Minggu, 15 Juni 2025

CERPEN : "Senja yang Tak Lagi Menyatu"

 "Senja yang Tak Lagi Menyatu"

Lima tahun lebih bukan waktu yang sebentar. Di sebuah rumah kayu kecil yang berdiri di pinggir kota, di bawah langit yang tak pernah benar-benar biru, Yculiya dan Iaonramua menyulam cinta dalam diam. Mereka tak bersuara di mata hukum, tak tercatat dalam buku sipil, namun jiwa mereka telah menikah dalam sunyi, di pelataran takdir yang mereka bangun sendiri.

Mereka pernah tertawa pada pagi hari yang sama. Pernah memasak mimpi di dapur sempit dengan dinding yang mulai lapuk. Pernah berselisih hanya karena merek kopi. Pernah saling memeluk karena bulan terlihat terlalu jauh.

Namun waktu, sebagaimana angin, tak selalu bertiup lembut.

Akhir-akhir ini, Yculiya lebih sering memandangi jendela daripada mata Iaonramua. Iaonramua lebih sering berbicara pada dirinya sendiri ketimbang pada perempuan yang dulu ia panggil rumah. Tidak ada pertengkaran besar, hanya keheningan yang makin lama makin menusuk.

Mereka mulai bicara dalam kode-kode pendek. “Sudah makan?” “Iya.” “Capek ya?” “Biasa.”

Cinta mereka tak mati, hanya tersesat di antara rutinitas dan luka-luka kecil yang tak sempat dibersihkan. Mereka saling mencintai, tetapi tidak lagi saling menemukan.

Hingga pada satu sore yang terlalu tenang, Yculiya berdiri dengan koper kecil dan mata yang tak menangis, tetapi juga tak tertawa. Iaonramua menatapnya dari ambang pintu, membeku seperti patung batu yang dilupakan.

"Aku pergi bukan karena berhenti mencintaimu," ujar Yculiya lirih, “tapi karena cinta ini terlalu banyak menahan kita dari tumbuh.”

Iaonramua mengangguk, pelan, nyaris tak terlihat. Di dadanya, badai berputar. Namun ia tahu: ada kalimat yang harus dihentikan sebelum menjadi terlalu panjang dan menyakitkan.

“Aku akan tetap mencarimu di dalam sunyi,” ucapnya, “bukan untuk kembali, tapi untuk memastikan kamu baik-baik saja.”

Lalu Yculiya pergi, tanpa pelukan terakhir. Ia tahu, pelukan itu bisa membuatnya lemah dan ingin menetap. Sedangkan yang mereka butuhkan adalah keberanian untuk berpisah, bukan alasan untuk tetap tinggal.

Senja itu, langit seperti ikut patah hati. Awan-awan menggantung seperti luka yang tak selesai. Dan di dalam rumah kayu yang kini setengah kosong, sisa-sisa kenangan bergema di antara dinding dan lantai.

Mereka pernah menjadi satu, dan kini menjadi dua yang saling menjauh. Namun cinta itu—meski tak lagi tinggal—tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk, menjadi keikhlasan yang diam-diam menguatkan.

Setelah Yculiya pergi, rumah itu tak lagi bersuara. Tak ada bunyi cangkir bersentuhan di pagi hari, tak ada suara langkah tergesa saat mengejar angkot, tak ada tawa kecil saat menonton acara lawas di televisi butut mereka. Hanya keheningan, dan aroma sabun mandi Yculiya yang masih melekat pada selimut.

Iaonramua tidak langsung membersihkan kamar. Ia membiarkan segala sesuatu tetap seperti sebelum perpisahan. Gantungan syal Yculiya yang masih bergoyang lembut di belakang pintu kamar mandi, dan secarik kertas belanja yang ia tempelkan di kulkas: “Jangan lupa beli teh dan pisang, ya. Kita belum selesai cerita kemarin.”

Cerita itu memang belum selesai. Tapi siapa bilang semua cerita harus punya akhir yang utuh?

Di sisi lain kota, Yculiya menyewa kamar kecil di lantai dua sebuah rumah indekos. Dindingnya tipis, suara dari kamar sebelah mudah menembus. Setiap malam ia tidur dengan jendela sedikit terbuka, membiarkan angin masuk, seolah berharap kabar dari Iaonramua bisa menyelinap lewat celah-celah udara.

Ia tak pernah benar-benar berhenti mencintainya. Tapi cinta yang dulu meneduhkan, kini berubah jadi beban yang menambat. Tak ada legalitas. Tak ada jaminan. Hanya janji-janji yang makin hari makin menua.

Mereka pernah bermimpi punya anak, punya kebun kecil, dan warung kopi bersama. Tapi realita menghantam dengan tagihan listrik, kerja lembur, dan tekanan dari keluarga yang tak pernah mengakui hubungan mereka.

Yculiya masih ingat malam pertama mereka tidur di rumah itu. Mereka hanya punya dua bantal dan satu lampu meja. Tapi dunia terasa cukup. Mereka tertawa sepanjang malam, membicarakan masa depan yang tampak indah dari kejauhan.

Namun masa depan tak pernah seindah bayangan. Dan hari-hari berlalu tanpa arah.

Tiga bulan setelah perpisahan, Yculiya menerima surat.

Tulisan tangan Iaonramua. Rapi. Dengan tinta hitam yang ia tahu berasal dari pulpen kesayangannya.

“Yculiya…
Aku masih mencintaimu. Tapi aku tak akan mencarimu. Karena aku ingin kau hidup dengan ringan, tanpa bayangku yang terus membebani langkahmu. Aku hanya ingin kau tahu—aku mencintaimu tidak untuk memilikimu, tapi untuk mendoakanmu setiap pagi, bahkan ketika kau tak lagi di sisiku.
Kalau suatu hari kita bertemu di jalan, cukup tatap mataku. Kalau kau tersenyum, aku tahu hatimu bahagia. Itu cukup bagiku.”

Yculiya tak menangis. Tapi surat itu ia lipat dengan hati-hati dan disimpan dalam kotak besi kecil, bersama foto mereka berdua di stasiun kereta—foto yang buram, tapi memuat tawa yang tak bisa dipalsukan.

Cinta mereka tak pernah mati. Hanya berubah rupa.

Kini mereka hidup sebagai dua bayang yang berjalan di jalur terpisah, namun selalu saling mendoakan dalam senyap.

Dan di senja-senja yang lambat, ketika langit kembali jingga seperti hari itu, mereka sama-sama tahu: tidak semua perpisahan berarti kehilangan. Kadang, itu adalah bentuk cinta paling jujur yang bisa diberikan.

Lima tahun telah berlalu sejak hari itu. Kota tumbuh dan berubah, sebagaimana manusia yang tinggal di dalamnya. Gedung-gedung tinggi menjulang seolah ingin menyentuh langit, sementara langkah-langkah di trotoar makin terburu oleh ambisi dan waktu.

Yculiya kini bekerja sebagai seorang accounting di perusahaan besar yang berkantor di lantai tiga puluh sebuah menara kaca. Hidupnya teratur, rapi, dan terencana. Ia mengenakan blazer netral, membawa laptop kerja ke mana pun ia pergi, dan jam makannya diatur nyaris seperti ritual.

Sementara itu, Iaonramua menjalani hari-hari sebagai guru sederhana di sebuah SMP pinggiran kota. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk menghidupi keluarganya. Ia naik motor tua ke sekolah, membawa buku-buku LKS, dan lebih sering mengenakan kemeja kusut yang digantung malam sebelumnya di dekat kipas angin.

Takdir mempertemukan mereka kembali di sebuah acara literasi yang diadakan Dinas Pendidikan kota. Yculiya hadir sebagai undangan perusahaan sponsor, Iaonramua sebagai pendamping murid yang membaca puisi.

Mereka bertemu bukan di pelukan, bukan dalam haru, tapi di antara tumpukan leaflet dan tenda sederhana. Pandangan mata mereka bersentuhan. Sekilas. Namun cukup membuat dada mereka bergetar, seperti lembaran lagu lama yang tak sengaja diputar ulang.

“Yculiya?” tanya Iaonramua, masih dengan suara yang rendah dan bersahaja.

“Hai,” jawab Yculiya, singkat tapi sarat makna. Senyumnya tidak gemetar. Ia sudah lama belajar menyimpan perasaan tanpa harus menguburnya.

“Kamu sekarang terlihat… mapan,” ujar Iaonramua, separuh bercanda, separuh kagum.

“Kamu juga,” Yculiya membalas. “Tetap sederhana, tapi tetap kamu.”

Mereka duduk sebentar di pinggir taman, memandang anak-anak sekolah yang berlarian. Tak banyak kata, tapi keheningan di antara mereka kini tak lagi berat. Sunyi itu sudah berdamai dengan waktu.

“Aku sudah menikah,” ucap Yculiya perlahan. “Dia baik. Pendiam. Tapi selalu pulang tepat waktu.”

Iaonramua tersenyum. “Aku juga. Istriku guru juga. Kami punya satu anak laki-laki. Namanya Amar. Dia senang matematika, dan… anehnya, suka akuntansi.”

Yculiya tertawa pelan. Tawanya masih sama. Dan Iaonramua tahu, suara itu akan selalu ia kenang, bahkan jika dunia telah melupakan mereka.

Mereka tak bicara soal masa lalu. Tak membuka luka lama. Tak mempertanyakan pilihan yang telah diambil.

Yculiya berdiri lebih dulu. Ia mengangguk lembut. “Terima kasih sudah pernah menjadi rumah, meski cuma sementara.”

Iaonramua menatapnya dalam. “Dan terima kasih sudah pergi. Karena kalau kamu tetap tinggal, mungkin kita tak pernah tumbuh seperti sekarang.”

Saat mereka berjalan menjauh ke arah yang berbeda, tak ada lagi yang tersisa selain ketulusan. Cinta mereka mungkin tak pernah selesai, tapi tak lagi menyakitkan.

Di dunia yang terus berjalan, mereka hanyalah dua orang yang pernah saling mencintai dengan utuh—dan kini saling melepaskan dengan lapang.

Karena cinta sejati bukan tentang siapa yang tinggal paling lama, tapi siapa yang paling ikhlas melepaskan tanpa menghapus kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar