetap hidup, dalam cara yang tak terhingga.
Dan saat Marlo berjalan menjauh, Louis berdiri, menatapnya
untuk terakhir kali. Dalam hatinya, ada sebuah doa, "Jika takdir
mempertemukan kita lagi, aku akan menyambutmu, Marlo. Walau hanya untuk
sekejap."
Mereka berpisah dengan cara yang penuh cinta—dengan
kesadaran bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar berakhir.
Tema 11: Seandainya Waktu Bisa Diputar Kembali
Malam itu, Louis duduk di meja kecil di kamarnya yang
sederhana. Di luar, hujan gerimis turun perlahan, membasahi tanah yang sudah
lama tak tersentuh air. Suara rintik-rintik hujan itu terasa begitu akrab,
seperti kenangan yang tak pernah benar-benar hilang dari hati. Ia menatap buku
hariannya, pena di tangan, namun pikirannya melayang jauh, kembali ke masa
lalu—ke masa ketika segala sesuatu masih indah, masih ada harapan, masih ada
cinta.
Dengan hati yang penuh dengan perasaan, Louis mulai menulis:
"Jika waktu bisa kuputar kembali, aku tak akan lepaskan
tangannya. Tapi hidup adalah kumpulan keputusan pahit yang harus ditelan dengan
senyum."
Tulisan itu terasa begitu berat, begitu penuh dengan
penyesalan. Setiap kata seperti berisi beban yang sulit diterima, namun pada
saat yang sama, penuh dengan pengertian. Louis meletakkan pena, dan sejenak
menutup matanya, membiarkan dirinya terhanyut dalam kenangan yang tak pernah
benar-benar bisa ia lupakan.
Seandainya waktu bisa diputar kembali. Seandainya tak ada
perpisahan yang harus terjadi. Seandainya tak ada kata-kata pahit yang harus
diucapkan, dan tak ada hati yang harus terluka. Louis membayangkan wajah
Marlo—senyumnya yang hangat, tatapannya yang penuh pengertian, suara lembutnya
yang selalu menenangkan. Semua itu terasa begitu dekat, namun juga begitu jauh,
seperti mimpi yang menghilang ketika fajar datang.
"Marlo," bisik Louis, suaranya hampir hilang
tertelan angin. "Seandainya aku bisa menahan waktu di saat-saat itu.
Seandainya aku bisa berhenti, tak membiarkan kita saling melangkah
menjauh."
Malam semakin larut, dan di luar, hujan semakin deras. Louis
berdiri, berjalan menuju jendela, dan memandang keluar. Dunia yang sepi, tanah
yang basah, dan langit yang gelap seolah menyatu dengan hatinya yang penuh
dengan kerinduan. Ia merindukan Marlo. Tidak hanya wajahnya, tetapi juga
kehadirannya yang begitu memberi makna dalam setiap detik kehidupan mereka
bersama.
Namun, waktu tidak bisa diputar kembali. Begitu banyak yang
telah terjadi, dan begitu banyak yang telah ia pilih. Keputusan-keputusan pahit
yang harus diterima, meskipun hatinya tak pernah siap. Setiap langkah yang ia
ambil, setiap keputusan yang ia buat, terasa seperti sebuah pengorbanan. Cinta
yang hilang, namun tidak pernah benar-benar pergi.
Di tengah kesunyian malam itu, telepon di meja bergetar.
Louis mengambilnya dengan perlahan. Suara di seberang telepon terdengar asing,
namun begitu familiar.
"Louis," suara itu mengalir lembut, "apakah
kamu baik-baik saja?"
Itu adalah suara Marlo. Hanya beberapa kata, tetapi bagi
Louis, itu adalah dunia yang kembali terbuka, sebuah pintu yang tak pernah
benar-benar tertutup. Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap
dalam hatinya.
"Aku... aku baik-baik saja," jawab Louis dengan
suara yang hampir bergetar. "Tapi, rasanya, aku masih mencari-cari sesuatu
yang hilang. Mungkin... itu adalah dirimu, Marlo."
Marlo di seberang sana terdiam. Tak ada kata-kata yang
keluar, hanya keheningan yang terasa begitu dalam, begitu penuh makna. Louis
bisa merasakan betapa banyak yang belum terucap, betapa banyak kata-kata yang
terpendam dalam hati mereka masing-masing.
"Aku... aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga merasa
seperti itu?" Louis melanjutkan, suaranya pelan namun penuh harap.
Marlo menghela napas, dan meskipun hanya melalui telepon,
Louis bisa merasakan rasa berat yang ada di sana. "Aku selalu merasa
begitu, Louis. Cinta kita tidak pernah benar-benar hilang. Mungkin, kita hanya
harus belajar menerima kenyataan bahwa hidup membawa kita ke jalan yang
berbeda."
Louis menunduk, menatap tangannya yang terdiam di atas meja.
"Terkadang aku berpikir, seandainya waktu bisa diputar kembali, aku tak
akan membuat keputusan itu. Aku tak akan membiarkan kita berpisah."
"Seandainya memang bisa," jawab Marlo dengan
lembut, "tapi kita juga tahu, hidup bukan tentang menyesali apa yang telah
terjadi. Hidup adalah tentang apa yang kita pilih untuk lakukan
setelahnya."
Louis tersenyum pahit. "Aku tahu. Tapi kadang-kadang,
aku hanya ingin kembali ke masa itu, kembali ke saat di mana kita hanya berdua,
tanpa dunia yang menghalangi."
Marlo terdiam sejenak. "Aku pun begitu, Louis. Tapi
waktu terus berjalan, dan kita harus berjalan bersama waktu, meskipun kadang
kita merasa terpisah."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun keheningan itu
tidak lagi terasa menakutkan. Ada kedamaian di dalamnya, meskipun hati mereka
masih terluka.
"Aku akan selalu menghargai kenangan kita, Marlo,"
Louis berkata pelan. "Itu adalah bagian dari hidupku yang tak akan pernah
bisa aku lupakan."
"Begitu juga aku," jawab Marlo. "Dan meskipun
kita tak bisa kembali, aku yakin bahwa cinta yang kita punya, akan selalu ada
di hati kita, sampai kapan pun."
Louis menutup mata, membiarkan air mata itu mengalir
perlahan. Ia tahu, meskipun mereka tak bisa kembali ke masa lalu, cinta mereka
akan selalu ada, di dalam kenangan yang tak pernah memudar.
"Jika waktu bisa kuputar kembali," Louis berbisik
sekali lagi, "aku tak akan lepaskan tanganmu. Tapi... hidup adalah
kumpulan keputusan pahit yang harus diterima dengan senyum."
Dan meskipun ia tidak bisa mengubah masa lalu, Louis tahu
bahwa di dalam hatinya, Marlo akan selalu ada—seperti waktu yang tak pernah
berhenti mengalir, seperti kenangan yang tak pernah hilang.
Terkadang, dalam hidup, kita harus belajar untuk melepaskan,
meskipun itu terasa menyakitkan. Tetapi, tak ada yang bisa menghentikan
kenangan itu untuk tetap hidup, abadi dalam hati.
Tema 12: Pasrah Atas Kehendak-Mu
Marlo duduk di masjid kecil yang sederhana, di sudut desa
yang sunyi. Malam sudah larut, namun tak ada rasa takut di hati Marlo. Di
hadapannya, Al-Qur'an terbuka, halaman-halaman yang penuh hikmah itu seperti
mengingatkannya pada segala hal yang telah ia jalani bersama Louis. Doa-doa
yang dibacanya malam itu bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi juga ungkapan
hati yang telah lama terpendam.
"Ya Allah," bisiknya pelan, "jika cinta ini
tak bisa bertahan, biarkanlah ia tetap abadi dalam kenangan kami. Jika takdir
memisahkan kami di dunia, izinkanlah kami untuk bertemu di surga-Mu, di tempat
yang penuh kedamaian, di tempat yang tak ada lagi penderitaan."
Di luar, langit seolah mendengar doanya. Bulan yang temaram
bersinar lembut, seakan mengingatkan Marlo pada malam-malam yang pernah mereka
habiskan bersama, saat mereka masih bisa berbicara tanpa kata, hanya dengan
hati yang saling memahami. Namun kini, ia hanya bisa merasakan kerinduan yang
membekas, dan doa yang tak terucapkan.
Sementara itu, jauh di Jakarta, Louis berdiri di depan
jendela kantornya, menatap bulan yang sama. Dingin angin malam menerpa
kulitnya, tetapi hati Louis terasa jauh lebih dingin. Jarak dan waktu telah
memisahkan mereka, namun di dalam hatinya, Marlo tak pernah benar-benar pergi.
Ada banyak hal yang harus ia lepaskan, ada banyak pilihan yang harus ia buat,
namun perasaan ini tetap mengakar dalam sanubarinya.
Terkadang, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan
yang tak bisa dipilih, seperti berjalan di atas jembatan yang rapuh, menunggu
waktu yang akan memutuskan. Cinta mereka seperti api yang membara, namun
terhalang angin takdir yang tak bisa mereka lawan.
"Tuhan," Louis berbisik, "aku sudah berusaha.
Namun, apa yang bisa aku lakukan jika takdir berkata lain? Jika kami harus
terpisah, izinkanlah kami untuk bertemu lagi, di tempat yang lebih baik. Jika
cinta ini harus hilang, biarkanlah ia tetap hidup dalam kenangan, di dalam hati
yang tak akan pernah berhenti mencintai."
Sekilas, Louis teringat akan setiap senyuman Marlo, setiap
tawa yang mengisi ruang kosong di hatinya. Mereka telah berjuang begitu keras,
tetapi hidup tak selalu memberi mereka kesempatan untuk menang. Mungkin, ini
adalah jalan yang harus mereka tempuh—perpisahan yang penuh dengan rasa sakit,
namun juga kedamaian dalam menerima kenyataan.
Tetesan air mata yang tak pernah sempat jatuh kini menghiasi
wajah Louis. Dia tahu, cinta mereka bukan hanya tentang bersama di dunia ini.
Ada dimensi yang lebih tinggi yang tak bisa mereka jangkau dengan tangan,
tetapi bisa mereka raih dengan hati. Jika tak bisa bersama di dunia, maka
mereka akan saling menemui di surga.
"Ya Tuhan," Louis melanjutkan dalam doa,
"biarkanlah kami terus mencintai, meski kami terpisah jarak dan waktu. Dan
jika perpisahan ini adalah jalan terbaik untuk kami, aku pasrahkan semuanya
kepada-Mu."
Malam itu, meskipun terpisah ribuan kilometer, mereka
berdua—Marlo di desa kecilnya, Louis di tengah hiruk-pikuk Jakarta—berdoa
dengan hati yang sama. Mereka pasrah pada kehendak-Nya, menerima kenyataan
pahit yang harus dijalani, meskipun dengan penuh cinta yang tak pernah padam.
"Jika bukan di dunia, pertemukan kami di
surga-Mu," ucap Marlo dalam doanya, matanya menatap langit yang jauh di
atas sana, seperti mengharapkan jawaban dari takdir yang tak pernah mereka
pahami.
Di Jakarta, Louis menatap bulan yang sama. Dalam keheningan
malam yang mendalam, ia merasa dekat dengan Marlo, meskipun terpisah oleh
ribuan mil. Dalam doa yang tulus, dalam cinta yang tidak terucapkan, mereka
tetap bersama, bahkan jika dunia ini memisahkan mereka.
"Kami telah berjuang, Tuhan," Louis berkata dengan
penuh keyakinan, "Kami telah berusaha. Jika ini adalah akhir, izinkan kami
untuk memelihara kenangan ini dengan penuh cinta, di tempat yang tidak akan ada
lagi perpisahan."
Dan dengan itu, keduanya menutup mata, pasrah pada kehendak
Tuhan, berharap bahwa meskipun dunia memisahkan mereka, cinta yang telah tumbuh
di antara mereka akan tetap abadi—selalu ada, seperti bintang yang tak pernah
padam di langit malam.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar