Sejauh Apa pun Kau
Pergi, Hatiku Tetap Pulang
Sebuah novel karya:
Sumarno Guritno
BAB I:
Pertemuan yang Mengakhiri Segalanya
Langit senja di
kota itu mengguratkan semburat oranye yang nyaris pudar, seolah lelah mewarnai
harapan yang tak kunjung selesai. Di taman yang biasa ramai oleh tawa anak-anak
dan obrolan ringan para lansia, sore itu terasa lebih sunyi, lebih berat. Seperti
menyimpan rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang patah.
Yculyana
berdiri di bawah pohon tabebuya yang gugur sebelum waktunya. Ia menggenggam
ponsel di tangan kanan, sementara tangan kirinya terus menggigil meski angin
tak sekencang biasanya. Di layar, satu pesan terakhir dari Iaoramusaia terbuka:
"Aku di perjalanan. Jangan pergi dulu. Hari ini… mari bicara, sebagai
kita."
Sebagai kita.
Bukan sebagai mantan kekasih. Bukan sebagai sepasang asing yang pernah saling
menuliskan puisi dan berjanji di bawah langit malam. Tapi sebagai
"kita", entitas yang pernah tumbuh dari dua jiwa yang seharusnya tak
pernah bertemu, namun tak bisa hidup tanpa saling menyentuh.
Iaoramusaia
datang dengan langkah tergesa. Wajahnya tak banyak berubah, masih dengan sorot
mata yang tenang, meski kini menyimpan letih yang tak bisa dijelaskan.
Rambutnya lebih pendek, dan senyumnya… masih mampu membuat waktu berhenti
sejenak di dalam dada Yculyana.
"Hai,"
katanya. Sederhana, tapi cukup untuk mengaduk semua yang telah ia tanam
dalam-dalam selama lima tahun ini.
Yculyana
membalas dengan anggukan kecil. Senyum pun ia tahan, karena tahu jika ia
membiarkannya muncul, air mata akan mengikuti. Dan hari itu bukan tentang
tangisan, melainkan tentang perpisahan yang harus diterima tanpa perlawanan.
Mereka duduk di
bangku kayu yang dulu pernah menjadi saksi awal dari semua kisah ini. Bangku
yang sama, tempat tangan mereka pertama kali bersentuhan tanpa rencana, tempat
di mana rindu tumbuh tanpa izin.
“Aku kira kita
akan saling berpelukan saat bertemu,” ujar Iaoramusaia pelan, seperti
menggumamkan sesuatu yang tak berani ia minta.
“Dan aku kira
kita akan kembali menjadi dua hati dalam satu langkah,” balas Yculyana. “Tapi
kenyataan ternyata lebih jujur daripada harapan.”
Hening. Bukan
karena tak ada yang bisa dibicarakan, tapi karena terlalu banyak yang ingin
diucapkan namun tak tahu harus dimulai dari mana.
“Aku mencoba
membunuh rinduku setiap malam,” kata Yculyana akhirnya. “Tapi setiap pagi, ia
hidup kembali—lebih keras, lebih panas, lebih menyakitkan.”
Iaoramusaia
menatapnya. “Dan aku membiarkan rinduku tumbuh liar. Karena aku pikir suatu
hari, kamu akan datang kembali, dan semua itu akan jadi alasan kenapa aku tetap
bertahan.”
Yculyana
menggenggam ujung syalnya. “Tapi pertemuan ini, justru jadi alasan kenapa kita
harus benar-benar mengakhiri semuanya, Ram…”
Iaoramusaia
diam. Tak membantah. Karena di matanya, ia bisa melihat Yculyana tak lagi
seperti dulu. Ia perempuan yang telah belajar melepaskan dengan kepala tegak,
bukan dengan air mata yang minta dikasihani.
“Aku akan
selalu mencintaimu,” ucapnya akhirnya. “Tapi tidak lagi untuk hidup bersamamu.”
Kalimat itu,
lebih tajam dari pisau. Tapi justru menjadi obat pahit yang selama ini Yculyana
tahu harus ia telan, cepat atau lambat.
Mereka berpisah
saat langit mulai gelap. Tak ada pelukan. Tak ada ucapan selamat tinggal. Hanya
satu pandang mata terakhir yang berkata:
"Aku akan menyayangimu selamanya, tapi mulai hari ini, dari
kejauhan."
BAB II: Luka
yang Menjadi Nama Tengah
Yculyana
menatap langit-langit kamar apartemennya yang serba putih. Warna itu awalnya ia
pilih agar hidupnya terasa netral, tenang, dan bersih. Namun setelah pertemuan
itu, putih justru tampak seperti ruang hampa—sunyi, sepi, dan terlalu bersih
hingga tak menyisakan ruang untuk perasaan.
Ia memutar
ulang suaranya dalam kepala, kata-kata yang sederhana namun tak bisa ia hapus:
“Aku akan
selalu mencintaimu… tapi tidak lagi untuk hidup bersamamu.”
Setelah
bertahun-tahun membiarkan rindu menggantung di dada, pertemuan itu justru
menjadi titik akhir, bukan awal. Dan luka yang dulu terasa perlahan sembuh,
kini seperti dibuka paksa, ditaburi garam oleh kenyataan bahwa perpisahan
mereka ternyata bukan karena takdir—melainkan karena pilihan.
Lima tahun
lalu, mereka adalah sepasang kekasih yang terlalu yakin bahwa cinta cukup untuk
mengalahkan segalanya. Dunia mungkin menolak, orang tua mungkin tak setuju,
jarak mungkin menguji, tapi mereka percaya: selama hati berpaut, semua bisa
dilewati.
Yculyana masih
ingat malam saat Iaoramusaia memberinya buku puisi di bangku taman kecil
belakang perpustakaan universitas. Hujan baru saja reda. Aromanya bercampur
tanah dan rindu yang belum terucap.
“Kalau suatu
hari nanti aku hilang dari hidupmu,” katanya sambil menyelipkan selembar daun
kering di halaman buku itu, “baca puisi halaman ke-47. Itu tentang kita.”
Dan mereka
memang sempat hilang. Bukan karena kehilangan cinta, tapi karena kehilangan
arah. Dunia dewasa datang terlalu cepat, dan realitas memisahkan mereka ke
jalan yang berbeda: Yculyana dengan kariernya yang menanjak cepat di perusahaan
akuntansi multinasional, dan Iaoramusaia yang memilih jalur pendidikan—mengajar
di kota kecil dengan penghasilan cukup, tapi bahagia.
Komunikasi
memburuk. Kesibukan memisahkan. Tapi rindu tetap tumbuh. Diam-diam mereka masih
saling mencari jejak: lewat unggahan media sosial, lewat percakapan tak
terkirim di chat yang hanya disimpan sebagai draf, atau lewat doa-doa lirih di
antara malam yang panjang.
Dan akhirnya,
pertemuan itu terjadi—saat keduanya sudah berdamai dengan hidup masing-masing,
namun belum berdamai dengan satu sama lain.
Malam itu,
Yculyana mengambil buku yang dulu diberikan Iaoramusaia. Di sela halamannya,
daun kering itu masih ada, rapuh dan mulai rapat. Ia membuka halaman 47.
Puisi itu
singkat. Hanya empat baris:
Kita adalah
hujan pertama yang tak pernah disambut matahari,
datang dengan harapan, pulang membawa payung patah.
Bukan karena tak saling mencinta,
tapi karena cinta kadang tak tahu ke mana harus pulang.
Yculyana
menutup buku itu perlahan. Di hatinya, luka masih terasa. Tapi di balik luka
itu, ia mulai menerima bahwa tak semua cinta perlu dilanjutkan untuk bisa tetap
hidup.
Kadang,
cinta paling abadi justru adalah cinta yang dilepaskan.
Bukan karena lemah, tapi karena terlalu kuat untuk dipaksakan.
BAB III:
Surat yang Tak Pernah Dikirim
Tak ada yang
benar-benar hilang dari seseorang yang pernah tinggal lama di hati. Kadang,
yang hilang hanyalah bentuknya, tapi suaranya masih membekas. Aromanya tersisa
di sela bantal, dan kalimat-kalimatnya menempel di dinding ingatan seperti cat
yang tak bisa dikikis.
Yculyana
membuka laci meja kerja di samping tempat tidurnya. Di sana, di dalam map polos
berwarna biru pudar, tersimpan lembaran-lembaran surat yang tak pernah dikirim.
Surat-surat itu ditulis selama lima tahun kepergian Iaoramusaia—di tengah malam
yang sunyi, di sela hujan yang mendadak deras, atau setelah mimpi yang membuat
matanya basah.
Ia memilih
satu.
12 Oktober,
tahun kedua kepergianmu
Ram,
Hari ini aku melihat seseorang yang mirip kamu di stasiun. Lengkap dengan
senyuman dan langkah pelan yang sering kamu pakai saat menungguku di halte
kampus. Tapi orang itu bukan kamu. Dia tak menoleh saat aku menyebut namamu
pelan. Mungkin aku sudah mulai gila.
Aku hanya ingin bilang: aku belum terbiasa tanpamu. Dan bodohnya, aku masih
menyiapkan tempat duduk kosong untukmu di setiap sudut hariku.
Ia
membiarkannya tergeletak, lalu mengambil surat lain.
30 Mei,
tahun ketiga
Ram,
Hari ini aku promosi. Jabatan yang dulu kamu bilang layak aku dapatkan. Tapi
tak ada pelukan darimu. Tak ada ucapan 'aku bangga padamu'. Yang ada hanya
sunyi, dan mataku yang terus mencarimu di kerumunan rekan kerja.
Kau tahu? Aku belajar tertawa tanpa merasa benar-benar bahagia. Aku belajar
menyebut namamu hanya dalam hati. Kupikir, ini kemajuan.
Jauh di kota
lain yang lebih tenang, di rumah guru yang sederhana dengan rak penuh buku tua
dan meja penuh kertas ujian siswa, Iaoramusaia pun menyimpan kenangan yang
sama. Bedanya, ia menuliskannya di buku catatan kulit yang mulai lusuh, yang ia
beri nama: Untuk Y, Yang Tak Pernah Pergi Sepenuhnya.
Salah satu
halaman itu bertanggal sama dengan surat yang baru saja dibaca Yculyana.
30 Mei,
tahun ketiga
Yculyana,
Kabar tentang promosi kerjamu kudengar dari mantan teman kuliah kita. Aku
diam saat mereka cerita. Tapi di dalam hati, aku menari. Kamu berhasil, seperti
yang dulu kupercaya.
Tapi… bagaimana caraku mengucap selamat, jika kehadiranku hanya akan
mengganggumu bangkit?
Surat-surat itu
tak pernah sampai. Tapi mereka tetap menulis. Karena menulis adalah
satu-satunya cara menjaga perasaan yang tak bisa mereka beri bentuk lain. Tak
ada suara, tak ada pelukan, tak ada pesan pendek di malam hari. Hanya kata yang
dibungkam waktu.
Dan begitulah
mereka saling mencintai dari kejauhan, dalam diam yang panjang.
Malam itu, di
dua kota yang berbeda, Yculyana dan Iaoramusaia sama-sama membuka surat yang
mereka simpan. Masing-masing bertanya-tanya:
“Bagaimana jika… aku mengirimkannya saat itu?”
Tapi mereka tahu, pertanyaan itu tak akan pernah berujung. Karena kisah mereka
memang bukan tentang keberanian untuk kembali, melainkan tentang keikhlasan
untuk merelakan.
BAB IV:
Kota-Kota yang Menyimpan Jejak Kita
Beberapa tempat
tidak pernah benar-benar menjadi milik umum. Ia menyimpan memori pribadi yang
tak bisa dipahami siapa pun selain dua orang yang pernah merajut kisah di sana.
Bagi Yculyana dan Iaoramusaia, kota ini—dengan segala sudutnya yang
sunyi—adalah semacam museum cinta: penuh fragmen yang tak bisa mereka bakar,
namun terlalu menyakitkan untuk disimpan.
Yculyana
berdiri di depan kedai kopi tua dekat stasiun, yang dulu menjadi tempat mereka
menghabiskan malam-malam sepulang kuliah. Kedainya kini lebih modern, dengan
lampu-lampu kekinian dan suara musik elektronik yang menggantikan lantunan jazz
lembut dari radio lama.
Ia masuk. Tak
ada bangku kayu yang dulu berderit saat Iaoramusaia menarikkannya untuknya.
Tapi aroma kayu panggang dan kopi robusta masih menguar seperti dulu. Ia duduk
di sudut jendela, tempat yang sama, dan memesan minuman yang sama: kopi susu
tanpa gula.
Saat
menyeruputnya, ia menahan napas. Lidahnya menangkap rasa pahit yang dulu
menjadi tanda: bahwa cinta sejati tak butuh banyak pemanis. Tapi kini rasa
pahit itu seperti cermin—memantulkan kenangan yang tak lagi bisa ia peluk.
Di seberang
kota, di hari yang lain, Iaoramusaia menyusuri jalan kecil menuju perpustakaan
tua. Tempat mereka pertama kali berbicara bukan sebagai mahasiswa yang saling
tak kenal, tetapi sebagai dua manusia yang menemukan kenyamanan dalam diam yang
sama.
Rak-rak buku
masih berdiri, tapi sebagian telah diganti. Ruangan itu lebih terang, tapi bagi
Iaoramusaia, justru terasa lebih dingin.
Ia duduk di
lantai dua, menghadap jendela yang pernah mereka buka diam-diam agar angin sore
bisa masuk. Dulu, Yculyana pernah tertidur di sebelahnya, kepala bersandar di
lengan, buku puisi terbuka di pangkuan.
Kini, hanya
bangku kosong di sampingnya.
“Tak semua
tempat bisa berubah bentuk,” pikir Iaoramusaia.
“Beberapa hanya berubah karena ditinggalkan.”
Mereka, tanpa
janjian, tanpa sadar, mengunjungi kota yang sama di minggu yang sama. Tapi
mereka tak saling bertemu. Seolah semesta tahu, meski rindu masih begitu besar,
kisah mereka memang tak untuk diulang—hanya untuk dikenang.
Di taman kota
tempat mereka dulu berlari dari hujan, seorang pengamen memetik gitar dan
menyanyikan lagu lama:
“Karena aku tahu, tak semua cinta harus saling memiliki…”
Yculyana duduk
di bangku batu. Iaoramusaia berdiri beberapa meter di belakang, tak melihatnya.
Tapi ketika bait itu dinyanyikan, keduanya menoleh ke langit yang sama—langit
senja yang menyimpan banyak rahasia.
Mereka tak
sadar mereka ada di ruang yang sama. Tapi mungkin, itu yang terbaik.
Beberapa kota
tak pernah benar-benar menjadi rumah, tapi akan selalu menjadi tempat kembali
hati. Mereka tak lagi bisa berjalan berdua di sepanjang trotoar, tak bisa
tertawa di kedai kecil atau berbagi payung. Tapi di kota ini, dalam jejak-jejak
yang tak terlihat, mereka masih bersama. Bukan sebagai pasangan, tapi sebagai
kenangan.
Karena ada
cinta yang hidup bukan untuk masa depan,
tapi untuk dikenang dengan setengah senyum dan sepasang mata yang berkaca.
BAB V:
Seseorang yang Menyapa Tanpa Ingin Mengganti
Beberapa hati
tidak mencari pengganti, hanya pelipur. Mereka tak butuh api baru untuk
membakar ingatan, hanya cahaya kecil yang bisa menemani berjalan melewati
lorong kenangan. Itulah yang mulai dialami Yculyana dan Iaoramusaia—di waktu
dan tempat yang berbeda, namun dalam kehampaan yang mirip.
Hari-hari
Yculyana mulai disibukkan oleh proyek besar yang menuntutnya bolak-balik ke
kota tetangga. Di tengah rapat-rapat panjang dan kelelahan yang menggumpal,
muncullah seseorang bernama Arvino—rekan kerja baru dari divisi hukum.
Arvino tidak
banyak bicara, namun setiap ucapannya terasa seperti jeda yang menenangkan
dalam hidup Yculyana yang terburu-buru. Ia tak pernah bertanya terlalu dalam,
tak pernah memaksa untuk tahu masa lalu. Tapi di setiap makan siang bersama,
Arvino menyelipkan kalimat-kalimat kecil yang menyentuh sisi terdalam Yculyana.
“Kadang,
seseorang yang paling lama kita cintai... bukan yang kita temui paling
terakhir. Tapi yang diam-diam masih kita doakan meski sudah tak bersisian.”
Yculyana hanya
menatap kosong ke luar jendela, menyadari bahwa Arvino sedang berbicara tentang
sesuatu yang lebih dari dirinya. Tapi ia tidak bertanya.
Arvino, tanpa
menyadari, bukan sedang mencoba menggantikan. Ia hanya berdiri di sisi yang
cukup dekat untuk menjadi nyata, dan cukup jauh untuk tidak menyentuh luka yang
belum sembuh.
Sementara itu,
di ruang guru yang penuh dengan aroma kertas ujian dan kapur, Iaoramusaia mulai
mengenal Rheina, guru seni yang baru pindah dari luar kota. Rheina ceria
tapi lembut, penuh warna tapi tidak mencolok. Ia tak tahu latar belakang
Iaoramusaia, tapi ia tahu satu hal: ada kesedihan yang tidak pernah selesai di
matanya.
Suatu sore,
saat mereka berdiri berdua di teras sekolah menyaksikan hujan turun, Rheina
bertanya pelan:
“Apakah semua
orang yang kita cintai harus dimiliki?”
Iaoramusaia
diam lama, lalu menjawab:
“Tidak. Tapi
kita harus cukup berani mencintai, walau tahu mungkin tak akan memiliki
selamanya.”
Rheina hanya
mengangguk. Ia tidak menggali lebih jauh. Ia hanya ingin menjadi tempat
singgah, jika hati Iaoramusaia terlalu lelah untuk kembali.
Baik Yculyana
maupun Iaoramusaia tahu bahwa hati mereka belum selesai. Tapi kehidupan tak
menunggu luka sembuh sempurna. Dunia terus berjalan, dan orang-orang
datang—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyapa.
Kadang Yculyana
melihat Arvino dan membayangkan andai pria itu datang lebih awal. Tapi ia tahu,
tak adil menyamakan siapa pun dengan Iaoramusaia.
Begitu pula Iaoramusaia, yang mulai merasa nyaman berbicara dengan Rheina,
namun tahu bahwa kenyamanan tak sama dengan keterikatan.
Mereka mulai
belajar, bahwa cinta tak harus dibalas untuk menjadi berarti.
Bahwa membuka hati bukan mengkhianati masa lalu—melainkan cara paling manusiawi
untuk terus hidup.
Di ujung bab
ini, Yculyana menulis satu surat terakhir. Bukan untuk dikirim. Bukan untuk
Iaoramusaia. Tapi untuk dirinya sendiri.
“Aku tidak
akan pernah benar-benar melupakanmu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan
hidupku berhenti di tempat yang sama. Terima kasih sudah menjadi musim terindah
yang pernah aku miliki. Kini, aku belajar menyambut musim lain… meski tanpa
hangatmu.”
BAB VI:
Hujan yang Turun Tanpa Janji
Tidak semua
hujan datang dengan pertanda. Kadang ia turun begitu saja—mengguyur jalan,
membasahi kenangan, lalu pergi tanpa pamit. Seperti perasaan yang datang
pelan-pelan, tumbuh tanpa izin, dan tiba-tiba menyentuh bagian hati yang kita
kira telah beku.
Yculyana
berdiri di balkon hotel tempatnya menginap untuk kunjungan kerja. Kota itu
asing, tapi malamnya terasa akrab—gerimis halus dan aroma tanah basah
mengingatkannya pada malam terakhir ia dan Iaoramusaia saling berpamitan tanpa
kata.
Teleponnya
berdering. Nama Arvino muncul.
"Aku di
lobi hotel. Barangkali kamu butuh teman makan malam."
Yculyana terdiam sejenak, lalu menjawab singkat, "Aku turun."
Malam itu,
mereka makan di restoran kecil yang tenang. Tidak ada percakapan besar, hanya
cerita remeh tentang kerjaan dan masa kecil. Tapi saat sendok terakhir
menyentuh piring, Arvino menatapnya dengan sorot yang tak biasa.
"Aku tahu
kamu masih mencintai seseorang yang tak lagi di sini," katanya tenang.
"Aku tak ingin menggantikannya. Aku hanya ingin berjalan di sisimu. Jika
kamu mengizinkan."
Yculyana
menggenggam cangkir teh yang mulai dingin. Ia menatap Arvino, dan untuk pertama
kalinya sejak perpisahan itu, ia tidak merasa bersalah karena membiarkan
seseorang masuk ke ruang hatinya yang dulu hanya untuk satu nama.
Tapi hati yang
belajar melepaskan bukan berarti telah kosong.
Ia hanya sedang menunggu untuk dipeluk dengan cara yang baru.
Di kota lain,
Iaoramusaia duduk di bangku perpustakaan, menunggu Rheina yang sedang mencari
buku cerita rakyat untuk projek murid-muridnya. Hujan turun deras di luar
jendela, membasahi halaman yang dulu sering ia lewati bersama Yculyana.
Rheina datang
membawa buku-buku, lalu duduk tanpa bicara. Setelah beberapa menit, ia berkata
pelan, “Kenapa kamu selalu terlihat menunggu sesuatu yang tidak akan datang?”
Iaoramusaia
menoleh padanya. Mata mereka bertemu, lama, seperti dua danau yang tenang namun
dalam.
"Aku tidak
sedang menunggu," jawabnya, pelan tapi jujur. "Aku hanya belum tahu
harus melangkah ke arah mana."
Rheina
tersenyum, lalu membuka bukunya dan mulai membaca. Tidak ada desakan. Tidak ada
paksaan. Hanya kehadiran yang perlahan menjelma jadi tempat bersandar.
Hujan turun di
luar. Tidak ada janji untuk berhenti. Tapi juga tidak ada ancaman untuk badai.
Begitulah perasaan-perasaan baru ini tumbuh—tanpa janji, tapi juga tanpa ragu.
Malam itu, di
dua kota yang berbeda, Yculyana dan Iaoramusaia sama-sama berdiri di balik
jendela, memandangi hujan yang turun pelan-pelan.
Mereka tidak tahu bahwa hujan yang sama sedang jatuh di tempat masing-masing.
Tapi mereka tahu: hidup tetap berjalan, dan cinta, sekecil apa pun sisa yang
ada, akan selalu punya cara untuk menemukan bentuk baru.
Bukan untuk
menggantikan.
Tapi untuk merawat bagian hati yang lelah menjadi museum kenangan.
BAB VII:
Jika Takdir Tak Lagi Ingin Mempertemukan
Ada cinta yang
lahir untuk bersama, ada pula cinta yang hanya dititipkan sebentar—untuk
mengajarkan tentang kehilangan, tentang ketegaran, dan tentang cara menyayangi
tanpa harus memiliki. Yculyana dan Iaoramusaia telah melalui semuanya. Tapi
masih ada satu tanya yang tertinggal: apakah takdir benar-benar selesai,
atau hanya sedang menunda?
Hari itu,
langit Jakarta mendung seperti biasanya. Yculyana menghadiri seminar nasional
mewakili perusahaannya. Ia tak tahu bahwa hari itu akan menjadi simpul bagi
semua perasaannya yang tertunda.
Di tengah
kerumunan peserta, suaranya terdengar—datar, khas, dengan jeda yang ia hafal di
luar kepala. Iaoramusaia sedang memberikan materi tentang pendidikan karakter
dan literasi. Baju batiknya rapi, rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir
kali mereka bertemu. Ia tampak tenang, dewasa, dan... masih sama.
Yculyana
gemetar. Untuk sesaat, dunia seperti disenyapkan. Ia tidak siap. Tidak pernah
siap.
Mereka bertemu
mata saat sesi tanya jawab. Hanya dua detik. Tapi itu cukup untuk membongkar
semua yang telah mereka kubur rapi.
Setelah sesi selesai, mereka tidak langsung menyapa. Tak ada pelukan. Tak ada
lambaian.
Hanya saling diam.
Namun semesta,
seperti biasa, punya rencana.
Panitia meminta
Yculyana dan Iaoramusaia duduk satu meja di sesi diskusi akhir—tanpa tahu
mereka menyimpan sejarah yang tak lagi bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dan di meja itu, di tengah formalitas dan suara mikrofon, Iaoramusaia akhirnya
berkata:
"Beberapa
pertemuan bukanlah awal dari apa-apa. Tapi penanda bahwa kita sudah benar-benar
sampai di akhir."
Yculyana
menunduk. Tangannya bergetar, tapi ia tersenyum. Bukan senyum lega, tapi senyum
pahit dari seseorang yang tahu: beberapa hal memang harus berakhir, bahkan
jika hati masih ingin memulai ulang.
Setelah acara
selesai, mereka berjalan berdampingan ke luar gedung. Diam. Hujan turun
lagi—tipis, namun cukup untuk membuat aroma tanah membangkitkan semua kenangan
yang pernah mereka tanam.
Sebelum
berpisah, Yculyana membuka suara:
“Kamu tahu…
sampai hari ini aku masih ingat caramu menyebut namaku. Pelan, tapi dalam.”
Iaoramusaia
menatap langit, lalu dirinya.
“Dan aku masih
mengingat cara matamu memandang, seperti kamu menyimpan dunia dalam diam.”
Hening. Hujan
makin deras.
Mereka tidak
berpelukan. Tidak berjanji. Tidak berkata "semoga kita bahagia."
Karena keduanya tahu, doa mereka sudah tak lagi berjalan di jalan yang sama.
Mereka
melangkah menjauh, masing-masing ke arah yang berbeda. Tanpa menoleh. Tapi
dengan hati yang akhirnya paham…
Bahwa mencintai
tidak selalu berarti bersama.
Dan melepaskan tidak selalu berarti berhenti menyayangi.
Hujan terus
turun malam itu, seperti restu dari langit. Bukan restu untuk bersatu kembali,
tapi restu agar mereka bisa melangkah maju—dengan hati yang tetap lembut, meski
tak lagi saling memiliki.
BAB VIII:
Tempat yang Tak Bernama di Hati
Setiap manusia
menyimpan satu ruang di dalam hati—yang tidak bisa dijelaskan letaknya, tidak
bisa diganti siapa pun, dan tidak bisa disebutkan tanpa perih kecil yang samar.
Tempat itu tidak bernama. Tapi kita tahu siapa yang pernah menempatinya.
Yculyana tahu. Iaoramusaia juga tahu.
Dua bulan
setelah pertemuan terakhir itu, Yculyana kembali ke rutinitasnya. Hidupnya tak
lagi diwarnai gelombang emosi seperti dulu. Ia menjadi lebih tenang, lebih
dewasa, dan lebih menerima bahwa hidup adalah rangkaian kehilangan yang kita
pelajari dengan lambat.
Arvino masih
ada. Dengan ketulusan yang konsisten, ia tidak pernah menuntut Yculyana untuk
segera membuka pintu sepenuhnya. Ia hanya ada—menyediakan bahu, mendengarkan
tawa maupun diam yang belum sembuh.
Suatu malam di
balkon apartemennya, Yculyana mengajak Arvino berbincang.
“Kalau aku
mencintaimu... itu bukan karena aku melupakan dia. Tapi karena kamu tidak
pernah memaksaku untuk melupakan.”
Arvino
tersenyum, dan menggenggam jemarinya.
“Aku tak ingin
jadi pengganti. Aku hanya ingin jadi rumah. Jika hatimu lelah, pulanglah. Tak
harus utuh, tak harus bersih dari luka.”
Dan malam itu,
untuk pertama kalinya, Yculyana menangis bukan karena kehilangan. Tapi karena
rasa syukur—bahwa ada yang mencintai luka, bukan hanya bahagia.
Sementara itu,
di kota kecil tempat Iaoramusaia mengajar, senja turun perlahan. Ia duduk di
teras rumah dinasnya, mengoreksi lembar jawaban sambil sesekali mencatat
hal-hal kecil yang ia rasa penting—bukan hanya dari nilai, tapi dari kata-kata
anak-anak yang membuatnya tetap percaya bahwa dunia masih punya harapan.
Rheina
menghampirinya dengan dua cangkir kopi dan sebuah pertanyaan yang sudah lama
menggantung:
“Apa kamu sudah
benar-benar melepaskannya?”
Iaoramusaia
menatap langit, lalu menjawab perlahan:
“Aku tidak
yakin. Tapi aku tidak lagi merasa berat saat mengingatnya. Dan mungkin itu
cukup.”
Rheina tidak
berkata apa-apa. Ia duduk di sebelahnya, diam. Lalu, setelah beberapa menit, ia
bertanya dengan suara rendah:
“Kalau aku
ingin menempati ruang kecil di hatimu, yang tak harus menggantikan siapa pun,
boleh?”
Iaoramusaia
tersenyum kecil. "Ruang itu selalu ada. Tapi kamu harus tahu... tempat
yang paling dalam masih kosong. Bukan untuk diisi, tapi untuk dihormati."
Dan Rheina
mengangguk, seolah mengerti bahwa cinta bukan selalu tentang mengisi
kekosongan—kadang, cinta adalah tentang menjaga ruang yang tak bisa disentuh.
Hari demi hari
berlalu. Tak ada surat, tak ada kabar. Tapi di setiap detik yang sunyi,
Yculyana dan Iaoramusaia masih saling hadir—bukan sebagai rindu yang menyiksa,
tapi sebagai bagian dari diri yang tak bisa dicabut.
Mereka telah
menerima:
Bahwa beberapa orang tidak datang untuk dimiliki seumur hidup,
melainkan untuk membentuk kita menjadi siapa kita yang hari ini.
Dan di tempat
yang tak bernama di hati mereka masing-masing, nama itu tetap tinggal. Tak
berubah. Tak pudar. Tapi juga tak mengganggu langkah.
Karena cinta
sejati tidak selalu meminta tempat di masa depan. Kadang, ia hanya ingin
dikenang dengan damai.
BAB IX:
Musim Baru Tak Selalu Bermekaran
Setiap musim
datang dengan janji. Tapi tidak semua janji harus ditepati dengan kebahagiaan
yang meledak. Kadang, musim baru hanya membawa keheningan—sebagai bentuk lain
dari kedewasaan, sebagai jeda yang harus diterima. Yculyana dan Iaoramusaia
sedang berada di musim itu: tenang, tapi belum tentu bahagia sepenuhnya.
Di ruang rapat
lantai dua gedung perusahaannya, Yculyana duduk memandangi layar presentasi.
Angka-angka laba, diagram pertumbuhan, rencana ekspansi internasional—semuanya
mengalir seperti biasa. Tapi dalam dirinya, ada kegelisahan yang perlahan
memuncak. Arvino menawarkannya satu hal yang selama ini tak pernah ia
bayangkan: hidup di luar negeri, membangun keluarga, dan meninggalkan semua
yang lama.
“Kita bisa
memulai dari nol, Yan. Kamu dan aku. Di tempat baru. Dengan kemungkinan baru,”
kata Arvino beberapa hari lalu, dengan mata penuh harap.
Yculyana
menyayangi Arvino. Ia tahu pria itu mencintainya dengan cara yang tenang dan
utuh. Tapi ada yang belum selesai dalam dirinya. Bukan tentang cinta kepada
masa lalu—melainkan tentang dirinya sendiri yang belum benar-benar pulih, belum
selesai mencari makna keberadaan.
Malam itu, ia
duduk di dekat jendela apartemennya, menulis catatan kecil:
“Cinta bukan
hanya tentang siapa yang kita genggam. Tapi tentang siapa yang membuat kita
ingin mengenal diri sendiri lebih dalam.”
Sementara itu,
di kota kecilnya, Iaoramusaia mengubah perpustakaan sekolah menjadi ruang
terbuka yang dipenuhi anak-anak membaca sambil duduk di karpet, bertanya, dan
bercerita. Ia memulai program literasi berbasis rasa—mengajarkan anak-anak
mengenali emosi, menulis tentang kehilangan, tentang harapan, dan tentang
mimpi.
Rheina ada di
sana, selalu membantu. Tapi tidak pernah menuntut. Hubungan mereka seperti sore
yang tidak pernah menjadi malam: nyaman, tapi belum tentu menjanjikan apa-apa.
Suatu hari,
seorang siswa menulis cerita pendek berjudul “Ibu yang Pergi Tapi Tetap
Tinggal di Hati”. Iaoramusaia membacanya dengan hati bergetar.
“Apakah kita
bisa mencintai orang yang tidak kembali, Pak?”
Pertanyaan itu datang dari si kecil, polos tapi dalam.
Ia tersenyum,
lalu menjawab:
“Bukan hanya
bisa. Tapi kadang, itu adalah bentuk cinta yang paling tulus.”
Dan saat ia
berkata begitu, Iaoramusaia tahu: ia telah menerima musim baru dalam hidupnya.
Musim yang tidak selalu berbunga, tapi tetap layak dijalani dengan seluruh
ketulusan.
Beberapa minggu
kemudian, sebuah email masuk ke kotak surat Yculyana. Dari panitia penghargaan
nasional pendidikan. Mereka mengundangnya sebagai pembicara tamu—bersama tokoh
guru yang membangun gerakan literasi daerah. Namanya: Iaoramusaia.
Yculyana
menatap layar. Dunia, lagi-lagi, seperti ingin menguji keberanian hatinya.
Ia tak segera
membalas. Ia hanya menatap langit senja dari jendela apartemennya. Tidak ada
keputusan malam itu. Tapi ada ketenangan yang ia rasakan—bahwa sekalipun mereka
akan bertemu kembali, itu bukan lagi untuk mempertanyakan masa lalu, melainkan
mungkin untuk memberi makna baru pada perjalanan masing-masing.
Karena musim
baru, meski tidak bermekaran, tetap layak dinikmati.
Dan cinta, yang dulu terasa berat, kini telah berubah menjadi ruang yang ringan
untuk dikenang.
BAB X:
Ketika Dua Jalan Bertemu Lagi
Ada pertemuan
yang ditunggu, ada pula yang datang seperti isyarat dari semesta—tidak untuk
memulai kembali, melainkan untuk memberi tahu bahwa hati telah sampai di titik
pemahaman paling dalam: menerima, tanpa harus memiliki.
Hari itu, Yculyana dan Iaoramusaia bertemu kembali. Bukan di ruang sunyi penuh
kenangan, melainkan di panggung profesional—dua insan yang pernah saling
menggenggam hati, kini berdiri di sisi berbeda dari garis takdir yang tenang.
Acara
penghargaan nasional itu berlangsung megah di sebuah hotel berbintang di
Bandung. Para tokoh pendidikan, pejabat negara, hingga profesional dari
berbagai sektor hadir memberi tepuk tangan dan sambutan. Di sana, di tengah
sorot lampu dan kamera, nama-nama diumumkan dengan lantang—termasuk dua nama
yang pernah saling mengisi satu sama lain dengan rindu dan luka: Yculyana M.
A. dan Iaoramusaia T. D.
Mereka duduk di
kursi VIP, hanya dipisahkan oleh satu bangku kosong. Saling menyadari
kehadiran, saling mendengar detak yang tidak mereka kendalikan. Tapi tidak ada
sapa. Tidak ada lirih. Hanya waktu yang berjalan seperti biasa, dan dada yang
diam-diam berdesir.
Ketika acara
istirahat tiba, mereka akhirnya berbincang—bukan seperti dua orang yang pernah
saling memiliki, tapi seperti dua pribadi yang telah melewati badai dan tahu
bagaimana caranya berdiri sendiri.
“Kamu terlihat
tenang,” kata Iaoramusaia, lirih, sambil menyesap teh hangatnya.
“Dan kamu
terlihat damai,” balas Yculyana, tanpa senyum, namun matanya teduh.
Ada jeda. Lalu
ia menambahkan, “Aku senang kamu bahagia.”
Iaoramusaia
menatap meja di depannya, lalu berbisik:
“Mungkin bukan
bahagia. Tapi aku berdamai. Dan itu sudah cukup.”
Yculyana
mengangguk pelan. Ia tahu perasaan itu. Mereka tidak butuh kata maaf, tidak
butuh janji. Karena luka mereka telah menjelma pelajaran.
Sebelum acara
kembali dimulai, Iaoramusaia berkata:
“Jika waktu
mengulang, mungkin aku akan tetap memilih mencintaimu. Meski tahu akhirnya
seperti ini.”
Yculyana
menoleh. Ada air yang menggantung di sudut matanya. Tapi ia tersenyum, untuk
pertama kalinya dengan hati yang tak lagi memberontak:
“Dan aku akan
tetap memilih bertemu kamu. Meski tahu, tidak selamanya kita akan berjalan
berdua.”
Sore itu,
setelah acara selesai, mereka sempat berfoto bersama. Dunia luar melihat dua
profesional tersenyum ke kamera. Tapi di balik senyum itu, ada dua hati yang
akhirnya bisa berdiri sejajar—tanpa saling menuntut untuk bersatu, tanpa saling
menyalahkan karena pernah gagal.
Pertemuan itu
bukan akhir yang menyakitkan, bukan pula awal yang baru.
Tapi seperti tanda titik: mengakhiri kalimat panjang yang pernah mereka tulis
bersama.
Dan setelah
titik, mereka berhak menulis kisah masing-masing. Dengan pena yang baru. Dengan
keyakinan yang lebih tenang.
Malam itu,
dalam perjalanannya kembali ke Jakarta, Yculyana menulis di catatan digitalnya:
“Cinta yang
tak bersama bukan cinta yang gagal. Tapi cinta yang tahu kapan harus berhenti
agar tidak saling melukai lebih dalam.”
Sementara
Iaoramusaia, duduk di bus malam menuju kota kecilnya, memejamkan mata sambil
berbisik dalam hati:
“Terima kasih,
karena pernah menjadi rumah yang hangat. Dan maaf, karena tak bisa tinggal
selamanya.”
Mereka
berpisah. Bukan karena benci, bukan karena tak lagi cinta.
Tapi karena mereka tahu:
beberapa
cinta memang hadir hanya untuk membawa kita pulang pada diri sendiri.
BAB XI: Di
Antara Dua Sunyi
Ada rindu yang
tidak tumbuh di keramaian. Ia diam-diam mekar di sela-sela kesibukan, menepi di
sudut malam, menari tanpa suara. Begitulah sunyi hadir dalam hidup Yculyana dan
Iaoramusaia—bukan untuk menyiksa, tapi untuk mengingatkan bahwa pernah ada cinta
yang tumbuh tanpa perlu banyak bicara.
Sudah dua bulan
sejak pertemuan di Bandung. Yculyana menjalani hari-harinya dengan disiplin
yang nyaris sempurna. Pekerjaan, rapat, evaluasi, mentoring. Ia semakin
dipercaya pimpinan, bahkan akan diangkat menjadi direktur keuangan regional. Di
atas kertas, hidupnya seperti garis lurus tanpa celah. Tapi setiap malam, ada
ruang kosong yang tetap hadir—bukan untuk ditangisi, hanya untuk ditemani.
Sebuah pesan
tak terkirim ia tulis pada pukul 00.32 dini hari:
“Aku tidak
ingin kembali. Tapi entah mengapa, setiap kali mendengar suara hujan, aku tetap
memikirkanmu.”
Ia tidak pernah
menekan tombol kirim. Karena ia tahu, ada kata yang sebaiknya tinggal sebagai
perasaan. Dan cinta, kadang lebih suci ketika tidak dituntut menjelma dalam
bentuk apa pun.
Di sisi lain,
Iaoramusaia mulai sibuk dengan proyek pustaka keliling yang ia bangun dari
sumbangan warga dan buku-buku bekas. Ia mengendarai motor tua, membawa rak kayu
yang ia desain sendiri, lalu berkeliling dari desa ke desa.
Anak-anak
menyambutnya dengan tawa dan harapan. Setiap halaman yang dibaca adalah benih
kecil yang ditanam di ladang mimpi mereka.
Tapi di antara
canda mereka, Iaoramusaia kadang melamun. Di bawah pohon mahoni, di bangku
bambu, ia menulis puisi-puisi yang tidak pernah ia kirimkan pada siapa pun:
"Sunyi
tidak selalu sepi,
Terkadang ia hanya bentuk lain dari rindu
Yang memilih diam, agar tidak kembali melukai.”
Rheina kadang
menemukannya tenggelam dalam diam, tapi tak lagi bertanya. Ia sudah belajar
bahwa mencintai seseorang yang masih menyimpan kenangan bukan berarti menunggu
dilupakan, melainkan mengizinkan luka itu perlahan sembuh di hadapan kita.
Suatu malam,
hujan turun deras di Jakarta. Yculyana sedang dalam perjalanan pulang ketika
tak sengaja mendengar lagu lama di radio—lagu yang dulu mereka dengarkan
bersama di kereta menuju Yogya, bertahun lalu.
“Bila nanti
kita tak lagi bersama, jangan lupakan semua cerita...”
Ia tersenyum
pahit. Bukan karena sakit, melainkan karena akhirnya ia bisa mengenang tanpa
gemetar.
Dan di kota
kecilnya, pada malam yang sama, Iaoramusaia menutup bukunya sambil berkata
lirih ke langit yang mendung:
“Kamu baik-baik
saja di sana, kan?”
Tidak ada
jawaban. Tapi barangkali, pertanyaan itu sampai. Mungkin angin menyampaikannya.
Atau mungkin, hanya hati mereka yang masih bisa saling dengar meski tak lagi
saling bicara.
Karena beberapa
sunyi tidak pernah benar-benar memisahkan.
Mereka hanya menciptakan jarak yang bisa ditempuh oleh kenangan.
Yculyana dan
Iaoramusaia berjalan dalam hidup mereka masing-masing. Tidak saling sapa. Tidak
saling kirim kabar. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang tidak pernah bisa
diganti, meski dunia menawarkan kebahagiaan baru.
Di antara dua
sunyi, mereka tetap saling menyimpan.
Bukan dalam bentuk nama atau wajah.
Tapi dalam bentuk rasa—yang tidak pernah meminta tempat, tapi juga tak pernah
benar-benar hilang.
BAB XII:
Takdir Tak Pernah Berniat Jahat
Takdir sering
disalahkan. Padahal ia hanya jalan yang harus dilalui, bukan penentu luka atau
bahagia. Yang menjadikannya baik atau buruk adalah cara hati menerima, bukan
arah yang ia beri.
Dan pada akhirnya, Yculyana dan Iaoramusaia harus kembali duduk
berhadapan—bukan karena rindu yang tak tertahan, melainkan karena hidup ingin
menyelesaikan apa yang belum tuntas.
Undangan itu
datang lewat surat resmi. Yculyana diminta menjadi pembicara dalam seminar
nasional pendidikan karakter dan manajemen keuangan sekolah. Di daftar
pembicara, lagi-lagi ada nama yang membuat jantungnya tak nyaman berdetak: Iaoramusaia
T. D.
Kali ini ia
tidak terkejut. Tidak pula gelisah seperti sebelumnya. Ia hanya tersenyum tipis
dan berkata dalam hati, "Baiklah, mungkin ini cara semesta menutup
kisah kami dengan lebih baik."
Seminar
berlangsung di sebuah resort pelatihan guru, di kaki gunung. Udara dingin, tapi
tak menusuk. Pagi yang hening, langit yang biru pucat. Mereka dipertemukan
dalam satu forum diskusi panel.
Yculyana
mengenakan blazer abu-abu lembut dan riasan minimalis. Iaoramusaia tampil
dengan kemeja putih bersih dan sepatu tua yang ia semir sendiri malam
sebelumnya.
Mereka bertukar
pandang. Hanya sebentar. Cukup untuk tahu bahwa keduanya masih mengingat, tapi
tak lagi berharap.
Di sesi rehat
sore, mereka duduk di bangku taman belakang aula. Untuk pertama kalinya, mereka
berbicara tanpa ada yang mengganjal.
“Apa kabar
perpustakaan kelilingmu?”
Yculyana memulai, suaranya pelan seperti angin sore.
“Hidup. Dan
bertambah satu motor lagi dari donatur,” jawab Iaoramusaia sambil tersenyum.
“Kamu sendiri? Sudah siap jadi direktur regional?”
Yculyana
mengangguk. Tapi kemudian diam, menatap langit. Lalu berkata lirih:
“Dulu aku
pikir, jika hidup membaik, semuanya akan terasa lengkap. Tapi ternyata... tidak
semua ruang bisa diisi dengan pencapaian.”
Iaoramusaia
mendengarkan, tidak menyela. Karena ia tahu, kalimat itu bukan butuh jawaban,
melainkan tempat berpulang.
“Dan kamu?”
tanya Yculyana.
“Kamu pernah merasa menyesal?”
Iaoramusaia
menoleh padanya, lalu menjawab dengan nada paling jujur yang pernah ia gunakan:
“Tidak. Karena
jika aku tidak melepasmu, mungkin kamu tidak akan menjadi seperti sekarang. Dan
jika kamu tetap bersamaku, mungkin aku tidak akan menemukan caraku mencintai
dunia.”
Mereka terdiam
cukup lama.
“Jadi... memang
begini akhirnya ya?” bisik Yculyana.
“Kita hanya saling tahu bahwa dulu kita pernah saling mencintai, tanpa bisa
saling memiliki.”
Iaoramusaia
menatap lembut, lalu mengangguk.
“Dan tidak
semua yang berakhir, harus disesali.”
Sebelum
matahari tenggelam, mereka berjalan ke arah gerbang resort. Tak ada pelukan.
Tak ada genggaman tangan. Hanya dua langkah sejajar yang akan berpisah di
persimpangan.
Saat Yculyana
hendak melangkah ke mobilnya, Iaoramusaia memanggilnya sekali lagi.
“Yan,” katanya.
Yculyana
menoleh.
Iaoramusaia
tersenyum, lalu berkata:
“Jika suatu
hari nanti kamu duduk sendirian di ruang kerja, dan teringat tentang kita...
Tersenyumlah. Karena aku pun akan begitu.”
Yculyana tak
menjawab. Tapi senyumnya merekah—bukan karena bahagia, tapi karena akhirnya...
luka itu benar-benar sembuh.
Mereka
berpisah.
Bukan karena kalah.
Tapi karena menang atas diri mereka sendiri.
Takdir tidak
pernah berniat jahat. Ia hanya mengantar, lalu membiarkan kita memilih
bagaimana berjalan.
Dan Yculyana serta Iaoramusaia, akhirnya berjalan di jalan mereka
masing-masing. Penuh makna, tanpa dendam, tanpa tanya yang belum terjawab.
BAB XIII:
Hujan yang Tak Lagi Mencari Payung
Ada cinta yang
hadir seperti hujan pertama—ditunggu, dinikmati, lalu dirindukan. Tapi tak
semua hujan harus disambut dengan payung. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah diam
dan menerima bahwa basah pun bisa menyembuhkan.
Enam bulan
setelah pertemuan itu, Jakarta kembali menjadi panggung bagi langkah-langkah
ambisius Yculyana. Ia kini resmi menjabat sebagai Direktur Regional Keuangan.
Ruang kerjanya besar dan sepi, penuh pencapaian, tapi sunyi seperti aula kosong
setelah pesta.
Di balik meja
kacanya, foto keluarga kecilnya dulu telah diganti dengan lukisan abstrak. Tapi
di salah satu laci yang jarang ia buka, masih ada satu benda kecil: pembatas
buku kayu dengan ukiran nama “Iaoramusaia” yang pernah diberikan di ulang
tahunnya yang ke-26. Ia tidak lagi menangis saat melihatnya, hanya tersenyum
tipis… seperti tersenyum pada musim yang telah berlalu.
Karena beberapa
kenangan, tidak untuk dihapus—hanya untuk disimpan baik-baik.
Hari-hari
Yculyana kini lebih ringan. Ia mulai menulis lagi di jurnalnya, mulai menerima
undangan berbicara dari luar negeri, mulai membuka hati pada pertemanan baru.
Tapi belum untuk cinta yang baru. Bukan karena belum ada yang datang. Tapi
karena ia tidak lagi merasa harus menggantikan siapa pun di hatinya. Rasa itu
sudah cukup dengan diam.
Sementara itu,
di desa kecil tempat Iaoramusaia tinggal, musim hujan datang lebih awal.
Pustaka kelilingnya kini sudah berkolaborasi dengan lima sekolah dan satu
komunitas literasi nasional. Anak-anak menyebutnya “Guru Langit”—karena ia
selalu datang meski cuaca tak bersahabat.
Pada suatu sore
yang gerimis, Rheina datang membawakan teh jahe ke ruang baca yang sederhana.
Iaoramusaia tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Rheina bukan
pengganti Yculyana. Ia adalah bukti bahwa hati bisa sembuh tanpa harus
melupakan. Bahwa cinta bisa tumbuh tanpa harus menyingkirkan bayangan siapa
pun.
Iaoramusaia
akhirnya berani mencintai lagi. Bukan karena ia telah melupakan, tapi karena ia
telah menerima.
Di malam yang
lain, Yculyana berdiri di balkon apartemennya, memandangi hujan yang jatuh
tanpa henti. Tak ada lagu. Tak ada angin. Hanya suara air dan satu pikiran yang
tiba-tiba datang:
“Aku tidak
mencari lagi. Tapi aku tahu, di suatu tempat, seseorang pernah mencintaiku
dengan utuh.”
Dan di waktu
yang hampir sama, di desa yang jauh dari gemerlap kota, Iaoramusaia sedang
menulis catatan kecil di pojok bukunya:
“Aku tidak
menunggu lagi. Tapi aku tahu, di suatu tempat, ada seseorang yang pernah
menyimpan hatiku dengan sepenuh rasa.”
Mereka hidup.
Masing-masing.
Mereka bahagia. Dengan cara yang berbeda.
Mereka tidak saling memiliki lagi. Tapi tetap saling menjaga, dalam diam.
Karena ada
cinta yang tidak pernah dituntaskan dengan memiliki.
Cinta yang cukup dengan satu keyakinan:
“Kita pernah benar-benar ada, dan itu sudah cukup indah.”
BAB XIV:
Luka yang Menjadi Rumah
Luka, bila
dirawat dengan benar, tak selalu menjadi sesuatu yang harus disembunyikan. Ada
luka yang justru menjadi bagian dari peta hidup, menjadi rumah bagi kenangan,
dan tempat pulang bagi kekuatan yang dulu rapuh.
Hujan sudah
reda. Musim berganti perlahan, meninggalkan kabut tipis di sela-sela pagi.
Yculyana bangun lebih awal dari biasanya, entah mengapa. Di luar jendela
apartemennya, kota Jakarta masih setengah tidur. Tapi ada yang hidup dalam
pikirannya—bukan masa lalu, bukan pula rencana kerja—melainkan satu pertanyaan
sederhana:
"Apakah
luka bisa menjadi tempat kembali, atau ia hanya tempat untuk belajar
meninggalkan?"
Hari itu,
Yculyana menghadiri sesi diskusi pribadi bersama mentor lamanya, Ibu Dr.
Semara. Mereka duduk berhadapan di sebuah taman kecil di belakang universitas
tempat ia dulu belajar.
“Kamu terlihat
lebih tenang sekarang,” kata Ibu Semara sambil menyeruput teh hangat.
“Tapi matamu tetap menyimpan sesuatu.”
Yculyana
tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa dengan ketajaman Ibu Semara.
“Mungkin karena
saya belum sepenuhnya pulih,” jawabnya pelan.
“Atau mungkin... karena saya belum benar-benar menerima bahwa beberapa luka
tidak harus disembuhkan, cukup dirangkul.”
Ibu Semara
mengangguk dalam.
“Luka itu
seperti rumah tua. Mungkin tidak layak ditinggali lagi, tapi tetap menyimpan
wangi masa kecil yang tidak bisa kamu temukan di tempat lain.”
Sementara itu,
di tempat berbeda, Iaoramusaia sedang membantu anak-anak membangun saung baca
dari bambu dan genteng bekas. Rheina berdiri tak jauh dari sana, sesekali
memandangnya dalam diam.
Iaoramusaia
tahu, Rheina mencintainya. Tapi ia juga tahu, ia belum bisa membuka pintu
sepenuhnya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena ia sedang membangun ulang
dirinya dari reruntuhan yang dulu ia biarkan membusuk dalam diam.
Di malam hari,
Iaoramusaia duduk sendiri di teras rumahnya. Ia membuka buku harian lama—buku
yang dulu ia simpan di laci kayu kecil, penuh puisi dan surat tak terkirim
untuk Yculyana.
Tapi kali ini,
ia tidak menangis. Ia membaca, lalu tersenyum. Karena akhirnya ia paham:
“Luka itu bukan
untuk dihindari. Tapi untuk ditinggali sebentar, agar kita tahu bagaimana
rasanya pulih.”
Beberapa minggu
kemudian, sebuah kejutan datang. Panitia proyek sosial nasional mengumumkan
bahwa dua penggerak perubahan dari dunia pendidikan dan keuangan akan
disandingkan dalam program kampanye nasional literasi finansial dan karakter.
Dan tanpa
mereka tahu sebelumnya—kedua nama itu adalah:
Yculyana R. L. dan Iaoramusaia T. D.
Ketika berita
itu sampai pada mereka, masing-masing hanya bisa tertawa kecil dalam hati.
"Lagi-lagi
semesta mempertemukan kita… setelah kita merasa sudah bisa berjalan
sendiri-sendiri."
Apakah luka
mereka sudah menjadi rumah?
Atau justru pertemuan ini akan menguji apakah rumah itu masih layak dihuni
kembali?
Yculyana
berdiri di depan cermin, kali ini dengan mata jernih, bukan ragu.
Ia melihat pantulan dirinya dan berbisik:
“Aku siap...
bukan untuk kembali, tapi untuk berdamai.”
Dan di desa
kecilnya, Iaoramusaia berkata pada dirinya sendiri sebelum tidur:
“Jika takdir
menguji luka ini untuk jadi jembatan, bukan jurang, aku akan berjalan perlahan.
Tanpa berharap, tapi juga tanpa takut.”
BAB XV:
Cinta yang Tak Lagi Butuh Jawaban
Ada cinta yang
tumbuh dalam tanya, bergetar dalam ragu, dan akhirnya gugur karena tak mampu
menemukan jawaban. Tapi ada pula cinta yang justru menemukan bentuknya ketika
pertanyaan tak lagi perlu diucapkan, ketika rasa cukup dibiarkan hidup… tanpa
penjelasan, tanpa janji.
Gedung Balai
Nusantara, siang itu, dipenuhi lalu-lalang para peserta. Program Nasional
“Karakter Keuangan Masa Depan” menjadi sorotan media. Dua narasumber utama—ikon
dari dunia literasi dan dunia keuangan—akan tampil dalam sesi pembuka. Semua
orang menanti mereka. Dan dua nama itu, sekali lagi, tertulis bersebelahan di
baliho raksasa di depan lobi: Yculyana R.L. dan Iaoramusaia T.D.
Untuk pertama
kalinya setelah perpisahan yang benar-benar disepakati, mereka dipertemukan
dalam panggung besar, bukan karena kisah cinta yang pernah ada, tapi karena
nilai yang kini mereka perjuangkan: membangun bangsa lewat pendidikan dan
keteladanan.
Ketika Yculyana
tiba, langkahnya tenang. Ia memakai blus putih sederhana dan celana hitam
formal, rambut diikat rapi. Di tangannya, ia menggenggam pointer presentasi,
bukan kenangan.
Dari jauh,
Iaoramusaia sudah berdiri di samping mimbar. Kemeja batik biru dongker dan
senyum kecil menyambut kedatangannya. Tatapan mereka bertemu. Tak ada gentar.
Tak ada luka yang menyala. Hanya kedewasaan yang diam-diam tumbuh menjadi
jembatan.
“Selamat
datang, Yculyana,” katanya pelan.
“Senang akhirnya kita satu forum lagi.”
“Aku juga
senang, Ion,” jawab Yculyana. “Kita masih berdiri. Dan tidak lagi saling
menyalahkan.”
Sesi dibuka.
Dan seperti takdir yang telah mereka pahami, mereka bicara dengan suara jernih,
gagasan yang menyatu, dan energi yang tak saling mendominasi. Di hadapan
ratusan peserta, mereka adalah dua insan yang berdiri berdampingan—tanpa beban
cinta, tapi dengan kehormatan dan rasa yang belum hilang.
Setelah acara
selesai, di belakang panggung, mereka duduk sebentar sambil menyeruput kopi.
“Lucu ya,” kata
Iaoramusaia.
“Dulu kita sering membayangkan dunia yang bisa kita bangun bersama. Tapi
ternyata semesta punya jalan yang berbeda.”
Yculyana
menatap cangkir di tangannya.
“Mungkin karena
kalau kita terus bersama, kita tak akan jadi versi terbaik dari diri kita
seperti sekarang.”
“Kita mungkin akan saling menyeret, bukan menguatkan.”
Mereka diam.
Tapi tidak kikuk.
Hening itu bukan karena luka, melainkan karena paham: beberapa cinta tidak
dirancang untuk terus digenggam, tapi untuk terus dikenang.
“Ion,” kata
Yculyana, perlahan.
“Aku pernah mencintaimu dengan seluruh hidupku.”
“Aku tahu,”
jawab Iaoramusaia, senyum tak sepenuhnya hilang.
“Dan aku pun begitu, Yan. Tapi kita tidak harus menjawab kenapa tidak jadi
bersama, bukan?”
Yculyana
mengangguk.
“Cinta yang
tumbuh dewasa… tidak butuh jawaban. Ia cukup menjadi cahaya, meski tak lagi
menyinari.”
“Dan kamu tetap
menjadi cahaya itu,” tambah Iaoramusaia. “Yang menuntunku... meski tak lagi
menyertaiku.”
Sore itu,
mereka berpisah lagi. Kali ini, tanpa janji apa-apa. Tanpa luka. Tanpa harapan
yang harus disembunyikan. Mereka hanya saling berjalan menjauh, dengan tenang.
Tapi di dalam
hati masing-masing, ada satu hal yang tak akan pernah berubah:
Mereka pernah menjadi rumah.
Mereka pernah saling mencintai dengan sepenuh-penuhnya.
Dan mereka tidak perlu penutup yang sempurna.
Karena cinta sejati… adalah ketika dua jiwa mampu melepaskan tanpa saling
kehilangan arah.
BAB XVI:
Ketika Takdir Tak Lagi Menyatukan, Tapi Membentuk
Tak semua
perjalanan harus bersatu di ujung. Kadang, takdir hanya mempertemukan dua jiwa
untuk saling membentuk, bukan untuk tinggal selamanya. Cinta pun kadang hadir
bukan untuk memiliki, melainkan untuk membekas… selamanya.
Hujan turun
perlahan di Jakarta, mengalir di sela jendela kantor lantai dua puluh empat
tempat Yculyana bekerja. Tapi tidak seperti dulu, hujan kali ini tak lagi
menguras kenangan, tak lagi memanggil masa lalu untuk hadir tanpa izin. Ia
hanya hujan—seperti cinta yang telah diletakkan dengan rapi di rak hati,
disimpan, bukan dilupakan.
Hari itu,
Yculyana menandatangani kontrak kerja sama besar untuk program literasi
keuangan di wilayah timur Indonesia. Namanya disebut di media, dipuji banyak
tokoh, dan dijadikan contoh dalam berbagai seminar. Tapi bukan itu yang membuat
matanya berbinar.
Yang membuatnya bersinar… adalah ketika ia menerima surat elektronik dari salah
satu sekolah mitra di Nusa Tenggara:
“Anak-anak
kami belajar menabung bukan hanya dengan angka, tapi juga dengan nilai-nilai
hidup. Terima kasih karena sudah membawa ‘hati’ dalam setiap hitungan.”
Yculyana
membaca ulang kalimat itu sambil tersenyum. Bukan karena ia merasa hebat. Tapi
karena ia tahu: inilah bentuk cinta barunya. Cinta yang tidak menyakiti, tidak
menuntut, tapi memberi dampak.
Sementara itu,
di tanah yang jauh dari ibukota, Iaoramusaia menuntaskan pembangunan ruang baca
permanen pertama di desa tempat ia mengabdi. Kini, bukan hanya anak-anak yang
datang—ibu-ibu dan para pemuda mulai ikut belajar keterampilan literasi
digital, menulis cerita rakyat, dan membuat konten edukatif.
Ia berdiri di
depan papan tulis kecil, menuliskan kalimat:
“Cinta itu
tidak selalu soal siapa yang bersama. Tapi tentang siapa yang membuatmu menjadi
versi terbaik dari dirimu.”
Seorang siswa
kecil bertanya, “Pak, itu kalimat dari buku apa?”
Iaoramusaia
tersenyum.
“Itu dari
hidup.”
Beberapa bulan
setelah forum nasional itu, jalan hidup mereka kembali mengambil arah
masing-masing. Tak ada lagi pertemuan fisik, hanya beberapa kali saling
mengirim tautan artikel atau menyelipkan komentar di unggahan media sosial.
Namun yang
aneh, tidak ada rasa kehilangan. Tidak ada ruang kosong yang menyiksa.
Karena keduanya
sadar:
Mereka tak ditakdirkan untuk bersatu selamanya, tapi telah diberi kehormatan
untuk saling membentuk. Dan bentuk itu kini sudah menjadi bagian dari diri
mereka masing-masing—permanen.
Di malam yang
tenang, Yculyana menuliskan sebuah kalimat dalam buku hariannya:
“Ion, jika
kita pernah mencintai dengan benar, kita tak perlu menyesali akhirnya. Karena
apa yang kita beri… telah menjadikan kita siapa hari ini. Dan itu cukup.”
Dan di tempat
lain, di bawah cahaya lampu minyak dan rak buku kayu, Iaoramusaia menulis di
halaman terakhir jurnal pribadinya:
“Yan, aku
tidak lagi menunggu. Tapi aku akan selalu tahu, bahwa kamu pernah mengajari
aku… bagaimana mencintai dengan sepenuh hati, tanpa pamrih.”
Hujan mungkin
telah reda. Tapi tanah yang pernah dibasahi, tetap menyimpan bekas.
Begitu pula cinta mereka—tak lagi tumbuh, tapi tetap membentuk akar di dalam
hati.
Takdir tak menyatukan mereka…
Tapi telah menjadikan mereka lebih utuh.
BAB XVII:
Yang Bertahan, Meski Tak Bersama
Cinta tak
selalu berarti memiliki. Tapi jika ia tumbuh dengan benar, ia akan tetap
tinggal—meski tak lagi berbentuk genggaman, pelukan, atau pertemuan. Ia menjadi
ruh, menjadi etika dalam mencinta, dan menjadi saksi bahwa hati pernah bekerja
sepenuh-penuhnya.
Tiga bulan
setelah proyek nasional itu, kehidupan Yculyana dan Iaoramusaia telah kembali
pada orbit masing-masing. Tapi kali ini, bukan dengan luka atau kepedihan
seperti dulu. Justru dengan kesadaran dan penerimaan yang nyaris menenangkan.
Yculyana
mengisi akhir pekan dengan menjadi pembicara di komunitas perempuan muda urban.
Tema kali ini: Membangun Hidup yang Merdeka Tanpa Harus Meninggalkan Cinta.
Setelah sesi
tanya jawab, seorang peserta bertanya dengan nada ragu, “Kak, pernah nggak…
kakak mencintai seseorang, tapi justru harus pergi tanpa dendam?”
Yculyana
tersenyum, lalu menjawab tenang, “Bukan pernah. Aku justru belajar bertumbuh
dari situ. Kadang, mencintai seseorang berarti… memberi mereka ruang untuk
bahagia, meski bukan dengan kita.”
Ruangan hening
sejenak. Tapi mata peserta muda itu berkaca-kaca—seperti baru diberi izin untuk
ikhlas.
Di tempat lain,
tepatnya di sebuah SMA kecil di bawah lereng pegunungan, Iaoramusaia duduk di
pinggir lapangan melihat anak-anak bermain bola. Di sampingnya duduk seorang
guru muda bernama Sekar, sosok yang belakangan sering mengajaknya berdiskusi,
bahkan tak jarang memberinya bekal saat Iaoramusaia terlalu sibuk untuk masak.
“Pak,” tanya
Sekar suatu sore, “kenapa Bapak tidak pernah cerita tentang siapa yang Bapak
cintai dulu?”
Iaoramusaia
menatap awan, lalu berkata pelan,
“Karena cinta
itu tidak harus diceritakan untuk dikenang. Beberapa hal lebih layak dihormati
dalam diam.”
Sekar
mengangguk, tak bertanya lagi. Ia tahu, ia bukan bayangan dari masa lalu. Tapi
ia juga belum bisa menjadi masa depan—dan ia menghargai ruang itu.
Malam itu,
tanpa sebab, Yculyana membuka kembali folder digital bertajuk “Memoar Yang Tak
Pernah Dikirim”. Di dalamnya ada puluhan catatan dan puisi pendek untuk Ion,
sebagian telah menguning secara virtual karena bertahun-tahun tak dibuka.
Ia membaca satu
puisi:
Aku tidak
akan menunggumu, tapi jika suatu saat langkahmu terdiam,
kau akan tahu—aku pernah menjadi rumah yang tak pernah kau ketuk kembali.
Tak ada air
mata. Tak ada getaran. Tapi ada senyum yang tumbuh.
Bukan karena luka itu sembuh, tapi karena ia telah menemukan tempatnya: tidak
sebagai penjara, tapi sebagai pijakan.
Dan di waktu
yang hampir bersamaan, di desa sunyi tempat Iaoramusaia tinggal, ia menutup
jurnal lamanya dan mengganti buku baru dengan sampul hitam polos. Di halaman
pertama, ia tulis satu kalimat:
“Kini aku
tahu: mencintaimu bukan kesalahan. Tapi bertahan pada kenangan, itulah yang
seharusnya kulepaskan lebih cepat.”
Ia menatap ke
langit, membiarkan malam menjawab sendiri.
Hidup membawa
mereka ke jalan berbeda. Cinta pernah hadir, menetap, lalu pergi. Tapi rasa
yang tumbuh dari kejujuran, keikhlasan, dan pengorbanan… tak akan pernah mati.
Ia tidak perlu
dikabarkan. Ia tidak harus dilanjutkan. Tapi ia tetap hidup, dalam cara yang
paling sunyi dan paling murni.
Mereka
bertahan.
Meski tak bersama.
Dan itu… cukup.
BAB XVIII:
Di Ujung yang Tidak Kita Duga
Kita mengira
sudah paham arah hidup, lalu datang satu peristiwa yang membelokkan segalanya.
Kita mengira hati telah tenang, lalu bertemu kembali pada ujung yang tak pernah
kita persiapkan.
Seperti biasa,
Yculyana tak pernah melewatkan rutinitas Senin paginya: duduk di kafe kecil
dekat Stasiun Sudirman sambil mengecek e-mail sebelum masuk kantor. Tapi pagi
itu berbeda. Salah satu e-mail yang masuk berasal dari lembaga pendidikan di
Flores Timur yang akan bekerja sama dalam program pelatihan guru literasi
numerasi.
Yang membuat
jantungnya terhenti sesaat adalah nama penanggung jawab di sana: Iaoramusaia
T. D.
Butuh beberapa
menit sebelum ia bisa menelan kopinya lagi.
“Kenapa harus
dia lagi…?”
“Setelah semua ini?”
Ia nyaris
menutup laptop, tapi jari-jarinya justru membuka berkas lampiran proposal. Dan
di sana, pada kolom rekomendasi strategi edukasi, tertulis:
“Pendidikan
bukan hanya soal angka dan huruf, tapi tentang membentuk manusia yang tahu
bagaimana mencintai tanpa harus memiliki.”
Yculyana
menutup layar. Bukan karena tak sanggup membacanya, tapi karena terlalu paham:
kalimat itu ditulis bukan untuk lembaga. Itu untuknya.
Sementara itu,
di Flores Timur yang tenang dan sederhana, Iaoramusaia sedang menyiapkan
proposal kerja sama dengan Jakarta. Ia tahu, jika program ini disetujui, maka
orang pertama yang akan turun langsung adalah Yculyana. Ia tahu risikonya. Tapi
ia memilih untuk tidak menghindar.
“Aku tidak
sedang mencarinya,” katanya kepada rekannya, “aku hanya sedang menjalani tugas.
Jika semesta mempertemukan kami lagi… aku akan menerimanya sebagai pelajaran
baru, bukan luka lama.”
Dan begitulah
semesta bekerja.
Dua bulan
kemudian, mereka bertemu.
Di sebuah
pelabuhan kecil, Yculyana turun dari kapal cepat. Tanah kering Flores
menyambutnya dengan angin asin dan aroma garam yang menyentuh kenangan.
Iaoramusaia sudah berdiri di sana. Tak ada kata yang lebih dulu terucap. Hanya
tatapan. Hanya senyum kecil. Hanya dua manusia yang menyadari bahwa waktu bisa
melonggarkan jarak, tapi tidak selalu menghapus makna.
“Selamat
datang, Yan,” ucapnya.
“Terima kasih,
Ion. Sudah menyiapkan semuanya.”
Mereka berjabat
tangan, formal, tenang, tapi keduanya tahu: tangan itu pernah saling
menggenggam dengan cara paling hangat yang pernah mereka kenal.
Malam harinya,
setelah agenda kegiatan selesai, mereka duduk di bawah pohon flamboyan tua
dekat penginapan. Suara jangkrik dan semilir angin menjadi latar.
“Lucu ya,”
Yculyana membuka percakapan, “kita dipertemukan lagi, tapi bukan untuk
melanjutkan, melainkan untuk menguji apakah kita benar-benar sudah selesai.”
Iaoramusaia
mengangguk.
“Dan ternyata…
kita memang belum selesai. Tapi bukan berarti harus bersama.”
Hening. Tapi
bukan hening yang menyakitkan.
Justru hening yang dewasa. Yang membuktikan bahwa dua hati bisa saling
menerima, tanpa harus saling memiliki.
“Kalau waktu
bisa diulang, kamu ingin kita tetap jadi kita?” tanya Yculyana lirih.
Iaoramusaia
menatap langit.
“Aku ingin…
kita tetap jadi kita. Tapi versi yang tahu kapan harus berhenti. Bukan karena
tak cinta, tapi karena cinta itu sendiri terlalu besar untuk terus dipaksakan.”
Pertemuan itu
menjadi akhir… dan awal sekaligus.
Akhir dari segala pertanyaan. Awal dari pemahaman yang utuh.
Bahwa cinta sejati tak selalu menjelma dalam pelukan. Ia bisa hidup dalam doa.
Dalam diam. Dalam kerja sama yang saling menghargai, tanpa mengungkit masa
lalu.
Dan ketika
mereka berpisah di pelabuhan dua hari kemudian, tak ada air mata. Tak ada
janji. Hanya satu kalimat yang Yculyana bisikkan sebelum naik kapal:
“Terima kasih,
Ion. Karena kita pernah saling membentuk.”
Dan Iaoramusaia
menjawab, “Terima kasih juga, Yan. Karena kita pernah jadi rumah, meski hanya
sementara.”
Kapal perlahan
menjauh. Dan dua hati kembali ke daratan masing-masing.
Tapi kali ini,
tanpa sesak. Tanpa luka. Hanya dengan tenang.
Karena mereka akhirnya tahu:
Cinta yang
dewasa tak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk.
Menjadi kekuatan. Menjadi kenangan. Menjadi fondasi.
BAB XIX:
Saat Dunia Membuka Peluang Baru
Hidup selalu
menyiapkan tikungan yang tak terduga. Ketika kita mengira cerita telah selesai,
dunia justru menggeser halaman dan membuka bab baru. Di sanalah pilihan
muncul—antara membuka hati untuk yang baru, atau tetap menoleh pada yang lama.
Tiga bulan
setelah pertemuan di Flores Timur, Yculyana mulai merasakan ritme hidup yang
berbeda. Ia lebih ringan melangkah, lebih jernih berpikir, seolah beban yang
dulu berdiam di punggungnya telah luruh bersama angin laut di pelabuhan kecil
itu.
Satu sore,
setelah rapat panjang di kantor, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari
nomor tak dikenal:
“Selamat sore,
Bu Yculyana. Saya Arvino, Direktur Utama PT MetroSains. Kita sempat bertemu di
seminar energi terbarukan dua minggu lalu. Saya sangat tertarik dengan
pemikiran Ibu tentang pemberdayaan komunitas melalui data. Apakah Ibu berkenan
bertemu untuk diskusi lanjutan?”
Yculyana
membaca pesan itu dengan alis sedikit terangkat. Ia masih mengingat pria
itu—karismatik, muda, dan terlalu tajam untuk ukuran seseorang yang hanya
berkomentar ringan tentang makalahnya saat sesi panel.
Ia berpikir
sejenak, lalu membalas:
“Tentu. Saya
punya waktu hari Sabtu. Di tempat yang netral saja. Saya bukan tipe yang nyaman
membicarakan ide besar di ruang yang penuh tekanan.”
Dan Arvino
menjawab cepat:
“Saya tahu kafe buku kecil di Kemang. Banyak ruang sunyi di antara rak-raknya.
Saya tunggu jam tiga?”
Yculyana
tersenyum. Dunia, pikirnya, memang sedang mencoba membuka jendela.
Sementara itu,
di Flores Timur, kehidupan Iaoramusaia juga berubah pelan-pelan.
Sekar, guru
muda yang selama ini dengan sabar menjadi teman diskusi dan perawat luka
diam-diam, mulai mendekat dengan cara yang halus—bukan untuk menggantikan siapa
pun, tapi untuk berdiri di sisinya sebagai seseorang yang tidak menuntut untuk
dimenangkan.
Sore itu,
mereka duduk berdua di tepi pantai, mengamati anak-anak bermain bola dengan
kaki telanjang.
“Pak,” kata
Sekar sambil menunduk, “boleh saya tanya sesuatu?”
Iaoramusaia
mengangguk.
“Kalau suatu
saat… saya menjadi seseorang yang cukup berarti, apakah Bapak akan mengizinkan
saya mencintai tanpa merasa bersaing dengan masa lalu?”
Iaoramusaia
diam cukup lama. Lalu menjawab pelan:
“Aku tidak
ingin ada yang bersaing. Karena yang lama… sudah selesai. Tapi bukan berarti
hilang. Dan kalau kamu sanggup mencintai bagian itu juga, maka mungkin aku bisa
memberi ruang.”
Sekar
menatapnya. Tidak dengan sorot menuntut. Tapi dengan mata yang siap menunggu.
Ia tahu, mencintai seseorang seperti Iaoramusaia berarti mencintai segala
riwayat yang pernah tinggal di dadanya.
Di Jakarta,
pertemuan Yculyana dan Arvino ternyata tak hanya membuka diskusi tentang kerja
sama, tapi juga membuka celah kecil untuk mengenal hati yang lain.
Arvino bukan
seseorang yang mudah ditebak. Tapi di balik ambisinya yang besar, ia punya
kelembutan yang mengejutkan. Dan yang membuat Yculyana tertarik, ia tidak
pernah berusaha menembus masa lalunya.
“Setiap orang
punya ruangan yang tak bisa dimasuki siapa pun,” katanya di akhir pertemuan.
“Tapi selama kamu masih mau membuka pintu untuk hari ini, aku akan duduk di
luar tanpa mengetuk.”
Dan untuk
pertama kalinya, setelah sekian tahun, Yculyana mengizinkan seseorang menunggu.
Tanpa janji. Tanpa harapan palsu. Tapi juga tanpa penolakan.
Keduanya kini
berdiri di ambang pintu dunia baru. Bukan karena mereka telah melupakan. Tapi
karena mereka telah cukup dewasa untuk melanjutkan hidup—tanpa harus membakar
masa lalu.
Ion dan Yan,
seperti dua bintang yang dulu hampir bersatu, kini menjauh di langit
masing-masing. Tapi mereka masih bersinar. Karena cinta, meski tak lagi menjadi
jalan utama, tetap menyisakan terang di balik perjalanan yang baru.
Mungkin mereka
tidak ditakdirkan untuk kembali.
Tapi dunia, dengan segala kelapangannya, tidak menutup kemungkinan.
Karena terkadang…
Yang kita kira akhir, hanyalah jeda sebelum lingkaran baru dimulai.
BAB XX: Jika
Takdir Menengok Kembali
Waktu berjalan
maju, tapi hati manusia tak selalu seiring. Ada yang tinggal di masa lalu meski
tubuhnya melangkah ke depan. Dan kadang, dalam sunyi yang tak direncanakan,
takdir menoleh ke belakang—bukan untuk mengulang, tapi untuk menguji: benarkah
kita sudah benar-benar merelakan?
Di bulan
keempat sejak program kerja sama Flores-Jakarta dimulai, Yculyana kembali
mendapat tugas ke lapangan. Tapi kali ini, bukan ke Flores, melainkan ke
Kupang—kota pelabuhan yang hanya berjarak setengah hari perjalanan dari tempat
Iaoramusaia tinggal.
Ia awalnya tak
merasa terganggu. Tapi satu malam, saat menyusun materi presentasi, ia tanpa
sengaja membuka album lama di Google Photos. Foto-foto itu muncul seperti hantu
yang lembut: potret senyum mereka saat mengajar anak-anak pesisir, saat tertawa
di bawah hujan kecil di Ruteng, dan satu foto yang selalu membuatnya terdiam
paling lama—saat Iaoramusaia memandangnya dari balik jendela bus, sesaat
sebelum mereka berpisah lima tahun lalu.
Rindu itu,
rupanya, tak pernah benar-benar padam. Ia hanya tahu cara bersembunyi dengan
elegan.
Di Flores
Timur, kabar itu cepat menyebar. Iaoramusaia mendengar dari koleganya bahwa
Yculyana akan berada di Kupang selama lima hari. Ia tidak langsung mengambil
keputusan. Tapi malam harinya, ia duduk lama di tepi dermaga, memandangi
bintang-bintang yang dulu sering mereka pandangi bersama.
Sekar
menghampirinya.
“Besok kamu ke
Kupang?” tanyanya pelan.
Iaoramusaia tak
menjawab. Hanya mengangguk.
Sekar tidak
menunjukkan raut kecewa. Hanya menatap laut.
“Aku tahu,
bagian itu masih ada. Aku tidak meminta kamu mematikan apinya. Tapi tolong,
jangan membakarku dalam perjalanannya.”
Iaoramusaia
menoleh. Untuk pertama kalinya, ia menggenggam tangan Sekar.
“Aku hanya
ingin menutup lingkarannya. Bukan membukanya lagi.”
Dan Sekar,
dengan senyum yang sedikit pahit, menjawab, “Terkadang menutup itu malah
membuka.”
Mereka bertemu
lagi—Yculyana dan Iaoramusaia—di sebuah toko buku kecil di Kupang, tempat
mereka pernah duduk membaca puisi Sapardi dalam senyap yang penuh makna.
Yculyana
melihatnya dari jauh lebih dulu. Iaoramusaia tampak lebih matang, lebih tenang.
Tapi matanya masih sama. Mata yang dulu bisa meruntuhkan bentengnya hanya
dengan satu tatapan.
Ia menghampiri
perlahan.
“Takdir lucu,
ya?” katanya lirih.
“Takdir memang
suka bercanda,” jawab Iaoramusaia. “Tapi seringkali, di balik candanya, ia
menyisipkan pelajaran.”
Mereka duduk di
bangku yang sama seperti dulu. Diam mengisi sela waktu. Tak ada pelukan. Tak
ada air mata. Hanya dua jiwa yang saling mengenal terlalu dalam untuk
basa-basi.
“Aku pikir aku
sudah selesai,” kata Yculyana akhirnya.
“Tapi bertemu kamu lagi… seperti membuka lembaran yang tak pernah bisa
benar-benar ditutup.”
Iaoramusaia
tersenyum kecil.
“Mungkin bukan
untuk ditutup. Tapi untuk dibingkai. Kita simpan, kita kenang, tapi tidak perlu
dibuka lagi.”
Yculyana
menatapnya dalam.
“Kalau suatu
saat takdir memanggil kita lagi, kamu akan datang?”
Iaoramusaia
menggeleng pelan.
“Kalau takdir
memanggilmu, aku harap kamu sudah bahagia—tanpa harus menoleh ke belakang.”
Mereka berpisah
malam itu dengan pelukan singkat. Hangat, tapi tidak menggantung. Dan saat
Yculyana berjalan ke arah hotel, ia menangis pelan. Bukan karena sedih, tapi
karena akhirnya ia bisa berkata dalam hati: “Aku mencintaimu, tapi aku tak
lagi ingin memilikimu.”
Di balik semua
pertemuan yang tak diharapkan, ternyata Tuhan sedang mengajarkan arti cinta
paling dewasa: melepaskan tanpa kehilangan rasa, mengikhlaskan tanpa melupakan
makna.
Dan di pagi
yang sunyi, Iaoramusaia kembali ke Flores. Di pelabuhan, Sekar sudah menunggu.
Ia mendekat, lalu berkata:
“Aku sudah
menutupnya. Tapi tidak menghapusnya.”
Sekar
tersenyum, lebih lega daripada sebelumnya.
“Aku tak
meminta hatimu bersih. Aku hanya ingin jadi rumah yang baru. Yang kamu bangun,
bukan kamu tinggali sementara.”
Dan akhirnya,
untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Iaoramusaia merasa: hatinya siap.
BAB XXI:
Cinta yang Tumbuh dari Ruang Baru
Ada cinta yang
datang seperti badai—menghempas, mengguncang, dan meninggalkan luka. Tapi ada
pula cinta yang tumbuh seperti embun—pelan, nyaris tak terasa, tapi menyegarkan
jiwa yang lelah. Dan dari embun-embun itulah, Yculyana dan Iaoramusaia mulai
menanam harapan baru di ladang kehidupan yang berbeda.
Jakarta mulai
terasa lebih ramah bagi Yculyana. Ia tak lagi terlalu sibuk menghindari
kenangan, karena kini ia punya ruang baru untuk merawat hari-hari. Arvino,
dengan segala caranya yang tenang dan menghormati batas, menjadi kehadiran yang
menyejukkan.
“Setiap kamu
tersenyum setelah selesai bekerja,” ujar Arvino suatu malam, “aku merasa dunia
ini sedang disusun ulang menjadi lebih indah.”
Yculyana
tertawa kecil. Ia belum berani menyebut itu cinta. Tapi ia tahu: ada hal-hal
yang tak perlu diberi nama untuk bisa tumbuh.
Arvino tak
pernah memintanya untuk melupakan masa lalu. Ia hanya berkata, “Bila kau masih
menyimpan cerita lama dalam laci hatimu, aku bersedia menjadi tangan yang tak
memaksamu membuka, tapi akan menunggumu saat kamu siap.”
Dan di
ruang-ruang sunyi itu, Yculyana mulai berani menyulam harapan baru.
Di Flores
Timur, rumah kecil milik Iaoramusaia dan Sekar mulai dihiasi suara tawa. Mereka
belum menikah, tapi hidup sudah mereka jalani bersama dengan ketulusan yang tak
terburu-buru. Sekar paham: cinta bukan soal siapa datang lebih dulu, tapi siapa
yang bersedia tinggal saat luka masih menggantung.
Iaoramusaia
banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang diam memandangi laut dalam senyap. Ia
mulai menanam cabai di pekarangan, membuat rak buku dari kayu bekas, dan
membacakan cerita pada anak-anak kampung setiap Jumat sore.
Sekar
mengabadikan momen-momen itu dengan kamera tuanya. Dan dalam diamnya, ia tahu:
ia sedang mencintai lelaki yang belum sepenuhnya selesai. Tapi ia memilih tetap
tinggal—karena tidak semua cinta butuh akhir yang rapi; beberapa hanya butuh
kesabaran yang dalam.
Suatu malam,
angin menerpa daun-daun lontar di pekarangan rumah mereka. Iaoramusaia dan
Sekar duduk bersisian, tanpa bicara. Di pangkuannya, terdapat sepucuk surat
yang baru saja dikirim dari Jakarta.
Surat itu dari
Yculyana.
“Ion,
Terima kasih
sudah menjadi babak paling jujur dalam hidupku.
Aku tak lagi
menangis saat menuliskan namamu. Mungkin karena hatiku tahu, kamu telah menjadi
bagian dari diriku yang tak akan tergantikan.
Tapi hari ini
aku ingin mengabari, bahwa aku sudah mulai mencintai lagi. Bukan karena ingin
menggantikan, tapi karena aku tahu kamu tak pernah menghalangi langkahku.
Semoga kamu pun
menemukan seseorang yang mau tinggal, bukan hanya datang.
Salam dari
kejauhan.
Yan.”
Iaoramusaia
melipat surat itu pelan, lalu menatap Sekar.
“Kamu tahu?”
katanya.
“Hari ini, aku merasa damai. Seperti jalanan yang akhirnya tahu ke mana harus
pulang.”
Sekar tak
berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangannya, erat, hangat, dan diam-diam
menangis kecil.
Cinta lama
telah mereka letakkan di rak kenangan. Dan cinta baru, meski belum sebesar yang
dulu, tumbuh dengan akar yang lebih tenang. Bukan karena mereka melupakan, tapi
karena mereka belajar menerima bahwa beberapa cinta hanya hadir untuk
mengajarkan: bahwa hati manusia selalu punya ruang untuk tumbuh kembali.
BAB XXII:
Ketika Hujan Datang Lagi
Dalam hidup,
hujan tak selalu berarti badai. Terkadang, ia hadir hanya untuk menguji: apakah
akar sudah cukup dalam, apakah atap sudah cukup kuat, dan apakah hati siap
menghadapi genangan masa lalu yang mungkin kembali terbuka.
Jakarta sore
itu mendung, dan angin membawa aroma tanah yang basah. Yculyana baru saja
selesai rapat dengan tim proyek. Tubuhnya lelah, tapi ada satu hal yang
membuatnya bersemangat pulang—Arvino sedang memasak makan malam spesial di
apartemen mereka.
Ia membuka
pintu, disambut aroma tumisan dan suara musik klasik lembut. Arvino menoleh
sambil tersenyum, mengenakan celemek bertuliskan Chef by Accident, Lover by
Heart.
“Aku tahu kamu
pasti lapar,” katanya sambil menyodorkan segelas teh hangat.
“Kamu memang bukan lelaki dari masa laluku,” kata Yculyana pelan, “tapi kamu
lelaki yang selalu membuatku ingin pulang.”
Arvino
mendekapnya dalam diam. Tidak banyak kata. Tapi kehadirannya selalu menjadi
pelipur dari hari-hari berat.
Namun malam
itu, telepon berdering. Nomor asing. Yculyana mengangkat tanpa berpikir banyak.
Suara di ujung
sana membuat jantungnya tercekat.
“Bu Yculyana?
Saya Sekar. Saya istri—teman lama Ibu… Ion.
Maaf, saya
menghubungi karena… dia kecelakaan. Mobilnya tergelincir saat perjalanan dari
Ende. Sekarang dirawat di rumah sakit.”
Seketika itu
juga, dunia Yculyana seperti berhenti berdetak.
Kupang kembali
menyambutnya dalam diam. Perjalanan mendadak itu terasa seperti perjalanan jiwa
kembali ke tempat yang pernah menyimpan luka sekaligus cinta terdalamnya.
Arvino tidak melarang. Ia justru menggenggam tangan Yculyana sebelum
keberangkatan.
“Jika kamu
harus menutup pintu masa lalu dengan menyaksikannya sendiri, aku akan
menunggumu di pintu masa depan. Aku percaya padamu.”
Kata-kata itu
menjadi jangkar bagi hati Yculyana yang mulai terombang-ambing.
Di rumah sakit,
ia melihat Sekar duduk di depan ICU, lelah dan pucat. Tapi ketika mata mereka
bertemu, tak ada permusuhan. Yang ada hanyalah pengertian.
“Dia… belum
sadarkan diri,” kata Sekar pelan. “Tapi tadi dia sempat menyebut namamu.”
Yculyana
menelan air matanya. Ia mendekat ke ruangan itu, memandang sosok lelaki yang
pernah ia cintai dengan seluruh jiwanya—dan mungkin, sebagian dari cinta itu
masih ada, meski kini tak lagi memiliki bentuk.
Malam itu,
hujan turun deras. Di lorong rumah sakit, Yculyana dan Sekar duduk
berdampingan.
“Kamu pasti
benci aku,” ujar Yculyana.
Sekar
menggeleng. “Tidak. Aku hanya manusia. Dan manusia… bisa mencintai sambil tetap
menerima bahwa ada bagian dari orang yang kita sayangi yang tidak bisa kita
miliki seutuhnya.”
Hening sesaat.
Lalu Sekar berkata, “Terima kasih… karena kamu datang. Mungkin kamu yang
dibutuhkan hatinya untuk benar-benar sembuh.”
Keesokan
harinya, Iaoramusaia sadar. Matanya redup, tapi senyumnya tetap hangat. Dan
ketika ia melihat Yculyana duduk di tepi ranjangnya, ia hanya berkata:
“Kamu datang…
seperti hujan yang lama dinanti. Tapi aku tak lagi ingin berenang di kenangan.
Aku hanya ingin tahu… bahwa kamu baik-baik saja.”
Yculyana
menunduk, air matanya jatuh.
“Aku baik. Dan
kamu juga harus begitu. Dunia kita sudah berbeda, Ion. Tapi rasanya… bagian
dariku akan selalu mencintaimu.”
Iaoramusaia
tersenyum tipis.
“Dan itu cukup. Cinta tak perlu memiliki ruang. Ia hanya butuh dikenang dengan
lapang.”
Yculyana
kembali ke Jakarta dua hari kemudian. Di bandara, Arvino sudah menunggu dengan
peluk yang tak bertanya-tanya.
“Sudah kau
tutup pintu itu?” tanyanya lembut.
Yculyana
mengangguk sambil tersenyum. “Sudah. Dan kini aku ingin membuka jendela baru
bersamamu.”
Dan hujan pun
berhenti. Langit biru menyapa mereka dengan kelegaan yang baru. Mungkin, cinta
sejati bukan tentang siapa yang pertama datang. Tapi siapa yang tetap bertahan…
saat semua badai telah reda.
BAB XXIII:
Yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi
Beberapa
kenangan tak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal diam, menempel seperti embun
pagi di kaca jendela—tak terlihat jelas, tapi terasa jika disentuh. Seperti
itulah kenangan tentang Iaoramusaia dalam hidup Yculyana—bukan sebagai
bayang-bayang, melainkan sebagai guratan kecil yang membentuk wajah
kehidupannya hari ini.
Pagi di Jakarta
dimulai dengan aroma kopi dan lembar-lembar kerja di atas meja makan. Yculyana
duduk berdampingan dengan Arvino, sama-sama tenggelam dalam aktivitas
masing-masing. Namun ada keheningan manis di antara mereka, seolah keintiman
itu tak perlu dirayakan dengan kata-kata, cukup dengan kebersamaan yang tak
terganggu.
“Vin,” ucap
Yculyana perlahan, “aku ingin menulis sesuatu.”
Arvino menoleh,
mengangkat alis. “Tulisan seperti jurnal, atau tulisan seperti… penutup?”
Yculyana
tersenyum. “Mungkin lebih seperti peringatan kecil… untuk diriku sendiri.
Tentang apa yang sudah kulalui. Tentang orang-orang yang pernah kucintai.
Tentang luka yang pernah membuatku kuat.”
Arvino
mengangguk pelan, lalu berkata, “Kalau kamu menuliskannya, jangan sembunyikan
bagian yang sakit. Karena kadang, yang paling pahit adalah yang paling jujur.”
Malam itu,
Yculyana membuka laptop dan mulai mengetik.
Aku pernah
mencintai seseorang yang tak bisa kumiliki sepenuhnya. Dan dari cinta itu, aku
belajar bahwa melepaskan bukan berarti kalah, tapi memahami bahwa tidak semua
yang kita inginkan akan tinggal dalam bentuk yang sama selamanya.
Aku
mencintai Ion dengan seluruh jiwaku. Tapi aku belajar bahwa cinta sejati juga
bisa datang lagi, dalam bentuk yang berbeda, dengan cara yang lebih tenang dan
dewasa.
Sekarang aku
tahu, yang penting bukan siapa yang pertama hadir dalam hidupku, melainkan
siapa yang tetap tinggal setelah semua badai berlalu.
Beberapa minggu
kemudian, Iaoramusaia menulis surat. Kali ini, bukan untuk dikirim. Hanya untuk
dirinya sendiri.
Yculyana,
Aku sudah
lama ingin menulis ini. Tapi waktu terlalu sibuk menyembuhkan luka yang dulu
kita ciptakan. Kini aku tidak lagi mencari bayangmu dalam setiap perempuan yang
kutemui. Aku tidak lagi menanti pesan darimu di tengah malam.
Namun, aku
akan selalu ingat, kamu adalah perempuan yang mengajarkanku arti kehilangan
yang paling lembut—kehilangan yang tidak meninggalkan kebencian, hanya
pengertian.
Sekar adalah
rumahku sekarang. Dan kamu adalah jalan yang membawaku ke rumah itu. Tanpamu,
mungkin aku tak akan pernah tahu ke mana seharusnya aku pulang.
Surat itu
dilipatnya pelan dan diselipkan di antara halaman buku Laut Bercerita.
Bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang tanpa sakit.
Hidup mereka
berlanjut. Tak ada lagi pertemuan yang dramatis, tak ada pesan tengah malam
yang tak terkirim. Tapi di antara halaman hidup yang terus berganti, satu hal
tetap sama: mereka pernah saling mencintai, sedalam-dalamnya.
Dan cinta itu,
meski tak lagi memiliki bentuk, tak pernah benar-benar pergi.
Ia hanya
berubah menjadi ketenangan—yang membiarkan mereka mencintai orang baru, tanpa
merasa bersalah pada masa lalu.
BAB XXIV:
Jalan Pulang yang Baru
Setiap langkah
dalam hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan selalu mengandung satu hal yang
tak bisa dihindari: kemungkinan kehilangan.
Tiga bulan
setelah kunjungan terakhirnya ke Kupang, Yculyana duduk di ruang kerjanya yang
menghadap ke jantung kota Jakarta. Pemandangan gedung-gedung menjulang tak lagi
membuatnya terpukau seperti dulu. Kini, ia lebih sering melihat ke dalam
dirinya sendiri daripada keluar jendela.
Pagi itu, CEO
perusahaan tempatnya bekerja memanggilnya ke ruang rapat khusus.
“Yculyana,”
suara Bu Indah tegas namun bersahabat, “kami akan membuka kantor cabang di
London. Dan kami ingin kamu menjadi kepala divisi di sana. Ini promosi besar.”
Dunia Yculyana
mendadak terasa hening.
London. Kota
yang dulu hanya ada dalam daftar impian remajanya. Kota yang dulu ingin ia
datangi bersama seseorang yang kini hanya tinggal dalam kenangan.
“Boleh saya
pikirkan dulu?” tanya Yculyana.
“Tentu. Tapi
keputusan akhir harus kamu berikan minggu ini. Ini peluang sekali seumur
hidup.”
Sore itu, ia
duduk di taman kecil dekat apartemennya bersama Arvino. Pria itu, seperti
biasa, mendengarkan lebih banyak daripada berbicara.
“Kamu harus ke
sana kalau kamu merasa itu adalah jalan hidupmu,” ujar Arvino, memandang
daun-daun yang jatuh diterpa angin. “Aku tidak ingin menjadi alasan kamu
melewatkan impianmu lagi.”
“Tapi aku juga
tidak ingin meninggalkan kamu lagi,” kata Yculyana pelan.
Arvino menoleh,
tersenyum lembut.
“Kamu tidak
meninggalkan apa pun, Yan. Kita hanya sedang berjalan di dua jalur yang mungkin
sementara berbeda. Tapi jalan pulang itu bukan tempat. Jalan pulang adalah
perasaan ketika kamu tahu, kamu dicintai, bahkan ketika kamu jauh.”
Air mata
Yculyana jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena hatinya merasa dikuatkan.
Ia tahu, ia
tidak sedang kehilangan. Ia sedang diberi sayap.
Di sisi lain
negeri, Iaoramusaia dan Sekar menghadapi tantangan lain. Sekolah tempat Ion
mengajar kekurangan dana. Murid-murid mulai putus sekolah karena tekanan
ekonomi. Sekar mengusulkan program komunitas baca keliling ke desa-desa, dan
Ion setuju.
“Kalau kita
tidak bisa mengubah dunia, setidaknya kita bisa menyentuh beberapa hati,” kata
Sekar.
Malam itu,
ketika mereka duduk bersama anak-anak yang mendengarkan dongeng, Ion tersenyum.
Dalam keheningan, ia tahu: hidupnya kini bukan tentang kehilangan, tapi tentang
memberi.
Dan dari jauh,
tanpa sadar, Yculyana memikirkan hal yang sama.
Satu minggu
berlalu.
Yculyana
berdiri di Bandara Soekarno-Hatta, tiket ke London di tangannya. Ia menoleh ke
belakang, melihat Arvino yang melambai sambil membawa koper kecilnya.
“Aku akan
menyusul. Atau mungkin, kita akan bertemu di tempat lain, dengan cerita yang
lebih panjang,” ujar Arvino.
Yculyana
memeluknya erat. Tak ada janji, tapi ada keyakinan. Bahwa cinta mereka cukup
dewasa untuk tidak ditentukan oleh jarak, melainkan oleh kepercayaan.
Dan ketika
pesawat lepas landas, ia merasa bukan sedang meninggalkan apa pun—melainkan
sedang menemukan kembali dirinya sendiri.
Tak semua cinta
butuh akhir bahagia. Tapi cinta yang kuat, selalu menemukan cara untuk
bertahan—meski bentuknya berubah. Kadang sebagai kehadiran. Kadang sebagai
kenangan. Kadang sebagai kekuatan diam dalam setiap langkah baru.
Dan begitulah,
Yculyana, Iaoramusaia, dan Arvino… berjalan masing-masing, dalam arah yang
mungkin berbeda.
Tapi hati
mereka tahu, mereka pernah saling menjadi rumah. Dan itu, tak akan pernah bisa
benar-benar hilang.
BAB XXV:
Surat-Surat yang Tak Pernah Sampai
Ada rindu-rindu
yang tak diucapkan, hanya dituliskan. Disimpan rapi dalam laci kenangan, bukan
untuk dibaca orang lain, tapi untuk memberi ruang pada hati—agar tak meledak
karena menanggung diam.
London diguyur
gerimis saat Yculyana membuka lembaran jurnal barunya. Di apartemen kecil yang
masih berbau cat tembok baru, ia duduk di dekat jendela, secangkir teh
chamomile mengepul, dan pena menggoreskan kata-kata yang tak pernah berani ia
ucapkan.
Ia mulai
menulis, bukan sebagai seorang istri yang pernah kehilangan, bukan sebagai
wanita yang telah bangkit, tapi sebagai seseorang yang masih menyimpan
rasa—bukan untuk dikembalikan, hanya untuk dikenang.
Untuk Ion,
Aku tidak tahu
surat ini akan pernah sampai padamu atau tidak. Tapi aku tahu, aku harus
menulisnya. Untukku. Untuk jiwaku yang kadang masih menoleh ke masa lalu, bukan
karena ingin kembali, tapi karena ingin memastikan bahwa aku pernah di sana
sepenuhnya.
Di kota ini,
semua terasa asing. Tapi rasa rinduku padamu—itu yang paling akrab. Anehnya,
bukan rindu akan dirimu sekarang, tapi akan kita yang dulu. Kita yang duduk di
bawah langit Kupang, membicarakan mimpi dan membangun angan tanpa tahu betapa
beratnya dunia dewasa.
Kau tahu, Ion,
kadang aku membayangkan… bagaimana jika kita tak pernah bertemu? Mungkin aku
akan lebih tenang. Tapi juga mungkin, aku tak akan pernah tahu rasanya
mencintai sampai sedalam ini.
Dan kamu… kamu
mungkin tak pernah tahu, bahwa sampai hari ini, aku masih menyebut namamu dalam
diam. Bukan untuk berharap, hanya untuk mengingat.
Surat itu ia
lipat, ia masukkan ke dalam amplop, lalu disimpan di dalam kotak kayu tua yang
ia bawa dari Indonesia. Di sana sudah ada lima surat lainnya—semuanya untuk
Ion, semuanya tak pernah dikirim.
Sementara itu,
di sebuah sore yang sunyi di Kupang, Ion membuka laci tua yang selama ini
jarang ia sentuh. Di dalamnya ada buku harian kecil berwarna
cokelat—halaman-halamannya mulai menguning. Itu buku harian yang ia tulis
tahun-tahun terakhir bersama Yculyana.
Ia membuka
halaman pertama.
21 Juni —
Ycu bilang dia suka hujan karena hujan bisa menyembunyikan air mata. Tapi hari
ini, dia tak menangis di bawah hujan. Dia hanya menatapku lama, seolah
mengucapkan selamat tinggal meski bibirnya diam.
Lembar demi
lembar, kenangan menetes perlahan, seperti hujan yang merembes melalui celah
genting.
Sekar
memanggilnya dari dapur, “Ion, kamu bantu anak-anak belajar sore ini?”
Ion menutup
buku itu perlahan, mengangguk. Tapi sebelum ia bangkit, ia menulis satu kalimat
terakhir di halaman belakang:
Aku
baik-baik saja sekarang. Tapi kadang, aku masih bertanya, apakah Ycu juga
baik-baik saja di tempat yang jauh itu. Semoga, ya. Semoga kita benar-benar
telah sembuh.
Dua hati. Dua
benua. Dua kehidupan yang tak lagi bersinggungan, tapi pernah saling menjadi
pusat semesta.
Surat-surat itu
tak pernah sampai. Tapi perasaan yang tertulis di dalamnya, telah sampai pada
tempatnya: sebuah kedewasaan yang tahu, bahwa mencintai tak selalu berarti
memiliki.
Kadang,
mencintai adalah melepaskan dengan penuh doa.
BAB XXVI:
Pertemuan yang Tak Direncanakan
Kadang hidup
memainkan catur nasib dengan cara yang tak terduga—dua bidak dari garis waktu
yang berbeda bisa bertemu di satu titik, bukan untuk berperang, tapi untuk
saling memahami keberadaan satu sama lain.
Konferensi
Pendidikan Internasional diadakan di Singapura, mempertemukan ratusan tokoh
pendidikan dari berbagai negara. Di antara kerumunan intelektual itu, dua pria
berdiri—tanpa tahu bahwa dunia sedang menyusun satu adegan yang akan menguji
kedewasaan mereka.
Ion, dengan
kemeja putih sederhana dan nama ‘Iaoramusaia – Guru Komunitas dari Kupang’
tergantung di dadanya, melangkah pelan di antara deretan booth. Wajahnya
bersih, penuh keteduhan, seperti lelaki yang telah berdamai dengan hidup.
Di sisi lain,
Arvino berdiri tegak sebagai pembicara dari Jakarta. Ia mengenakan jas abu-abu
dan membawa portofolio program literasi digital yang telah sukses menjangkau
ribuan siswa di daerah. Elegan, cerdas, dan tenang—begitulah orang-orang
mengenalnya.
Ion mengenali
namanya di papan jadwal: “Arvino Himawan – Literasi dan Transformasi
Pendidikan Modern.”
Ia bergumam
lirih, “Arvino...”
Nama itu bukan
asing. Pernah ia dengar dari mulut Yculyana, dulu, ketika mereka berpisah.
Lelaki itu adalah yang datang setelahnya. Yang menjadi tempat Ycu menambatkan
hati yang telah lelah berjuang sendirian.
Sesi istirahat
siang membawa mereka ke satu meja kopi yang sama.
“Halo,” sapa
Arvino sopan, “dari Indonesia juga?”
Ion mengangguk.
“Kupang.”
“Wah, saya dari
Jakarta,” jawab Arvino, tersenyum. “Saya Arvino.”
Ion menjabat
tangannya. “Ion. Guru desa.”
Senyap sejenak.
Mata mereka saling membaca, saling menakar sesuatu yang lebih dari sekadar
kata. Lalu Arvino berkata, dengan nada tenang yang nyaris seperti pengakuan:
“Nama kamu...
pernah disebut oleh seseorang yang sangat saya cintai.”
Ion diam. Tapi
sorot matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang pelan-pelan berubah
menjadi penerimaan.
“Yculyana,”
katanya, akhirnya. “Aku tahu.”
Arvino
tersenyum samar. “Dia baik. Di London sekarang. Kami... masih menjaga satu sama
lain.”
Ion mengangguk.
Ada rasa asing di dadanya, tapi bukan iri. Bukan cemburu. Hanya semacam
nostalgia yang pahit, namun tidak menyakitkan.
“Dia perempuan
yang luar biasa,” kata Ion.
“Lebih dari
luar biasa,” balas Arvino. “Tapi kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan
untuk seseorang... adalah tidak menahannya terlalu lama.”
Keduanya
terdiam. Dalam keheningan itu, tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Mereka
sama-sama mencintai perempuan yang sama, di waktu yang berbeda. Dan
masing-masing sudah memilih untuk tidak menjadikan cinta itu sebagai medan
pertempuran.
Mereka minum
kopi hingga habis, lalu berdiri.
“Sukses untuk
pendidikan di Kupang, Ion,” ucap Arvino.
“Dan kamu juga,
Vin. Jaga dia... dengan cara yang tidak bisa kulakukan dulu.”
Keduanya
berpisah seperti dua pejalan kaki yang pernah menempuh jalur sama, tapi
akhirnya menemukan arah masing-masing.
Di London, saat
senja mulai turun, Yculyana menatap langit jingga dari jendela apartemen. Entah
kenapa, dadanya terasa hangat—seperti ada satu simpul takdir yang perlahan
terurai dari kejauhan.
Ia tak tahu
bahwa dua lelaki yang pernah ia cintai baru saja bertemu, bukan sebagai lawan,
tapi sebagai saksi dari perjalanan cinta yang sama-sama mereka relakan.
Karena pada
akhirnya, pertemuan tak selalu harus membuat kita memilih. Kadang, ia datang
hanya untuk membebaskan.
BAB XXVII:
Perempuan yang Tahu Caranya Pulang
Langit
Indonesia berbeda. Ia membawa wangi tanah basah dan suara angin yang seolah
bicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang pernah lama
merindukannya.
Yculyana
kembali, setelah tiga tahun di London. Ia tak lagi datang dengan ambisi, tapi
dengan misi. Program literasi perempuan di daerah Nusa Tenggara Timur
membawanya pulang—bukan sekadar secara geografis, tapi juga emosional.
Ia turun dari
mobil di halaman sebuah sekolah kecil di Kupang, yang letaknya berdiri anggun
di tengah ladang ilalang. Sekolah itu tak asing. Di sanalah dulu, seseorang
yang ia cintai pernah menanam mimpi bersama anak-anak.
Langkah
Yculyana terhenti saat matanya menangkap sosok itu—Ion, duduk di ayunan kayu,
mengajari anak-anak membaca dengan suara tenang. Rambutnya mulai ada warna abu,
tapi keteduhan sorot matanya masih sama.
Ion berdiri.
Anak-anak bubar, dan senja mulai turun perlahan, menyulam langit dengan warna
keemasan.
“Yculyana...”
suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Yculyana
tersenyum, memegang map dokumennya erat, seolah itu satu-satunya cara agar
hatinya tetap tenang.
“Program pusat
mengirimku ke sini, Ion. Untuk bantu literasi. Tapi entah kenapa... rasanya aku
tahu aku akan sampai di halaman ini juga.”
Mereka berdiri
berhadapan. Sunyi. Tak perlu kata, tak perlu luka.
“Arvino bilang
kalian masih bersama,” kata Ion, lirih.
Yculyana
menatap tanah. “Kami baik, Ion. Dia orang yang baik. Tapi hubungan kami... tak
lagi searah. Bukan karena tak cinta, tapi karena tak satu tujuan. Kami berpisah
tanpa saling menyakiti.”
Ion mengangguk.
“Kita semua akhirnya tahu bahwa cinta bukan soal siapa yang menemani, tapi
siapa yang membuat kita pulang pada diri sendiri.”
Yculyana
mendekat, berdiri di samping ayunan tempat mereka dulu sering bicara. “Kupang
masih sama,” katanya. “Tapi aku yang kembali... sudah bukan Yculyana yang
sama.”
“Dan aku pun
bukan Ion yang kamu tinggalkan dulu,” sahutnya.
Mereka saling
menatap—bukan sebagai dua mantan kekasih yang menyesal, tapi dua manusia yang
sudah selesai dengan masa lalunya.
Yculyana
tersenyum kecil. “Aku hanya ingin bilang... terima kasih. Untuk pernah
mencintaiku. Untuk pernah menjadi rumah.”
Ion menjawab,
“Dan terima kasih juga... karena pernah menjadi kompas. Yang meski tak lagi
kupegang, arahmu tetap memanduku.”
Beberapa minggu
kemudian, Yculyana duduk sendiri di kafe kecil di dekat dermaga. Ia menulis,
bukan lagi surat untuk seseorang, tapi catatan untuk dirinya sendiri.
Aku bukan
lagi perempuan yang mencari rumah di dada orang lain. Aku kini rumah bagi
diriku sendiri. Aku bukan lagi perempuan yang menggantungkan bahagia pada satu
nama. Aku kini tahu, kebahagiaan itu adalah keberanian untuk memilih jalanku
sendiri.
Dan bila
suatu hari aku bertemu lagi dengan cinta, aku tak akan lagi bertanya: ‘Akankah
kamu tinggal?’
Aku akan
bertanya: ‘Bisakah kita tumbuh bersama, tanpa saling merenggut arah?’
EPILOG: Dan
Hati pun Menemukan Tempatnya
Tahun-tahun
berlalu.
Yculyana
mendirikan yayasan literasi keliling yang menjangkau pulau-pulau kecil. Ion
tetap menjadi guru dan aktivis pendidikan lokal, menghidupkan kembali mimpi
anak-anak pelosok.
Mereka sesekali
bertemu dalam forum, saling menyapa, saling mendukung. Tak pernah lagi ada
harapan untuk bersama, tapi selalu ada ruang dalam hati yang hangat saat nama
satu sama lain disebut.
Dan itu cukup.
Karena dalam
hidup, tidak semua cinta harus berakhir dengan memiliki.
Ada cinta yang
hadir untuk membentuk. Ada yang datang untuk menguatkan. Dan ada cinta—seperti
cinta mereka—yang tinggal dalam diam, namun tak pernah mati.
Yculyana bukan
lagi perempuan yang tersesat.
Ia adalah
perempuan yang tahu caranya pulang.
Dan hatinya...
telah menemukan tempatnya.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar