Senja menggantung remang di langit yang enggan berubah
warna. Angin sore menyapu pelan, membawa aroma bunga kamboja yang gugur
satu-satu di halaman belakang gereja tua. Di sanalah, Yculiya berdiri dalam
balutan mantel abu-abu, tangan gemetar menanti seseorang yang selalu membuat
dunia serasa penuh warna—meski kini, warna itu perlahan memudar.
Langkah kaki menghampiri. Onioramio datang dengan napas yang
berat, jaket hitamnya basah oleh gerimis yang tadi sempat turun. Ia berhenti
sejenak, memandangi Yculiya dari kejauhan, seolah ingin mengabadikan tiap detik
sebelum semuanya menghilang.
Yculiya: (suara bergetar)
"Kau datang juga… Kupikir kau takkan berani menemuiku lagi."
Onioramio: (melangkah perlahan, menahan gemetar)
"Bagaimana bisa aku tidak datang… saat ini mungkin kali terakhir aku
melihatmu, Ycu."
Mereka berdiri berhadapan. Tak saling menyentuh. Tak saling
mendekap. Hanya mata yang bicara lebih banyak dari kata-kata.
Yculiya:
"Besok pagi, persidangan itu akan menjadi kuburan untuk kisah kita, bukan?
Orang tuaku akan memaksamu melepaskanku, seolah aku bukan lagi milik diriku
sendiri…"
Onioramio:
"Aku ingin melawan, Ycu. Demi kita. Tapi kekuasaan mereka terlalu besar…
surat pengadilan, tekanan keluarga, bahkan ancaman pada pekerjaan ayahku.
Mereka tak hanya ingin memisahkan kita. Mereka ingin menghancurkanku… dan kau
tahu, aku tak sanggup jika kau jadi korban."
Yculiya menarik napas dalam-dalam. Matanya yang sembab sudah
tak bisa menahan butiran air yang mengalir pelan.
Yculiya:
"Aku tak butuh segalanya, Rami. Aku hanya ingin bersamamu. Aku tak peduli
dengan restu yang tak pernah ada, tak peduli dengan nama baik keluarga. Aku
hanya… lelah. Lelah mencintaimu diam-diam, lelah dicaci karena perbedaan
kita."
Onioramio: (meraih jemari Yculiya, mengecupnya lama)
"Dan aku bersalah… karena tak bisa menjagamu dari luka ini. Maafkan aku,
Ycu. Aku ingin menjadi pria yang menjemputmu, bukan pria yang melepaskanmu
diam-diam di bawah pohon kamboja."
Yculiya: (tersenyum pahit)
"Kalau waktu bisa diputar… aku tetap akan memilihmu. Bahkan jika akhir
kisah kita tetap sama—pilu dan berlumur air mata. Karena bersamamu, aku tahu
apa artinya mencinta dengan seluruh jiwa."
Angin mengembus, membawa suara lonceng gereja yang
berdentang sekali.
Onioramio:
"Setelah ini, aku akan dipaksa menandatangani surat yang menyatakan aku
tak pernah layak untukmu. Dan kau akan dipaksa memilih hidup yang mereka anggap
‘pantaspadamu’…"
Yculiya:
"Biarkan ini menjadi rahasia kita, Rami. Pertemuan terakhir. Di tempat
pertama kita jatuh cinta. Di bawah pohon ini… di mana kita pernah berjanji,
meski dunia tak mengizinkan."
Onioramio merangkul Yculiya untuk terakhir kalinya. Tak ada
kata selamat tinggal. Hanya keheningan panjang yang mendesak air mata keduanya
tumpah bersama.
Dan saat malam turun perlahan, mereka berjalan menjauh ke
arah yang berbeda—meninggalkan sepotong cinta yang dikubur tanpa nisan, namun
hidup selamanya dalam kenangan yang tak bisa disidangkan oleh siapa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar