Jumat, 20 Juni 2025

CERPEN : Tirai yang Terbuka Setengah

 

Rumah itu berdiri tenang di ujung gang sempit yang dihiasi tanaman rambat dan lonceng angin dari bambu. Warna dindingnya pucat, namun bersih. Jendela kayu tua di sisi timur selalu terbuka setengah, seperti menyambut cahaya—dan menyimpan rahasia dalam diam.

Di situlah Ayculiayana tinggal. Gadis bermata teduh dan bibir yang selalu seperti baru saja mengucap sesuatu yang tidak sempat didengar. Sejak kecil ia diajari untuk menjadi patuh: pada ayahnya, pada adat, pada takdir. Tapi tidak pada rasa.

Itu sebabnya Aionramusia datang diam-diam.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, langkah Aion ringan namun terukur melewati pagar kecil yang berdecit. Ia mengetuk pintu dapur dua kali—isyarat rahasia yang hanya Ayculiayana dan seseorang lagi di rumah itu yang tahu.

Dan yang membukakan pintu… bukan Ayculiayana.

“Ah, Aion…” suara Achiong terdengar seperti nyanyian lirih. Ia mengenakan batik merah tua dan selendang sutra melingkari lehernya. “Sudah malam begini masih sempat berkunjung. Kamu memang tak pernah gagal membuat rumah ini hangat.”

Aion tersenyum kaku. “Maaf, Paman, saya tidak ingin mengganggu.”

“Ganggu?” Achiong tertawa ringan. “Oh, sayang. Kamu ganggu kalau kamu tidak datang.”

Aion masuk, dan aroma teh melati menyergap hidungnya. Di meja tamu, sudah tersedia dua cangkir dan kue kacang yang disusun rapi.

“Yculiayana belum turun?” tanyanya pelan.

Achiong mengangkat bahu. “Mungkin dia sedang mendandani kecemburuannya.”

“Maksudnya?” Aion menatap Achiong bingung.

Paman Achiong hanya tertawa pelan. “Ah, tidak. Lupakan saja. Duduklah, duduklah. Malam ini sepertinya bulan ingin mendengar kita bicara.”


Dari balik tirai kamar, Ayculiayana mengintip. Ia melihat Aion duduk dengan ragu, dan pamannya yang duduk sedikit terlalu dekat, sedikit terlalu santai, sedikit terlalu… menyayangi.

Cemburu merayap seperti semut di nadi. Bukan karena takut kehilangan Aion, tapi karena takut Aion nyaman dalam dunia lain yang tak ia mengerti. Dunia pamannya yang sering ia dengar dibicarakan orang dengan nada bisik-bisik.

“Paman Achiong itu... beda,” kata orang-orang.
“Makanya belum nikah-nikah sampai sekarang,” bisik yang lain.

Yculiayana tahu, pamannya tak pernah benar-benar mencintai siapa pun setelah kekasih rahasianya di masa muda hilang tanpa kabar. Tapi sejak Aion datang, sorot matanya berubah. Ada yang hidup kembali.

Dan ia tahu… itu bisa berbahaya.


“Kenapa kamu diam?” tanya Aion saat mereka akhirnya duduk berdua di taman belakang.

“Karena aku sedang menahan sesuatu,” jawab Yculiayana, lirih.

“Menahan apa?”

Yculiayana menatapnya tajam. “Rasa ingin menarikmu menjauh dari pamanku.”

Aion tertawa pelan, heran. “Ycu, kamu cemburu?”

“Tidak. Aku marah.”

“Kenapa?”

“Karena kamu terlalu manis padanya.”

Aion menatapnya lembut. “Ycu... aku datang ke rumah ini karena kamu. Kalau aku bersikap baik pada Paman Achiong, itu karena aku menghargainya. Tapi kalau kamu ingin aku lebih dingin padanya, aku bisa... jadi es kutub.”

Yculiayana tersenyum, separuh lega, separuh masih curiga. “Jangan jadi es. Tapi jangan juga jadi api yang membakar arah.”

Aion menarik tangannya, menggenggam jari-jari halus Yculiayana. “Aku ini hanya pelaut yang menyamar. Tapi hatiku selalu tahu di mana pelabuhannya.”

Yculiayana menunduk, malu.

Di balik tirai, seseorang mengintip. Achiong, berdiri sendiri di kegelapan, mendengarkan suara tawa mereka berdua.

Ia menatap bulan yang menggantung di langit.

“Kau beruntung, Yculiayana…” bisiknya. “Setidaknya, kau masih bisa memiliki yang kau cintai, meski harus disembunyikan.”

Dan malam pun menutup babnya, menyimpan satu rahasia yang masih akan terus bergulir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar