Hujan turun perlahan di beranda kecil tempat mereka biasa bertemu. Rintiknya jatuh seperti tangis yang sudah terlalu lama dipendam langit. Yculiya duduk bersandar di tiang kayu, mengenakan sweter rajut lusuh pemberian Onioramiao—sweter yang masih mengandung aroma tubuh lelaki itu.
Onioramiao berdiri tak jauh darinya. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin, namun tidak sedingin hati Yculiya yang malam itu tak mampu lagi menahan segala rasa.
"Onioramiao..." suara Yculiya lirih, namun cukup untuk mengguncang dada lelaki itu.
Onioramiao menoleh, matanya menangkap kilatan luka di wajah perempuan yang ia cintai.
"Aku sudah lelah, Rami. Kita berjalan sejauh ini… bertahun-tahun. Menjalani semuanya, mengalah pada waktu, pada keadaan, pada orang-orang yang tak pernah benar-benar mengerti. Tapi sampai kapan?"
Dia menarik napas panjang, seolah mencari keberanian dari udara yang mulai menusuk kulit.
"Aku butuh kepastian. Bukan hanya kata cinta. Aku butuh kau menggenggam tanganku, bukan hanya untuk hari ini… tapi untuk seterusnya."
Onioramiao mendekat, duduk di samping Yculiya. Suaranya berat, tertahan.
"Aku tahu, Ycu… Aku tahu kita sudah terlalu jauh. Tapi kau juga tahu, keluargaku tak pernah benar-benar merestui kita. Begitu pun keluargamu…"
Yculiya menatapnya, bola matanya basah oleh amarah dan cinta yang berseteru.
"Apakah itu alasanmu untuk terus menunda? Onioramiao… aku sudah berkorban segalanya. Harga diri, waktu, masa mudaku. Aku bahkan rela dicibir, hanya untuk tetap berada di sisimu. Lalu, apa yang kau takutkan?"
Lelaki itu diam. Tangannya yang besar menyentuh pipi Yculiya yang mulai gemetar.
"Aku tak takut padamu. Tapi aku takut… kehilanganmu karena keputusan tergesa. Tapi mungkin, kita memang harus berani melawan waktu dan dunia."
Onioramiao menarik napas, kemudian mengangguk perlahan. Air matanya jatuh, bukan karena lemah, tapi karena hatinya akhirnya memilih untuk bertarung.
"Kalau harus menikah diam-diam… di bawah tangan, hanya agar aku bisa memanggilmu istri dengan sah di hadapan langit meski tidak di hadapan manusia… aku akan lakukan, Ycu. Malam ini juga jika kau mau."
Yculiya menutup wajahnya. Tangisnya pecah, tapi bukan karena sedih—melainkan karena akhirnya, seseorang benar-benar memilihnya.
"Benarkah, Rami? Kau benar-benar mau?"
Ia angguk pelan, menatapnya penuh tekad.
"Selama aku hidup… tidak ada yang lebih aku yakini selain mencintaimu. Dunia boleh mencaci, keluarga boleh menolak. Tapi jika Tuhan merestui dua hati yang saling menggenggam, biarlah dunia diam."
Yculiya memeluknya, seerat-eratnya. Mereka menangis bersama, namun kali ini bukan karena patah… melainkan karena bersatu.
Dan malam itu, dalam kesederhanaan dan keterbatasan, mereka bersaksi pada langit yang tak bertanya… bahwa cinta mereka tak lagi menunggu restu dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar