Senin, 19 Mei 2025

Cerpen : "Lembar yang Tak Pernah Usai"

Ia mengenalnya dari kejauhan. Dari bangku taman fakultas, di antara sela waktu makan siang yang sempit, saat dunia tampak riuh tapi hatinya justru sunyi.

Gadis itu—Alya, mahasiswa semester lima di sebuah universitas swasta. Putih manis, tinggi besar, dan menyimpan semesta ketenangan dalam senyumnya. Bagi sebagian orang, Alya adalah lukisan yang terlalu utuh untuk disentuh. Tapi bagi Arfan, ia adalah puisi yang belum selesai ditulis.

Arfan bukan siapa-siapa. Seorang pria muda yang sudah bekerja sejak tiga tahun lalu. Hidupnya sederhana, rambutnya selalu rapi, langkahnya tenang, dan suaranya… hanya digunakan seperlunya. Namun sejak mengenal Alya, tangannya tak lagi tenang. Selalu ingin menulis. Surat demi surat.

Lembar demi lembar kecil, yang ditulis dengan hati-hati dan diberikan setiap kali mereka berpapasan. Kadang saat Alya keluar dari kelas. Kadang diselipkan di sela-sela buku pinjamannya di perpustakaan. Kadang hanya disodorkan diam-diam, tanpa suara, tanpa tatap, lalu pergi seperti angin.

“Jika kamu tahu betapa bahagiaku hanya dengan melihatmu berjalan, mungkin kamu akan mengerti kenapa aku tak pernah bosan menunggu.”

Alya tak pernah benar-benar membalas. Tapi ia tak pernah menolak. Ia hanya menghindar. Mundur setapak setiap kali Arfan mendekat. Menunduk dan mempercepat langkah saat tatapan mereka hampir bertemu. Tapi surat itu… selalu diambilnya. Dan selalu dibacanya.

Kadang isinya hanya satu kalimat. Tapi dalam. Kadang satu paragraf, tapi penuh ketulusan. Dan yang paling membuatnya geli sekaligus penasaran adalah surat-surat yang ditulis dalam aksara Jawa.

Suatu kali ia membaca dengan kening berkerut.

ꦏꦤ꧀ꦏꦸꦠꦸꦔꦸꦃꦲꦶꦢꦸꦏꦭꦸꦱꦿꦺꦴ — kan kutunggu hingga malam larut.

Ia tertawa. “Ya ampun, ini orang... bikin aku buka kamus Jawa tengah malam,” gumamnya sambil nyengir. Tapi setelah berhasil membaca seluruh surat, ia diam. Dada seperti digelitik. Pipinya memanas tanpa alasan.

Surat itu menjadi kebiasaan yang manis. Ia menunggu, bahkan kalau bisa—mengatur jalannya agar berpapasan. Tidak untuk menyapa. Hanya agar bisa menerima selembar kertas kecil itu lagi. Kertas yang kini disimpannya di dalam kotak kecil, rapi berurutan. Sudah puluhan jumlahnya.

Dan dalam diam yang konsisten itu, hatinya mulai mencair.


Sampai suatu malam di penghujung semester, Arfan memberanikan diri berdiri di depan kampus. Menunggu Alya pulang dari kelas malam. Tangan kanannya gemetar menggenggam surat yang tak seperti biasanya—lebih panjang, dan yang terberat: mungkin yang terakhir.

Saat Alya melangkah keluar, mata mereka akhirnya bertemu. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Hanya pandang yang dalam, diam-diam mengikat perasaan yang selama ini hanya tertulis.

"Alya," suara Arfan lirih, hampir tertelan angin. “Kalau semua suratku belum juga bisa menjelaskan, izinkan aku malam ini bicara sedikit saja.”

Gadis itu terdiam. Tak menjauh. Hanya menatap.

“Aku tak ingin kau menjawab. Tidak harus sekarang. Tapi izinkan aku mencintaimu… tanpa terburu-buru, tanpa meminta apa-apa. Karena cintaku tak menuntut. Ia hanya ingin ada.”

Ia menyodorkan surat itu. Lebih tebal dari biasanya.

“Kalau suatu hari kamu baca, dan kamu masih ingat, lihat halaman terakhir.”

Alya menerima surat itu. Tak menjawab. Tapi malam itu ia tak bisa tidur. Ia membaca lembar demi lembar tulisan tangan yang menggigil. Dan di halaman terakhir, hanya tertulis:

“Kan kutunggu hingga malam larut, kalau mungkin sampai ajal menjemput.”

Ia menangis pelan. Bukan karena sedih. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa dicintai tanpa paksaan. Dan untuk pertama kalinya, ia ingin berhenti menghindar.


Namun waktu adalah jarak yang tak selalu bisa ditawar. Setelah malam itu, Arfan menghilang. Bukan karena berhenti mencinta, tapi karena hidup membawanya jauh ke kota lain, ke pekerjaan baru, dan dunia yang makin dewasa.

Tapi surat itu… tetap ada. Masih disimpan Alya di kotak kecilnya. Dan kalimat itu, tak pernah benar-benar hilang dari dadanya.

“Kan kutunggu hingga malam larut, kalau mungkin sampai ajal menjemput.”


Kini, Alya telah lulus. Duduk di bangku kafe tempat biasa mereka bertemu tanpa pernah saling menyapa. Di tangannya, surat terakhir dari Arfan. Ia memandang keluar jendela, tersenyum tipis.

"Entah kau di mana sekarang, tapi hatimu masih tinggal di tiap hurufmu," bisiknya.

Dan mungkin, di sudut kota yang lain, Arfan masih menulis. Meski tak lagi bisa mengirim. Karena cinta sejati, kadang tak butuh jawaban. Ia cukup hidup… di selembar surat dan hati yang tak pernah betul-betul pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar