Tidak ada yang berubah di rumah keluarga Siswanta—kecuali
satu aroma aneh yang merayap di sudut dinding: wangi sandalwood bercampur bunga
sedap‑malam. Aromanya melekat pada selendang Meme, ibunda Yculiana, dan
setiap jejaknya meninggalkan pertanyaan yang tak terucap. Di balik aroma itu,
sebuah kisah lama terbangun kembali.
Di tempat lain, Yculiana—akuntan muda—baru pulang
membawa laporan neraca berbeban lembur. Namun beban terbesar bukan angka,
melainkan firasat. Ketika ia memeluk Meme, ia tahu: ada rahasia menari di
antara detak jantung ibunya.
Malam pekat. Jam dinding bersuara lirih seperti detak luka.
Yculiana baru meneguk teh ketika suara notifikasi ponsel Meme terdengar: ting!
Meme (menahan helaan napas, mengetik cepat):
“Aku merindukanmu. —M”
Haryan (balas secepat kilat):
“Esok, Café Terracotta pukul tujuh. Masih seperti dulu, Sayang. —H”
Senyum Meme merekah, seperti mawar yang dipaksa tumbuh di
tanah tandus. Yculiana melihat pantulan senyum itu dalam cangkirnya — dan
cangkir itu retak.
Di café yang terbuat dari dinding bata ekspos, Haryan
datang dengan jas tua namun mahal. Ia mengecup punggung tangan Meme—gestur
klasik yang membuat Meme lupa ia istri orang.
Haryan: “Dua puluh tahun, Sas. Kau tetap aroma hujan
pertama.”
Meme (pipinya merona): “Dan kau tetap hujan yang kutunggu, meski rumahku
telah kering.”
Haryan (mendekat, suara tercekat): “Aku punya toko besar; uang cukup;
tapi hatiku sepi. Datanglah kapan pun.”
Meme (berbisik): “Kalau kesepianmu adalah rumah, izinkan aku membukakan
tirai.”
Mereka saling menatap seperti burung-burung kecil lupa bahwa
sangkar orang lain telah tersedia.
Hujan menetes di atap seng warung kopi, menulis simfoni
sedih. Yonramo, lelaki sederhana dengan mata kelam penuh puisi,
menyeruput robusta murahan saat Yculiana datang dengan payung patah.
Yculiana (menggigil sedikit): “Kenapa selalu di
warung ini?”
Yonramo (tersenyum, memperbaiki syal lusuhnya): “Karena di sini cahaya
lampu kuning memantulkan matamu paling jernih.”
Yculiana (tersipu, lalu menatap dalam): “Kau tahu? Aku lelah menjadi
angka di neraca orang lain.”
Yonramo: “Aku pun lelah jadi ayah yang separuhnya hilang di kelas les.”
Yculiana (menyentuh punggung tangannya): “Kalau begitu, mari kita jadi
utuh di remang ini.”
Mereka tak sadar, remang itu adalah lubang.
Seminggu kemudian, di gang sepi beraroma cempaka,
Yculiana—dengan dress kerja masih rapi—bersandar di dinding lembap. Yonramo
datang, menyelipkan sekotak permen karamel.
Yonramo (menyentuh helai rambutnya): “Setiap kali
anakku makan permen ini, ia tertawa. Kuambil satu untuk mengingatkan diriku
pada tawa yang lain—tawamu.”
Yculiana (suara bergetar): “Lalu… ketika semua ini terbuka?”
Yonramo (menarik napas dalam): “Kita lari. Kota ini luas. Aku bisa jadi
tukang kayu, kau membuka bimbingan belajar.”
Yculiana (mata berkaca): “Kau berjanji?”
Yonramo (menempelkan jari di bibirnya): “Demi setiap bait puisi yang
kuajarkan, aku berjanji.”
Janji itu membungkus mereka seperti selimut, padahal di
luar, hujan kebenaran kian deras.
Pak Siswanta merasa toko pasarnya menurun omzet.
Entah kenapa, pelanggan tampak enggan. Ia pulang lebih cepat suatu siang,
membawa sekantung rambutan. Saat melintasi blok pertokoan mewah, ia melihat
istrinya keluar dari mobil sedan milik Haryan.
Hatinya patah sebelum sempat protes. Ia pulang dengan sorot
mata tajam, namun diam sampai malam.
Di dapur, Meme sedang merebus air. Siswanta meletakkan
rambutan, menatap istrinya seakan asing.
Pak Siswanta (suaranya rendah, menahan gelora):
“Sas, mobil siapa itu?”
Meme (tercengang, gagap):
“M-mobil? Oh… pemasok baru.”
Pak Siswanta:
“Pemasok macam apa yang menggandeng tanganmu sebelum kau turun?”
Meme (memejamkan mata, mengatur napas):
“Wan… aku… butuh ruang bernapas.”
Pak Siswanta (suara gemetar):
“Bernapaslah dalam rumah ini! Jangan di dada lelaki lain!”
Kata‑kata itu seperti palu menghantam beling. Meme terisak,
namun hatinya justru makin memihak Haryan—lelaki yang membuatnya merasa muda
lagi.
Malam berikutnya, Pak Siswanta belum selesai berkutat dengan
rasa sakit saat ia menerima pesan foto dari pedagang pasar: potret Yculiana
digandeng Yonramo di atas ojek.
Ia simpan foto itu. Ia pulang, memanggil Ycul ke ruang tamu.
Meme terlibat otomatis.
Pak Siswanta (menahan marah, memperlihatkan foto di
ponsel):
“Ini apa?!”
Yculiana (memandang tajam, tak gentar):
“Cinta, Ayah.”
Pak Siswanta:
“Cinta pada suami orang?!”
Yculiana (meletup):
“Kalau Ibu boleh mencintai suami orang, kenapa aku tidak?!”
(Meme terhenyak, menatap Ycul dengan wajah pucat)
Meme (suaranya pecah):
“Nak, Ibu… Ibu menyesal…”
Yculiana (membalikkan tubuh pada Meme, suara menampar):
“Penyesalan apa? Kau masih menyimpan parfum mahal darinya!”
Pak Siswanta (mendorong kursi, suara membentur dinding):
“Cukup! Rumah ini bukan pasar dosa! Kalian memperdagangkan kesetiaan!”
Piring porselen pecah di lantai ketika Meme menjatuhkan
gelas. Ratapan menyatu dengan gerimis di luar.
Di kamar, Siswanta duduk di kursi rotan, Meme berdiri di
depan lemari. Lampu temaram menciptakan bayangan kelam.
Pak Siswanta (pandangannya basah):
“Aku mungkin bukan kaya, tapi aku selalu pulang membawakan senyummu.”
Meme (menangis tersedu):
“Kau membawakan senyum, tapi lupa melihat air mataku. Aku kesepian, Wan.”
Pak Siswanta (mengetukkan jemari di lutut):
“Kesepianmu tak membenarkan kecurangan.”
Meme:
“Lalu cintaku harus kusimpan dalam kotak besi? Aku wanita, bukan bayangan
toko.”
Pak Siswanta (suara rendah tapi tajam):
“Kalau hatimu rumah sewa, keluarkan aku, pasang papan ‘kosong’ saja!”
Meme jatuh berlutut. Tangisnya menutup malam, tapi tidak
memadamkan dendam Siswanta.
Esok sorenya, Meme kabur sebentar ke hotel bintang tiga,
kamar 506. Di sana Haryan menunggu dengan setangkai anggrek ungu.
Haryan (memeluk Meme erat): “Tinggal saja dia, Sas.
Toko besarku untukmu. Rumah lebar, mobil, apa saja.”
Meme (terisak bahagia sekaligus takut): “Ayah anakku marah besar. Ycul
terluka.”
Haryan: “Mari mulai dari nol. Anak-anakmu akan mengerti: ibunya berhak
bahagia.”
Meme (mencium telapak tangannya): “Janji padaku… kau takkan mundur?”
Haryan (menarik Meme ke dada): “Kutulis namamu di setiap faktur toko,
Sayang.”
Di luar jendela, lampu kota berkedip—seakan menyiratkan:
janji di ketinggian sering jatuh di trotoar.
Malam sama, di studio musik kosong tempat Yonramo kadang
mengisi kelas vokal, Ycul memetik gitar lawas. Bait lagu patah hati mengisi
udara.
Yonramo (mendorong pintu, membawa dua gelas cokelat
panas):
“Untuk menenangkan ribut dunia.”
Yculiana (tersenyum pahit):
“Dunia ini memang ribut, tapi kita bisa jadi lagunya.”
Yonramo (mengelus pipinya):
“Aku mungkin lelaki miskin janji, tapi satu ini pasti: aku mencintaimu, tanpa
koma.”
Yculiana (menariknya ke pelukan):
“Ajak aku kabur malam ini.”
Yonramo (menutup mata):
“Ada anak yang menunggu dongeng. Istriku menunggu obat. Aku… terbelah.”
Yculiana (menahan isak):
“Kalau begitu biarkan aku jadi sayap patahmu. Tak usah terbang, asalkan kita
jatuh bersama.”
Yonramo (mencium keningnya lama):
“Sayap patah tetap sakit, Ycu. Aku tak ingin kau berdarah.”
Mereka berpelukan, panas napas berpadu dengan dingin
realitas—sebelum pintu studio diketuk keras oleh dua pria: sepupu Yonramo,
diutus istrinya. Dengan tatapan tajam, mereka membawa Yon pulang paksa. Ycul
hanya bisa menjerit tertahan.
Keesokan malam, Pak Siswanta menandatangani surat gugatan
cerai—tanpa niat benar‑benar mengajukannya, tapi sebagai ultimatum. Ia
meletakkannya di meja makan, lalu pergi.
Meme pulang larut. Melihat surat itu, ia gemetar. Ia telepon
Haryan, memohon bertemu lagi. Namun yang mengangkat justru istri Haryan:
Istri Haryan (suara dingin):
“Ibu Meme, suami saya sedang menggendong anak kami yang demam. Tolong jangan
ganggu keluarga kami lagi.”
Telepon terputus. Dunia Meme runtuh; ia terduduk seperti
boneka kehilangan isian kapas.
Beberapa hari setelah kekacauan, hujan besar membasahi kota.
Yculiana turun dari taksi di depan rumah, membawa map keuangan. Ia melihat
ibunya duduk di teras, wajah sembab.
Meme (berbisik, serak):
“Haryan memilih keluarganya. Ayahmu hampir pergi.”
Yculiana (menghela napas panjang, duduk di samping Meme):
“Yonramo pun pulang. Istrinya sakit parah. Anak-anaknya butuh ayah.”
Meme (menitikkan air mata, menggenggam tangan Ycul):
“Kesalahan kita membuat luka yang tak bisa dihitung.”
Yculiana:
“Angka saja ada batasnya, Bu. Luka? Tak terhingga.”
Mereka saling merangkul dalam hujan. Tangis ibu–anak
mencairkan dendam, meski bekasnya tetap terpatri di dinding kalbu.
13. Rekonsiliasi—Tidak Sempurna, Tapi Nyata
Pak Siswanta pulang membawa payung sobek dan wajah letih. Ia
melihat istri dan putrinya berpelukan. Ia tak bicara, hanya menaruh payung,
duduk di samping mereka, dan meraih bahu Meme.
Pak Siswanta (pelan):
“Kita semua salah. Tapi keluarga bukan bangunan yang sekali retak langsung
roboh. Kita punya semen bernama maaf.”
Meme (terisak):
“Aku rela dibenci, asal diberi kesempatan menambal.”
Yculiana (menatap ayahnya dengan mata berkabut):
“Aku pun minta diampuni, Yah. Satu kesalahan susah dihitung, apalagi dua.”
Mereka bertiga saling meraih. Hujan turun seperti baptisan
baru bagi keluarga itu—mencuci namun tidak menghapus noda; hanya menipiskan.
Dua bulan kemudian, toko Pak Siswanta kembali ramai. Meme
membantu menghitung stok setiap pagi, sesekali menulis pesan renungan di
dinding toko: “Setia bukan tidak tergoda, tapi memilih pulang.”
Yculiana sibuk di kantor, namun tiap Minggu ia mengajar les
gratis anak-anak kuli pasar—membayar hutang moral pada istri Yonramo yang kini
mulai sembuh. Yonramo? Ia kerap mengirim pesan singkat: “Anakku tertawa lagi
hari ini.” Itu cukup.
Pada malam tenang, Yculiana berdiri di depan cermin retak
yang dulu sempat hendak dibuang Meme. Pantulan dirinya terpecah-pecah, namun
tetap menyatu. Ia mengingat segala janji, segala air mata, segala pisau
kata-kata.
Ia lalu menuliskan sebuah catatan, ditempel pada pinggir
cermin:
“Cinta tanpa nalar hanyalah kilau singkat. Ia akan
padam—menyisakan asap yang menusuk mata paling dalam.”
Cermin itu masih retak, tetapi memantulkan cahaya lampu
kamar dengan indah—mengingatkan mereka bahwa manusia bukan makhluk sempurna;
hanya pengembara yang belajar pada setiap garis luka.
Dan ketika angin senja menembus jendela, keluarga Siswanta
tahu: badai boleh datang lagi, namun mereka kini berdiri lebih dekat, saling
menambal celah, menanti fajar dengan hati yang pernah patah—namun kini lebih
kuat daripada sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar