Sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal ceritera binatang seperti halnya ceritera Tantri. Ceritera ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat ceritera binatang, yaitu kura-kura yang sedang bercanda. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi mengigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Baru saja mereka akan membuka mulut, terlepaslah gigitan mereka dari tongkat dan jatuh ke tanah. Mereka pun menjadi makanan kedua serigala itu.
Cerita ini
terdiri dari 3 panel relief yang menggambarkan adegan seekor burung angsa yang
membawa terbang dua ekor kura-kura. Kura-kura tersebut dipahatkan dalam posisi
menggantung dengan cara menggigit pada masing-masing ujung tongkat kayu yang
dibawa terbang oleh burung angsa dan membawa terbang kedua kura-kura tersebut.
Cerita ini harus
diikuti dari sebelah kanan ke kiri, berlainan dengan relief lain di Candi Jago.
Kitab yang menceritakan hal ini dapat dilihat di kitab Tantri Kamandaka,
Hikayat Kalila dan Damina, kitab Hitopadesa, Panchatantra, Katha Sarit Sagara
dan Jataka (Kaachapa-jataka). Beberapa kitab itu
ada sedikit perbedaan baik tentang nama maupun jumlah tokoh yang ada di sana.
Dari kitab Tantri
Kamandaka menceritakan bahwa dua kura-kura yang hidup di telaga Kumudawati
bernama Durbuddi dan Kacchapa. Di telaga itu hidup pula dua ekor angsa bernama
Cakrangga dan Cakranggi.
Karena musim
kemarau yang panjang menyebabkan air di telaga itu berkurang, maka kedua angsa
itupun berpamitan dengan kura-kura untuk berpindah tempat di telaga lain yang
masih berair banyak. Kura-kura pun ingin pindah mengikuti sahabatnya itu namun
tidak tahu bagaimana caranya.
Angsa yang pandai
pun memberi usul agar Kura-kura menggigit tongkat yang akan dibawanya terbang
ke telaga yang baru, namun angsa juga berpesan agar apa pun yang terjadi,
janganlah kura-kura berbicara, karena gigitan pada tongkat akan terlepas dan
kura-kura akan jatuh ke tanah.
Setelah kedua
kura-kura itu berjanji akan menaati nasihat angsa,
maka angsa pun membawa mereka terbang. Di suatu tempat tinggallah dua ekor
serigala bernama yang sedang berteduh di bawah pohon. Mereka
melihat angsa yang membawa terbang kura-kura itu dan saling berbicara satu
dengan lainnya.
Alangkah
ajaibnya, ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa, namun srigala menjawab
bahwa itu bukanlah kura-kura tetapi kotoran sapi yang akan dibawa pulang
oleh angsa untuk makanan anak-anaknya. Mendengar hal itu kedua kura-kura sangat
marah dan akan menjawab perkataan srigala
Baru saja mereka
akan membuka mulut, terlepaslah gigitan mereka dari tongkat dan jatuh ke tanah.
Mereka pun menjadi makanan kedua serigala itu.
Baru saja mereka akan membuka mulut, terlepaslah gigitan mereka dari tongkat dan jatuh ke tanah. Mereka pun menjadi makanan kedua serigala itu.
Relief Kambing di Candi Jago
Alkisah adalah seekor
kambing betina, si Mesaba dan anaknya Wiwingsali yang pergi ke hutan. Seekor
harimau mendatangi mereka, tetapi ia belum pernah melihat kambing, lalu ia
digertak oleh Si Kambing. Mesaba berkata bahwa ia biasa menghabiskan sepuluh
harimau dalam sekali makan, mendengar hal itu maka larilah Sang Harimau
meinggalkan kedua kambing itu.
Harimau itu mempunyai kawan
yakni seekor kera, ia pun mendatangi kera dan menceritakan bahwa ia baru saja
bertemu dengan makhluk bertanduk yang dapat menghabiskan sepuluh ekor harimau
sekaligus. Mendengar hal itu Si Kera pun memberi tahu Si Harimau bahwa makhluk
itu pastilah Si Mesaba temannya dahulu. Ia pun mengajak Si Harimau untuk
kembali menemui Mesaba.
Karena masih merasa takut maka
Si Harimau meminta agar ekornya diikatkan pada ekor Si Kera. Kera pun
menyetujui hal itu. Maka dengan ekor yang saling terikat, kedua hewan itu
mendatangi Si Mesaba dan anaknya di padang rumput.
Melihat kedatangan Si Kera
dan Si Harimau maka Mesaba berkata, “Untunglah kau tidak melupakan janjimu
dahulu ketika kalah bertaruh. Kau akan membawakanku sepuluh harimau. Meskipun
baru seekor namun tidak apalah untuk saat ini. Lekas bawalah kemari untuk
kumakan.”
Mendengar perkataan Si
Mesaba, takutlah Sang Harimau dan ia pun melarikan diri, namun karena ekornya
masih terikat dengan ekor Sang Kera, maka Kera pun ikut tertarik. Kedua
binatang itu pun masuk ke jurang dan mati di sana.
Relief Ular dan Katak di Candi Jago
Pada batur pertama Candi Jago, dipahatkan beberapa
cerita binatang. Di bagian depan batur pertama terdapat bagian yang menjorok ke
depan dan di kiri kanan bagian ini terdapat dua buah tangga untuk naik ke atas
batur.
Cerita binatang pada batur pertama ini di
mulai dari sudut barat laut hingga pertengahan sisi selatan. Terdiri dari empat
belas cerita atau tepatnya tiga belas cerita karena ada sebuah cerita yang
digambarkan dua kali.
Relief cerita
tersebut dapat diikuti jalan ceritanya dengan prasawya atau berjalan dengan berjalan berlawanan
arah jarum jam.
Beberapa cerita tersusun tidak berurutan
dengan jalan ceritanya (relief ke-5 dan ke-6). Beberapa yang lain terbalik
urutan ceritanya (relief ke-9). Krom dalam Inleiding to de Hindoe-Javaansche Kunst II hal.
114 menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena kekeliruan atau kurang telitinya
sang pemahat.
Cerita ini terdapat dalam kitab
Panchatantra Panchakhyanaka, Panchatantra Tantrakhyayika, Katha Sarit Sagara
dan Hikayat Kalila, dan Damina, meskipun dengan beberapa perbedaan peran.
Pada suatu masa, terdapat seekor ular hitam bernama Mandawisa yang ingin sekali mendapatkan makanan dengan cara yang mudah. Kemudian pergilah ia menuju ke sebuah kolam yang banyak kataknya. Di sana ia bertemu dengan seekor katak yang bertanya kepadanya, mengapa ia sekarang mengabaikan saja kehadiran katak, padahal ia adalah hewan yang suka memakan katak.
Mandawisa menjawab bahwa ia telah bertemu
dengan ayah seseorang yang telah dibunuh dengan bisanya dan orang tua itu
mengutuknya bahwa ular itu akan menjadi kendaraan katak dan ia harus hidup dari
nafkah yang didapat dari pemberian. Oleh karena itu maka pergilah Mandawisa ke
kolam tersebut.
Katak itu bersenang hati mendengar
perkataan sang ular dan segera memberitahukan berita itu kepada raja katak yang
bernama Jalapada. Sang Jalapada pun bergirang hati mendengar berita itu, dengan
diiringi para menterinya, Sang Raja pun mulai menaiki ular dan berkeliling di
wilayahnya.
Beberapa minggu kemudian, Mandawisa sang
ular, berpura-pura merayap perlahan, hal ini membuat Jalapada bertanya mengapa
sang ular sekarang menjadi tidak enak untuk dinaiki.
Berkatalah Sang Raja, makanlah katak-katak
yang kecil itu sebagai makananmu, jawab sang ular, karena ini adalah juga
bagian dari kutukan untuk mendapatkan nafkah dari pemberian maka kuikuti
perintahmu untuk memakan katak-katak kecil itu. Demikianlah maka sang ular pun
selalu memakan katak katak kecil itu sehingga tidak bersisa dan Sang Raja pun
akhirnya menjadi santapannya pula.
Inti dari cerita ini adalah, “Janganlah
merasa sombong atas segala yang dimiliki karena suatu saat akan terjatuh dan
celaka karena kesombongan itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar