Bab I: Senja yang Tertinggal di Matanya
Losmen itu tampak tua. Cat kayu pada dinding-dindingnya
mulai terkelupas, seperti ingatan yang perlahan mengikis waktu. Sebuah papan
usang bertuliskan "Puspasari - Penginapan Harian & Bulanan"
tergantung miring, berderik ketika angin berhembus.
Di dalam, aroma kapur barus, dupa, dan hujan yang mulai
turun membentuk udara yang ganjil—perpaduan antara suci dan dosa.
Laras , 22 tahun, gadis dari dusun kecil di tepi
selatan, berkulit kuning langsat, bermata bening seperti embun pagi, dan selalu
menatap sekeliling dengan waswas. Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok
panjang, rambutnya dikucir rendah. Seorang guru honorer yang lembut dan taat,
namun kini duduk diam di tepi ranjang losmen itu—seperti bunga teratai yang tak
lagi mengambang di kolam jernih.
Bagas , 33 tahun, berwajah teduh dengan dagu tirus
dan sepasang mata gelap yang menyimpan ambisi sekaligus kehampaan. Seorang
karyawan swasta yang cakap bicara dan penuh pesona. Ia mengenakan jaket kulit,
jam tangan mahal, dan sepatu bersih, kontras dengan losmen muram tempat mereka
berada.
"Apa kau yakin kita harus di sini?" tanya Laras
pelan. Suaranya seperti kelopak yang jatuh ke tanah—nyaris tak terdengar, namun
mengguncang hati yang bersalah.
Bagas tak segera menjawab. Ia membuka jendela kamar,
membiarkan gerimis masuk perlahan-lahan.
“Kadang cinta butuh tempat di mana tak ada yang mengenal
kita,” katanya, sambil menoleh dan menatap Laras. “Di luar sana, kita tak bisa
jadi apa-apa. Di sini… kita bisa jadi siapa saja.”
Laras menunduk, menahan sesak yang tumbuh di dadanya.
“Aku masih memegang keyakinan itu, Gas. Bahwa aku belum
menikah… bahwa tubuhku masih hak keluargaku, dan kelak, suamiku.”
Bagas mendekat, duduk di sebelahnya. “Dan kau pikir aku tak
ingin jadi suamimu?”
“Lalu buktikan. Jangan begini.”
"Aku akan menikahimu, Laras. Meski diam-diam. Meski tak
di pelaminan. Tapi kau milikku, sepenuhnya."
Ia mencium tangan Laras perlahan, lalu menatap matanya yang
berkaca. Dan di sela kelembutan dan ancaman yang samar, Laras merasa dinding
pertahanannya retak.
Bab II: Malam yang Merampas Diri
Hujan belum juga reda. Di luar, langit seperti menyimpan
tangis yang tak sempat dicurahkan. Air menetes dari genting losmen Puspasari,
jatuh ke tanah seperti detik-detik yang kian mendesak waktu.
Di dalam kamar, suasana tak kalah basah. Tapi bukan karena
gerimis, melainkan oleh kegundahan yang mulai merembes ke relung jiwa.
Laras duduk membatu. Wajahnya tertunduk, jari-jarinya
memeluk erat lututnya sendiri. Ia tampak seperti anak kecil yang terjebak dalam
tubuh seorang perempuan dewasa. Di dadanya, keyakinan yang selama ini dipeluk
erat, kini terasa seperti kabut yang pelan-pelan menguap.
Bagas memutar kenop lampu, membuat cahaya temaram menyapu
ruang. Langkahnya mendekat perlahan, seperti seekor kucing yang tak ingin
membuat gaduh. Ia duduk di sisi ranjang, menyentuh pundak Laras.
"Laras..." bisiknya.
Laras menengadah. Matanya tak lagi sejernih tadi. Ada
retakan di sana. Ada kabut.
"Aku takut," katanya pelan.
"Aku pun takut, Laras. Tapi lebih takut lagi
kehilanganmu. Dunia sudah terlalu bising. Di sini, hanya kita. Hanya
cinta."
Ia mengusap rambut Laras perlahan. Membelai pipinya yang
dingin.
"Aku tak ingin melukai," katanya. "Tapi aku
ingin memilikimu. Sepenuhnya. Bukan setengah. Bukan dengan batas."
Laras menarik napas, dalam dan berat. "Cinta seharusnya
tahu kapan harus berhenti."
Bagas menunduk. "Tapi cinta juga tahu... kapan harus
memperjuangkan."
Dan malam pun menyeret mereka ke dalam sunyi yang tak lagi
bisa dibendung. Isak tangis yang semula tertahan, berubah menjadi bisu. Pelukan
yang awalnya ragu, kini berubah menjadi pengakuan. Dan dalam diam yang
mengeras, Laras menyerahkan bukan hanya tubuhnya, tetapi seluruh pertahanan
dirinya.
Malam itu bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang luka yang
mulai menulis namanya di dinding hati Laras.
Bab III: Hari yang Tak Bisa Diulang
Pagi menyapa dengan sinar samar yang menyelinap dari celah
jendela. Suara ayam dari kejauhan terdengar lirih, seolah menyadarkan dunia
dari mimpi yang kelabu. Namun di kamar nomor tujuh Losmen Puspasari, pagi
terasa seperti bayang-bayang muram dari malam yang tak suci.
Laras terbangun dalam diam. Rambutnya terurai di atas
bantal, mata menatap langit-langit yang lembap. Selimut masih menyelimuti
tubuhnya, tapi rasa dingin justru datang dari dalam.
Bagas masih tertidur di sisi lain ranjang, punggungnya
menghadap. Napasnya tenang, seperti seseorang yang tidak menyadari betapa dunia
di sebelahnya sudah porak-poranda.
Laras perlahan duduk. Ia meraih pakaian yang terlipat di
kursi tua, mengenakannya pelan-pelan, dengan gerakan nyaris seperti ritual
perpisahan. Di depan cermin kecil berbingkai kayu, ia menatap wajahnya
sendiri—pucat, mata sembap, bibir diam seribu bahasa.
Dan di sana, ia menangis. Tanpa suara. Seperti hujan yang
jatuh ke laut—lenyap tanpa gema.
“Aku tak bisa kembali ke diriku yang dulu,” bisiknya pada
pantulan dirinya sendiri.
Beberapa jam kemudian, mereka duduk berhadapan di warung
kecil dekat losmen. Sepiring nasi pecel dan dua gelas teh manis tersaji di
hadapan, tapi tak satupun disentuh.
"Aku ingin kita menikah," kata Bagas mendadak.
Laras tertegun.
“Bukan sekadar ucapan. Aku akan carikan penghulu. Kita bisa
lakukan di tempat terpencil. Tak perlu semua orang tahu.”
Laras menggeleng pelan. “Kau pikir pernikahan bisa menghapus
yang sudah terjadi?”
"Setidaknya menebus," jawab Bagas. "Kita
sudah terlalu dalam. Tak mungkin kembali. Tapi kita masih bisa
memperbaiki."
Laras menunduk. Air mata hampir jatuh, tapi ia tahan.
"Bagas… ada hari-hari dalam hidupku yang ingin sekali
aku ulang. Hari sebelum malam itu. Hari saat aku masih percaya bahwa
mencintaimu tak perlu mencederai diriku sendiri."
Bagas memegang tangannya. Hangat. Tapi Laras menarik
perlahan.
“Kalau kau ingin menikahiku, bukan karena rasa bersalahmu.
Tapi karena rasa hormatmu,” ucapnya lirih. “Kalau tidak, biarkan aku pergi.”
Bab IV: Janji dalam Sunyi
Waktu bergulir seperti ombak malas di tepi pantai: pelan,
tapi terus-menerus menghantam. Sudah dua minggu sejak malam itu. Sejak Laras
menanggalkan sebagian dirinya demi cinta yang belum tentu setia.
Losmen Puspasari tak lagi dikunjungi. Gerimis pun tak
mampir. Namun dalam dada Laras, badai tak kunjung reda.
Ia kembali ke rumah kecilnya di belakang sekolah, menjalani
hari seperti biasa—mengajar, menyapu lantai ruang guru, tersenyum pada siswa
yang menyapa. Tapi senyum itu seperti daun kering yang ditahan angin—rapuh dan
penuh sandiwara.
Di dalam kamar, Laras mulai menulis surat. Bukan kepada
siapa-siapa, tapi kepada dirinya sendiri.
Laras yang dulu, maafkan aku…
Kau pernah memohon pada Tuhan agar cinta datang dengan cara yang indah. Tapi
aku menerima cinta yang datang dengan luka. Aku ingin kuat, tapi ternyata aku
hanya pasrah…
Dan sekarang, aku menggenggam janji yang tidak pernah benar-benar
berbunyi...
Suatu malam, Bagas datang. Diam-diam. Mengetuk pintu rumah
kontrakan Laras dengan wajah lelah dan mata yang seperti tidak tidur selama
berhari-hari.
"Aku sudah siapkan semuanya. Aku bawa penghulu besok.
Kita bisa menikah. Di rumah seorang kenalan di luar kota. Tak perlu banyak
orang tahu," katanya tanpa jeda.
Laras menatapnya. Hening sesaat.
"Kenapa, Bagas?" tanyanya pelan. “Kenapa sekarang?
Setelah segalanya hancur? Setelah aku kehilangan diriku?”
"Aku ingin menepati janjiku," jawabnya mantap.
“Setidaknya kita bisa punya awal baru. Bersih.”
Laras hampir tertawa. Tapi bukan karena lucu. Melainkan
getir.
“Kau pikir pernikahan bisa menyembuhkan luka yang kau buat
malam itu?” Laras menatapnya dalam. “Apa kau sungguh mencintaiku… atau kau
hanya takut dihantui dosa?”
Bagas terdiam. Angin malam mengayunkan tirai jendela.
"Aku mencintaimu," katanya akhirnya. “Bahkan dalam
sunyi yang tak berani aku akui.”
Laras menatap langit malam dari jendela. Bintang tak terlalu
terang malam itu. Tapi cukup untuk membuatnya percaya bahwa gelap tak pernah
benar-benar mutlak.
“Baiklah,” katanya pelan. “Kalau kau benar-benar ingin
menepati janjimu, buktikan dengan diam. Jangan paksakan apa pun. Kalau cinta,
ia akan datang… bukan menuntut. Tapi menunggu.”
Bab V: Akad dalam Bayang-Bayang
Hari itu datang bukan dengan denting gamelan atau alunan
shalawat, tapi dengan senyap yang menyesakkan. Laras mengenakan kebaya
sederhana berwarna krem pucat. Rambutnya disanggul seadanya, wajahnya polos
tanpa rias, kecuali sepasang mata yang tak bisa menyembunyikan gugup dan getir.
Bagas duduk di depannya, mengenakan kemeja putih dan sarung
tenun. Ia tampak rapi, tapi wajahnya pucat. Bahkan udara pun seolah enggan
bergerak, terjebak dalam sunyi antara pengakuan dan kepura-puraan.
Akad itu dilangsungkan di ruang tamu rumah seorang kenalan
Bagas, di daerah pinggir kota yang tak banyak orang tahu. Hanya ada penghulu,
dua saksi tua yang tak kenal siapa Laras, dan secarik mahar kecil: sepasang
cincin imitasi dan seperangkat alat salat.
“Saya terima nikah dan kawinnya Laras Ayuningtyas binti
Abdul Haris, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Kalimat itu meluncur dari bibir Bagas, kaku namun jelas.
Semua selesai dalam hitungan menit. Tak ada ucapan selamat,
tak ada peluk bahagia. Hanya angin yang masuk dari ventilasi tinggi, dan
tatapan Laras yang menerobos langit-langit kayu.
Setelah semua bubar, Laras duduk sendiri di halaman kecil
rumah itu. Rumput tumbuh liar. Sebuah bangku kayu reyot menjadi tempatnya
bersandar. Bagas menghampiri, duduk di sebelah, membawa dua gelas air mineral.
"Sudah sah," katanya. "Kita suami-istri
sekarang."
Laras mengangguk pelan. Tapi ia tak tersenyum. Tak ada
cahaya di matanya.
“Bagas…,” suaranya serak. “Apa kita memang ditakdirkan
begini? Menikah diam-diam… bukan karena cinta, tapi karena luka?”
Bagas menggenggam tangannya. “Aku mencintaimu, Laras.
Mungkin caraku salah, tapi rasa ini tak pernah main-main.”
Laras menghela napas panjang.
“Dulu aku percaya pernikahan adalah perayaan. Kini aku tahu,
kadang ia adalah perbaikan… dari sesuatu yang sudah retak.”
Ia menatap langit yang mulai mendung. Mungkin akan turun
hujan, seperti malam itu. Tapi Laras tak peduli. Karena kali ini, ia tak ingin
lari dari kenyataan. Tidak lagi.
Bab VI: Luka yang Menetap di Peluk
Sudah seminggu sejak akad itu diucapkan dalam ruang sempit
dan saksi-saksi yang tak mengenal kisah mereka. Laras dan Bagas kini tinggal
bersama, menumpang di rumah kontrakan kecil milik seorang teman Bagas, di sudut
kota yang jauh dari siapa pun yang mengenal mereka.
Namun, keintiman yang dulu terasa menggoda, kini berubah
menjadi beban yang menggantung di udara.
Di pagi yang kelabu, Laras duduk di beranda. Wajahnya sayu,
matanya sembap. Ia menatap secangkir teh hangat yang tak disentuh,
membiarkannya mendingin bersama pikirannya.
Bagas muncul dari dalam, mengenakan kaos dan celana kain. Ia
membawa sepotong roti, duduk di samping Laras.
"Kenapa kamu diam terus akhir-akhir ini?" tanyanya
perlahan.
Laras tak menjawab segera. Ia menarik napas panjang, lalu
menoleh padanya.
“Karena pelukanmu tak lagi menghangatkan. Karena janji yang
dulu kurindukan kini hanya menjadi penutup luka yang terus menganga.”
Bagas terdiam. Hatinya tergores, tapi ia tahu, Laras bukan
sedang menyakiti—ia sedang jujur.
"Aku mencoba jadi suami yang baik, Laras. Aku
berusaha," katanya, suaranya nyaris berbisik.
Laras mengangguk, matanya berkaca. “Aku tahu. Tapi bukan itu
masalahnya.”
Ia menatap langit yang mulai membuka, seberkas sinar
menerobos awan.
“Masalahnya bukan pada usahamu. Tapi pada luka ini. Luka
yang terlalu dalam untuk diobati hanya dengan tidur satu atap.”
Bagas menunduk. Jari-jarinya meremas roti yang belum ia
gigit.
"Apa kau menyesal menikah denganku?" tanyanya.
Laras menoleh, dan untuk pertama kalinya sejak akad itu, ia
menatap Bagas tanpa ragu.
“Aku menyesal pernah membiarkan cinta merampas akalku. Tapi
aku tidak menyesal menjadi istrimu... Aku hanya menyesal, kita memulainya
dengan luka.”
Bab VII: Rumah yang Tak Pernah Selesai Dibangun
Waktu terus berjalan, tapi rumah itu tetap sama. Dindingnya
masih retak di beberapa sudut, atapnya bocor ketika hujan deras, dan lantainya
dingin setiap malam. Tapi yang paling terasa tak selesai bukanlah bangunan
fisiknya—melainkan hati dua manusia di dalamnya.
Laras mengajar seperti biasa di sekolah dasar tak jauh dari
kontrakannya. Anak-anak masih memanggilnya Bu Laras dengan ceria, dan ia
masih membalas senyum mereka dengan senyum yang separuhnya adalah topeng.
Sore itu, Laras pulang lebih cepat. Rumah tampak sepi. Bagas
belum pulang kerja. Ia masuk ke kamar, duduk di lantai, lalu membuka laci
lemari. Di sana, disimpan cincin kawinnya—yang sudah jarang ia kenakan.
Tangannya menggenggam cincin itu erat, lalu menangis. Bukan
karena ingin kembali ke masa lalu, tapi karena ia menyadari: rumah tangganya
adalah rumah yang belum selesai dibangun. Dan ia bingung, harus meneruskannya
atau pergi.
Malam harinya, Bagas pulang. Wajahnya lelah, tapi ia mencoba
tersenyum. Laras sudah menyiapkan makan malam: nasi hangat, telur dadar, dan
sayur bayam.
“Terima kasih sudah masak,” ucap Bagas sambil duduk. “Kangen
makan buatanmu.”
Mereka makan dalam diam. Sampai akhirnya Laras meletakkan
sendoknya, menatap Bagas dalam.
“Aku ingin bertanya sesuatu. Tapi tolong jawab jujur.”
“Apa selama ini kamu merasa bahagia bersamaku… atau kamu hanya merasa
bertanggung jawab?”
Bagas terdiam. Suapan terakhir belum dikunyah, lalu
diletakkan kembali di piring. Ia mengusap wajah, menghela napas berat.
“Aku… kadang tidak tahu bedanya, Laras. Kadang aku merasa
kita bisa bahagia. Tapi kadang aku merasa hanya sedang memperbaiki sesuatu yang
sudah terlalu hancur.”
Laras mengangguk pelan.
“Seperti rumah ini, ya?” bisiknya. “Kita tempati… tapi tak
pernah benar-benar membangunnya.”
Bab VIII: Pilihan yang Menyisakan Perih
Pagi itu, langit tak begitu cerah. Matahari tampak enggan
naik, dan kabut tipis menggantung di antara genting-genting rumah kontrakan
yang mulai ditumbuhi lumut. Di dalam, Laras duduk di dekat jendela, secangkir
kopi pahit menggigil di genggamannya.
Hari ini, ia telah memutuskan sesuatu.
Semalam ia menangis dalam diam, bukan karena disakiti, tapi
karena menyadari bahwa ia telah terlalu lama bertahan bukan atas dasar harapan,
melainkan karena takut dianggap menyerah.
Bagas keluar dari kamar, rambutnya masih basah setelah
mandi. Ia menyapa Laras dengan senyum yang lelah, lalu berkata, “Hari ini aku
izin kerja setengah hari. Aku mau antar kamu beli kebaya, untuk syukuran kita
bulan depan.”
Laras menoleh perlahan.
“Bagas…”
Suaranya terdengar seperti getaran tali yang nyaris putus.
“Aku tidak jadi ikut syukuran itu.”
Bagas berhenti. Matanya membeku.
“Apa maksudmu?”
Laras menatap ke luar jendela, menahan embun di matanya agar
tak tumpah.
“Aku mau pulang ke rumah Ibu di desa. Untuk sementara waktu.
Mungkin… lebih dari itu.”
Bagas melangkah maju, suaranya nyaris bergetar. “Kenapa,
Laras? Kita sudah sampai sejauh ini. Kita sudah menikah. Apa kamu mau
menyerah?”
“Aku tidak menyerah,” jawab Laras pelan. “Aku menyelamatkan
diriku. Kita terlalu sibuk menambal luka, sampai lupa bertanya apakah masih ada
cinta yang bisa dipertahankan.”
Bagas tak bisa bicara. Dadanya terasa kosong. Ia ingin
marah, tapi tak punya alasan.
Laras berdiri, mendekatinya. Tangannya menyentuh dada Bagas,
lalu turun ke genggaman.
“Aku pernah memperjuangkanmu lebih dari logika dan batas.
Tapi sekarang aku ingin memperjuangkan diriku sendiri.”
Laras lalu melangkah ke kamar, menyiapkan tas kecil berisi
pakaian dan buku catatan. Tak banyak yang ia bawa. Karena yang paling berat
dari kepergian bukan barang-barang, tapi kenangan.
Bab IX: Surat yang Tak Pernah Dibalas
Seminggu telah berlalu sejak Laras pergi.
Bagas masih tinggal di rumah kontrakan itu—sendiri. Dapur
tak lagi mengepul, tirai jendela tak pernah dibuka. Hanya aroma sisa wangi
pakaian Laras yang masih melekat di bantal, seolah waktu enggan benar-benar
berjalan.
Di meja kecil dekat jendela, ada sepucuk surat. Bukan email.
Bukan pesan WhatsApp. Tapi surat yang ditulis tangan dengan pena hitam, pada
kertas beraroma bunga melati.
Bagas membacanya untuk yang entah keberapa kali. Setiap
kalimatnya menggores ulang luka yang belum juga kering.
Surat itu berbunyi:
Bagas...
Aku menulis surat ini bukan karena aku ingin dikenang, tapi
karena aku tidak sanggup menyimpan semua ini sendiri.
Kau pernah menjadi pelindung, pelengkap, bahkan penguji
batas hatiku. Kau pernah membuatku merasa paling dicintai… dan paling terluka.
Malam di Losmen Puspasari itu… bukan awal dari cinta. Tapi
awal dari keterpaksaan yang dibungkus bujuk rayu. Aku tidak ingin menyalahkan
siapa pun lagi—tidak kau, tidak diriku.
Tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan:
Aku memaafkanmu.
Tapi aku belum bisa memaafkan diriku sendiri.
Jika kelak kau menemukan perempuan yang bisa membuatmu
tertawa tanpa kau harus mematahkan seseorang terlebih dulu—jagalah dia
baik-baik.
Jangan ulangi cerita kita. Jangan buat cinta jadi beban.
Terakhir, jika aku tidak membalas surat atau pesanmu… itu
bukan karena aku membencimu. Tapi karena aku sedang belajar membebaskan diriku
dari bayang-bayangmu.
Dengan segenap yang tersisa,
Laras
Bagas melipat surat itu perlahan. Tangannya gemetar. Hatinya
penuh, tapi tak bisa menangis. Ia meletakkan surat itu di kotak kecil bersama
cincin kawin mereka—yang kini hanya menjadi simbol dari masa lalu yang tak bisa
diperbaiki.
Ia menatap jendela. Langit senja menggantung pucat, tak
seindah biasanya. Di luar, suara motor berlalu, anak-anak berlarian, dan hidup
terus berjalan.
Tapi di dalam hati Bagas, waktu seperti berhenti.
Tak ada yang lebih menyiksa dari surat yang tak bisa
dibalas. Karena tak ada kata yang cukup, tak ada peluk yang cukup, untuk
menebus sebuah kehilangan yang datang pelan-pelan… lalu menetap selamanya.
Bab X: Gerimis Terakhir di Losmen Puspasari
Langit kembali menangis. Gerimis turun tipis, seperti
memanggil sesuatu yang dulu pernah terjadi di bawah payung kelabu waktu. Dan di
antara rintik itu, Bagas berdiri di depan bangunan tua berwarna cokelat pudar—Losmen
Puspasari.
Sudah dua bulan sejak Laras pergi.
Bagas kembali, bukan karena ingin mengulang, tapi karena
ingin mengakhiri. Bukan mengakhiri kenangan, tapi mengakhiri keterikatan yang
terus menghantui langkahnya.
Papan nama losmen itu masih sama, tergantung miring, sedikit
berkarat. Aroma kayu basah dan kapur barus masih menyambut begitu pintu dibuka.
Ia meminta kamar nomor tujuh. Petugas losmen menatap heran,
tapi tak bertanya.
Di dalam kamar, segalanya masih seperti dulu. Ranjang dengan
sprei bunga yang mulai pudar, meja kecil dengan cermin berdebu, dan jendela
kayu yang menatap ke taman belakang tempat alang-alang tumbuh liar.
Bagas duduk di tepi ranjang.
Ia mengeluarkan sebuah surat kecil. Surat balasan yang tak
pernah dikirim. Diletakkannya di atas bantal, di tempat kepala Laras pernah
bersandar dalam diam.
Isi surat Bagas:
Laras…
Aku tidak tahu apakah kamu akan kembali membaca ini, atau
akan mengabaikannya seperti aku pernah mengabaikan batas-batasmu dulu.
Tapi aku menulis, karena aku butuh mengembalikan sesuatu
yang dulu kurampas: suaramu.
Malam itu di losmen ini, aku pikir aku sedang mencintaimu.
Ternyata aku sedang menguji kekuasaanku atas hatimu.
Kini aku tahu, cinta bukan tentang siapa yang mampu
menaklukkan, tapi siapa yang mampu menjaga. Dan aku gagal menjaga.
Jika kau membaca ini, Laras, aku hanya ingin kau tahu: aku
tidak ingin kamu kembali. Aku hanya ingin kamu pulih.
Karena kamu berhak bahagia, meski bukan bersamaku.
Bagas menutup matanya. Gerimis menetes melalui celah
jendela, menyentuh ujung seprai.
Ia tak menangis. Tapi ada sesuatu dalam diamnya yang lebih
berat dari air mata.
Setelah beberapa menit, ia berdiri. Melangkah keluar dari
kamar itu, tanpa menoleh ke belakang. Kunci kamar ditinggalkannya di meja. Dan
ketika ia keluar dari gerbang Losmen Puspasari, gerimis masih turun pelan.
Namun hatinya... mulai terasa ringan.
Cinta mereka bukan kisah bahagia yang mudah dikenang. Tapi
cinta itu pernah ada, tumbuh dalam salah, mekar dalam gelap. Dan kini, ia
selesai dengan cara yang paling tenang: dengan doa dan gerimis.
Kadang, cinta bukan tentang bersama selamanya. Tapi tentang
berani menyudahi, ketika cinta itu mulai menyakiti.
Dan di Losmen Puspasari, hujan terakhir pun berhenti.
Selesai.
"Cinta yang dimulai dengan luka tak selalu berakhir dengan dendam—kadang ia pergi diam-diam, membawa maaf, dan menyisakan kenangan yang hanya bisa dipulihkan oleh waktu."
"Ada cinta yang tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya—bukan karena kurang perjuangan, tapi karena keduanya harus belajar bahwa merawat diri jauh lebih penting daripada bertahan dalam luka yang tak kunjung sembuh."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar