Minggu, 18 Mei 2025

NOVEL Judul : Bayang-Bayang Air dan Api

 


Deskripsi Singkat:

Cinta tumbuh di kolam renang antara Onram, seorang pelatih renang sekaligus guru berusia 38 tahun yang sudah menikah dan memiliki satu anak, dengan Yculiya, mahasiswi cantik berdarah Tionghoa, atlet renang penuh semangat berusia 27 tahun. Perbedaan usia, latar belakang budaya, dan status pernikahan menjadi badai yang selalu mengintai cinta mereka. Di balik riak air, tersembunyi cinta yang membara.

 

BAB 1: Di Balik Air yang Tenang

Kolam itu seperti cermin dunia yang tak pernah jujur. Di permukaannya tenang, bening, namun dalamnya menyimpan pusaran emosi dan cerita yang tak terucapkan. Di tepi kolam itulah Onram berdiri, peluit tergantung di lehernya, keringat bercampur dengan bau kaporit yang menyatu dengan tubuhnya.

Usianya 38, lelaki Jawa yang bersahaja. Wajahnya tak tampan, tapi teduh. Tatapannya tajam tapi hangat. Ia bukan pelatih yang keras, namun setiap kata-katanya mampu membuat siapa pun patuh. Di balik kemeja olahraga yang basah, tersembunyi jiwa yang lelah, terikat oleh janji rumah tangga yang lama tak lagi penuh cinta.

Lalu datanglah dia.

Yculiya. Nama itu seperti puisi yang mengalun di benak Onram setiap malam. Gadis Tionghoa berkulit seputih susu, tubuh ramping dan lentur seperti ombak yang menari, dengan mata sipit yang menyimpan semesta kecil. Ia baru 27 tahun, mahasiswa jurusan Administrasi Keuangan di sebuah universitas swasta bergengsi. Tapi di kolam ini, dia adalah ratu air.

Hari itu latihan seperti biasa. Tapi bagi Onram, tidak ada hari yang biasa bila Yculiya hadir.

“Yu,” sapanya dengan suara serak yang dibuat-buat santai. “Kamu itu kayak air di pagi hari, dingin tapi nyegerin. Gimana caranya aku nggak jatuh cinta tiap kali lihat kamu nyebur?”

Yculiya hanya menoleh dan tersenyum kecil. “Rayuanmu hari ini kurang kreatif, Coach.”

“Kalau kamu senyum terus, besok aku rayu pakai puisi Shakespeare.”

Yculiya mengangkat alis. “Shakespeare juga bakal geleng-geleng lihat pelatih renang sok puitis.”

Tapi dalam hatinya, ia tertawa. Rayuan itu bukan hal baru. Sudah hampir setahun Onram rutin merangkai kata untuknya. Kadang lucu. Kadang norak. Tapi selalu... membuatnya merasa diperhatikan.

Ia tahu Onram sudah menikah. Sudah punya anak. Tapi ada ruang kosong di hatinya yang tak mampu ia isi sendiri. Onram, entah bagaimana, selalu datang di saat ruang itu menggema paling sepi.

 

“Kamu tahu nggak, Yu... Kalau aku bisa memilih ulang hidup, aku pengin ketemu kamu lebih dulu daripada dia.”

“Tapi hidup nggak pernah nanya kita dulu sebelum mutusin sesuatu.”

“Makanya aku ngerayu kamu tiap hari. Biar semesta mikir ulang.”

 

Dialog demi dialog menjadi jembatan, menyeberangkan hati yang ragu menjadi ingin. Tapi mereka tahu, di ujung kolam, selalu ada dinding.

Dan itulah awal dari semua cerita ini—di balik air yang tenang, ada api yang tak pernah padam.

BAB 2: Irama yang Tak Biasa

Hari-hari berlalu seperti arus halus di dasar kolam—tak terlihat, tapi membawa perubahan. Jam-jam latihan renang menjadi momen yang selalu dinanti oleh Yculiya, bukan lagi karena ingin memperbaiki gaya kupu-kupu atau mempercepat catatan waktu, melainkan karena ingin melihat Onram berdiri di pinggir kolam, dengan peluit yang selalu menggantung longgar di lehernya, dan senyum yang seolah hanya untuk dia.

Namun di balik setiap senyum itu, tersimpan tanya.

"Apa aku sedang mencuri milik orang lain?"
"Apa dia benar-benar mencintaiku, atau hanya bosan pada hidupnya yang sunyi?"

Suatu sore yang mendung, latihan dihentikan lebih awal. Hujan turun pelan-pelan seperti irama balada dari langit.

Yculiya duduk sendirian di bangku kayu pinggir kolam, membungkus tubuhnya dengan handuk tebal. Onram datang menghampiri, membawa dua gelas kopi panas dari mesin otomatis di ruang staf.

“Masih dingin?” tanyanya.

Yculiya mengangguk, memandangi uap dari gelas yang mengepul. “Lebih dingin di hati, kayaknya.”

Onram tertawa kecil, lalu duduk di sebelahnya, tanpa jarak berarti. Mereka diam sejenak, hanya memandangi kolam yang mulai tertutup kabut hujan.

“Yu...”

“Hm?”

“Kamu tahu nggak, ada alasan kenapa aku terus ngejar kamu, terus ngasih perhatian kayak orang bodoh.”

“Aku pengin tahu, tapi aku juga takut dengarnya.”

Onram menarik napas panjang.

“Di rumah, aku hidup kayak patung. Ada suara, tapi nggak ada percakapan. Ada kehadiran, tapi nggak ada kehangatan. Aku nggak nyari pelarian. Tapi sejak kenal kamu, aku ngerasa... hidupku punya denyut lagi.”

Yculiya menunduk. Hujan makin deras.

“Kamu tahu kan, aku bukan perempuan yang main-main. Aku bisa jadi egois, keras kepala, bahkan tega. Tapi aku nggak pengin jadi orang yang menghancurkan rumah orang lain.”

“Dan kamu nggak akan jadi perusak apa pun. Kalau rumah itu sudah retak dari dalam, bukan kamu penyebabnya.”

Ia meraih tangan Yculiya, menggenggam perlahan. Hangat. Nyaman. Tapi juga menggetarkan.

“Aku pengin kamu tahu... bukan sekadar nafsu, bukan sekadar iseng. Kamu membuatku ingin jadi laki-laki yang lebih baik. Bukan untuk istri atau anakku. Tapi untuk diriku sendiri, dan mungkin... untuk kamu.”

 

Malam itu, Yculiya tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya yang putih polos, tapi pikirannya dipenuhi warna-warna samar: abu-abu ragu, biru rindu, merah cemburu yang belum jelas asalnya.

Ibunya sempat bertanya, mengapa dia sering pulang malam, sering termenung sendiri. Ia menjawab enteng: latihan persiapan kejuaraan. Tapi hatinya tahu, bukan itu penyebabnya.

 

Seminggu kemudian, mereka berada di dalam mobil Onram. Parkir di bawah pohon flamboyan di pelataran kampus, usai Onram menjemputnya seusai pelatihan.

Suasana hening. Radio menyala pelan memainkan lagu lawas Chrisye.

“Aku takut,” kata Yculiya akhirnya, menoleh pelan. “Aku tahu perasaan ini nyata. Tapi aku takut kehilangan diriku sendiri dalam hubungan ini.”

Onram menoleh. Matanya dalam, nyaris berkaca.

“Kalau suatu hari kamu minta aku pergi, aku akan pergi. Tapi hari ini... biarkan aku mencintaimu, walau hanya setengah dari waktumu.”

Yculiya memejamkan mata. Dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan bibirnya menyentuh bibir Onram.

Lembut. Perlahan. Tapi penuh luka yang tak terlihat.

 

Mereka tahu, cinta ini adalah nyala kecil yang disembunyikan di balik basahnya dunia. Tapi mereka juga tahu, kadang-kadang, cinta tak harus benar untuk terasa begitu... nyata.

 

BAB 3: Senyuman yang Menyesakkan

Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi yang terlalu nyata untuk diabaikan, tapi terlalu salah untuk dinikmati tanpa rasa bersalah. Yculiya dan Onram kini tak lagi hanya bertukar senyum dan rayuan di pinggir kolam. Mereka telah menjelma menjadi rahasia paling rapat yang saling mereka simpan di dada masing-masing.

Namun setiap cinta terlarang selalu dibuntuti oleh bayang-bayang hitam. Dan bayang itu mulai tampak.

 

Suatu sore, setelah latihan selesai, Yculiya tengah bersandar di pagar besi kolam, membiarkan rambut panjangnya yang basah digerai ke belakang. Onram mendekat, menawarkan handuk, seperti biasa. Tapi kali ini, senyumnya tak utuh.

“Kenapa, Coach?” tanya Yculiya dengan alis terangkat. “Biasanya kamu senyum sampai matamu sipit. Hari ini kayak habis lihat setan.”

Onram menarik napas. “Dia curiga, Yu.”

Yculiya diam. Ia tahu siapa yang dimaksud. Istrinya.

“Dia nemu pesan dari kamu, yang nggak aku hapus.”
“Apa yang kamu bilang ke dia?”

“Aku bilang kamu murid, atlet... dan itu obrolan soal latihan. Tapi matanya... matanya nggak percaya.”

Yculiya meremas handuk di tangannya. “Mungkin ini saatnya kita... berhenti?”

Onram langsung menatapnya. “Kamu mau aku berhenti sayang sama kamu?”

“Bukan itu maksudku—”

“Lalu apa? Kita saling mencintai tapi nggak boleh saling memiliki? Aku terlalu tua, ya? Terlalu rusak untuk kamu?”

“Bukan!” suara Yculiya nyaris bergetar. “Tapi... aku juga punya keluarga. Mama Papa nggak akan bisa terima aku pacaran sama pria yang sudah punya istri dan anak. Dan bukan... bukan dari latar belakang kita.”

Onram mengangguk pelan, menunduk.

“Aku ngerti, Yu. Tapi ngerti bukan berarti nggak sakit.”

Beberapa hari kemudian, di rumah Yculiya…

“Kamu akhir-akhir ini sering ngelamun, Culi,” kata sang mama sambil menuang teh.

“Nggak apa-apa, Ma. Cuma capek.”

“Capek hati atau capek badan?”

Yculiya terdiam. Lalu memaksakan senyum. “Dua-duanya.”

Sang mama menghela napas. “Mama tahu kamu dewasa. Tapi jangan jatuh cinta pada orang yang salah, ya. Kamu anak perempuan, Culi. Jangan sampai mama lihat kamu menangis karena laki-laki yang bukan milikmu.”

Kata-kata itu menampar. Yculiya tahu, ibunya sedang bicara sebagai perempuan, bukan sekadar ibu. Dan lebih dari itu, sebagai perempuan Tionghoa yang menjaga harga diri keluarga seperti menjaga porselen tua—tak boleh retak, apalagi pecah.

Di kolam renang, beberapa pekan setelah itu, suasana tak lagi sehangat dulu.

Yculiya lebih sering menghindar. Rayuan Onram tak lagi ditanggapi. Ia berusaha bersikap biasa. Tapi hati tak pernah bisa diajak kompromi.

Sampai suatu sore, setelah latihan, Onram menunggu di parkiran. Hujan rintik. Mobilnya berhenti tepat di depan motor Yculiya.

“Masih marah?” tanyanya pelan.

“Aku nggak marah. Aku... bingung.”

“Naik, Yu. Kita muter-muter aja. Aku pengin lihat kamu tersenyum lagi. Senyummu itu... racun dan obat sekaligus.”

Yculiya ragu sejenak, tapi akhirnya membuka pintu dan duduk di kursi penumpang.

Mobil berjalan pelan menembus senja yang basah. Lagu lama Sheila on 7 mengalun pelan di radio, dan di dalam mobil yang kecil itu, sunyi terasa terlalu padat.

“Aku nggak bisa jauh dari kamu, Yu,” kata Onram tiba-tiba.

“Tapi kamu juga nggak bisa dekat-dekat terus,” jawab Yculiya jujur. “Kita ini... salah.”

“Kalau mencintai kamu itu salah, aku rela jadi laki-laki paling berdosa.”

“Tapi aku nggak mau jadi perempuan yang merampas. Aku pengin dicintai tanpa sembunyi, tanpa bohong.”

Onram menepi. Mesin dimatikan. Ia memalingkan tubuh, menatap gadis yang telah membuatnya hidup kembali dan mati perlahan dalam waktu bersamaan.

“Kalau aku berani... ninggalin semuanya, kamu mau nunggu aku?”

Yculiya tak menjawab. Tapi air matanya menjawab semuanya.

Senyuman yang dulu membuat segalanya terasa manis... kini menyisakan getir.

Senyuman yang dulu menenangkan... kini menyesakkan.

 

 BAB 4: Pecahnya Sunyi

Sabtu pagi yang cerah. Udara di kota Malang terasa lebih ringan setelah seminggu hujan deras berturut-turut. Untuk pertama kalinya, Onram dan Yculiya memutuskan bertemu bukan di kolam renang, bukan di mobil, bukan di tempat sembunyi.

Tapi di sebuah kafe kecil di kawasan Oro-Oro Dowo. Tempat yang tenang, jauh dari lingkungan tempat mereka dikenal.

Yculiya datang mengenakan kemeja putih longgar dan jeans biru muda, rambutnya digerai alami. Tanpa makeup mencolok, tapi bagi Onram, dia seperti cahaya pagi yang menembus kabut hidupnya.

“Maaf ya, lama nunggu?” sapanya sambil menarik kursi di seberang Onram.

“Nggak. Aku baru aja sampai.” Tapi sebenarnya sudah 30 menit dia duduk di sana, menatap pintu dan setiap bayang yang masuk.

Mereka memesan dua gelas kopi susu dan croissant. Obrolan awalnya ringan—tentang kuliah, tentang murid-murid Onram yang mulai rewel karena persiapan lomba.

Lalu hening itu datang. Bukan karena kehabisan kata, tapi karena keduanya tahu: ini bukan sekadar pertemuan biasa.

“Ini pertama kalinya kita duduk begini. Bukan sebagai pelatih dan atlet. Bukan sebagai pencuri waktu.” kata Yculiya pelan.

Onram mengangguk. “Dan semoga bukan yang terakhir.”

“Kamu pernah berpikir untuk benar-benar meninggalkan semuanya?”

Onram menatap matanya. Lama. Dalam.

“Pernah. Hampir setiap malam.”
“Lalu kenapa belum juga dilakukan?”
“Karena aku pengecut. Karena aku tahu, meninggalkan bukan cuma soal pergi. Tapi soal menghancurkan hidup anakku, mungkin juga istri yang pernah aku cintai.”

Yculiya menghela napas. Matanya menerawang ke luar jendela. Di luar, pepohonan bergoyang pelan ditiup angin.

“Aku nggak minta kamu ninggalin keluargamu sekarang. Tapi aku juga butuh tahu arah hubungan ini. Aku takut... kita hanya jadi dua orang yang saling menunda luka.”

Onram menggenggam tangan Yculiya di atas meja. Hangat. Tegas. Tapi ada getar di ujung sentuhannya.

“Aku bukan laki-laki sempurna. Tapi aku pengin belajar jadi laki-laki yang layak untuk kamu. Bukan cuma untuk sekarang, tapi untuk nanti. Kalau kamu mau nunggu, Yu...”

“Berapa lama?” potong Yculiya cepat.

“Aku nggak tahu. Tapi aku janji, setiap langkah yang aku ambil setelah ini, selalu mempertimbangkan kamu.”

Air mata menetes di ujung mata Yculiya. Tapi ia tak menyekanya.

“Kadang-kadang, Mas...” suaranya serak. “Aku benci karena aku jatuh cinta sama kamu. Tapi aku lebih benci kalau harus berhenti.”

Mereka duduk dalam diam. Tapi dalam diam itu, sunyi pecah menjadi kejujuran. Bukan lagi rahasia yang ditutupi, tapi kenyataan yang dihadapi perlahan.

Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Onram mulai pulang lebih larut. Ia sering beralasan ada latihan tambahan. Istrinya mulai diam. Tak bertanya, tapi juga tak peduli.

Suatu malam, Onram berdiri di kamar anaknya yang sudah tertidur. Menatap wajah polos yang damai. Lalu menatap dirinya di cermin: laki-laki berusia hampir empat puluh, yang kini jatuh cinta seperti remaja.

“Apa aku egois?” bisiknya sendiri.

 

Sementara itu, Yculiya mulai menjaga jarak. Bukan karena tak cinta, tapi karena cinta itu mulai menyesakkan. Setiap notifikasi ponsel membuatnya cemas. Setiap kali melihat anak kecil, ia berpikir tentang anak Onram. Setiap kali menatap cermin, ia bertanya:

“Perempuan seperti apa aku ini?”

Tapi setiap kali ia ingin pergi, bayangan wajah Onram, senyumnya yang lelah, dan genggaman tangannya yang penuh janji... menariknya kembali.

 

Hubungan mereka seperti berenang di kolam gelap. Tak tahu arah dasar, tapi terus mengayuh—karena berhenti berarti tenggelam.

Dan dalam kolam itu, cinta mereka terus berdetak. Tak keras. Tapi pasti.

 

BAB 5: Titik Balik

Seperti api kecil yang ditiup angin, hubungan Onram dan Yculiya mulai mengeluarkan asap. Semula samar, tapi kini mulai kentara. Dan dalam hidup yang dijaga rapat oleh norma dan nama baik, asap sekecil apa pun bisa membakar segalanya.

Suatu malam, Yculiya sedang membantu mamanya menyusun laporan keuangan toko keluarga. Sore tadi, ia baru saja menerima pelukan panjang dari Onram di tempat parkir yang sunyi.

Lalu ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal.

“Kamu tahu dia sudah punya istri dan anak, kan? Kasihan keluarganya. Kasihan kamu juga. Dia hanya numpang singgah.”

Yculiya gemetar. Ia menoleh ke ibunya—masih sibuk mencocokkan nota.

“Ma...” katanya, lirih.

“Iya?”

“Kalau aku jatuh cinta sama orang yang... rumit, apa Mama akan tetap dukung aku?”

Sang mama meletakkan kacamata. Menatap putrinya dalam-dalam.

“Cinta itu urusan hati, Culi. Tapi hidup itu bukan cuma soal perasaan. Kalau kamu jatuh cinta sama yang sudah beristri... itu bukan cinta, itu jebakan.”

Yculiya menggigit bibir. Menahan tangis. Ia tak sanggup menjawab.

 

Di sisi lain kota, Onram masuk rumah lebih larut dari biasanya. Wajahnya lelah. Tapi hatinya hangat, karena tadi siang ia sempat mencium kening Yculiya dengan penuh cinta.

Tapi yang menantinya di ruang tengah bukan kehangatan. Melainkan istrinya, duduk diam dengan laptop terbuka. Di layar—foto Onram dan Yculiya di parkiran, sedang berpelukan.

“Aku nggak minta penjelasan,” kata istrinya pelan. “Aku cuma pengin tahu... kamu pernah benar-benar mencintaiku nggak, Ram?”

Onram tercekat. “Aku—”

“Jangan bilang iya. Karena kalau iya, kamu nggak akan seperti ini.”

“Aku... nggak pernah berniat nyakitin kamu. Tapi semuanya terjadi begitu saja.”

“Tidak ada cinta yang 'terjadi begitu saja', Ram. Kamu memilih. Dan pilihanmu bukan aku.”

 

Keesokan harinya, Onram mengirim pesan ke Yculiya:

“Kita harus bicara. Tapi bukan sebagai kekasih.”

Yculiya tahu, ini saatnya.

 

Mereka bertemu di tempat biasa, di pojok kafe yang sama. Tapi suasana tak lagi sama. Kali ini tak ada kopi susu. Tak ada senyum.

Onram menatap gadis yang sudah mengubah hidupnya itu, lalu berkata,

“Istriku tahu, Yu.”

Yculiya menunduk. “Aku juga... terima pesan. Dari siapa, aku nggak tahu. Tapi orang-orang mulai tahu.”

“Dia bilang... dia nggak akan menahanku. Tapi dia juga nggak akan tinggal untuk jadi penonton.”

“Lalu?”

“Aku harus jujur ke anakku. Ke semua orang. Tapi sebelum itu, aku harus jujur ke kamu dulu.”

Yculiya menahan napas.

“Kalau kamu siap bersamaku bukan hanya di pelukan... tapi juga dalam badai, aku akan berjuang. Tapi kalau kamu merasa semua ini terlalu menyakitkan... aku akan pergi.”

Hening panjang. Waktu seperti berhenti.

Lalu Yculiya menjawab, dengan suara pelan namun mantap:

“Aku nggak jatuh cinta padamu karena kamu sempurna. Aku jatuh cinta karena kamu nyata. Kalau kita memang ditakdirkan luka... setidaknya kita luka bersama.”

Mata Onram memerah. Ia menggenggam tangan gadis itu dengan seluruh keraguan dan keberanian yang bisa dikumpulkan.

Baik. Kita lanjutkan ke Bab 6: Jalan yang Tak Pulang, bab yang menyayat dan dewasa, ketika cinta diuji bukan hanya oleh perasaan, tapi oleh pilihan yang tak bisa dibatalkan. Di sinilah cinta Onram dan Yculiya benar-benar menghadapi dunia.

 

BAB 6: Jalan yang Tak Pulang

Beberapa hari setelah pertemuan terakhir mereka di kafe, segalanya berubah. Tak ada lagi malam-malam tenang. Tak ada lagi pelukan di mobil yang sunyi. Tak ada lagi ruang untuk menyangkal bahwa dunia sedang menatap mereka—dengan mata curiga, tajam, dan siap menghakimi.

Di rumah Yculiya, ketegangan menggumpal seperti awan sebelum badai. Mama Yculiya menangis diam-diam saat mencuci piring. Papa Yculiya, pria keras kepala yang selalu menjaga nama baik keluarga Cindonya, memanggil Yculiya masuk ke ruang tamu.

“Jelaskan.” katanya, dingin.

“Aku mencintainya, Pa.”

“Dia pelatihmu. Dia sudah menikah. Dia punya anak. Kamu tahu itu.”

“Justru karena aku tahu, makanya aku nggak main-main.”

“Jangan bodoh! Kamu pikir dia akan tinggalkan keluarganya demi kamu? Apa kamu mau hidup jadi perempuan simpanan?”

Yculiya berdiri. Matanya tajam meski berkaca-kaca.

“Aku lebih baik jadi perempuan simpanan yang dicintai, daripada jadi istri yang tak pernah disentuh hatinya.”

Tamparan itu datang cepat. Membekas.

Tapi Yculiya tak mundur. Ia menatap ayahnya, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, berkata,

“Aku tidak akan pulang. Biar dunia bilang aku durhaka, aku lebih takut mengkhianati hatiku sendiri.”

 

Malam itu, ia mengemasi pakaiannya. Pergi ke kos temannya. Ia memutus semua koneksi keluarga. Ia hanya menyimpan satu suara: suara Onram.

 

Di sisi lain, Onram sudah tidak tidur di rumah. Ia menyewa kamar kecil di dekat sekolah. Istrinya tak melarang, hanya berkata:

“Kalau kamu benar-benar ingin bahagia... kejar. Tapi jangan balik ke sini dengan penyesalan.”

Putranya—Revan—diam. Bocah kelas dua SD itu hanya memeluk ayahnya erat sebelum tidur terakhir mereka.

“Ayah jangan hilang, ya?”

“Ayah selalu ada, Nak. Meski nanti tidak tinggal di rumah yang sama.”

Onram menangis. Untuk pertama kali, bukan karena rasa bersalah, tapi karena kehilangan tak selalu bisa dibagi dua.

Beberapa minggu setelahnya, berita mengejutkan datang.

Yculiya mendapat tawaran beasiswa ke Australia—program pertukaran untuk mahasiswa keuangan yang juga atlet nasional.

Ia bimbang. Pergi berarti menyelamatkan masa depan. Tapi itu juga berarti meninggalkan Onram yang baru saja mulai menyusun ulang hidupnya.

Mereka bertemu di stasiun kereta, bukan bandara. Karena tak ada yang cukup berani mengucap "selamat tinggal" di depan pesawat.

“Mas... kalau aku pergi, kamu tetap akan tunggu aku?”

“Aku nggak akan janji soal waktu. Tapi aku janji, perasaanku nggak akan pergi.”

“Aku takut, Mas.”

“Takut apa?”

“Takut kamu sembuh, dan aku masih di sini—mencintaimu.”

Onram tersenyum pahit. “Kalau kamu pulang dan aku masih sendiri... maka mungkin, semesta memang tak ingin kita jadi rahasia.”

Yculiya menangis dalam pelukannya.

“Tapi kalau kamu sudah bahagia dengan hidupmu nanti... aku akan senang juga. Meski bukan aku penyebabnya.”

 

Kereta datang. Dunia tak menunggu.

Yculiya melangkah naik. Membawa harapan, luka, dan cinta yang belum selesai.

Dan Onram? Ia berdiri di peron. Tak mengejar. Tak menahan. Hanya berdiri. Karena ia tahu, cinta sejati tak selalu tinggal di rumah yang sama—tapi selalu tinggal di hati yang sama.

 

BAB 7: Surat dari Musim Dingin

Salju mulai turun perlahan di kota Melbourne, tempat Yculiya kini menuntut ilmu dan mengasah diri sebagai atlet dan mahasiswi keuangan. Suasana dingin mengiringi rindu yang membekap hatinya—rindu yang tak bisa dihapuskan oleh jarak ribuan kilometer.

Di kamar kecil yang sederhana, Yculiya menulis surat dengan tinta hitam, perlahan, penuh perasaan yang ia simpan selama setahun terakhir. Surat itu bukan hanya tentang kabar, tapi tentang hati yang tak pernah berubah.

*“Onram,
Aku menulis ini di tengah musim dingin yang menusuk, tapi hatiku tetap hangat ketika mengingatmu.
Setiap detik di sini mengajarkanku arti kesabaran, arti kehilangan, dan arti mencintai dalam diam.
Aku ingin kau tahu, aku masih mencintaimu, bahkan saat aku berdiri jauh di sini, dan kau sibuk membangun kembali hidupmu di sana.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku percaya, cinta kita akan selalu menjadi sesuatu yang indah—meski tidak selalu bersama.

Aku berharap suatu hari, kau bisa membaca surat ini tanpa rasa sakit, hanya dengan senyum dan harapan.

Dengan segala cinta yang ku punya,
Yculiya.”*

 

Onram menerima surat itu satu minggu kemudian. Di ruang kecilnya yang sederhana, ia membuka amplop dengan tangan gemetar. Ia membaca perlahan, larut dalam tiap kata.

Surat itu bukan hanya pengingat tentang masa lalu, tapi juga pendorong untuk maju.

Onram menghela napas panjang, memandang langit senja yang mulai merona.

“Yculiya... aku belum siap kehilanganmu.”

Ia tahu, jarak dan waktu adalah ujian berat. Tapi surat itu memberinya satu keyakinan: cinta mereka bukan sekadar cerita yang berakhir dengan perpisahan, tapi kisah yang masih berlanjut, meski di antara dingin dan rindu.

 

Malam itu, Onram menulis balasan di atas secarik kertas:

*“Yu,
Suratmu adalah pelita di malamku yang gelap.
Aku tak tahu apa kata ‘nanti’ akan membawa kita ke mana, tapi aku ingin kau tahu, kau bukan hanya mimpi yang lalu.
Kau adalah kenyataan yang kupegang, walau dunia mencoba memisahkan kita.
Aku mencintaimu, dan itu adalah keberanian terbesarku.

Tunggu aku di ujung cerita ini, dan kita akan temukan bahagia—dengan caramu dan caraku.

Selalu,
Onram.”*

Surat itu ia lipat dengan hati-hati, lalu mengirimnya ke alamat di Australia.

Jarak memang jauh, dan waktu terus berjalan. Tapi cinta Onram dan Yculiya seperti dua bintang yang tetap bersinar walau terpisah malam dan siang. Mereka percaya, suatu hari, mereka akan bertemu lagi—bukan sebagai rahasia, tapi sebagai cerita nyata yang layak diperjuangkan.

 

BAB 8: Dalam Diam dan Doa

Malam itu, kamar Onram temaram. Satu lampu kecil menyala, membiaskan bayang-bayang panjang di dinding. Ia duduk di kursi kayu, menatap sebatang lilin yang mulai meredup.

Di tangannya, tersimpan surat Yculiya yang telah dibaca berulang kali, tiap kata terasa seperti napas yang menenangkan sekaligus menusuk.

Ia menarik napas dalam-dalam.

“Kenapa cinta ini terasa begitu berat, tapi aku tak pernah ingin melepaskannya?”

Onram tahu, cinta itu bukan sekadar kata manis atau pelukan hangat. Cinta adalah perjuangan, adalah keteguhan hati saat dunia memaksamu menyerah.

Di seberang bumi, Yculiya terjaga di kamar kecilnya. Menatap langit-langit yang gelap, ia menggenggam ponsel, menahan keinginan untuk mengirim pesan.

“Apa aku terlalu egois mencintai pria yang belum sepenuhnya milikku? Tapi bagaimana aku bisa berhenti mencintai seseorang yang mengisi setiap sudut hati?”

Malam-malam mereka diisi oleh doa-doa sunyi. Doa agar jarak tak menghapuskan rasa. Doa agar waktu menguatkan, bukan mematahkan.

 

Hari-hari berlalu dalam diam. Onram terus berlatih dan mengajar renang, tapi pikirannya sering melayang jauh, ke satu nama: Yculiya.

Ia mengingat senyum manis itu, suara lembutnya saat berkata,

“Aku percaya kita akan menemukan jalan.”

Namun di dalam hatinya, ada ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan.

“Apakah aku akan cukup kuat? Ataukah aku akan kehilangan dia, karena aku terlalu lama terperangkap dalam dunia yang kubangun sendiri?”

Sementara itu, Yculiya di Australia mencoba tegar di antara tugas kuliah dan latihan renang yang melelahkan.

Terkadang, ia menangis diam, membayangkan pelukan Onram, hangat dan penuh arti.

Tapi ia juga sadar, ia harus bertahan. Demi impian, demi masa depan, demi cinta yang tak bisa dipertemukan secara langsung.

 

Suatu malam, Onram menulis pesan panjang untuk Yculiya, yang akhirnya ia kirimkan dengan penuh harap:

“Yu,
Dalam sepi dan riuhnya dunia, kau adalah ketenangan yang aku cari.
Aku tak tahu sampai kapan kita harus menunggu, tapi aku percaya waktu akan mempertemukan kita kembali.
Jangan pernah ragu, aku tetap di sini, berjuang untuk kita.
Cintaku bukan untuk diragukan, tapi untuk dijaga.
Selalu,
Ram.”

Pesan itu tiba di ponsel Yculiya saat ia baru selesai latihan renang. Ia tersenyum sendiri, air mata mengalir pelan.

“Aku juga di sini, Mas. Menjaga cinta kita, walau dalam diam.”

 

🖋️ BAB 9: Pelabuhan Akhir

Setahun berlalu sejak Yculiya berangkat ke Australia. Waktu tak lagi sekadar angka, tapi kisah yang mengajarkan mereka tentang arti sabar, rela, dan ikhlas.

Onram duduk di tepi kolam renang, melihat air yang tenang memantulkan sinar senja. Tangan kirinya menggenggam surat yang baru tiba dari Yculiya. Surat itu pendek, tapi penuh makna.

“Mas,
Aku akan pulang. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin kita bertemu tanpa bayang-bayang.
Aku lelah menyimpan rahasia ini sendiri.
Kalau memang kita takdir, aku percaya pelabuhan kita masih menanti.
Sampai jumpa, Ram.”

Onram menutup mata, menarik napas dalam. Ia tahu, perjalanan ini belum selesai. Tapi kini, ada titik terang yang menghangatkan jiwa.

 

Di bandara, Yculiya turun dari pesawat. Ia melihat ke sekeliling, mencari sosok yang selama ini ia rindukan. Di ujung lorong, berdiri Onram—tua sedikit, lelah tapi matanya masih memancarkan cinta yang sama.

Mereka berlari, tanpa kata, hanya pelukan yang bicara.

“Yu...”

“Mas...”

Dalam pelukan itu, semua penantian, semua luka, semua harapan bersatu menjadi satu.

 

Malam itu, mereka duduk berdua di tepi kolam renang kecil di rumah Onram. Di bawah bintang, tanpa janji, hanya keikhlasan.

“Aku tak tahu apa kata orang nanti.”

“Aku juga.”

“Tapi aku mau coba, untuk kita.”

“Aku juga. Kita mulai dari sini, dari sekarang.”

Mereka tahu, cinta mereka tak sempurna. Ada bekas luka dan cerita yang tak mudah dilupakan. Tapi ada juga keindahan yang lahir dari keberanian memilih cinta, walau berbeda, walau sulit.

 

Pelabuhan itu bukan akhir. Tapi awal baru yang mereka jalani dengan hati terbuka, tanpa beban rahasia, dan penuh cinta yang sesungguhnya.

 

Cerita mereka tetap hidup, dalam bisikan angin dan gemercik air, sebagai saksi bahwa cinta sejati tidak mengenal batas usia, ras, atau waktu. Yang ada hanyalah keberanian untuk mencintai dan berjuang bersama.

 

Akhir cerita.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar