Jumat, 20 Juni 2025

Novel : Sejauh Apa pun Kau Pergi, Hatiku Tetap Pulang

 

Sejauh Apa pun Kau Pergi, Hatiku Tetap Pulang

Sebuah novel karya: Sumarno Guritno

 


BAB I: Pertemuan yang Mengakhiri Segalanya

Langit senja di kota itu mengguratkan semburat oranye yang nyaris pudar, seolah lelah mewarnai harapan yang tak kunjung selesai. Di taman yang biasa ramai oleh tawa anak-anak dan obrolan ringan para lansia, sore itu terasa lebih sunyi, lebih berat. Seperti menyimpan rahasia yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang patah.

Yculyana berdiri di bawah pohon tabebuya yang gugur sebelum waktunya. Ia menggenggam ponsel di tangan kanan, sementara tangan kirinya terus menggigil meski angin tak sekencang biasanya. Di layar, satu pesan terakhir dari Iaoramusaia terbuka:
"Aku di perjalanan. Jangan pergi dulu. Hari ini… mari bicara, sebagai kita."

Sebagai kita. Bukan sebagai mantan kekasih. Bukan sebagai sepasang asing yang pernah saling menuliskan puisi dan berjanji di bawah langit malam. Tapi sebagai "kita", entitas yang pernah tumbuh dari dua jiwa yang seharusnya tak pernah bertemu, namun tak bisa hidup tanpa saling menyentuh.

Iaoramusaia datang dengan langkah tergesa. Wajahnya tak banyak berubah, masih dengan sorot mata yang tenang, meski kini menyimpan letih yang tak bisa dijelaskan. Rambutnya lebih pendek, dan senyumnya… masih mampu membuat waktu berhenti sejenak di dalam dada Yculyana.

"Hai," katanya. Sederhana, tapi cukup untuk mengaduk semua yang telah ia tanam dalam-dalam selama lima tahun ini.

Yculyana membalas dengan anggukan kecil. Senyum pun ia tahan, karena tahu jika ia membiarkannya muncul, air mata akan mengikuti. Dan hari itu bukan tentang tangisan, melainkan tentang perpisahan yang harus diterima tanpa perlawanan.

Mereka duduk di bangku kayu yang dulu pernah menjadi saksi awal dari semua kisah ini. Bangku yang sama, tempat tangan mereka pertama kali bersentuhan tanpa rencana, tempat di mana rindu tumbuh tanpa izin.

“Aku kira kita akan saling berpelukan saat bertemu,” ujar Iaoramusaia pelan, seperti menggumamkan sesuatu yang tak berani ia minta.

“Dan aku kira kita akan kembali menjadi dua hati dalam satu langkah,” balas Yculyana. “Tapi kenyataan ternyata lebih jujur daripada harapan.”

Hening. Bukan karena tak ada yang bisa dibicarakan, tapi karena terlalu banyak yang ingin diucapkan namun tak tahu harus dimulai dari mana.

“Aku mencoba membunuh rinduku setiap malam,” kata Yculyana akhirnya. “Tapi setiap pagi, ia hidup kembali—lebih keras, lebih panas, lebih menyakitkan.”

Iaoramusaia menatapnya. “Dan aku membiarkan rinduku tumbuh liar. Karena aku pikir suatu hari, kamu akan datang kembali, dan semua itu akan jadi alasan kenapa aku tetap bertahan.”

Yculyana menggenggam ujung syalnya. “Tapi pertemuan ini, justru jadi alasan kenapa kita harus benar-benar mengakhiri semuanya, Ram…”

Iaoramusaia diam. Tak membantah. Karena di matanya, ia bisa melihat Yculyana tak lagi seperti dulu. Ia perempuan yang telah belajar melepaskan dengan kepala tegak, bukan dengan air mata yang minta dikasihani.

“Aku akan selalu mencintaimu,” ucapnya akhirnya. “Tapi tidak lagi untuk hidup bersamamu.”

Kalimat itu, lebih tajam dari pisau. Tapi justru menjadi obat pahit yang selama ini Yculyana tahu harus ia telan, cepat atau lambat.

Mereka berpisah saat langit mulai gelap. Tak ada pelukan. Tak ada ucapan selamat tinggal. Hanya satu pandang mata terakhir yang berkata:
"Aku akan menyayangimu selamanya, tapi mulai hari ini, dari kejauhan."

 

 

BAB II: Luka yang Menjadi Nama Tengah

Yculyana menatap langit-langit kamar apartemennya yang serba putih. Warna itu awalnya ia pilih agar hidupnya terasa netral, tenang, dan bersih. Namun setelah pertemuan itu, putih justru tampak seperti ruang hampa—sunyi, sepi, dan terlalu bersih hingga tak menyisakan ruang untuk perasaan.

Ia memutar ulang suaranya dalam kepala, kata-kata yang sederhana namun tak bisa ia hapus:

“Aku akan selalu mencintaimu… tapi tidak lagi untuk hidup bersamamu.”

Setelah bertahun-tahun membiarkan rindu menggantung di dada, pertemuan itu justru menjadi titik akhir, bukan awal. Dan luka yang dulu terasa perlahan sembuh, kini seperti dibuka paksa, ditaburi garam oleh kenyataan bahwa perpisahan mereka ternyata bukan karena takdir—melainkan karena pilihan.

 

Lima tahun lalu, mereka adalah sepasang kekasih yang terlalu yakin bahwa cinta cukup untuk mengalahkan segalanya. Dunia mungkin menolak, orang tua mungkin tak setuju, jarak mungkin menguji, tapi mereka percaya: selama hati berpaut, semua bisa dilewati.

Yculyana masih ingat malam saat Iaoramusaia memberinya buku puisi di bangku taman kecil belakang perpustakaan universitas. Hujan baru saja reda. Aromanya bercampur tanah dan rindu yang belum terucap.

“Kalau suatu hari nanti aku hilang dari hidupmu,” katanya sambil menyelipkan selembar daun kering di halaman buku itu, “baca puisi halaman ke-47. Itu tentang kita.”

Dan mereka memang sempat hilang. Bukan karena kehilangan cinta, tapi karena kehilangan arah. Dunia dewasa datang terlalu cepat, dan realitas memisahkan mereka ke jalan yang berbeda: Yculyana dengan kariernya yang menanjak cepat di perusahaan akuntansi multinasional, dan Iaoramusaia yang memilih jalur pendidikan—mengajar di kota kecil dengan penghasilan cukup, tapi bahagia.

Komunikasi memburuk. Kesibukan memisahkan. Tapi rindu tetap tumbuh. Diam-diam mereka masih saling mencari jejak: lewat unggahan media sosial, lewat percakapan tak terkirim di chat yang hanya disimpan sebagai draf, atau lewat doa-doa lirih di antara malam yang panjang.

Dan akhirnya, pertemuan itu terjadi—saat keduanya sudah berdamai dengan hidup masing-masing, namun belum berdamai dengan satu sama lain.

 

Malam itu, Yculyana mengambil buku yang dulu diberikan Iaoramusaia. Di sela halamannya, daun kering itu masih ada, rapuh dan mulai rapat. Ia membuka halaman 47.

Puisi itu singkat. Hanya empat baris:

Kita adalah hujan pertama yang tak pernah disambut matahari,
datang dengan harapan, pulang membawa payung patah.
Bukan karena tak saling mencinta,
tapi karena cinta kadang tak tahu ke mana harus pulang.

Yculyana menutup buku itu perlahan. Di hatinya, luka masih terasa. Tapi di balik luka itu, ia mulai menerima bahwa tak semua cinta perlu dilanjutkan untuk bisa tetap hidup.

Kadang, cinta paling abadi justru adalah cinta yang dilepaskan.
Bukan karena lemah, tapi karena terlalu kuat untuk dipaksakan.

 

 

BAB III: Surat yang Tak Pernah Dikirim

Tak ada yang benar-benar hilang dari seseorang yang pernah tinggal lama di hati. Kadang, yang hilang hanyalah bentuknya, tapi suaranya masih membekas. Aromanya tersisa di sela bantal, dan kalimat-kalimatnya menempel di dinding ingatan seperti cat yang tak bisa dikikis.

Yculyana membuka laci meja kerja di samping tempat tidurnya. Di sana, di dalam map polos berwarna biru pudar, tersimpan lembaran-lembaran surat yang tak pernah dikirim. Surat-surat itu ditulis selama lima tahun kepergian Iaoramusaia—di tengah malam yang sunyi, di sela hujan yang mendadak deras, atau setelah mimpi yang membuat matanya basah.

Ia memilih satu.

12 Oktober, tahun kedua kepergianmu

Ram,
Hari ini aku melihat seseorang yang mirip kamu di stasiun. Lengkap dengan senyuman dan langkah pelan yang sering kamu pakai saat menungguku di halte kampus. Tapi orang itu bukan kamu. Dia tak menoleh saat aku menyebut namamu pelan. Mungkin aku sudah mulai gila.
Aku hanya ingin bilang: aku belum terbiasa tanpamu. Dan bodohnya, aku masih menyiapkan tempat duduk kosong untukmu di setiap sudut hariku.

Ia membiarkannya tergeletak, lalu mengambil surat lain.

30 Mei, tahun ketiga

Ram,
Hari ini aku promosi. Jabatan yang dulu kamu bilang layak aku dapatkan. Tapi tak ada pelukan darimu. Tak ada ucapan 'aku bangga padamu'. Yang ada hanya sunyi, dan mataku yang terus mencarimu di kerumunan rekan kerja.
Kau tahu? Aku belajar tertawa tanpa merasa benar-benar bahagia. Aku belajar menyebut namamu hanya dalam hati. Kupikir, ini kemajuan.


Jauh di kota lain yang lebih tenang, di rumah guru yang sederhana dengan rak penuh buku tua dan meja penuh kertas ujian siswa, Iaoramusaia pun menyimpan kenangan yang sama. Bedanya, ia menuliskannya di buku catatan kulit yang mulai lusuh, yang ia beri nama: Untuk Y, Yang Tak Pernah Pergi Sepenuhnya.

Salah satu halaman itu bertanggal sama dengan surat yang baru saja dibaca Yculyana.

30 Mei, tahun ketiga

Yculyana,
Kabar tentang promosi kerjamu kudengar dari mantan teman kuliah kita. Aku diam saat mereka cerita. Tapi di dalam hati, aku menari. Kamu berhasil, seperti yang dulu kupercaya.
Tapi… bagaimana caraku mengucap selamat, jika kehadiranku hanya akan mengganggumu bangkit?

Surat-surat itu tak pernah sampai. Tapi mereka tetap menulis. Karena menulis adalah satu-satunya cara menjaga perasaan yang tak bisa mereka beri bentuk lain. Tak ada suara, tak ada pelukan, tak ada pesan pendek di malam hari. Hanya kata yang dibungkam waktu.

Dan begitulah mereka saling mencintai dari kejauhan, dalam diam yang panjang.

 

Malam itu, di dua kota yang berbeda, Yculyana dan Iaoramusaia sama-sama membuka surat yang mereka simpan. Masing-masing bertanya-tanya:
“Bagaimana jika… aku mengirimkannya saat itu?”
Tapi mereka tahu, pertanyaan itu tak akan pernah berujung. Karena kisah mereka memang bukan tentang keberanian untuk kembali, melainkan tentang keikhlasan untuk merelakan.

 

 

BAB IV: Kota-Kota yang Menyimpan Jejak Kita

Beberapa tempat tidak pernah benar-benar menjadi milik umum. Ia menyimpan memori pribadi yang tak bisa dipahami siapa pun selain dua orang yang pernah merajut kisah di sana. Bagi Yculyana dan Iaoramusaia, kota ini—dengan segala sudutnya yang sunyi—adalah semacam museum cinta: penuh fragmen yang tak bisa mereka bakar, namun terlalu menyakitkan untuk disimpan.

 

Yculyana berdiri di depan kedai kopi tua dekat stasiun, yang dulu menjadi tempat mereka menghabiskan malam-malam sepulang kuliah. Kedainya kini lebih modern, dengan lampu-lampu kekinian dan suara musik elektronik yang menggantikan lantunan jazz lembut dari radio lama.

Ia masuk. Tak ada bangku kayu yang dulu berderit saat Iaoramusaia menarikkannya untuknya. Tapi aroma kayu panggang dan kopi robusta masih menguar seperti dulu. Ia duduk di sudut jendela, tempat yang sama, dan memesan minuman yang sama: kopi susu tanpa gula.

Saat menyeruputnya, ia menahan napas. Lidahnya menangkap rasa pahit yang dulu menjadi tanda: bahwa cinta sejati tak butuh banyak pemanis. Tapi kini rasa pahit itu seperti cermin—memantulkan kenangan yang tak lagi bisa ia peluk.

Di seberang kota, di hari yang lain, Iaoramusaia menyusuri jalan kecil menuju perpustakaan tua. Tempat mereka pertama kali berbicara bukan sebagai mahasiswa yang saling tak kenal, tetapi sebagai dua manusia yang menemukan kenyamanan dalam diam yang sama.

Rak-rak buku masih berdiri, tapi sebagian telah diganti. Ruangan itu lebih terang, tapi bagi Iaoramusaia, justru terasa lebih dingin.

Ia duduk di lantai dua, menghadap jendela yang pernah mereka buka diam-diam agar angin sore bisa masuk. Dulu, Yculyana pernah tertidur di sebelahnya, kepala bersandar di lengan, buku puisi terbuka di pangkuan.

Kini, hanya bangku kosong di sampingnya.

“Tak semua tempat bisa berubah bentuk,” pikir Iaoramusaia.
“Beberapa hanya berubah karena ditinggalkan.”

 

Mereka, tanpa janjian, tanpa sadar, mengunjungi kota yang sama di minggu yang sama. Tapi mereka tak saling bertemu. Seolah semesta tahu, meski rindu masih begitu besar, kisah mereka memang tak untuk diulang—hanya untuk dikenang.

Di taman kota tempat mereka dulu berlari dari hujan, seorang pengamen memetik gitar dan menyanyikan lagu lama:
“Karena aku tahu, tak semua cinta harus saling memiliki…”

Yculyana duduk di bangku batu. Iaoramusaia berdiri beberapa meter di belakang, tak melihatnya. Tapi ketika bait itu dinyanyikan, keduanya menoleh ke langit yang sama—langit senja yang menyimpan banyak rahasia.

Mereka tak sadar mereka ada di ruang yang sama. Tapi mungkin, itu yang terbaik.

 

Beberapa kota tak pernah benar-benar menjadi rumah, tapi akan selalu menjadi tempat kembali hati. Mereka tak lagi bisa berjalan berdua di sepanjang trotoar, tak bisa tertawa di kedai kecil atau berbagi payung. Tapi di kota ini, dalam jejak-jejak yang tak terlihat, mereka masih bersama. Bukan sebagai pasangan, tapi sebagai kenangan.

Karena ada cinta yang hidup bukan untuk masa depan,
tapi untuk dikenang dengan setengah senyum dan sepasang mata yang berkaca.

 

 

BAB V: Seseorang yang Menyapa Tanpa Ingin Mengganti

Beberapa hati tidak mencari pengganti, hanya pelipur. Mereka tak butuh api baru untuk membakar ingatan, hanya cahaya kecil yang bisa menemani berjalan melewati lorong kenangan. Itulah yang mulai dialami Yculyana dan Iaoramusaia—di waktu dan tempat yang berbeda, namun dalam kehampaan yang mirip.

 

Hari-hari Yculyana mulai disibukkan oleh proyek besar yang menuntutnya bolak-balik ke kota tetangga. Di tengah rapat-rapat panjang dan kelelahan yang menggumpal, muncullah seseorang bernama Arvino—rekan kerja baru dari divisi hukum.

Arvino tidak banyak bicara, namun setiap ucapannya terasa seperti jeda yang menenangkan dalam hidup Yculyana yang terburu-buru. Ia tak pernah bertanya terlalu dalam, tak pernah memaksa untuk tahu masa lalu. Tapi di setiap makan siang bersama, Arvino menyelipkan kalimat-kalimat kecil yang menyentuh sisi terdalam Yculyana.

“Kadang, seseorang yang paling lama kita cintai... bukan yang kita temui paling terakhir. Tapi yang diam-diam masih kita doakan meski sudah tak bersisian.”

Yculyana hanya menatap kosong ke luar jendela, menyadari bahwa Arvino sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih dari dirinya. Tapi ia tidak bertanya.

Arvino, tanpa menyadari, bukan sedang mencoba menggantikan. Ia hanya berdiri di sisi yang cukup dekat untuk menjadi nyata, dan cukup jauh untuk tidak menyentuh luka yang belum sembuh.

 

Sementara itu, di ruang guru yang penuh dengan aroma kertas ujian dan kapur, Iaoramusaia mulai mengenal Rheina, guru seni yang baru pindah dari luar kota. Rheina ceria tapi lembut, penuh warna tapi tidak mencolok. Ia tak tahu latar belakang Iaoramusaia, tapi ia tahu satu hal: ada kesedihan yang tidak pernah selesai di matanya.

Suatu sore, saat mereka berdiri berdua di teras sekolah menyaksikan hujan turun, Rheina bertanya pelan:

“Apakah semua orang yang kita cintai harus dimiliki?”

Iaoramusaia diam lama, lalu menjawab:

“Tidak. Tapi kita harus cukup berani mencintai, walau tahu mungkin tak akan memiliki selamanya.”

Rheina hanya mengangguk. Ia tidak menggali lebih jauh. Ia hanya ingin menjadi tempat singgah, jika hati Iaoramusaia terlalu lelah untuk kembali.

 

Baik Yculyana maupun Iaoramusaia tahu bahwa hati mereka belum selesai. Tapi kehidupan tak menunggu luka sembuh sempurna. Dunia terus berjalan, dan orang-orang datang—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyapa.

Kadang Yculyana melihat Arvino dan membayangkan andai pria itu datang lebih awal. Tapi ia tahu, tak adil menyamakan siapa pun dengan Iaoramusaia.
Begitu pula Iaoramusaia, yang mulai merasa nyaman berbicara dengan Rheina, namun tahu bahwa kenyamanan tak sama dengan keterikatan.

Mereka mulai belajar, bahwa cinta tak harus dibalas untuk menjadi berarti.
Bahwa membuka hati bukan mengkhianati masa lalu—melainkan cara paling manusiawi untuk terus hidup.

 

Di ujung bab ini, Yculyana menulis satu surat terakhir. Bukan untuk dikirim. Bukan untuk Iaoramusaia. Tapi untuk dirinya sendiri.

“Aku tidak akan pernah benar-benar melupakanmu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan hidupku berhenti di tempat yang sama. Terima kasih sudah menjadi musim terindah yang pernah aku miliki. Kini, aku belajar menyambut musim lain… meski tanpa hangatmu.”

 

 

BAB VI: Hujan yang Turun Tanpa Janji

Tidak semua hujan datang dengan pertanda. Kadang ia turun begitu saja—mengguyur jalan, membasahi kenangan, lalu pergi tanpa pamit. Seperti perasaan yang datang pelan-pelan, tumbuh tanpa izin, dan tiba-tiba menyentuh bagian hati yang kita kira telah beku.

 

Yculyana berdiri di balkon hotel tempatnya menginap untuk kunjungan kerja. Kota itu asing, tapi malamnya terasa akrab—gerimis halus dan aroma tanah basah mengingatkannya pada malam terakhir ia dan Iaoramusaia saling berpamitan tanpa kata.

Teleponnya berdering. Nama Arvino muncul.

"Aku di lobi hotel. Barangkali kamu butuh teman makan malam."
Yculyana terdiam sejenak, lalu menjawab singkat, "Aku turun."

Malam itu, mereka makan di restoran kecil yang tenang. Tidak ada percakapan besar, hanya cerita remeh tentang kerjaan dan masa kecil. Tapi saat sendok terakhir menyentuh piring, Arvino menatapnya dengan sorot yang tak biasa.

"Aku tahu kamu masih mencintai seseorang yang tak lagi di sini," katanya tenang.
"Aku tak ingin menggantikannya. Aku hanya ingin berjalan di sisimu. Jika kamu mengizinkan."

Yculyana menggenggam cangkir teh yang mulai dingin. Ia menatap Arvino, dan untuk pertama kalinya sejak perpisahan itu, ia tidak merasa bersalah karena membiarkan seseorang masuk ke ruang hatinya yang dulu hanya untuk satu nama.

Tapi hati yang belajar melepaskan bukan berarti telah kosong.
Ia hanya sedang menunggu untuk dipeluk dengan cara yang baru.

 

Di kota lain, Iaoramusaia duduk di bangku perpustakaan, menunggu Rheina yang sedang mencari buku cerita rakyat untuk projek murid-muridnya. Hujan turun deras di luar jendela, membasahi halaman yang dulu sering ia lewati bersama Yculyana.

Rheina datang membawa buku-buku, lalu duduk tanpa bicara. Setelah beberapa menit, ia berkata pelan, “Kenapa kamu selalu terlihat menunggu sesuatu yang tidak akan datang?”

Iaoramusaia menoleh padanya. Mata mereka bertemu, lama, seperti dua danau yang tenang namun dalam.

"Aku tidak sedang menunggu," jawabnya, pelan tapi jujur. "Aku hanya belum tahu harus melangkah ke arah mana."

Rheina tersenyum, lalu membuka bukunya dan mulai membaca. Tidak ada desakan. Tidak ada paksaan. Hanya kehadiran yang perlahan menjelma jadi tempat bersandar.

Hujan turun di luar. Tidak ada janji untuk berhenti. Tapi juga tidak ada ancaman untuk badai.
Begitulah perasaan-perasaan baru ini tumbuh—tanpa janji, tapi juga tanpa ragu.

 

Malam itu, di dua kota yang berbeda, Yculyana dan Iaoramusaia sama-sama berdiri di balik jendela, memandangi hujan yang turun pelan-pelan.
Mereka tidak tahu bahwa hujan yang sama sedang jatuh di tempat masing-masing. Tapi mereka tahu: hidup tetap berjalan, dan cinta, sekecil apa pun sisa yang ada, akan selalu punya cara untuk menemukan bentuk baru.

Bukan untuk menggantikan.
Tapi untuk merawat bagian hati yang lelah menjadi museum kenangan.

 

 

BAB VII: Jika Takdir Tak Lagi Ingin Mempertemukan

Ada cinta yang lahir untuk bersama, ada pula cinta yang hanya dititipkan sebentar—untuk mengajarkan tentang kehilangan, tentang ketegaran, dan tentang cara menyayangi tanpa harus memiliki. Yculyana dan Iaoramusaia telah melalui semuanya. Tapi masih ada satu tanya yang tertinggal: apakah takdir benar-benar selesai, atau hanya sedang menunda?

 

Hari itu, langit Jakarta mendung seperti biasanya. Yculyana menghadiri seminar nasional mewakili perusahaannya. Ia tak tahu bahwa hari itu akan menjadi simpul bagi semua perasaannya yang tertunda.

Di tengah kerumunan peserta, suaranya terdengar—datar, khas, dengan jeda yang ia hafal di luar kepala. Iaoramusaia sedang memberikan materi tentang pendidikan karakter dan literasi. Baju batiknya rapi, rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu. Ia tampak tenang, dewasa, dan... masih sama.

Yculyana gemetar. Untuk sesaat, dunia seperti disenyapkan. Ia tidak siap. Tidak pernah siap.

Mereka bertemu mata saat sesi tanya jawab. Hanya dua detik. Tapi itu cukup untuk membongkar semua yang telah mereka kubur rapi.
Setelah sesi selesai, mereka tidak langsung menyapa. Tak ada pelukan. Tak ada lambaian.
Hanya saling diam.

Namun semesta, seperti biasa, punya rencana.

Panitia meminta Yculyana dan Iaoramusaia duduk satu meja di sesi diskusi akhir—tanpa tahu mereka menyimpan sejarah yang tak lagi bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dan di meja itu, di tengah formalitas dan suara mikrofon, Iaoramusaia akhirnya berkata:

"Beberapa pertemuan bukanlah awal dari apa-apa. Tapi penanda bahwa kita sudah benar-benar sampai di akhir."

Yculyana menunduk. Tangannya bergetar, tapi ia tersenyum. Bukan senyum lega, tapi senyum pahit dari seseorang yang tahu: beberapa hal memang harus berakhir, bahkan jika hati masih ingin memulai ulang.

Setelah acara selesai, mereka berjalan berdampingan ke luar gedung. Diam. Hujan turun lagi—tipis, namun cukup untuk membuat aroma tanah membangkitkan semua kenangan yang pernah mereka tanam.

Sebelum berpisah, Yculyana membuka suara:

“Kamu tahu… sampai hari ini aku masih ingat caramu menyebut namaku. Pelan, tapi dalam.”

Iaoramusaia menatap langit, lalu dirinya.

“Dan aku masih mengingat cara matamu memandang, seperti kamu menyimpan dunia dalam diam.”

Hening. Hujan makin deras.

Mereka tidak berpelukan. Tidak berjanji. Tidak berkata "semoga kita bahagia."
Karena keduanya tahu, doa mereka sudah tak lagi berjalan di jalan yang sama.

Mereka melangkah menjauh, masing-masing ke arah yang berbeda. Tanpa menoleh. Tapi dengan hati yang akhirnya paham…

Bahwa mencintai tidak selalu berarti bersama.
Dan melepaskan tidak selalu berarti berhenti menyayangi.

 

Hujan terus turun malam itu, seperti restu dari langit. Bukan restu untuk bersatu kembali, tapi restu agar mereka bisa melangkah maju—dengan hati yang tetap lembut, meski tak lagi saling memiliki.

 

BAB VIII: Tempat yang Tak Bernama di Hati

Setiap manusia menyimpan satu ruang di dalam hati—yang tidak bisa dijelaskan letaknya, tidak bisa diganti siapa pun, dan tidak bisa disebutkan tanpa perih kecil yang samar. Tempat itu tidak bernama. Tapi kita tahu siapa yang pernah menempatinya. Yculyana tahu. Iaoramusaia juga tahu.

 

Dua bulan setelah pertemuan terakhir itu, Yculyana kembali ke rutinitasnya. Hidupnya tak lagi diwarnai gelombang emosi seperti dulu. Ia menjadi lebih tenang, lebih dewasa, dan lebih menerima bahwa hidup adalah rangkaian kehilangan yang kita pelajari dengan lambat.

Arvino masih ada. Dengan ketulusan yang konsisten, ia tidak pernah menuntut Yculyana untuk segera membuka pintu sepenuhnya. Ia hanya ada—menyediakan bahu, mendengarkan tawa maupun diam yang belum sembuh.

Suatu malam di balkon apartemennya, Yculyana mengajak Arvino berbincang.

“Kalau aku mencintaimu... itu bukan karena aku melupakan dia. Tapi karena kamu tidak pernah memaksaku untuk melupakan.”

Arvino tersenyum, dan menggenggam jemarinya.

“Aku tak ingin jadi pengganti. Aku hanya ingin jadi rumah. Jika hatimu lelah, pulanglah. Tak harus utuh, tak harus bersih dari luka.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Yculyana menangis bukan karena kehilangan. Tapi karena rasa syukur—bahwa ada yang mencintai luka, bukan hanya bahagia.

 

Sementara itu, di kota kecil tempat Iaoramusaia mengajar, senja turun perlahan. Ia duduk di teras rumah dinasnya, mengoreksi lembar jawaban sambil sesekali mencatat hal-hal kecil yang ia rasa penting—bukan hanya dari nilai, tapi dari kata-kata anak-anak yang membuatnya tetap percaya bahwa dunia masih punya harapan.

Rheina menghampirinya dengan dua cangkir kopi dan sebuah pertanyaan yang sudah lama menggantung:

“Apa kamu sudah benar-benar melepaskannya?”

Iaoramusaia menatap langit, lalu menjawab perlahan:

“Aku tidak yakin. Tapi aku tidak lagi merasa berat saat mengingatnya. Dan mungkin itu cukup.”

Rheina tidak berkata apa-apa. Ia duduk di sebelahnya, diam. Lalu, setelah beberapa menit, ia bertanya dengan suara rendah:

“Kalau aku ingin menempati ruang kecil di hatimu, yang tak harus menggantikan siapa pun, boleh?”

Iaoramusaia tersenyum kecil. "Ruang itu selalu ada. Tapi kamu harus tahu... tempat yang paling dalam masih kosong. Bukan untuk diisi, tapi untuk dihormati."

Dan Rheina mengangguk, seolah mengerti bahwa cinta bukan selalu tentang mengisi kekosongan—kadang, cinta adalah tentang menjaga ruang yang tak bisa disentuh.

 

Hari demi hari berlalu. Tak ada surat, tak ada kabar. Tapi di setiap detik yang sunyi, Yculyana dan Iaoramusaia masih saling hadir—bukan sebagai rindu yang menyiksa, tapi sebagai bagian dari diri yang tak bisa dicabut.

Mereka telah menerima:
Bahwa beberapa orang tidak datang untuk dimiliki seumur hidup,
melainkan untuk membentuk kita menjadi siapa kita yang hari ini.

 

Dan di tempat yang tak bernama di hati mereka masing-masing, nama itu tetap tinggal. Tak berubah. Tak pudar. Tapi juga tak mengganggu langkah.

Karena cinta sejati tidak selalu meminta tempat di masa depan. Kadang, ia hanya ingin dikenang dengan damai.

 

BAB IX: Musim Baru Tak Selalu Bermekaran

Setiap musim datang dengan janji. Tapi tidak semua janji harus ditepati dengan kebahagiaan yang meledak. Kadang, musim baru hanya membawa keheningan—sebagai bentuk lain dari kedewasaan, sebagai jeda yang harus diterima. Yculyana dan Iaoramusaia sedang berada di musim itu: tenang, tapi belum tentu bahagia sepenuhnya.

 

Di ruang rapat lantai dua gedung perusahaannya, Yculyana duduk memandangi layar presentasi. Angka-angka laba, diagram pertumbuhan, rencana ekspansi internasional—semuanya mengalir seperti biasa. Tapi dalam dirinya, ada kegelisahan yang perlahan memuncak. Arvino menawarkannya satu hal yang selama ini tak pernah ia bayangkan: hidup di luar negeri, membangun keluarga, dan meninggalkan semua yang lama.

“Kita bisa memulai dari nol, Yan. Kamu dan aku. Di tempat baru. Dengan kemungkinan baru,” kata Arvino beberapa hari lalu, dengan mata penuh harap.

Yculyana menyayangi Arvino. Ia tahu pria itu mencintainya dengan cara yang tenang dan utuh. Tapi ada yang belum selesai dalam dirinya. Bukan tentang cinta kepada masa lalu—melainkan tentang dirinya sendiri yang belum benar-benar pulih, belum selesai mencari makna keberadaan.

Malam itu, ia duduk di dekat jendela apartemennya, menulis catatan kecil:

“Cinta bukan hanya tentang siapa yang kita genggam. Tapi tentang siapa yang membuat kita ingin mengenal diri sendiri lebih dalam.”

 

Sementara itu, di kota kecilnya, Iaoramusaia mengubah perpustakaan sekolah menjadi ruang terbuka yang dipenuhi anak-anak membaca sambil duduk di karpet, bertanya, dan bercerita. Ia memulai program literasi berbasis rasa—mengajarkan anak-anak mengenali emosi, menulis tentang kehilangan, tentang harapan, dan tentang mimpi.

Rheina ada di sana, selalu membantu. Tapi tidak pernah menuntut. Hubungan mereka seperti sore yang tidak pernah menjadi malam: nyaman, tapi belum tentu menjanjikan apa-apa.

Suatu hari, seorang siswa menulis cerita pendek berjudul “Ibu yang Pergi Tapi Tetap Tinggal di Hati”. Iaoramusaia membacanya dengan hati bergetar.

“Apakah kita bisa mencintai orang yang tidak kembali, Pak?”
Pertanyaan itu datang dari si kecil, polos tapi dalam.

Ia tersenyum, lalu menjawab:

“Bukan hanya bisa. Tapi kadang, itu adalah bentuk cinta yang paling tulus.”

Dan saat ia berkata begitu, Iaoramusaia tahu: ia telah menerima musim baru dalam hidupnya. Musim yang tidak selalu berbunga, tapi tetap layak dijalani dengan seluruh ketulusan.

 

Beberapa minggu kemudian, sebuah email masuk ke kotak surat Yculyana. Dari panitia penghargaan nasional pendidikan. Mereka mengundangnya sebagai pembicara tamu—bersama tokoh guru yang membangun gerakan literasi daerah. Namanya: Iaoramusaia.

Yculyana menatap layar. Dunia, lagi-lagi, seperti ingin menguji keberanian hatinya.

Ia tak segera membalas. Ia hanya menatap langit senja dari jendela apartemennya. Tidak ada keputusan malam itu. Tapi ada ketenangan yang ia rasakan—bahwa sekalipun mereka akan bertemu kembali, itu bukan lagi untuk mempertanyakan masa lalu, melainkan mungkin untuk memberi makna baru pada perjalanan masing-masing.

Karena musim baru, meski tidak bermekaran, tetap layak dinikmati.
Dan cinta, yang dulu terasa berat, kini telah berubah menjadi ruang yang ringan untuk dikenang.

 

 

BAB X: Ketika Dua Jalan Bertemu Lagi

Ada pertemuan yang ditunggu, ada pula yang datang seperti isyarat dari semesta—tidak untuk memulai kembali, melainkan untuk memberi tahu bahwa hati telah sampai di titik pemahaman paling dalam: menerima, tanpa harus memiliki.
Hari itu, Yculyana dan Iaoramusaia bertemu kembali. Bukan di ruang sunyi penuh kenangan, melainkan di panggung profesional—dua insan yang pernah saling menggenggam hati, kini berdiri di sisi berbeda dari garis takdir yang tenang.

 

Acara penghargaan nasional itu berlangsung megah di sebuah hotel berbintang di Bandung. Para tokoh pendidikan, pejabat negara, hingga profesional dari berbagai sektor hadir memberi tepuk tangan dan sambutan. Di sana, di tengah sorot lampu dan kamera, nama-nama diumumkan dengan lantang—termasuk dua nama yang pernah saling mengisi satu sama lain dengan rindu dan luka: Yculyana M. A. dan Iaoramusaia T. D.

Mereka duduk di kursi VIP, hanya dipisahkan oleh satu bangku kosong. Saling menyadari kehadiran, saling mendengar detak yang tidak mereka kendalikan. Tapi tidak ada sapa. Tidak ada lirih. Hanya waktu yang berjalan seperti biasa, dan dada yang diam-diam berdesir.

Ketika acara istirahat tiba, mereka akhirnya berbincang—bukan seperti dua orang yang pernah saling memiliki, tapi seperti dua pribadi yang telah melewati badai dan tahu bagaimana caranya berdiri sendiri.

“Kamu terlihat tenang,” kata Iaoramusaia, lirih, sambil menyesap teh hangatnya.

“Dan kamu terlihat damai,” balas Yculyana, tanpa senyum, namun matanya teduh.

Ada jeda. Lalu ia menambahkan, “Aku senang kamu bahagia.”

Iaoramusaia menatap meja di depannya, lalu berbisik:

“Mungkin bukan bahagia. Tapi aku berdamai. Dan itu sudah cukup.”

Yculyana mengangguk pelan. Ia tahu perasaan itu. Mereka tidak butuh kata maaf, tidak butuh janji. Karena luka mereka telah menjelma pelajaran.

Sebelum acara kembali dimulai, Iaoramusaia berkata:

“Jika waktu mengulang, mungkin aku akan tetap memilih mencintaimu. Meski tahu akhirnya seperti ini.”

Yculyana menoleh. Ada air yang menggantung di sudut matanya. Tapi ia tersenyum, untuk pertama kalinya dengan hati yang tak lagi memberontak:

“Dan aku akan tetap memilih bertemu kamu. Meski tahu, tidak selamanya kita akan berjalan berdua.”

 

Sore itu, setelah acara selesai, mereka sempat berfoto bersama. Dunia luar melihat dua profesional tersenyum ke kamera. Tapi di balik senyum itu, ada dua hati yang akhirnya bisa berdiri sejajar—tanpa saling menuntut untuk bersatu, tanpa saling menyalahkan karena pernah gagal.

Pertemuan itu bukan akhir yang menyakitkan, bukan pula awal yang baru.
Tapi seperti tanda titik: mengakhiri kalimat panjang yang pernah mereka tulis bersama.

Dan setelah titik, mereka berhak menulis kisah masing-masing. Dengan pena yang baru. Dengan keyakinan yang lebih tenang.

 

Malam itu, dalam perjalanannya kembali ke Jakarta, Yculyana menulis di catatan digitalnya:

“Cinta yang tak bersama bukan cinta yang gagal. Tapi cinta yang tahu kapan harus berhenti agar tidak saling melukai lebih dalam.”

Sementara Iaoramusaia, duduk di bus malam menuju kota kecilnya, memejamkan mata sambil berbisik dalam hati:

“Terima kasih, karena pernah menjadi rumah yang hangat. Dan maaf, karena tak bisa tinggal selamanya.”

Mereka berpisah. Bukan karena benci, bukan karena tak lagi cinta.
Tapi karena mereka tahu:

beberapa cinta memang hadir hanya untuk membawa kita pulang pada diri sendiri.

 

 

BAB XI: Di Antara Dua Sunyi

Ada rindu yang tidak tumbuh di keramaian. Ia diam-diam mekar di sela-sela kesibukan, menepi di sudut malam, menari tanpa suara. Begitulah sunyi hadir dalam hidup Yculyana dan Iaoramusaia—bukan untuk menyiksa, tapi untuk mengingatkan bahwa pernah ada cinta yang tumbuh tanpa perlu banyak bicara.

 

Sudah dua bulan sejak pertemuan di Bandung. Yculyana menjalani hari-harinya dengan disiplin yang nyaris sempurna. Pekerjaan, rapat, evaluasi, mentoring. Ia semakin dipercaya pimpinan, bahkan akan diangkat menjadi direktur keuangan regional. Di atas kertas, hidupnya seperti garis lurus tanpa celah. Tapi setiap malam, ada ruang kosong yang tetap hadir—bukan untuk ditangisi, hanya untuk ditemani.

Sebuah pesan tak terkirim ia tulis pada pukul 00.32 dini hari:

“Aku tidak ingin kembali. Tapi entah mengapa, setiap kali mendengar suara hujan, aku tetap memikirkanmu.”

Ia tidak pernah menekan tombol kirim. Karena ia tahu, ada kata yang sebaiknya tinggal sebagai perasaan. Dan cinta, kadang lebih suci ketika tidak dituntut menjelma dalam bentuk apa pun.

 

Di sisi lain, Iaoramusaia mulai sibuk dengan proyek pustaka keliling yang ia bangun dari sumbangan warga dan buku-buku bekas. Ia mengendarai motor tua, membawa rak kayu yang ia desain sendiri, lalu berkeliling dari desa ke desa.

Anak-anak menyambutnya dengan tawa dan harapan. Setiap halaman yang dibaca adalah benih kecil yang ditanam di ladang mimpi mereka.

Tapi di antara canda mereka, Iaoramusaia kadang melamun. Di bawah pohon mahoni, di bangku bambu, ia menulis puisi-puisi yang tidak pernah ia kirimkan pada siapa pun:

"Sunyi tidak selalu sepi,
Terkadang ia hanya bentuk lain dari rindu
Yang memilih diam, agar tidak kembali melukai.”

Rheina kadang menemukannya tenggelam dalam diam, tapi tak lagi bertanya. Ia sudah belajar bahwa mencintai seseorang yang masih menyimpan kenangan bukan berarti menunggu dilupakan, melainkan mengizinkan luka itu perlahan sembuh di hadapan kita.

 

Suatu malam, hujan turun deras di Jakarta. Yculyana sedang dalam perjalanan pulang ketika tak sengaja mendengar lagu lama di radio—lagu yang dulu mereka dengarkan bersama di kereta menuju Yogya, bertahun lalu.

“Bila nanti kita tak lagi bersama, jangan lupakan semua cerita...”

Ia tersenyum pahit. Bukan karena sakit, melainkan karena akhirnya ia bisa mengenang tanpa gemetar.

Dan di kota kecilnya, pada malam yang sama, Iaoramusaia menutup bukunya sambil berkata lirih ke langit yang mendung:

“Kamu baik-baik saja di sana, kan?”

Tidak ada jawaban. Tapi barangkali, pertanyaan itu sampai. Mungkin angin menyampaikannya. Atau mungkin, hanya hati mereka yang masih bisa saling dengar meski tak lagi saling bicara.

Karena beberapa sunyi tidak pernah benar-benar memisahkan.
Mereka hanya menciptakan jarak yang bisa ditempuh oleh kenangan.

 

Yculyana dan Iaoramusaia berjalan dalam hidup mereka masing-masing. Tidak saling sapa. Tidak saling kirim kabar. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang tidak pernah bisa diganti, meski dunia menawarkan kebahagiaan baru.

Di antara dua sunyi, mereka tetap saling menyimpan.
Bukan dalam bentuk nama atau wajah.
Tapi dalam bentuk rasa—yang tidak pernah meminta tempat, tapi juga tak pernah benar-benar hilang.

 

BAB XII: Takdir Tak Pernah Berniat Jahat

Takdir sering disalahkan. Padahal ia hanya jalan yang harus dilalui, bukan penentu luka atau bahagia. Yang menjadikannya baik atau buruk adalah cara hati menerima, bukan arah yang ia beri.
Dan pada akhirnya, Yculyana dan Iaoramusaia harus kembali duduk berhadapan—bukan karena rindu yang tak tertahan, melainkan karena hidup ingin menyelesaikan apa yang belum tuntas.

 

Undangan itu datang lewat surat resmi. Yculyana diminta menjadi pembicara dalam seminar nasional pendidikan karakter dan manajemen keuangan sekolah. Di daftar pembicara, lagi-lagi ada nama yang membuat jantungnya tak nyaman berdetak: Iaoramusaia T. D.

Kali ini ia tidak terkejut. Tidak pula gelisah seperti sebelumnya. Ia hanya tersenyum tipis dan berkata dalam hati, "Baiklah, mungkin ini cara semesta menutup kisah kami dengan lebih baik."

Seminar berlangsung di sebuah resort pelatihan guru, di kaki gunung. Udara dingin, tapi tak menusuk. Pagi yang hening, langit yang biru pucat. Mereka dipertemukan dalam satu forum diskusi panel.

Yculyana mengenakan blazer abu-abu lembut dan riasan minimalis. Iaoramusaia tampil dengan kemeja putih bersih dan sepatu tua yang ia semir sendiri malam sebelumnya.

Mereka bertukar pandang. Hanya sebentar. Cukup untuk tahu bahwa keduanya masih mengingat, tapi tak lagi berharap.

 

Di sesi rehat sore, mereka duduk di bangku taman belakang aula. Untuk pertama kalinya, mereka berbicara tanpa ada yang mengganjal.

“Apa kabar perpustakaan kelilingmu?”
Yculyana memulai, suaranya pelan seperti angin sore.

“Hidup. Dan bertambah satu motor lagi dari donatur,” jawab Iaoramusaia sambil tersenyum.
“Kamu sendiri? Sudah siap jadi direktur regional?”

Yculyana mengangguk. Tapi kemudian diam, menatap langit. Lalu berkata lirih:

“Dulu aku pikir, jika hidup membaik, semuanya akan terasa lengkap. Tapi ternyata... tidak semua ruang bisa diisi dengan pencapaian.”

Iaoramusaia mendengarkan, tidak menyela. Karena ia tahu, kalimat itu bukan butuh jawaban, melainkan tempat berpulang.

“Dan kamu?” tanya Yculyana.
“Kamu pernah merasa menyesal?”

Iaoramusaia menoleh padanya, lalu menjawab dengan nada paling jujur yang pernah ia gunakan:

“Tidak. Karena jika aku tidak melepasmu, mungkin kamu tidak akan menjadi seperti sekarang. Dan jika kamu tetap bersamaku, mungkin aku tidak akan menemukan caraku mencintai dunia.”

Mereka terdiam cukup lama.

“Jadi... memang begini akhirnya ya?” bisik Yculyana.
“Kita hanya saling tahu bahwa dulu kita pernah saling mencintai, tanpa bisa saling memiliki.”

Iaoramusaia menatap lembut, lalu mengangguk.

“Dan tidak semua yang berakhir, harus disesali.”

 

Sebelum matahari tenggelam, mereka berjalan ke arah gerbang resort. Tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Hanya dua langkah sejajar yang akan berpisah di persimpangan.

Saat Yculyana hendak melangkah ke mobilnya, Iaoramusaia memanggilnya sekali lagi.

“Yan,” katanya.

Yculyana menoleh.

Iaoramusaia tersenyum, lalu berkata:

“Jika suatu hari nanti kamu duduk sendirian di ruang kerja, dan teringat tentang kita...
Tersenyumlah. Karena aku pun akan begitu.”

Yculyana tak menjawab. Tapi senyumnya merekah—bukan karena bahagia, tapi karena akhirnya... luka itu benar-benar sembuh.

Mereka berpisah.
Bukan karena kalah.
Tapi karena menang atas diri mereka sendiri.

 

Takdir tidak pernah berniat jahat. Ia hanya mengantar, lalu membiarkan kita memilih bagaimana berjalan.
Dan Yculyana serta Iaoramusaia, akhirnya berjalan di jalan mereka masing-masing. Penuh makna, tanpa dendam, tanpa tanya yang belum terjawab.

 

 

BAB XIII: Hujan yang Tak Lagi Mencari Payung

Ada cinta yang hadir seperti hujan pertama—ditunggu, dinikmati, lalu dirindukan. Tapi tak semua hujan harus disambut dengan payung. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah diam dan menerima bahwa basah pun bisa menyembuhkan.

 

Enam bulan setelah pertemuan itu, Jakarta kembali menjadi panggung bagi langkah-langkah ambisius Yculyana. Ia kini resmi menjabat sebagai Direktur Regional Keuangan. Ruang kerjanya besar dan sepi, penuh pencapaian, tapi sunyi seperti aula kosong setelah pesta.

Di balik meja kacanya, foto keluarga kecilnya dulu telah diganti dengan lukisan abstrak. Tapi di salah satu laci yang jarang ia buka, masih ada satu benda kecil: pembatas buku kayu dengan ukiran nama “Iaoramusaia” yang pernah diberikan di ulang tahunnya yang ke-26. Ia tidak lagi menangis saat melihatnya, hanya tersenyum tipis… seperti tersenyum pada musim yang telah berlalu.

Karena beberapa kenangan, tidak untuk dihapus—hanya untuk disimpan baik-baik.

Hari-hari Yculyana kini lebih ringan. Ia mulai menulis lagi di jurnalnya, mulai menerima undangan berbicara dari luar negeri, mulai membuka hati pada pertemanan baru. Tapi belum untuk cinta yang baru. Bukan karena belum ada yang datang. Tapi karena ia tidak lagi merasa harus menggantikan siapa pun di hatinya. Rasa itu sudah cukup dengan diam.

 

Sementara itu, di desa kecil tempat Iaoramusaia tinggal, musim hujan datang lebih awal. Pustaka kelilingnya kini sudah berkolaborasi dengan lima sekolah dan satu komunitas literasi nasional. Anak-anak menyebutnya “Guru Langit”—karena ia selalu datang meski cuaca tak bersahabat.

Pada suatu sore yang gerimis, Rheina datang membawakan teh jahe ke ruang baca yang sederhana. Iaoramusaia tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Rheina bukan pengganti Yculyana. Ia adalah bukti bahwa hati bisa sembuh tanpa harus melupakan. Bahwa cinta bisa tumbuh tanpa harus menyingkirkan bayangan siapa pun.

Iaoramusaia akhirnya berani mencintai lagi. Bukan karena ia telah melupakan, tapi karena ia telah menerima.

 

Di malam yang lain, Yculyana berdiri di balkon apartemennya, memandangi hujan yang jatuh tanpa henti. Tak ada lagu. Tak ada angin. Hanya suara air dan satu pikiran yang tiba-tiba datang:

“Aku tidak mencari lagi. Tapi aku tahu, di suatu tempat, seseorang pernah mencintaiku dengan utuh.”

Dan di waktu yang hampir sama, di desa yang jauh dari gemerlap kota, Iaoramusaia sedang menulis catatan kecil di pojok bukunya:

“Aku tidak menunggu lagi. Tapi aku tahu, di suatu tempat, ada seseorang yang pernah menyimpan hatiku dengan sepenuh rasa.”

 

Mereka hidup. Masing-masing.
Mereka bahagia. Dengan cara yang berbeda.
Mereka tidak saling memiliki lagi. Tapi tetap saling menjaga, dalam diam.

Karena ada cinta yang tidak pernah dituntaskan dengan memiliki.
Cinta yang cukup dengan satu keyakinan:
“Kita pernah benar-benar ada, dan itu sudah cukup indah.”

 

 

BAB XIV: Luka yang Menjadi Rumah

Luka, bila dirawat dengan benar, tak selalu menjadi sesuatu yang harus disembunyikan. Ada luka yang justru menjadi bagian dari peta hidup, menjadi rumah bagi kenangan, dan tempat pulang bagi kekuatan yang dulu rapuh.

 

Hujan sudah reda. Musim berganti perlahan, meninggalkan kabut tipis di sela-sela pagi. Yculyana bangun lebih awal dari biasanya, entah mengapa. Di luar jendela apartemennya, kota Jakarta masih setengah tidur. Tapi ada yang hidup dalam pikirannya—bukan masa lalu, bukan pula rencana kerja—melainkan satu pertanyaan sederhana:

"Apakah luka bisa menjadi tempat kembali, atau ia hanya tempat untuk belajar meninggalkan?"

 

Hari itu, Yculyana menghadiri sesi diskusi pribadi bersama mentor lamanya, Ibu Dr. Semara. Mereka duduk berhadapan di sebuah taman kecil di belakang universitas tempat ia dulu belajar.

“Kamu terlihat lebih tenang sekarang,” kata Ibu Semara sambil menyeruput teh hangat.
“Tapi matamu tetap menyimpan sesuatu.”

Yculyana tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa dengan ketajaman Ibu Semara.

“Mungkin karena saya belum sepenuhnya pulih,” jawabnya pelan.
“Atau mungkin... karena saya belum benar-benar menerima bahwa beberapa luka tidak harus disembuhkan, cukup dirangkul.”

Ibu Semara mengangguk dalam.

“Luka itu seperti rumah tua. Mungkin tidak layak ditinggali lagi, tapi tetap menyimpan wangi masa kecil yang tidak bisa kamu temukan di tempat lain.”

 

Sementara itu, di tempat berbeda, Iaoramusaia sedang membantu anak-anak membangun saung baca dari bambu dan genteng bekas. Rheina berdiri tak jauh dari sana, sesekali memandangnya dalam diam.

Iaoramusaia tahu, Rheina mencintainya. Tapi ia juga tahu, ia belum bisa membuka pintu sepenuhnya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena ia sedang membangun ulang dirinya dari reruntuhan yang dulu ia biarkan membusuk dalam diam.

Di malam hari, Iaoramusaia duduk sendiri di teras rumahnya. Ia membuka buku harian lama—buku yang dulu ia simpan di laci kayu kecil, penuh puisi dan surat tak terkirim untuk Yculyana.

Tapi kali ini, ia tidak menangis. Ia membaca, lalu tersenyum. Karena akhirnya ia paham:

“Luka itu bukan untuk dihindari. Tapi untuk ditinggali sebentar, agar kita tahu bagaimana rasanya pulih.”

 

Beberapa minggu kemudian, sebuah kejutan datang. Panitia proyek sosial nasional mengumumkan bahwa dua penggerak perubahan dari dunia pendidikan dan keuangan akan disandingkan dalam program kampanye nasional literasi finansial dan karakter.

Dan tanpa mereka tahu sebelumnya—kedua nama itu adalah:
Yculyana R. L. dan Iaoramusaia T. D.

 

Ketika berita itu sampai pada mereka, masing-masing hanya bisa tertawa kecil dalam hati.

"Lagi-lagi semesta mempertemukan kita… setelah kita merasa sudah bisa berjalan sendiri-sendiri."

Apakah luka mereka sudah menjadi rumah?
Atau justru pertemuan ini akan menguji apakah rumah itu masih layak dihuni kembali?

 

Yculyana berdiri di depan cermin, kali ini dengan mata jernih, bukan ragu.
Ia melihat pantulan dirinya dan berbisik:

“Aku siap... bukan untuk kembali, tapi untuk berdamai.”

Dan di desa kecilnya, Iaoramusaia berkata pada dirinya sendiri sebelum tidur:

“Jika takdir menguji luka ini untuk jadi jembatan, bukan jurang, aku akan berjalan perlahan. Tanpa berharap, tapi juga tanpa takut.”

 

 

BAB XV: Cinta yang Tak Lagi Butuh Jawaban

Ada cinta yang tumbuh dalam tanya, bergetar dalam ragu, dan akhirnya gugur karena tak mampu menemukan jawaban. Tapi ada pula cinta yang justru menemukan bentuknya ketika pertanyaan tak lagi perlu diucapkan, ketika rasa cukup dibiarkan hidup… tanpa penjelasan, tanpa janji.

 

Gedung Balai Nusantara, siang itu, dipenuhi lalu-lalang para peserta. Program Nasional “Karakter Keuangan Masa Depan” menjadi sorotan media. Dua narasumber utama—ikon dari dunia literasi dan dunia keuangan—akan tampil dalam sesi pembuka. Semua orang menanti mereka. Dan dua nama itu, sekali lagi, tertulis bersebelahan di baliho raksasa di depan lobi: Yculyana R.L. dan Iaoramusaia T.D.

Untuk pertama kalinya setelah perpisahan yang benar-benar disepakati, mereka dipertemukan dalam panggung besar, bukan karena kisah cinta yang pernah ada, tapi karena nilai yang kini mereka perjuangkan: membangun bangsa lewat pendidikan dan keteladanan.

 

Ketika Yculyana tiba, langkahnya tenang. Ia memakai blus putih sederhana dan celana hitam formal, rambut diikat rapi. Di tangannya, ia menggenggam pointer presentasi, bukan kenangan.

Dari jauh, Iaoramusaia sudah berdiri di samping mimbar. Kemeja batik biru dongker dan senyum kecil menyambut kedatangannya. Tatapan mereka bertemu. Tak ada gentar. Tak ada luka yang menyala. Hanya kedewasaan yang diam-diam tumbuh menjadi jembatan.

“Selamat datang, Yculyana,” katanya pelan.
“Senang akhirnya kita satu forum lagi.”

“Aku juga senang, Ion,” jawab Yculyana. “Kita masih berdiri. Dan tidak lagi saling menyalahkan.”

Sesi dibuka. Dan seperti takdir yang telah mereka pahami, mereka bicara dengan suara jernih, gagasan yang menyatu, dan energi yang tak saling mendominasi. Di hadapan ratusan peserta, mereka adalah dua insan yang berdiri berdampingan—tanpa beban cinta, tapi dengan kehormatan dan rasa yang belum hilang.

 

Setelah acara selesai, di belakang panggung, mereka duduk sebentar sambil menyeruput kopi.

“Lucu ya,” kata Iaoramusaia.
“Dulu kita sering membayangkan dunia yang bisa kita bangun bersama. Tapi ternyata semesta punya jalan yang berbeda.”

Yculyana menatap cangkir di tangannya.

“Mungkin karena kalau kita terus bersama, kita tak akan jadi versi terbaik dari diri kita seperti sekarang.”
“Kita mungkin akan saling menyeret, bukan menguatkan.”

Mereka diam. Tapi tidak kikuk.
Hening itu bukan karena luka, melainkan karena paham: beberapa cinta tidak dirancang untuk terus digenggam, tapi untuk terus dikenang.

“Ion,” kata Yculyana, perlahan.
“Aku pernah mencintaimu dengan seluruh hidupku.”

“Aku tahu,” jawab Iaoramusaia, senyum tak sepenuhnya hilang.
“Dan aku pun begitu, Yan. Tapi kita tidak harus menjawab kenapa tidak jadi bersama, bukan?”

Yculyana mengangguk.

“Cinta yang tumbuh dewasa… tidak butuh jawaban. Ia cukup menjadi cahaya, meski tak lagi menyinari.”

“Dan kamu tetap menjadi cahaya itu,” tambah Iaoramusaia. “Yang menuntunku... meski tak lagi menyertaiku.”

 

Sore itu, mereka berpisah lagi. Kali ini, tanpa janji apa-apa. Tanpa luka. Tanpa harapan yang harus disembunyikan. Mereka hanya saling berjalan menjauh, dengan tenang.

Tapi di dalam hati masing-masing, ada satu hal yang tak akan pernah berubah:

Mereka pernah menjadi rumah.
Mereka pernah saling mencintai dengan sepenuh-penuhnya.
Dan mereka tidak perlu penutup yang sempurna.
Karena cinta sejati… adalah ketika dua jiwa mampu melepaskan tanpa saling kehilangan arah.

 

BAB XVI: Ketika Takdir Tak Lagi Menyatukan, Tapi Membentuk

Tak semua perjalanan harus bersatu di ujung. Kadang, takdir hanya mempertemukan dua jiwa untuk saling membentuk, bukan untuk tinggal selamanya. Cinta pun kadang hadir bukan untuk memiliki, melainkan untuk membekas… selamanya.

 

Hujan turun perlahan di Jakarta, mengalir di sela jendela kantor lantai dua puluh empat tempat Yculyana bekerja. Tapi tidak seperti dulu, hujan kali ini tak lagi menguras kenangan, tak lagi memanggil masa lalu untuk hadir tanpa izin. Ia hanya hujan—seperti cinta yang telah diletakkan dengan rapi di rak hati, disimpan, bukan dilupakan.

Hari itu, Yculyana menandatangani kontrak kerja sama besar untuk program literasi keuangan di wilayah timur Indonesia. Namanya disebut di media, dipuji banyak tokoh, dan dijadikan contoh dalam berbagai seminar. Tapi bukan itu yang membuat matanya berbinar.
Yang membuatnya bersinar… adalah ketika ia menerima surat elektronik dari salah satu sekolah mitra di Nusa Tenggara:

“Anak-anak kami belajar menabung bukan hanya dengan angka, tapi juga dengan nilai-nilai hidup. Terima kasih karena sudah membawa ‘hati’ dalam setiap hitungan.”

Yculyana membaca ulang kalimat itu sambil tersenyum. Bukan karena ia merasa hebat. Tapi karena ia tahu: inilah bentuk cinta barunya. Cinta yang tidak menyakiti, tidak menuntut, tapi memberi dampak.

 

Sementara itu, di tanah yang jauh dari ibukota, Iaoramusaia menuntaskan pembangunan ruang baca permanen pertama di desa tempat ia mengabdi. Kini, bukan hanya anak-anak yang datang—ibu-ibu dan para pemuda mulai ikut belajar keterampilan literasi digital, menulis cerita rakyat, dan membuat konten edukatif.

Ia berdiri di depan papan tulis kecil, menuliskan kalimat:

“Cinta itu tidak selalu soal siapa yang bersama. Tapi tentang siapa yang membuatmu menjadi versi terbaik dari dirimu.”

Seorang siswa kecil bertanya, “Pak, itu kalimat dari buku apa?”

Iaoramusaia tersenyum.

“Itu dari hidup.”

 

Beberapa bulan setelah forum nasional itu, jalan hidup mereka kembali mengambil arah masing-masing. Tak ada lagi pertemuan fisik, hanya beberapa kali saling mengirim tautan artikel atau menyelipkan komentar di unggahan media sosial.

Namun yang aneh, tidak ada rasa kehilangan. Tidak ada ruang kosong yang menyiksa.

Karena keduanya sadar:
Mereka tak ditakdirkan untuk bersatu selamanya, tapi telah diberi kehormatan untuk saling membentuk. Dan bentuk itu kini sudah menjadi bagian dari diri mereka masing-masing—permanen.

 

Di malam yang tenang, Yculyana menuliskan sebuah kalimat dalam buku hariannya:

“Ion, jika kita pernah mencintai dengan benar, kita tak perlu menyesali akhirnya. Karena apa yang kita beri… telah menjadikan kita siapa hari ini. Dan itu cukup.”

Dan di tempat lain, di bawah cahaya lampu minyak dan rak buku kayu, Iaoramusaia menulis di halaman terakhir jurnal pribadinya:

“Yan, aku tidak lagi menunggu. Tapi aku akan selalu tahu, bahwa kamu pernah mengajari aku… bagaimana mencintai dengan sepenuh hati, tanpa pamrih.”

 

Hujan mungkin telah reda. Tapi tanah yang pernah dibasahi, tetap menyimpan bekas.
Begitu pula cinta mereka—tak lagi tumbuh, tapi tetap membentuk akar di dalam hati.
Takdir tak menyatukan mereka…
Tapi telah menjadikan mereka lebih utuh.

 

 

BAB XVII: Yang Bertahan, Meski Tak Bersama

Cinta tak selalu berarti memiliki. Tapi jika ia tumbuh dengan benar, ia akan tetap tinggal—meski tak lagi berbentuk genggaman, pelukan, atau pertemuan. Ia menjadi ruh, menjadi etika dalam mencinta, dan menjadi saksi bahwa hati pernah bekerja sepenuh-penuhnya.

 

Tiga bulan setelah proyek nasional itu, kehidupan Yculyana dan Iaoramusaia telah kembali pada orbit masing-masing. Tapi kali ini, bukan dengan luka atau kepedihan seperti dulu. Justru dengan kesadaran dan penerimaan yang nyaris menenangkan.

Yculyana mengisi akhir pekan dengan menjadi pembicara di komunitas perempuan muda urban. Tema kali ini: Membangun Hidup yang Merdeka Tanpa Harus Meninggalkan Cinta.

Setelah sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya dengan nada ragu, “Kak, pernah nggak… kakak mencintai seseorang, tapi justru harus pergi tanpa dendam?”

Yculyana tersenyum, lalu menjawab tenang, “Bukan pernah. Aku justru belajar bertumbuh dari situ. Kadang, mencintai seseorang berarti… memberi mereka ruang untuk bahagia, meski bukan dengan kita.”

Ruangan hening sejenak. Tapi mata peserta muda itu berkaca-kaca—seperti baru diberi izin untuk ikhlas.

 

Di tempat lain, tepatnya di sebuah SMA kecil di bawah lereng pegunungan, Iaoramusaia duduk di pinggir lapangan melihat anak-anak bermain bola. Di sampingnya duduk seorang guru muda bernama Sekar, sosok yang belakangan sering mengajaknya berdiskusi, bahkan tak jarang memberinya bekal saat Iaoramusaia terlalu sibuk untuk masak.

“Pak,” tanya Sekar suatu sore, “kenapa Bapak tidak pernah cerita tentang siapa yang Bapak cintai dulu?”

Iaoramusaia menatap awan, lalu berkata pelan,

“Karena cinta itu tidak harus diceritakan untuk dikenang. Beberapa hal lebih layak dihormati dalam diam.”

Sekar mengangguk, tak bertanya lagi. Ia tahu, ia bukan bayangan dari masa lalu. Tapi ia juga belum bisa menjadi masa depan—dan ia menghargai ruang itu.

 

Malam itu, tanpa sebab, Yculyana membuka kembali folder digital bertajuk “Memoar Yang Tak Pernah Dikirim”. Di dalamnya ada puluhan catatan dan puisi pendek untuk Ion, sebagian telah menguning secara virtual karena bertahun-tahun tak dibuka.

Ia membaca satu puisi:

Aku tidak akan menunggumu, tapi jika suatu saat langkahmu terdiam,
kau akan tahu—aku pernah menjadi rumah yang tak pernah kau ketuk kembali.

Tak ada air mata. Tak ada getaran. Tapi ada senyum yang tumbuh.
Bukan karena luka itu sembuh, tapi karena ia telah menemukan tempatnya: tidak sebagai penjara, tapi sebagai pijakan.

 

Dan di waktu yang hampir bersamaan, di desa sunyi tempat Iaoramusaia tinggal, ia menutup jurnal lamanya dan mengganti buku baru dengan sampul hitam polos. Di halaman pertama, ia tulis satu kalimat:

“Kini aku tahu: mencintaimu bukan kesalahan. Tapi bertahan pada kenangan, itulah yang seharusnya kulepaskan lebih cepat.”

Ia menatap ke langit, membiarkan malam menjawab sendiri.

 

Hidup membawa mereka ke jalan berbeda. Cinta pernah hadir, menetap, lalu pergi. Tapi rasa yang tumbuh dari kejujuran, keikhlasan, dan pengorbanan… tak akan pernah mati.

Ia tidak perlu dikabarkan. Ia tidak harus dilanjutkan. Tapi ia tetap hidup, dalam cara yang paling sunyi dan paling murni.

Mereka bertahan.
Meski tak bersama.
Dan itu… cukup.

 

BAB XVIII: Di Ujung yang Tidak Kita Duga

Kita mengira sudah paham arah hidup, lalu datang satu peristiwa yang membelokkan segalanya. Kita mengira hati telah tenang, lalu bertemu kembali pada ujung yang tak pernah kita persiapkan.

 

Seperti biasa, Yculyana tak pernah melewatkan rutinitas Senin paginya: duduk di kafe kecil dekat Stasiun Sudirman sambil mengecek e-mail sebelum masuk kantor. Tapi pagi itu berbeda. Salah satu e-mail yang masuk berasal dari lembaga pendidikan di Flores Timur yang akan bekerja sama dalam program pelatihan guru literasi numerasi.

Yang membuat jantungnya terhenti sesaat adalah nama penanggung jawab di sana: Iaoramusaia T. D.

Butuh beberapa menit sebelum ia bisa menelan kopinya lagi.

“Kenapa harus dia lagi…?”
“Setelah semua ini?”

Ia nyaris menutup laptop, tapi jari-jarinya justru membuka berkas lampiran proposal. Dan di sana, pada kolom rekomendasi strategi edukasi, tertulis:

“Pendidikan bukan hanya soal angka dan huruf, tapi tentang membentuk manusia yang tahu bagaimana mencintai tanpa harus memiliki.”

Yculyana menutup layar. Bukan karena tak sanggup membacanya, tapi karena terlalu paham: kalimat itu ditulis bukan untuk lembaga. Itu untuknya.

 

Sementara itu, di Flores Timur yang tenang dan sederhana, Iaoramusaia sedang menyiapkan proposal kerja sama dengan Jakarta. Ia tahu, jika program ini disetujui, maka orang pertama yang akan turun langsung adalah Yculyana. Ia tahu risikonya. Tapi ia memilih untuk tidak menghindar.

“Aku tidak sedang mencarinya,” katanya kepada rekannya, “aku hanya sedang menjalani tugas. Jika semesta mempertemukan kami lagi… aku akan menerimanya sebagai pelajaran baru, bukan luka lama.”

Dan begitulah semesta bekerja.

 

Dua bulan kemudian, mereka bertemu.

Di sebuah pelabuhan kecil, Yculyana turun dari kapal cepat. Tanah kering Flores menyambutnya dengan angin asin dan aroma garam yang menyentuh kenangan. Iaoramusaia sudah berdiri di sana. Tak ada kata yang lebih dulu terucap. Hanya tatapan. Hanya senyum kecil. Hanya dua manusia yang menyadari bahwa waktu bisa melonggarkan jarak, tapi tidak selalu menghapus makna.

“Selamat datang, Yan,” ucapnya.

“Terima kasih, Ion. Sudah menyiapkan semuanya.”

Mereka berjabat tangan, formal, tenang, tapi keduanya tahu: tangan itu pernah saling menggenggam dengan cara paling hangat yang pernah mereka kenal.

 

Malam harinya, setelah agenda kegiatan selesai, mereka duduk di bawah pohon flamboyan tua dekat penginapan. Suara jangkrik dan semilir angin menjadi latar.

“Lucu ya,” Yculyana membuka percakapan, “kita dipertemukan lagi, tapi bukan untuk melanjutkan, melainkan untuk menguji apakah kita benar-benar sudah selesai.”

Iaoramusaia mengangguk.

“Dan ternyata… kita memang belum selesai. Tapi bukan berarti harus bersama.”

Hening. Tapi bukan hening yang menyakitkan.
Justru hening yang dewasa. Yang membuktikan bahwa dua hati bisa saling menerima, tanpa harus saling memiliki.

“Kalau waktu bisa diulang, kamu ingin kita tetap jadi kita?” tanya Yculyana lirih.

Iaoramusaia menatap langit.

“Aku ingin… kita tetap jadi kita. Tapi versi yang tahu kapan harus berhenti. Bukan karena tak cinta, tapi karena cinta itu sendiri terlalu besar untuk terus dipaksakan.”

 

Pertemuan itu menjadi akhir… dan awal sekaligus.
Akhir dari segala pertanyaan. Awal dari pemahaman yang utuh.
Bahwa cinta sejati tak selalu menjelma dalam pelukan. Ia bisa hidup dalam doa. Dalam diam. Dalam kerja sama yang saling menghargai, tanpa mengungkit masa lalu.

Dan ketika mereka berpisah di pelabuhan dua hari kemudian, tak ada air mata. Tak ada janji. Hanya satu kalimat yang Yculyana bisikkan sebelum naik kapal:

“Terima kasih, Ion. Karena kita pernah saling membentuk.”

Dan Iaoramusaia menjawab, “Terima kasih juga, Yan. Karena kita pernah jadi rumah, meski hanya sementara.”

Kapal perlahan menjauh. Dan dua hati kembali ke daratan masing-masing.

Tapi kali ini, tanpa sesak. Tanpa luka. Hanya dengan tenang.
Karena mereka akhirnya tahu:

Cinta yang dewasa tak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk.
Menjadi kekuatan. Menjadi kenangan. Menjadi fondasi.

 

 

BAB XIX: Saat Dunia Membuka Peluang Baru

Hidup selalu menyiapkan tikungan yang tak terduga. Ketika kita mengira cerita telah selesai, dunia justru menggeser halaman dan membuka bab baru. Di sanalah pilihan muncul—antara membuka hati untuk yang baru, atau tetap menoleh pada yang lama.

 

Tiga bulan setelah pertemuan di Flores Timur, Yculyana mulai merasakan ritme hidup yang berbeda. Ia lebih ringan melangkah, lebih jernih berpikir, seolah beban yang dulu berdiam di punggungnya telah luruh bersama angin laut di pelabuhan kecil itu.

Satu sore, setelah rapat panjang di kantor, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

“Selamat sore, Bu Yculyana. Saya Arvino, Direktur Utama PT MetroSains. Kita sempat bertemu di seminar energi terbarukan dua minggu lalu. Saya sangat tertarik dengan pemikiran Ibu tentang pemberdayaan komunitas melalui data. Apakah Ibu berkenan bertemu untuk diskusi lanjutan?”

Yculyana membaca pesan itu dengan alis sedikit terangkat. Ia masih mengingat pria itu—karismatik, muda, dan terlalu tajam untuk ukuran seseorang yang hanya berkomentar ringan tentang makalahnya saat sesi panel.

Ia berpikir sejenak, lalu membalas:

“Tentu. Saya punya waktu hari Sabtu. Di tempat yang netral saja. Saya bukan tipe yang nyaman membicarakan ide besar di ruang yang penuh tekanan.”

Dan Arvino menjawab cepat:
“Saya tahu kafe buku kecil di Kemang. Banyak ruang sunyi di antara rak-raknya. Saya tunggu jam tiga?”

Yculyana tersenyum. Dunia, pikirnya, memang sedang mencoba membuka jendela.

 

Sementara itu, di Flores Timur, kehidupan Iaoramusaia juga berubah pelan-pelan.

Sekar, guru muda yang selama ini dengan sabar menjadi teman diskusi dan perawat luka diam-diam, mulai mendekat dengan cara yang halus—bukan untuk menggantikan siapa pun, tapi untuk berdiri di sisinya sebagai seseorang yang tidak menuntut untuk dimenangkan.

Sore itu, mereka duduk berdua di tepi pantai, mengamati anak-anak bermain bola dengan kaki telanjang.

“Pak,” kata Sekar sambil menunduk, “boleh saya tanya sesuatu?”

Iaoramusaia mengangguk.

“Kalau suatu saat… saya menjadi seseorang yang cukup berarti, apakah Bapak akan mengizinkan saya mencintai tanpa merasa bersaing dengan masa lalu?”

Iaoramusaia diam cukup lama. Lalu menjawab pelan:

“Aku tidak ingin ada yang bersaing. Karena yang lama… sudah selesai. Tapi bukan berarti hilang. Dan kalau kamu sanggup mencintai bagian itu juga, maka mungkin aku bisa memberi ruang.”

Sekar menatapnya. Tidak dengan sorot menuntut. Tapi dengan mata yang siap menunggu. Ia tahu, mencintai seseorang seperti Iaoramusaia berarti mencintai segala riwayat yang pernah tinggal di dadanya.

 

Di Jakarta, pertemuan Yculyana dan Arvino ternyata tak hanya membuka diskusi tentang kerja sama, tapi juga membuka celah kecil untuk mengenal hati yang lain.

Arvino bukan seseorang yang mudah ditebak. Tapi di balik ambisinya yang besar, ia punya kelembutan yang mengejutkan. Dan yang membuat Yculyana tertarik, ia tidak pernah berusaha menembus masa lalunya.

“Setiap orang punya ruangan yang tak bisa dimasuki siapa pun,” katanya di akhir pertemuan. “Tapi selama kamu masih mau membuka pintu untuk hari ini, aku akan duduk di luar tanpa mengetuk.”

Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun, Yculyana mengizinkan seseorang menunggu. Tanpa janji. Tanpa harapan palsu. Tapi juga tanpa penolakan.

 

Keduanya kini berdiri di ambang pintu dunia baru. Bukan karena mereka telah melupakan. Tapi karena mereka telah cukup dewasa untuk melanjutkan hidup—tanpa harus membakar masa lalu.

Ion dan Yan, seperti dua bintang yang dulu hampir bersatu, kini menjauh di langit masing-masing. Tapi mereka masih bersinar. Karena cinta, meski tak lagi menjadi jalan utama, tetap menyisakan terang di balik perjalanan yang baru.

Mungkin mereka tidak ditakdirkan untuk kembali.
Tapi dunia, dengan segala kelapangannya, tidak menutup kemungkinan.
Karena terkadang…
Yang kita kira akhir, hanyalah jeda sebelum lingkaran baru dimulai.

 

 

BAB XX: Jika Takdir Menengok Kembali

Waktu berjalan maju, tapi hati manusia tak selalu seiring. Ada yang tinggal di masa lalu meski tubuhnya melangkah ke depan. Dan kadang, dalam sunyi yang tak direncanakan, takdir menoleh ke belakang—bukan untuk mengulang, tapi untuk menguji: benarkah kita sudah benar-benar merelakan?

 

Di bulan keempat sejak program kerja sama Flores-Jakarta dimulai, Yculyana kembali mendapat tugas ke lapangan. Tapi kali ini, bukan ke Flores, melainkan ke Kupang—kota pelabuhan yang hanya berjarak setengah hari perjalanan dari tempat Iaoramusaia tinggal.

Ia awalnya tak merasa terganggu. Tapi satu malam, saat menyusun materi presentasi, ia tanpa sengaja membuka album lama di Google Photos. Foto-foto itu muncul seperti hantu yang lembut: potret senyum mereka saat mengajar anak-anak pesisir, saat tertawa di bawah hujan kecil di Ruteng, dan satu foto yang selalu membuatnya terdiam paling lama—saat Iaoramusaia memandangnya dari balik jendela bus, sesaat sebelum mereka berpisah lima tahun lalu.

Rindu itu, rupanya, tak pernah benar-benar padam. Ia hanya tahu cara bersembunyi dengan elegan.

 

Di Flores Timur, kabar itu cepat menyebar. Iaoramusaia mendengar dari koleganya bahwa Yculyana akan berada di Kupang selama lima hari. Ia tidak langsung mengambil keputusan. Tapi malam harinya, ia duduk lama di tepi dermaga, memandangi bintang-bintang yang dulu sering mereka pandangi bersama.

Sekar menghampirinya.

“Besok kamu ke Kupang?” tanyanya pelan.

Iaoramusaia tak menjawab. Hanya mengangguk.

Sekar tidak menunjukkan raut kecewa. Hanya menatap laut.

“Aku tahu, bagian itu masih ada. Aku tidak meminta kamu mematikan apinya. Tapi tolong, jangan membakarku dalam perjalanannya.”

Iaoramusaia menoleh. Untuk pertama kalinya, ia menggenggam tangan Sekar.

“Aku hanya ingin menutup lingkarannya. Bukan membukanya lagi.”

Dan Sekar, dengan senyum yang sedikit pahit, menjawab, “Terkadang menutup itu malah membuka.”

 

Mereka bertemu lagi—Yculyana dan Iaoramusaia—di sebuah toko buku kecil di Kupang, tempat mereka pernah duduk membaca puisi Sapardi dalam senyap yang penuh makna.

Yculyana melihatnya dari jauh lebih dulu. Iaoramusaia tampak lebih matang, lebih tenang. Tapi matanya masih sama. Mata yang dulu bisa meruntuhkan bentengnya hanya dengan satu tatapan.

Ia menghampiri perlahan.

“Takdir lucu, ya?” katanya lirih.

“Takdir memang suka bercanda,” jawab Iaoramusaia. “Tapi seringkali, di balik candanya, ia menyisipkan pelajaran.”

Mereka duduk di bangku yang sama seperti dulu. Diam mengisi sela waktu. Tak ada pelukan. Tak ada air mata. Hanya dua jiwa yang saling mengenal terlalu dalam untuk basa-basi.

“Aku pikir aku sudah selesai,” kata Yculyana akhirnya.
“Tapi bertemu kamu lagi… seperti membuka lembaran yang tak pernah bisa benar-benar ditutup.”

Iaoramusaia tersenyum kecil.

“Mungkin bukan untuk ditutup. Tapi untuk dibingkai. Kita simpan, kita kenang, tapi tidak perlu dibuka lagi.”

Yculyana menatapnya dalam.

“Kalau suatu saat takdir memanggil kita lagi, kamu akan datang?”

Iaoramusaia menggeleng pelan.

“Kalau takdir memanggilmu, aku harap kamu sudah bahagia—tanpa harus menoleh ke belakang.”

 

Mereka berpisah malam itu dengan pelukan singkat. Hangat, tapi tidak menggantung. Dan saat Yculyana berjalan ke arah hotel, ia menangis pelan. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ia bisa berkata dalam hati: “Aku mencintaimu, tapi aku tak lagi ingin memilikimu.”

Di balik semua pertemuan yang tak diharapkan, ternyata Tuhan sedang mengajarkan arti cinta paling dewasa: melepaskan tanpa kehilangan rasa, mengikhlaskan tanpa melupakan makna.

 

Dan di pagi yang sunyi, Iaoramusaia kembali ke Flores. Di pelabuhan, Sekar sudah menunggu.
Ia mendekat, lalu berkata:

“Aku sudah menutupnya. Tapi tidak menghapusnya.”

Sekar tersenyum, lebih lega daripada sebelumnya.

“Aku tak meminta hatimu bersih. Aku hanya ingin jadi rumah yang baru. Yang kamu bangun, bukan kamu tinggali sementara.”

Dan akhirnya, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Iaoramusaia merasa: hatinya siap.

 

BAB XXI: Cinta yang Tumbuh dari Ruang Baru

Ada cinta yang datang seperti badai—menghempas, mengguncang, dan meninggalkan luka. Tapi ada pula cinta yang tumbuh seperti embun—pelan, nyaris tak terasa, tapi menyegarkan jiwa yang lelah. Dan dari embun-embun itulah, Yculyana dan Iaoramusaia mulai menanam harapan baru di ladang kehidupan yang berbeda.

 

Jakarta mulai terasa lebih ramah bagi Yculyana. Ia tak lagi terlalu sibuk menghindari kenangan, karena kini ia punya ruang baru untuk merawat hari-hari. Arvino, dengan segala caranya yang tenang dan menghormati batas, menjadi kehadiran yang menyejukkan.

“Setiap kamu tersenyum setelah selesai bekerja,” ujar Arvino suatu malam, “aku merasa dunia ini sedang disusun ulang menjadi lebih indah.”

Yculyana tertawa kecil. Ia belum berani menyebut itu cinta. Tapi ia tahu: ada hal-hal yang tak perlu diberi nama untuk bisa tumbuh.

Arvino tak pernah memintanya untuk melupakan masa lalu. Ia hanya berkata, “Bila kau masih menyimpan cerita lama dalam laci hatimu, aku bersedia menjadi tangan yang tak memaksamu membuka, tapi akan menunggumu saat kamu siap.”

Dan di ruang-ruang sunyi itu, Yculyana mulai berani menyulam harapan baru.

 

Di Flores Timur, rumah kecil milik Iaoramusaia dan Sekar mulai dihiasi suara tawa. Mereka belum menikah, tapi hidup sudah mereka jalani bersama dengan ketulusan yang tak terburu-buru. Sekar paham: cinta bukan soal siapa datang lebih dulu, tapi siapa yang bersedia tinggal saat luka masih menggantung.

Iaoramusaia banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang diam memandangi laut dalam senyap. Ia mulai menanam cabai di pekarangan, membuat rak buku dari kayu bekas, dan membacakan cerita pada anak-anak kampung setiap Jumat sore.

Sekar mengabadikan momen-momen itu dengan kamera tuanya. Dan dalam diamnya, ia tahu: ia sedang mencintai lelaki yang belum sepenuhnya selesai. Tapi ia memilih tetap tinggal—karena tidak semua cinta butuh akhir yang rapi; beberapa hanya butuh kesabaran yang dalam.

 

Suatu malam, angin menerpa daun-daun lontar di pekarangan rumah mereka. Iaoramusaia dan Sekar duduk bersisian, tanpa bicara. Di pangkuannya, terdapat sepucuk surat yang baru saja dikirim dari Jakarta.

Surat itu dari Yculyana.

“Ion,

Terima kasih sudah menjadi babak paling jujur dalam hidupku.

Aku tak lagi menangis saat menuliskan namamu. Mungkin karena hatiku tahu, kamu telah menjadi bagian dari diriku yang tak akan tergantikan.

Tapi hari ini aku ingin mengabari, bahwa aku sudah mulai mencintai lagi. Bukan karena ingin menggantikan, tapi karena aku tahu kamu tak pernah menghalangi langkahku.

Semoga kamu pun menemukan seseorang yang mau tinggal, bukan hanya datang.

Salam dari kejauhan.

Yan.”

Iaoramusaia melipat surat itu pelan, lalu menatap Sekar.

“Kamu tahu?” katanya.
“Hari ini, aku merasa damai. Seperti jalanan yang akhirnya tahu ke mana harus pulang.”

Sekar tak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangannya, erat, hangat, dan diam-diam menangis kecil.

 

Cinta lama telah mereka letakkan di rak kenangan. Dan cinta baru, meski belum sebesar yang dulu, tumbuh dengan akar yang lebih tenang. Bukan karena mereka melupakan, tapi karena mereka belajar menerima bahwa beberapa cinta hanya hadir untuk mengajarkan: bahwa hati manusia selalu punya ruang untuk tumbuh kembali.

 

 

BAB XXII: Ketika Hujan Datang Lagi

Dalam hidup, hujan tak selalu berarti badai. Terkadang, ia hadir hanya untuk menguji: apakah akar sudah cukup dalam, apakah atap sudah cukup kuat, dan apakah hati siap menghadapi genangan masa lalu yang mungkin kembali terbuka.

 

Jakarta sore itu mendung, dan angin membawa aroma tanah yang basah. Yculyana baru saja selesai rapat dengan tim proyek. Tubuhnya lelah, tapi ada satu hal yang membuatnya bersemangat pulang—Arvino sedang memasak makan malam spesial di apartemen mereka.

Ia membuka pintu, disambut aroma tumisan dan suara musik klasik lembut. Arvino menoleh sambil tersenyum, mengenakan celemek bertuliskan Chef by Accident, Lover by Heart.

“Aku tahu kamu pasti lapar,” katanya sambil menyodorkan segelas teh hangat.
“Kamu memang bukan lelaki dari masa laluku,” kata Yculyana pelan, “tapi kamu lelaki yang selalu membuatku ingin pulang.”

Arvino mendekapnya dalam diam. Tidak banyak kata. Tapi kehadirannya selalu menjadi pelipur dari hari-hari berat.

Namun malam itu, telepon berdering. Nomor asing. Yculyana mengangkat tanpa berpikir banyak.

Suara di ujung sana membuat jantungnya tercekat.

“Bu Yculyana? Saya Sekar. Saya istri—teman lama Ibu… Ion.

Maaf, saya menghubungi karena… dia kecelakaan. Mobilnya tergelincir saat perjalanan dari Ende. Sekarang dirawat di rumah sakit.”

Seketika itu juga, dunia Yculyana seperti berhenti berdetak.

 

Kupang kembali menyambutnya dalam diam. Perjalanan mendadak itu terasa seperti perjalanan jiwa kembali ke tempat yang pernah menyimpan luka sekaligus cinta terdalamnya. Arvino tidak melarang. Ia justru menggenggam tangan Yculyana sebelum keberangkatan.

“Jika kamu harus menutup pintu masa lalu dengan menyaksikannya sendiri, aku akan menunggumu di pintu masa depan. Aku percaya padamu.”

Kata-kata itu menjadi jangkar bagi hati Yculyana yang mulai terombang-ambing.

Di rumah sakit, ia melihat Sekar duduk di depan ICU, lelah dan pucat. Tapi ketika mata mereka bertemu, tak ada permusuhan. Yang ada hanyalah pengertian.

“Dia… belum sadarkan diri,” kata Sekar pelan. “Tapi tadi dia sempat menyebut namamu.”

Yculyana menelan air matanya. Ia mendekat ke ruangan itu, memandang sosok lelaki yang pernah ia cintai dengan seluruh jiwanya—dan mungkin, sebagian dari cinta itu masih ada, meski kini tak lagi memiliki bentuk.

 

Malam itu, hujan turun deras. Di lorong rumah sakit, Yculyana dan Sekar duduk berdampingan.

“Kamu pasti benci aku,” ujar Yculyana.

Sekar menggeleng. “Tidak. Aku hanya manusia. Dan manusia… bisa mencintai sambil tetap menerima bahwa ada bagian dari orang yang kita sayangi yang tidak bisa kita miliki seutuhnya.”

Hening sesaat. Lalu Sekar berkata, “Terima kasih… karena kamu datang. Mungkin kamu yang dibutuhkan hatinya untuk benar-benar sembuh.”

 

Keesokan harinya, Iaoramusaia sadar. Matanya redup, tapi senyumnya tetap hangat. Dan ketika ia melihat Yculyana duduk di tepi ranjangnya, ia hanya berkata:

“Kamu datang… seperti hujan yang lama dinanti. Tapi aku tak lagi ingin berenang di kenangan. Aku hanya ingin tahu… bahwa kamu baik-baik saja.”

Yculyana menunduk, air matanya jatuh.

“Aku baik. Dan kamu juga harus begitu. Dunia kita sudah berbeda, Ion. Tapi rasanya… bagian dariku akan selalu mencintaimu.”

Iaoramusaia tersenyum tipis.
“Dan itu cukup. Cinta tak perlu memiliki ruang. Ia hanya butuh dikenang dengan lapang.”

 

Yculyana kembali ke Jakarta dua hari kemudian. Di bandara, Arvino sudah menunggu dengan peluk yang tak bertanya-tanya.

“Sudah kau tutup pintu itu?” tanyanya lembut.

Yculyana mengangguk sambil tersenyum. “Sudah. Dan kini aku ingin membuka jendela baru bersamamu.”

Dan hujan pun berhenti. Langit biru menyapa mereka dengan kelegaan yang baru. Mungkin, cinta sejati bukan tentang siapa yang pertama datang. Tapi siapa yang tetap bertahan… saat semua badai telah reda.

 

BAB XXIII: Yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi

Beberapa kenangan tak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal diam, menempel seperti embun pagi di kaca jendela—tak terlihat jelas, tapi terasa jika disentuh. Seperti itulah kenangan tentang Iaoramusaia dalam hidup Yculyana—bukan sebagai bayang-bayang, melainkan sebagai guratan kecil yang membentuk wajah kehidupannya hari ini.

 

Pagi di Jakarta dimulai dengan aroma kopi dan lembar-lembar kerja di atas meja makan. Yculyana duduk berdampingan dengan Arvino, sama-sama tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Namun ada keheningan manis di antara mereka, seolah keintiman itu tak perlu dirayakan dengan kata-kata, cukup dengan kebersamaan yang tak terganggu.

“Vin,” ucap Yculyana perlahan, “aku ingin menulis sesuatu.”

Arvino menoleh, mengangkat alis. “Tulisan seperti jurnal, atau tulisan seperti… penutup?”

Yculyana tersenyum. “Mungkin lebih seperti peringatan kecil… untuk diriku sendiri. Tentang apa yang sudah kulalui. Tentang orang-orang yang pernah kucintai. Tentang luka yang pernah membuatku kuat.”

Arvino mengangguk pelan, lalu berkata, “Kalau kamu menuliskannya, jangan sembunyikan bagian yang sakit. Karena kadang, yang paling pahit adalah yang paling jujur.”

Malam itu, Yculyana membuka laptop dan mulai mengetik.

Aku pernah mencintai seseorang yang tak bisa kumiliki sepenuhnya. Dan dari cinta itu, aku belajar bahwa melepaskan bukan berarti kalah, tapi memahami bahwa tidak semua yang kita inginkan akan tinggal dalam bentuk yang sama selamanya.

Aku mencintai Ion dengan seluruh jiwaku. Tapi aku belajar bahwa cinta sejati juga bisa datang lagi, dalam bentuk yang berbeda, dengan cara yang lebih tenang dan dewasa.

Sekarang aku tahu, yang penting bukan siapa yang pertama hadir dalam hidupku, melainkan siapa yang tetap tinggal setelah semua badai berlalu.

 

Beberapa minggu kemudian, Iaoramusaia menulis surat. Kali ini, bukan untuk dikirim. Hanya untuk dirinya sendiri.

Yculyana,

Aku sudah lama ingin menulis ini. Tapi waktu terlalu sibuk menyembuhkan luka yang dulu kita ciptakan. Kini aku tidak lagi mencari bayangmu dalam setiap perempuan yang kutemui. Aku tidak lagi menanti pesan darimu di tengah malam.

Namun, aku akan selalu ingat, kamu adalah perempuan yang mengajarkanku arti kehilangan yang paling lembut—kehilangan yang tidak meninggalkan kebencian, hanya pengertian.

Sekar adalah rumahku sekarang. Dan kamu adalah jalan yang membawaku ke rumah itu. Tanpamu, mungkin aku tak akan pernah tahu ke mana seharusnya aku pulang.

Surat itu dilipatnya pelan dan diselipkan di antara halaman buku Laut Bercerita. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang tanpa sakit.

 

Hidup mereka berlanjut. Tak ada lagi pertemuan yang dramatis, tak ada pesan tengah malam yang tak terkirim. Tapi di antara halaman hidup yang terus berganti, satu hal tetap sama: mereka pernah saling mencintai, sedalam-dalamnya.

Dan cinta itu, meski tak lagi memiliki bentuk, tak pernah benar-benar pergi.

Ia hanya berubah menjadi ketenangan—yang membiarkan mereka mencintai orang baru, tanpa merasa bersalah pada masa lalu.

 

BAB XXIV: Jalan Pulang yang Baru

Setiap langkah dalam hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan selalu mengandung satu hal yang tak bisa dihindari: kemungkinan kehilangan.

 

Tiga bulan setelah kunjungan terakhirnya ke Kupang, Yculyana duduk di ruang kerjanya yang menghadap ke jantung kota Jakarta. Pemandangan gedung-gedung menjulang tak lagi membuatnya terpukau seperti dulu. Kini, ia lebih sering melihat ke dalam dirinya sendiri daripada keluar jendela.

Pagi itu, CEO perusahaan tempatnya bekerja memanggilnya ke ruang rapat khusus.

“Yculyana,” suara Bu Indah tegas namun bersahabat, “kami akan membuka kantor cabang di London. Dan kami ingin kamu menjadi kepala divisi di sana. Ini promosi besar.”

Dunia Yculyana mendadak terasa hening.

London. Kota yang dulu hanya ada dalam daftar impian remajanya. Kota yang dulu ingin ia datangi bersama seseorang yang kini hanya tinggal dalam kenangan.

“Boleh saya pikirkan dulu?” tanya Yculyana.

“Tentu. Tapi keputusan akhir harus kamu berikan minggu ini. Ini peluang sekali seumur hidup.”

 

Sore itu, ia duduk di taman kecil dekat apartemennya bersama Arvino. Pria itu, seperti biasa, mendengarkan lebih banyak daripada berbicara.

“Kamu harus ke sana kalau kamu merasa itu adalah jalan hidupmu,” ujar Arvino, memandang daun-daun yang jatuh diterpa angin. “Aku tidak ingin menjadi alasan kamu melewatkan impianmu lagi.”

“Tapi aku juga tidak ingin meninggalkan kamu lagi,” kata Yculyana pelan.

Arvino menoleh, tersenyum lembut.

“Kamu tidak meninggalkan apa pun, Yan. Kita hanya sedang berjalan di dua jalur yang mungkin sementara berbeda. Tapi jalan pulang itu bukan tempat. Jalan pulang adalah perasaan ketika kamu tahu, kamu dicintai, bahkan ketika kamu jauh.”

Air mata Yculyana jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena hatinya merasa dikuatkan.

Ia tahu, ia tidak sedang kehilangan. Ia sedang diberi sayap.

 

Di sisi lain negeri, Iaoramusaia dan Sekar menghadapi tantangan lain. Sekolah tempat Ion mengajar kekurangan dana. Murid-murid mulai putus sekolah karena tekanan ekonomi. Sekar mengusulkan program komunitas baca keliling ke desa-desa, dan Ion setuju.

“Kalau kita tidak bisa mengubah dunia, setidaknya kita bisa menyentuh beberapa hati,” kata Sekar.

Malam itu, ketika mereka duduk bersama anak-anak yang mendengarkan dongeng, Ion tersenyum. Dalam keheningan, ia tahu: hidupnya kini bukan tentang kehilangan, tapi tentang memberi.

Dan dari jauh, tanpa sadar, Yculyana memikirkan hal yang sama.

 

Satu minggu berlalu.

Yculyana berdiri di Bandara Soekarno-Hatta, tiket ke London di tangannya. Ia menoleh ke belakang, melihat Arvino yang melambai sambil membawa koper kecilnya.

“Aku akan menyusul. Atau mungkin, kita akan bertemu di tempat lain, dengan cerita yang lebih panjang,” ujar Arvino.

Yculyana memeluknya erat. Tak ada janji, tapi ada keyakinan. Bahwa cinta mereka cukup dewasa untuk tidak ditentukan oleh jarak, melainkan oleh kepercayaan.

Dan ketika pesawat lepas landas, ia merasa bukan sedang meninggalkan apa pun—melainkan sedang menemukan kembali dirinya sendiri.

 

Tak semua cinta butuh akhir bahagia. Tapi cinta yang kuat, selalu menemukan cara untuk bertahan—meski bentuknya berubah. Kadang sebagai kehadiran. Kadang sebagai kenangan. Kadang sebagai kekuatan diam dalam setiap langkah baru.

Dan begitulah, Yculyana, Iaoramusaia, dan Arvino… berjalan masing-masing, dalam arah yang mungkin berbeda.

Tapi hati mereka tahu, mereka pernah saling menjadi rumah. Dan itu, tak akan pernah bisa benar-benar hilang.

 

 

BAB XXV: Surat-Surat yang Tak Pernah Sampai

Ada rindu-rindu yang tak diucapkan, hanya dituliskan. Disimpan rapi dalam laci kenangan, bukan untuk dibaca orang lain, tapi untuk memberi ruang pada hati—agar tak meledak karena menanggung diam.

 

London diguyur gerimis saat Yculyana membuka lembaran jurnal barunya. Di apartemen kecil yang masih berbau cat tembok baru, ia duduk di dekat jendela, secangkir teh chamomile mengepul, dan pena menggoreskan kata-kata yang tak pernah berani ia ucapkan.

Ia mulai menulis, bukan sebagai seorang istri yang pernah kehilangan, bukan sebagai wanita yang telah bangkit, tapi sebagai seseorang yang masih menyimpan rasa—bukan untuk dikembalikan, hanya untuk dikenang.

Untuk Ion,

Aku tidak tahu surat ini akan pernah sampai padamu atau tidak. Tapi aku tahu, aku harus menulisnya. Untukku. Untuk jiwaku yang kadang masih menoleh ke masa lalu, bukan karena ingin kembali, tapi karena ingin memastikan bahwa aku pernah di sana sepenuhnya.

Di kota ini, semua terasa asing. Tapi rasa rinduku padamu—itu yang paling akrab. Anehnya, bukan rindu akan dirimu sekarang, tapi akan kita yang dulu. Kita yang duduk di bawah langit Kupang, membicarakan mimpi dan membangun angan tanpa tahu betapa beratnya dunia dewasa.

Kau tahu, Ion, kadang aku membayangkan… bagaimana jika kita tak pernah bertemu? Mungkin aku akan lebih tenang. Tapi juga mungkin, aku tak akan pernah tahu rasanya mencintai sampai sedalam ini.

Dan kamu… kamu mungkin tak pernah tahu, bahwa sampai hari ini, aku masih menyebut namamu dalam diam. Bukan untuk berharap, hanya untuk mengingat.

Surat itu ia lipat, ia masukkan ke dalam amplop, lalu disimpan di dalam kotak kayu tua yang ia bawa dari Indonesia. Di sana sudah ada lima surat lainnya—semuanya untuk Ion, semuanya tak pernah dikirim.

 

Sementara itu, di sebuah sore yang sunyi di Kupang, Ion membuka laci tua yang selama ini jarang ia sentuh. Di dalamnya ada buku harian kecil berwarna cokelat—halaman-halamannya mulai menguning. Itu buku harian yang ia tulis tahun-tahun terakhir bersama Yculyana.

Ia membuka halaman pertama.

21 Juni — Ycu bilang dia suka hujan karena hujan bisa menyembunyikan air mata. Tapi hari ini, dia tak menangis di bawah hujan. Dia hanya menatapku lama, seolah mengucapkan selamat tinggal meski bibirnya diam.

Lembar demi lembar, kenangan menetes perlahan, seperti hujan yang merembes melalui celah genting.

Sekar memanggilnya dari dapur, “Ion, kamu bantu anak-anak belajar sore ini?”

Ion menutup buku itu perlahan, mengangguk. Tapi sebelum ia bangkit, ia menulis satu kalimat terakhir di halaman belakang:

Aku baik-baik saja sekarang. Tapi kadang, aku masih bertanya, apakah Ycu juga baik-baik saja di tempat yang jauh itu. Semoga, ya. Semoga kita benar-benar telah sembuh.

 

Dua hati. Dua benua. Dua kehidupan yang tak lagi bersinggungan, tapi pernah saling menjadi pusat semesta.

Surat-surat itu tak pernah sampai. Tapi perasaan yang tertulis di dalamnya, telah sampai pada tempatnya: sebuah kedewasaan yang tahu, bahwa mencintai tak selalu berarti memiliki.

Kadang, mencintai adalah melepaskan dengan penuh doa.

 

BAB XXVI: Pertemuan yang Tak Direncanakan

Kadang hidup memainkan catur nasib dengan cara yang tak terduga—dua bidak dari garis waktu yang berbeda bisa bertemu di satu titik, bukan untuk berperang, tapi untuk saling memahami keberadaan satu sama lain.

 

Konferensi Pendidikan Internasional diadakan di Singapura, mempertemukan ratusan tokoh pendidikan dari berbagai negara. Di antara kerumunan intelektual itu, dua pria berdiri—tanpa tahu bahwa dunia sedang menyusun satu adegan yang akan menguji kedewasaan mereka.

Ion, dengan kemeja putih sederhana dan nama ‘Iaoramusaia – Guru Komunitas dari Kupang’ tergantung di dadanya, melangkah pelan di antara deretan booth. Wajahnya bersih, penuh keteduhan, seperti lelaki yang telah berdamai dengan hidup.

Di sisi lain, Arvino berdiri tegak sebagai pembicara dari Jakarta. Ia mengenakan jas abu-abu dan membawa portofolio program literasi digital yang telah sukses menjangkau ribuan siswa di daerah. Elegan, cerdas, dan tenang—begitulah orang-orang mengenalnya.

Ion mengenali namanya di papan jadwal: “Arvino Himawan – Literasi dan Transformasi Pendidikan Modern.”

Ia bergumam lirih, “Arvino...”

Nama itu bukan asing. Pernah ia dengar dari mulut Yculyana, dulu, ketika mereka berpisah. Lelaki itu adalah yang datang setelahnya. Yang menjadi tempat Ycu menambatkan hati yang telah lelah berjuang sendirian.

 

Sesi istirahat siang membawa mereka ke satu meja kopi yang sama.

“Halo,” sapa Arvino sopan, “dari Indonesia juga?”

Ion mengangguk. “Kupang.”

“Wah, saya dari Jakarta,” jawab Arvino, tersenyum. “Saya Arvino.”

Ion menjabat tangannya. “Ion. Guru desa.”

Senyap sejenak. Mata mereka saling membaca, saling menakar sesuatu yang lebih dari sekadar kata. Lalu Arvino berkata, dengan nada tenang yang nyaris seperti pengakuan:

“Nama kamu... pernah disebut oleh seseorang yang sangat saya cintai.”

Ion diam. Tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang pelan-pelan berubah menjadi penerimaan.

“Yculyana,” katanya, akhirnya. “Aku tahu.”

Arvino tersenyum samar. “Dia baik. Di London sekarang. Kami... masih menjaga satu sama lain.”

Ion mengangguk. Ada rasa asing di dadanya, tapi bukan iri. Bukan cemburu. Hanya semacam nostalgia yang pahit, namun tidak menyakitkan.

“Dia perempuan yang luar biasa,” kata Ion.

“Lebih dari luar biasa,” balas Arvino. “Tapi kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk seseorang... adalah tidak menahannya terlalu lama.”

Keduanya terdiam. Dalam keheningan itu, tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Mereka sama-sama mencintai perempuan yang sama, di waktu yang berbeda. Dan masing-masing sudah memilih untuk tidak menjadikan cinta itu sebagai medan pertempuran.

Mereka minum kopi hingga habis, lalu berdiri.

“Sukses untuk pendidikan di Kupang, Ion,” ucap Arvino.

“Dan kamu juga, Vin. Jaga dia... dengan cara yang tidak bisa kulakukan dulu.”

Keduanya berpisah seperti dua pejalan kaki yang pernah menempuh jalur sama, tapi akhirnya menemukan arah masing-masing.

 

Di London, saat senja mulai turun, Yculyana menatap langit jingga dari jendela apartemen. Entah kenapa, dadanya terasa hangat—seperti ada satu simpul takdir yang perlahan terurai dari kejauhan.

Ia tak tahu bahwa dua lelaki yang pernah ia cintai baru saja bertemu, bukan sebagai lawan, tapi sebagai saksi dari perjalanan cinta yang sama-sama mereka relakan.

Karena pada akhirnya, pertemuan tak selalu harus membuat kita memilih. Kadang, ia datang hanya untuk membebaskan.

 

 

BAB XXVII: Perempuan yang Tahu Caranya Pulang

Langit Indonesia berbeda. Ia membawa wangi tanah basah dan suara angin yang seolah bicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang pernah lama merindukannya.

Yculyana kembali, setelah tiga tahun di London. Ia tak lagi datang dengan ambisi, tapi dengan misi. Program literasi perempuan di daerah Nusa Tenggara Timur membawanya pulang—bukan sekadar secara geografis, tapi juga emosional.

Ia turun dari mobil di halaman sebuah sekolah kecil di Kupang, yang letaknya berdiri anggun di tengah ladang ilalang. Sekolah itu tak asing. Di sanalah dulu, seseorang yang ia cintai pernah menanam mimpi bersama anak-anak.

Langkah Yculyana terhenti saat matanya menangkap sosok itu—Ion, duduk di ayunan kayu, mengajari anak-anak membaca dengan suara tenang. Rambutnya mulai ada warna abu, tapi keteduhan sorot matanya masih sama.

Ion berdiri. Anak-anak bubar, dan senja mulai turun perlahan, menyulam langit dengan warna keemasan.

“Yculyana...” suaranya pelan, nyaris tak terdengar.

Yculyana tersenyum, memegang map dokumennya erat, seolah itu satu-satunya cara agar hatinya tetap tenang.

“Program pusat mengirimku ke sini, Ion. Untuk bantu literasi. Tapi entah kenapa... rasanya aku tahu aku akan sampai di halaman ini juga.”

Mereka berdiri berhadapan. Sunyi. Tak perlu kata, tak perlu luka.

“Arvino bilang kalian masih bersama,” kata Ion, lirih.

Yculyana menatap tanah. “Kami baik, Ion. Dia orang yang baik. Tapi hubungan kami... tak lagi searah. Bukan karena tak cinta, tapi karena tak satu tujuan. Kami berpisah tanpa saling menyakiti.”

Ion mengangguk. “Kita semua akhirnya tahu bahwa cinta bukan soal siapa yang menemani, tapi siapa yang membuat kita pulang pada diri sendiri.”

Yculyana mendekat, berdiri di samping ayunan tempat mereka dulu sering bicara. “Kupang masih sama,” katanya. “Tapi aku yang kembali... sudah bukan Yculyana yang sama.”

“Dan aku pun bukan Ion yang kamu tinggalkan dulu,” sahutnya.

Mereka saling menatap—bukan sebagai dua mantan kekasih yang menyesal, tapi dua manusia yang sudah selesai dengan masa lalunya.

Yculyana tersenyum kecil. “Aku hanya ingin bilang... terima kasih. Untuk pernah mencintaiku. Untuk pernah menjadi rumah.”

Ion menjawab, “Dan terima kasih juga... karena pernah menjadi kompas. Yang meski tak lagi kupegang, arahmu tetap memanduku.”

 

Beberapa minggu kemudian, Yculyana duduk sendiri di kafe kecil di dekat dermaga. Ia menulis, bukan lagi surat untuk seseorang, tapi catatan untuk dirinya sendiri.

Aku bukan lagi perempuan yang mencari rumah di dada orang lain. Aku kini rumah bagi diriku sendiri. Aku bukan lagi perempuan yang menggantungkan bahagia pada satu nama. Aku kini tahu, kebahagiaan itu adalah keberanian untuk memilih jalanku sendiri.

Dan bila suatu hari aku bertemu lagi dengan cinta, aku tak akan lagi bertanya: ‘Akankah kamu tinggal?’

Aku akan bertanya: ‘Bisakah kita tumbuh bersama, tanpa saling merenggut arah?’

 

EPILOG: Dan Hati pun Menemukan Tempatnya

Tahun-tahun berlalu.

Yculyana mendirikan yayasan literasi keliling yang menjangkau pulau-pulau kecil. Ion tetap menjadi guru dan aktivis pendidikan lokal, menghidupkan kembali mimpi anak-anak pelosok.

Mereka sesekali bertemu dalam forum, saling menyapa, saling mendukung. Tak pernah lagi ada harapan untuk bersama, tapi selalu ada ruang dalam hati yang hangat saat nama satu sama lain disebut.

Dan itu cukup.

Karena dalam hidup, tidak semua cinta harus berakhir dengan memiliki.

Ada cinta yang hadir untuk membentuk. Ada yang datang untuk menguatkan. Dan ada cinta—seperti cinta mereka—yang tinggal dalam diam, namun tak pernah mati.

Yculyana bukan lagi perempuan yang tersesat.

Ia adalah perempuan yang tahu caranya pulang.

Dan hatinya... telah menemukan tempatnya.

TAMAT.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar