Minggu, 29 Juni 2025

Novel Judul: Janji di Bawah Gerimis Puspasari

 

Bab I: Senja yang Tertinggal di Matanya

Losmen itu tampak tua. Cat kayu pada dinding-dindingnya mulai terkelupas, seperti ingatan yang perlahan mengikis waktu. Sebuah papan usang bertuliskan "Puspasari - Penginapan Harian & Bulanan" tergantung miring, berderik ketika angin berhembus.

Di dalam, aroma kapur barus, dupa, dan hujan yang mulai turun membentuk udara yang ganjil—perpaduan antara suci dan dosa.

 

Laras , 22 tahun, gadis dari dusun kecil di tepi selatan, berkulit kuning langsat, bermata bening seperti embun pagi, dan selalu menatap sekeliling dengan waswas. Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang, rambutnya dikucir rendah. Seorang guru honorer yang lembut dan taat, namun kini duduk diam di tepi ranjang losmen itu—seperti bunga teratai yang tak lagi mengambang di kolam jernih.

Bagas , 33 tahun, berwajah teduh dengan dagu tirus dan sepasang mata gelap yang menyimpan ambisi sekaligus kehampaan. Seorang karyawan swasta yang cakap bicara dan penuh pesona. Ia mengenakan jaket kulit, jam tangan mahal, dan sepatu bersih, kontras dengan losmen muram tempat mereka berada.

 

"Apa kau yakin kita harus di sini?" tanya Laras pelan. Suaranya seperti kelopak yang jatuh ke tanah—nyaris tak terdengar, namun mengguncang hati yang bersalah.

Bagas tak segera menjawab. Ia membuka jendela kamar, membiarkan gerimis masuk perlahan-lahan.

“Kadang cinta butuh tempat di mana tak ada yang mengenal kita,” katanya, sambil menoleh dan menatap Laras. “Di luar sana, kita tak bisa jadi apa-apa. Di sini… kita bisa jadi siapa saja.”

Laras menunduk, menahan sesak yang tumbuh di dadanya.

“Aku masih memegang keyakinan itu, Gas. Bahwa aku belum menikah… bahwa tubuhku masih hak keluargaku, dan kelak, suamiku.”

Bagas mendekat, duduk di sebelahnya. “Dan kau pikir aku tak ingin jadi suamimu?”

“Lalu buktikan. Jangan begini.”

"Aku akan menikahimu, Laras. Meski diam-diam. Meski tak di pelaminan. Tapi kau milikku, sepenuhnya."

Ia mencium tangan Laras perlahan, lalu menatap matanya yang berkaca. Dan di sela kelembutan dan ancaman yang samar, Laras merasa dinding pertahanannya retak.

 

Bab II: Malam yang Merampas Diri

Hujan belum juga reda. Di luar, langit seperti menyimpan tangis yang tak sempat dicurahkan. Air menetes dari genting losmen Puspasari, jatuh ke tanah seperti detik-detik yang kian mendesak waktu.

Di dalam kamar, suasana tak kalah basah. Tapi bukan karena gerimis, melainkan oleh kegundahan yang mulai merembes ke relung jiwa.

Laras duduk membatu. Wajahnya tertunduk, jari-jarinya memeluk erat lututnya sendiri. Ia tampak seperti anak kecil yang terjebak dalam tubuh seorang perempuan dewasa. Di dadanya, keyakinan yang selama ini dipeluk erat, kini terasa seperti kabut yang pelan-pelan menguap.

Bagas memutar kenop lampu, membuat cahaya temaram menyapu ruang. Langkahnya mendekat perlahan, seperti seekor kucing yang tak ingin membuat gaduh. Ia duduk di sisi ranjang, menyentuh pundak Laras.

"Laras..." bisiknya.

Laras menengadah. Matanya tak lagi sejernih tadi. Ada retakan di sana. Ada kabut.

"Aku takut," katanya pelan.

"Aku pun takut, Laras. Tapi lebih takut lagi kehilanganmu. Dunia sudah terlalu bising. Di sini, hanya kita. Hanya cinta."

Ia mengusap rambut Laras perlahan. Membelai pipinya yang dingin.

"Aku tak ingin melukai," katanya. "Tapi aku ingin memilikimu. Sepenuhnya. Bukan setengah. Bukan dengan batas."

Laras menarik napas, dalam dan berat. "Cinta seharusnya tahu kapan harus berhenti."

Bagas menunduk. "Tapi cinta juga tahu... kapan harus memperjuangkan."

Dan malam pun menyeret mereka ke dalam sunyi yang tak lagi bisa dibendung. Isak tangis yang semula tertahan, berubah menjadi bisu. Pelukan yang awalnya ragu, kini berubah menjadi pengakuan. Dan dalam diam yang mengeras, Laras menyerahkan bukan hanya tubuhnya, tetapi seluruh pertahanan dirinya.

Malam itu bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang luka yang mulai menulis namanya di dinding hati Laras.

 

Bab III: Hari yang Tak Bisa Diulang

Pagi menyapa dengan sinar samar yang menyelinap dari celah jendela. Suara ayam dari kejauhan terdengar lirih, seolah menyadarkan dunia dari mimpi yang kelabu. Namun di kamar nomor tujuh Losmen Puspasari, pagi terasa seperti bayang-bayang muram dari malam yang tak suci.

Laras terbangun dalam diam. Rambutnya terurai di atas bantal, mata menatap langit-langit yang lembap. Selimut masih menyelimuti tubuhnya, tapi rasa dingin justru datang dari dalam.

Bagas masih tertidur di sisi lain ranjang, punggungnya menghadap. Napasnya tenang, seperti seseorang yang tidak menyadari betapa dunia di sebelahnya sudah porak-poranda.

Laras perlahan duduk. Ia meraih pakaian yang terlipat di kursi tua, mengenakannya pelan-pelan, dengan gerakan nyaris seperti ritual perpisahan. Di depan cermin kecil berbingkai kayu, ia menatap wajahnya sendiri—pucat, mata sembap, bibir diam seribu bahasa.

Dan di sana, ia menangis. Tanpa suara. Seperti hujan yang jatuh ke laut—lenyap tanpa gema.

“Aku tak bisa kembali ke diriku yang dulu,” bisiknya pada pantulan dirinya sendiri.

 

Beberapa jam kemudian, mereka duduk berhadapan di warung kecil dekat losmen. Sepiring nasi pecel dan dua gelas teh manis tersaji di hadapan, tapi tak satupun disentuh.

"Aku ingin kita menikah," kata Bagas mendadak.

Laras tertegun.

“Bukan sekadar ucapan. Aku akan carikan penghulu. Kita bisa lakukan di tempat terpencil. Tak perlu semua orang tahu.”

Laras menggeleng pelan. “Kau pikir pernikahan bisa menghapus yang sudah terjadi?”

"Setidaknya menebus," jawab Bagas. "Kita sudah terlalu dalam. Tak mungkin kembali. Tapi kita masih bisa memperbaiki."

Laras menunduk. Air mata hampir jatuh, tapi ia tahan.

"Bagas… ada hari-hari dalam hidupku yang ingin sekali aku ulang. Hari sebelum malam itu. Hari saat aku masih percaya bahwa mencintaimu tak perlu mencederai diriku sendiri."

Bagas memegang tangannya. Hangat. Tapi Laras menarik perlahan.

“Kalau kau ingin menikahiku, bukan karena rasa bersalahmu. Tapi karena rasa hormatmu,” ucapnya lirih. “Kalau tidak, biarkan aku pergi.”

 

Bab IV: Janji dalam Sunyi

Waktu bergulir seperti ombak malas di tepi pantai: pelan, tapi terus-menerus menghantam. Sudah dua minggu sejak malam itu. Sejak Laras menanggalkan sebagian dirinya demi cinta yang belum tentu setia.

Losmen Puspasari tak lagi dikunjungi. Gerimis pun tak mampir. Namun dalam dada Laras, badai tak kunjung reda.

Ia kembali ke rumah kecilnya di belakang sekolah, menjalani hari seperti biasa—mengajar, menyapu lantai ruang guru, tersenyum pada siswa yang menyapa. Tapi senyum itu seperti daun kering yang ditahan angin—rapuh dan penuh sandiwara.

Di dalam kamar, Laras mulai menulis surat. Bukan kepada siapa-siapa, tapi kepada dirinya sendiri.

Laras yang dulu, maafkan aku…
Kau pernah memohon pada Tuhan agar cinta datang dengan cara yang indah. Tapi aku menerima cinta yang datang dengan luka. Aku ingin kuat, tapi ternyata aku hanya pasrah…
Dan sekarang, aku menggenggam janji yang tidak pernah benar-benar berbunyi...

 

Suatu malam, Bagas datang. Diam-diam. Mengetuk pintu rumah kontrakan Laras dengan wajah lelah dan mata yang seperti tidak tidur selama berhari-hari.

"Aku sudah siapkan semuanya. Aku bawa penghulu besok. Kita bisa menikah. Di rumah seorang kenalan di luar kota. Tak perlu banyak orang tahu," katanya tanpa jeda.

Laras menatapnya. Hening sesaat.

"Kenapa, Bagas?" tanyanya pelan. “Kenapa sekarang? Setelah segalanya hancur? Setelah aku kehilangan diriku?”

"Aku ingin menepati janjiku," jawabnya mantap. “Setidaknya kita bisa punya awal baru. Bersih.”

Laras hampir tertawa. Tapi bukan karena lucu. Melainkan getir.

“Kau pikir pernikahan bisa menyembuhkan luka yang kau buat malam itu?” Laras menatapnya dalam. “Apa kau sungguh mencintaiku… atau kau hanya takut dihantui dosa?”

Bagas terdiam. Angin malam mengayunkan tirai jendela.

"Aku mencintaimu," katanya akhirnya. “Bahkan dalam sunyi yang tak berani aku akui.”

Laras menatap langit malam dari jendela. Bintang tak terlalu terang malam itu. Tapi cukup untuk membuatnya percaya bahwa gelap tak pernah benar-benar mutlak.

“Baiklah,” katanya pelan. “Kalau kau benar-benar ingin menepati janjimu, buktikan dengan diam. Jangan paksakan apa pun. Kalau cinta, ia akan datang… bukan menuntut. Tapi menunggu.”

 

Bab V: Akad dalam Bayang-Bayang

Hari itu datang bukan dengan denting gamelan atau alunan shalawat, tapi dengan senyap yang menyesakkan. Laras mengenakan kebaya sederhana berwarna krem pucat. Rambutnya disanggul seadanya, wajahnya polos tanpa rias, kecuali sepasang mata yang tak bisa menyembunyikan gugup dan getir.

Bagas duduk di depannya, mengenakan kemeja putih dan sarung tenun. Ia tampak rapi, tapi wajahnya pucat. Bahkan udara pun seolah enggan bergerak, terjebak dalam sunyi antara pengakuan dan kepura-puraan.

Akad itu dilangsungkan di ruang tamu rumah seorang kenalan Bagas, di daerah pinggir kota yang tak banyak orang tahu. Hanya ada penghulu, dua saksi tua yang tak kenal siapa Laras, dan secarik mahar kecil: sepasang cincin imitasi dan seperangkat alat salat.

“Saya terima nikah dan kawinnya Laras Ayuningtyas binti Abdul Haris, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

Kalimat itu meluncur dari bibir Bagas, kaku namun jelas.

Semua selesai dalam hitungan menit. Tak ada ucapan selamat, tak ada peluk bahagia. Hanya angin yang masuk dari ventilasi tinggi, dan tatapan Laras yang menerobos langit-langit kayu.

 

Setelah semua bubar, Laras duduk sendiri di halaman kecil rumah itu. Rumput tumbuh liar. Sebuah bangku kayu reyot menjadi tempatnya bersandar. Bagas menghampiri, duduk di sebelah, membawa dua gelas air mineral.

"Sudah sah," katanya. "Kita suami-istri sekarang."

Laras mengangguk pelan. Tapi ia tak tersenyum. Tak ada cahaya di matanya.

“Bagas…,” suaranya serak. “Apa kita memang ditakdirkan begini? Menikah diam-diam… bukan karena cinta, tapi karena luka?”

Bagas menggenggam tangannya. “Aku mencintaimu, Laras. Mungkin caraku salah, tapi rasa ini tak pernah main-main.”

Laras menghela napas panjang.

“Dulu aku percaya pernikahan adalah perayaan. Kini aku tahu, kadang ia adalah perbaikan… dari sesuatu yang sudah retak.”

Ia menatap langit yang mulai mendung. Mungkin akan turun hujan, seperti malam itu. Tapi Laras tak peduli. Karena kali ini, ia tak ingin lari dari kenyataan. Tidak lagi.

 

Bab VI: Luka yang Menetap di Peluk

Sudah seminggu sejak akad itu diucapkan dalam ruang sempit dan saksi-saksi yang tak mengenal kisah mereka. Laras dan Bagas kini tinggal bersama, menumpang di rumah kontrakan kecil milik seorang teman Bagas, di sudut kota yang jauh dari siapa pun yang mengenal mereka.

Namun, keintiman yang dulu terasa menggoda, kini berubah menjadi beban yang menggantung di udara.

Di pagi yang kelabu, Laras duduk di beranda. Wajahnya sayu, matanya sembap. Ia menatap secangkir teh hangat yang tak disentuh, membiarkannya mendingin bersama pikirannya.

Bagas muncul dari dalam, mengenakan kaos dan celana kain. Ia membawa sepotong roti, duduk di samping Laras.

"Kenapa kamu diam terus akhir-akhir ini?" tanyanya perlahan.

Laras tak menjawab segera. Ia menarik napas panjang, lalu menoleh padanya.

“Karena pelukanmu tak lagi menghangatkan. Karena janji yang dulu kurindukan kini hanya menjadi penutup luka yang terus menganga.”

Bagas terdiam. Hatinya tergores, tapi ia tahu, Laras bukan sedang menyakiti—ia sedang jujur.

"Aku mencoba jadi suami yang baik, Laras. Aku berusaha," katanya, suaranya nyaris berbisik.

Laras mengangguk, matanya berkaca. “Aku tahu. Tapi bukan itu masalahnya.”

Ia menatap langit yang mulai membuka, seberkas sinar menerobos awan.

“Masalahnya bukan pada usahamu. Tapi pada luka ini. Luka yang terlalu dalam untuk diobati hanya dengan tidur satu atap.”

Bagas menunduk. Jari-jarinya meremas roti yang belum ia gigit.

"Apa kau menyesal menikah denganku?" tanyanya.

Laras menoleh, dan untuk pertama kalinya sejak akad itu, ia menatap Bagas tanpa ragu.

“Aku menyesal pernah membiarkan cinta merampas akalku. Tapi aku tidak menyesal menjadi istrimu... Aku hanya menyesal, kita memulainya dengan luka.”

 

Bab VII: Rumah yang Tak Pernah Selesai Dibangun

Waktu terus berjalan, tapi rumah itu tetap sama. Dindingnya masih retak di beberapa sudut, atapnya bocor ketika hujan deras, dan lantainya dingin setiap malam. Tapi yang paling terasa tak selesai bukanlah bangunan fisiknya—melainkan hati dua manusia di dalamnya.

Laras mengajar seperti biasa di sekolah dasar tak jauh dari kontrakannya. Anak-anak masih memanggilnya Bu Laras dengan ceria, dan ia masih membalas senyum mereka dengan senyum yang separuhnya adalah topeng.

Sore itu, Laras pulang lebih cepat. Rumah tampak sepi. Bagas belum pulang kerja. Ia masuk ke kamar, duduk di lantai, lalu membuka laci lemari. Di sana, disimpan cincin kawinnya—yang sudah jarang ia kenakan.

Tangannya menggenggam cincin itu erat, lalu menangis. Bukan karena ingin kembali ke masa lalu, tapi karena ia menyadari: rumah tangganya adalah rumah yang belum selesai dibangun. Dan ia bingung, harus meneruskannya atau pergi.

 

Malam harinya, Bagas pulang. Wajahnya lelah, tapi ia mencoba tersenyum. Laras sudah menyiapkan makan malam: nasi hangat, telur dadar, dan sayur bayam.

“Terima kasih sudah masak,” ucap Bagas sambil duduk. “Kangen makan buatanmu.”

Mereka makan dalam diam. Sampai akhirnya Laras meletakkan sendoknya, menatap Bagas dalam.

“Aku ingin bertanya sesuatu. Tapi tolong jawab jujur.”
“Apa selama ini kamu merasa bahagia bersamaku… atau kamu hanya merasa bertanggung jawab?”

Bagas terdiam. Suapan terakhir belum dikunyah, lalu diletakkan kembali di piring. Ia mengusap wajah, menghela napas berat.

“Aku… kadang tidak tahu bedanya, Laras. Kadang aku merasa kita bisa bahagia. Tapi kadang aku merasa hanya sedang memperbaiki sesuatu yang sudah terlalu hancur.”

Laras mengangguk pelan.

“Seperti rumah ini, ya?” bisiknya. “Kita tempati… tapi tak pernah benar-benar membangunnya.”

Bab VIII: Pilihan yang Menyisakan Perih

Pagi itu, langit tak begitu cerah. Matahari tampak enggan naik, dan kabut tipis menggantung di antara genting-genting rumah kontrakan yang mulai ditumbuhi lumut. Di dalam, Laras duduk di dekat jendela, secangkir kopi pahit menggigil di genggamannya.

Hari ini, ia telah memutuskan sesuatu.

Semalam ia menangis dalam diam, bukan karena disakiti, tapi karena menyadari bahwa ia telah terlalu lama bertahan bukan atas dasar harapan, melainkan karena takut dianggap menyerah.

 

Bagas keluar dari kamar, rambutnya masih basah setelah mandi. Ia menyapa Laras dengan senyum yang lelah, lalu berkata, “Hari ini aku izin kerja setengah hari. Aku mau antar kamu beli kebaya, untuk syukuran kita bulan depan.”

Laras menoleh perlahan.

“Bagas…”
Suaranya terdengar seperti getaran tali yang nyaris putus.
“Aku tidak jadi ikut syukuran itu.”

Bagas berhenti. Matanya membeku.

“Apa maksudmu?”

Laras menatap ke luar jendela, menahan embun di matanya agar tak tumpah.

“Aku mau pulang ke rumah Ibu di desa. Untuk sementara waktu. Mungkin… lebih dari itu.”

Bagas melangkah maju, suaranya nyaris bergetar. “Kenapa, Laras? Kita sudah sampai sejauh ini. Kita sudah menikah. Apa kamu mau menyerah?”

“Aku tidak menyerah,” jawab Laras pelan. “Aku menyelamatkan diriku. Kita terlalu sibuk menambal luka, sampai lupa bertanya apakah masih ada cinta yang bisa dipertahankan.”

Bagas tak bisa bicara. Dadanya terasa kosong. Ia ingin marah, tapi tak punya alasan.

Laras berdiri, mendekatinya. Tangannya menyentuh dada Bagas, lalu turun ke genggaman.

“Aku pernah memperjuangkanmu lebih dari logika dan batas. Tapi sekarang aku ingin memperjuangkan diriku sendiri.”

Laras lalu melangkah ke kamar, menyiapkan tas kecil berisi pakaian dan buku catatan. Tak banyak yang ia bawa. Karena yang paling berat dari kepergian bukan barang-barang, tapi kenangan.

Bab IX: Surat yang Tak Pernah Dibalas

Seminggu telah berlalu sejak Laras pergi.

Bagas masih tinggal di rumah kontrakan itu—sendiri. Dapur tak lagi mengepul, tirai jendela tak pernah dibuka. Hanya aroma sisa wangi pakaian Laras yang masih melekat di bantal, seolah waktu enggan benar-benar berjalan.

Di meja kecil dekat jendela, ada sepucuk surat. Bukan email. Bukan pesan WhatsApp. Tapi surat yang ditulis tangan dengan pena hitam, pada kertas beraroma bunga melati.

Bagas membacanya untuk yang entah keberapa kali. Setiap kalimatnya menggores ulang luka yang belum juga kering.

 

Surat itu berbunyi:

Bagas...

Aku menulis surat ini bukan karena aku ingin dikenang, tapi karena aku tidak sanggup menyimpan semua ini sendiri.

Kau pernah menjadi pelindung, pelengkap, bahkan penguji batas hatiku. Kau pernah membuatku merasa paling dicintai… dan paling terluka.

Malam di Losmen Puspasari itu… bukan awal dari cinta. Tapi awal dari keterpaksaan yang dibungkus bujuk rayu. Aku tidak ingin menyalahkan siapa pun lagi—tidak kau, tidak diriku.

Tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan:

Aku memaafkanmu.

Tapi aku belum bisa memaafkan diriku sendiri.

Jika kelak kau menemukan perempuan yang bisa membuatmu tertawa tanpa kau harus mematahkan seseorang terlebih dulu—jagalah dia baik-baik.

Jangan ulangi cerita kita. Jangan buat cinta jadi beban.

Terakhir, jika aku tidak membalas surat atau pesanmu… itu bukan karena aku membencimu. Tapi karena aku sedang belajar membebaskan diriku dari bayang-bayangmu.

Dengan segenap yang tersisa,

Laras

 

Bagas melipat surat itu perlahan. Tangannya gemetar. Hatinya penuh, tapi tak bisa menangis. Ia meletakkan surat itu di kotak kecil bersama cincin kawin mereka—yang kini hanya menjadi simbol dari masa lalu yang tak bisa diperbaiki.

Ia menatap jendela. Langit senja menggantung pucat, tak seindah biasanya. Di luar, suara motor berlalu, anak-anak berlarian, dan hidup terus berjalan.

Tapi di dalam hati Bagas, waktu seperti berhenti.

Tak ada yang lebih menyiksa dari surat yang tak bisa dibalas. Karena tak ada kata yang cukup, tak ada peluk yang cukup, untuk menebus sebuah kehilangan yang datang pelan-pelan… lalu menetap selamanya.

 

Bab X: Gerimis Terakhir di Losmen Puspasari

Langit kembali menangis. Gerimis turun tipis, seperti memanggil sesuatu yang dulu pernah terjadi di bawah payung kelabu waktu. Dan di antara rintik itu, Bagas berdiri di depan bangunan tua berwarna cokelat pudar—Losmen Puspasari.

Sudah dua bulan sejak Laras pergi.

Bagas kembali, bukan karena ingin mengulang, tapi karena ingin mengakhiri. Bukan mengakhiri kenangan, tapi mengakhiri keterikatan yang terus menghantui langkahnya.

Papan nama losmen itu masih sama, tergantung miring, sedikit berkarat. Aroma kayu basah dan kapur barus masih menyambut begitu pintu dibuka.

Ia meminta kamar nomor tujuh. Petugas losmen menatap heran, tapi tak bertanya.

Di dalam kamar, segalanya masih seperti dulu. Ranjang dengan sprei bunga yang mulai pudar, meja kecil dengan cermin berdebu, dan jendela kayu yang menatap ke taman belakang tempat alang-alang tumbuh liar.

Bagas duduk di tepi ranjang.

Ia mengeluarkan sebuah surat kecil. Surat balasan yang tak pernah dikirim. Diletakkannya di atas bantal, di tempat kepala Laras pernah bersandar dalam diam.

 

Isi surat Bagas:

Laras…

Aku tidak tahu apakah kamu akan kembali membaca ini, atau akan mengabaikannya seperti aku pernah mengabaikan batas-batasmu dulu.

Tapi aku menulis, karena aku butuh mengembalikan sesuatu yang dulu kurampas: suaramu.

Malam itu di losmen ini, aku pikir aku sedang mencintaimu. Ternyata aku sedang menguji kekuasaanku atas hatimu.

Kini aku tahu, cinta bukan tentang siapa yang mampu menaklukkan, tapi siapa yang mampu menjaga. Dan aku gagal menjaga.

Jika kau membaca ini, Laras, aku hanya ingin kau tahu: aku tidak ingin kamu kembali. Aku hanya ingin kamu pulih.

Karena kamu berhak bahagia, meski bukan bersamaku.

 

Bagas menutup matanya. Gerimis menetes melalui celah jendela, menyentuh ujung seprai.

Ia tak menangis. Tapi ada sesuatu dalam diamnya yang lebih berat dari air mata.

Setelah beberapa menit, ia berdiri. Melangkah keluar dari kamar itu, tanpa menoleh ke belakang. Kunci kamar ditinggalkannya di meja. Dan ketika ia keluar dari gerbang Losmen Puspasari, gerimis masih turun pelan.

Namun hatinya... mulai terasa ringan.

 

Cinta mereka bukan kisah bahagia yang mudah dikenang. Tapi cinta itu pernah ada, tumbuh dalam salah, mekar dalam gelap. Dan kini, ia selesai dengan cara yang paling tenang: dengan doa dan gerimis.

Kadang, cinta bukan tentang bersama selamanya. Tapi tentang berani menyudahi, ketika cinta itu mulai menyakiti.

Dan di Losmen Puspasari, hujan terakhir pun berhenti.

 

Selesai.

"Cinta yang dimulai dengan luka tak selalu berakhir dengan dendam—kadang ia pergi diam-diam, membawa maaf, dan menyisakan kenangan yang hanya bisa dipulihkan oleh waktu."

"Ada cinta yang tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya—bukan karena kurang perjuangan, tapi karena keduanya harus belajar bahwa merawat diri jauh lebih penting daripada bertahan dalam luka yang tak kunjung sembuh."

Bottom of Form

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar