Rabu, 07 Mei 2025

Cerita Pendek : Gigiku Sayang, Gigiku Malang

 

Gigiku Sayang, Gigiku Malang

Namanya Pak Gunawan. Di usianya yang menginjak kepala enam, ia masih terlihat bugar. Rambut sudah lebih banyak putihnya, tetapi matanya masih tajam dan senyumnya hangat. Suatu hari, karena rasa nyeri yang tak tertahankan di gigi gerahamnya, Pak Gunawan memutuskan untuk pergi ke sebuah klinik gigi baru yang katanya cukup terkenal. Di sanalah ia bertemu dengan drg. Nayla, dokter gigi muda berusia 23 tahun yang baru saja menyelesaikan masa PTT-nya.

Cantik, imut, dan selalu ramah, itulah kesan pertama Pak Gunawan tentang Nayla. Namun siapa sangka, setelah beberapa kali kunjungan, hubungan antara pasien dan dokter itu menjadi akrab. Nayla senang mendengar cerita Pak Gunawan yang lucu-lucu dan kadang menyentuh. Sementara Pak Gunawan mulai merasa nyaman berada di ruang praktik Nayla, bukan hanya karena pengobatannya, tetapi juga karena kehadiran Nayla yang membuatnya lupa usia.

Waktu bergulir. Rasa di antara mereka tumbuh diam-diam.

Suatu hari, Pak Gunawan datang dengan niat mencabut giginya yang masih terasa sakit. Tapi Nayla menolak.

“Belum bisa, Pak. Masih ada infeksi. Nanti minggu depan saja kalau sudah membaik, ya.”

Pak Gunawan patuh. Ia pulang dan datang lagi minggu berikutnya. Setelah diperiksa, Nayla pun bersiap mencabut gigi. Mereka masih sempat bercanda kecil sebelum tindakan dilakukan.

“Dokter yakin ini gigi yang sakit?” tanya Pak Gunawan, setengah bercanda.

“Masa saya nggak hafal gigi Pak Gunawan,” jawab Nayla sambil tertawa manis.

Lalu... CRACK! Gigi tercabut. Tapi yang dicabut... adalah gigi yang sehat!

Pak Gunawan tidak langsung sadar. Namun, ketika rasa bius mereda di rumah, ia mulai curiga. Gigi yang tadinya sakit masih utuh di tempatnya. Tapi yang hilang... justru gigi sebelahnya yang baik-baik saja!

Dengan wajah tegang, Pak Gunawan kembali ke klinik.

“Bu Dokter, ini kenapa yang dicabut bukan gigi yang sakit?”

Nayla kaget. Ia memeriksa ulang catatan dan mulut Pak Gunawan. Wajahnya pucat. Ia tahu... ia telah melakukan kesalahan.

Namun, sebelum Pak Gunawan sempat marah, Nayla menunduk dan berkata dengan suara pelan,

“Saya... saya minta maaf, Pak. Saya teledor. Tapi... saya juga bingung karena setiap kali Bapak datang, saya jadi grogi. Saya nggak fokus karena saya... ”

Pak Gunawan terdiam. Suasana jadi hening. Giginya boleh hilang satu, tapi hatinya... justru berdebar dua kali lipat.

“Dokter Nayla... kamu sadar kan, usia kita beda jauh?” katanya lembut.

“Saya tahu. Tapi saya juga tahu hati saya nggak salah cabut. Hanya tanganku yang salah.”

Pak Gunawan tak bisa menahan senyum, antara jengkel dan geli.

“Ya sudah. Kalau begitu, minggu depan cabut gigi yang benar... habis itu, kita makan bubur bareng.”

Nayla tertawa, lega, matanya berbinar.

Mungkin simpati tak mengenal usia, tapi tetap harus mengenal gigi mana yang sakit.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar