Senin, 26 Mei 2025

Cerpen : Gerimis di Coban Rondo

Langit belum sepenuhnya cerah ketika mereka mulai melaju dari kota. Embun masih menempel di kaca helm, dan jalanan Batu masih sepi dari lalu-lalang wisatawan. Aroma tanah basah menyeruak, bercampur dengan bau kopi sachet yang sempat mereka beli dari warung kecil dekat terminal.

“Aku ingat pertama kali ke sini sama teman-teman SMA,” kata Dara sambil memeluk tas kecilnya. “Tapi baru kali ini, perginya sama kamu.”

Reno hanya tersenyum di balik helmnya. Tangannya tetap stabil memegang stang motor, namun hatinya mendadak hangat seperti uap teh hangat di pagi yang gerimis itu.

Jalanan menuju Coban Rondo berliku, tapi percakapan mereka tak pernah kehilangan arah. Dara bercerita tentang masa kecilnya, tentang impian-impian lucu yang dulu ingin jadi astronot, lalu berubah jadi penyiar radio. Reno tertawa, menyelipkan beberapa godaan ringan tentang betapa cerewetnya Dara sekarang, seolah itu latihan jadi penyiar.

Kadang mereka diam. Kadang mereka tertawa keras. Kadang, ada percikan cemburu yang menyelinap ketika Reno tanpa sengaja menyebut nama mantannya.

“Aku nggak nyangka kamu pernah ngajak dia ke sini juga,” kata Dara, pelan.

Reno menoleh sebentar, lalu berkata, “Tapi hari ini, yang ada di jok belakang cuma kamu, bukan dia.”

Dan Dara diam. Karena kalimat itu cukup untuk menenangkan badai kecil di hatinya.

Sampai akhirnya, suara gemuruh air terjun menyambut mereka. Kabut tipis menari-nari di antara pepohonan pinus, dan air jatuh dari tebing tinggi seperti tirai dari surga. Gerimis belum juga berhenti, tapi justru di situlah kehangatan terasa. Mereka duduk berdua di bangku kayu basah, berbagi sepotong roti, sambil menyaksikan alam bicara dalam denting air dan semilir angin.

Tak ada janji besar. Tak ada pelukan panjang. Tapi tangan mereka saling menggenggam, seolah mengerti bahwa hari itu terlalu indah untuk diakhiri.

Namun waktu terus bergerak, dan langit mulai gelap. Jalan pulang bukan hanya sekadar kembali ke kota, tapi kembali ke kenyataan—bahwa mereka belum bisa bersama sepenuhnya. Ada dinding yang belum bisa mereka runtuhkan. Ada jarak yang belum bisa mereka seberangi.

Motor kembali melaju turun bukit, membelah udara dingin. Hujan kecil membasahi jaket dan diam-diam juga membasahi hati yang mulai berat.

“Kalau bisa, aku ingin hari ini nggak berakhir,” bisik Dara dari belakang.

Reno tidak menjawab. Tapi genggamannya di tangan Dara semakin erat.

Mereka tahu, akan ada waktu lain. Mungkin bukan besok. Mungkin bukan minggu depan. Tapi satu hari nanti, mereka akan kembali lagi ke tempat ini, dengan hati yang lebih pasti, dan cinta yang lebih berani.

Untuk sekarang, mereka cukup bahagia karena telah saling memilih… meski untuk sementara harus kembali menjadi dua orang asing di dunia yang tak selalu berpihak pada cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar