Sabtu, 13 April 2013

Cerita Tantri pada relief Candi Jago


Hasil jalan-jalan dengan anggota Jurnalis BASIS 22 pada hari minggu tanggal 31 Maret 2013 di candi Jago dan Candi kidal ada sebuah relief yang menarik ketika mengunjungi candi jago yaitu cerita tantri seperti yang ada pada relief berikut,






Relief pada teras pertama, yaitu undak terbawah sebagai berikut:
Sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal ceritera binatang seperti halnya ceritera Tantri. Ceritera ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat ceritera binatang, yaitu kura-kura yang sedang bercanda. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi mengigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.

Baru saja mereka akan membuka mulut, terlepaslah gigitan mereka dari tongkat dan jatuh ke tanah. Mereka pun menjadi makanan kedua serigala itu.

Cerita ini terdiri dari 3 panel relief yang menggambarkan adegan seekor burung angsa yang membawa terbang dua ekor kura-kura. Kura-kura tersebut dipahatkan dalam posisi menggantung dengan cara menggigit pada masing-masing ujung tongkat kayu yang dibawa terbang oleh burung angsa dan membawa terbang kedua kura-kura tersebut.

Cerita ini harus diikuti dari sebelah kanan ke kiri, berlainan dengan relief lain di Candi Jago. Kitab yang menceritakan hal ini dapat dilihat di kitab Tantri Kamandaka, Hikayat Kalila dan Damina, kitab Hitopadesa, Panchatantra, Katha Sarit Sagara dan Jataka (Kaachapa-jataka). Beberapa kitab itu ada sedikit perbedaan baik tentang nama maupun jumlah tokoh yang ada di sana.

Dari kitab Tantri Kamandaka menceritakan bahwa dua kura-kura yang hidup di telaga Kumudawati bernama Durbuddi dan Kacchapa. Di telaga itu hidup pula dua ekor angsa bernama Cakrangga dan Cakranggi.

Karena musim kemarau yang panjang menyebabkan air di telaga itu berkurang, maka kedua angsa itupun berpamitan dengan kura-kura untuk berpindah tempat di telaga lain yang masih berair banyak. Kura-kura pun ingin pindah mengikuti sahabatnya itu namun tidak tahu bagaimana caranya.

Angsa yang pandai pun memberi usul agar Kura-kura menggigit tongkat yang akan dibawanya terbang ke telaga yang baru, namun angsa juga berpesan agar apa pun yang terjadi, janganlah kura-kura berbicara, karena gigitan pada tongkat akan terlepas dan kura-kura akan jatuh ke tanah.

Setelah kedua kura-kura itu berjanji akan menaati nasihat angsa, maka angsa pun membawa mereka terbang. Di suatu tempat tinggallah dua ekor serigala bernama yang sedang berteduh di bawah pohon. Mereka melihat angsa yang membawa terbang kura-kura itu dan saling berbicara satu dengan lainnya.

Alangkah ajaibnya, ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa, namun srigala menjawab bahwa itu bukanlah kura-kura tetapi kotoran sapi yang akan dibawa pulang oleh angsa untuk makanan anak-anaknya. Mendengar hal itu kedua kura-kura sangat marah dan akan menjawab perkataan srigala

Baru saja mereka akan membuka mulut, terlepaslah gigitan mereka dari tongkat dan jatuh ke tanah. Mereka pun menjadi makanan kedua serigala itu.

Baru saja mereka akan membuka mulut, terlepaslah gigitan mereka dari tongkat dan jatuh ke tanah. Mereka pun menjadi makanan kedua serigala itu.

Relief Kambing di Candi Jago

Alkisah adalah seekor kambing betina, si Mesaba dan anaknya Wiwingsali yang pergi ke hutan. Seekor harimau mendatangi mereka, tetapi ia belum pernah melihat kambing, lalu ia digertak oleh Si Kambing. Mesaba berkata bahwa ia biasa menghabiskan sepuluh harimau dalam sekali makan, mendengar hal itu maka larilah Sang Harimau meinggalkan kedua kambing itu.

Harimau itu mempunyai kawan yakni seekor kera, ia pun mendatangi kera dan menceritakan bahwa ia baru saja bertemu dengan makhluk bertanduk yang dapat menghabiskan sepuluh ekor harimau sekaligus. Mendengar hal itu Si Kera pun memberi tahu Si Harimau bahwa makhluk itu pastilah Si Mesaba temannya dahulu. Ia pun mengajak Si Harimau untuk kembali menemui Mesaba.

Karena masih merasa takut maka Si Harimau meminta agar ekornya diikatkan pada ekor Si Kera. Kera pun menyetujui hal itu. Maka dengan ekor yang saling terikat, kedua hewan itu mendatangi Si Mesaba dan anaknya di padang rumput.

Melihat kedatangan Si Kera dan Si Harimau maka Mesaba berkata, “Untunglah kau tidak melupakan janjimu dahulu ketika kalah bertaruh. Kau akan membawakanku sepuluh harimau. Meskipun baru seekor namun tidak apalah untuk saat ini. Lekas bawalah kemari untuk kumakan.”

Mendengar perkataan Si Mesaba, takutlah Sang Harimau dan ia pun melarikan diri, namun karena ekornya masih terikat dengan ekor Sang Kera, maka Kera pun ikut tertarik. Kedua binatang itu pun masuk ke jurang dan mati di sana.


Relief Ular dan Katak di Candi Jago

Pada batur pertama Candi Jago, dipahatkan beberapa cerita binatang. Di bagian depan batur pertama terdapat bagian yang menjorok ke depan dan di kiri kanan bagian ini terdapat dua buah tangga untuk naik ke atas batur.

Cerita binatang pada batur pertama ini di mulai dari sudut barat laut hingga pertengahan sisi selatan. Terdiri dari empat belas cerita atau tepatnya tiga belas cerita karena ada sebuah cerita yang digambarkan dua kali.

Relief cerita tersebut dapat diikuti jalan ceritanya dengan prasawya atau berjalan dengan berjalan berlawanan arah jarum jam.

Beberapa cerita tersusun tidak berurutan dengan jalan ceritanya (relief ke-5 dan ke-6). Beberapa yang lain terbalik urutan ceritanya (relief ke-9). Krom dalam Inleiding to de Hindoe-Javaansche Kunst II hal. 114 menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena kekeliruan atau kurang telitinya sang pemahat.

Cerita ini terdapat dalam kitab Panchatantra Panchakhyanaka, Panchatantra Tantrakhyayika, Katha Sarit Sagara dan Hikayat Kalila, dan Damina, meskipun dengan beberapa perbedaan peran.

Pada suatu masa, terdapat seekor ular hitam bernama Mandawisa yang ingin sekali mendapatkan makanan dengan cara yang mudah. Kemudian pergilah ia menuju ke sebuah kolam yang banyak kataknya. Di sana ia bertemu dengan seekor katak yang bertanya kepadanya, mengapa ia sekarang mengabaikan saja kehadiran katak, padahal ia adalah hewan yang suka memakan katak.

Mandawisa menjawab bahwa ia telah bertemu dengan ayah seseorang yang telah dibunuh dengan bisanya dan orang tua itu mengutuknya bahwa ular itu akan menjadi kendaraan katak dan ia harus hidup dari nafkah yang didapat dari pemberian. Oleh karena itu maka pergilah Mandawisa ke kolam tersebut.

Katak itu bersenang hati mendengar perkataan sang ular dan segera memberitahukan berita itu kepada raja katak yang bernama Jalapada. Sang Jalapada pun bergirang hati mendengar berita itu, dengan diiringi para menterinya, Sang Raja pun mulai menaiki ular dan berkeliling di wilayahnya.

Beberapa minggu kemudian, Mandawisa sang ular, berpura-pura merayap perlahan, hal ini membuat Jalapada bertanya mengapa sang ular sekarang menjadi tidak enak untuk dinaiki.

Berkatalah Sang Raja, makanlah katak-katak yang kecil itu sebagai makananmu, jawab sang ular, karena ini adalah juga bagian dari kutukan untuk mendapatkan nafkah dari pemberian maka kuikuti perintahmu untuk memakan katak-katak kecil itu. Demikianlah maka sang ular pun selalu memakan katak katak kecil itu sehingga tidak bersisa dan Sang Raja pun akhirnya menjadi santapannya pula.

Inti dari cerita ini adalah, “Janganlah merasa sombong atas segala yang dimiliki karena suatu saat akan terjatuh dan celaka karena kesombongan itu.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar