Lima tahun telah berlalu sejak hari itu. Kota tumbuh dan berubah, sebagaimana manusia yang tinggal di dalamnya. Gedung-gedung tinggi menjulang seolah ingin menyentuh langit, sementara langkah-langkah di trotoar makin terburu oleh ambisi dan waktu.
Yculiya kini bekerja sebagai seorang accounting di perusahaan besar yang berkantor di lantai tiga puluh sebuah menara kaca. Hidupnya teratur, rapi, dan terencana. Ia mengenakan blazer netral, membawa laptop kerja ke mana pun ia pergi, dan jam makannya diatur nyaris seperti ritual.
Sementara itu, Iaonramua menjalani hari-hari sebagai guru sederhana di sebuah SMP pinggiran kota. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk menghidupi keluarganya. Ia naik motor tua ke sekolah, membawa buku-buku LKS, dan lebih sering mengenakan kemeja kusut yang digantung malam sebelumnya di dekat kipas angin.
Takdir mempertemukan mereka kembali di sebuah acara literasi yang diadakan Dinas Pendidikan kota. Yculiya hadir sebagai undangan perusahaan sponsor, Iaonramua sebagai pendamping murid yang membaca puisi.
Mereka bertemu bukan di pelukan, bukan dalam haru, tapi di antara tumpukan leaflet dan tenda sederhana. Pandangan mata mereka bersentuhan. Sekilas. Namun cukup membuat dada mereka bergetar, seperti lembaran lagu lama yang tak sengaja diputar ulang.
“Yculiya?” tanya Iaonramua, masih dengan suara yang rendah dan bersahaja.
“Hai,” jawab Yculiya, singkat tapi sarat makna. Senyumnya tidak gemetar. Ia sudah lama belajar menyimpan perasaan tanpa harus menguburnya.
“Kamu sekarang terlihat… mapan,” ujar Iaonramua, separuh bercanda, separuh kagum.
“Kamu juga,” Yculiya membalas. “Tetap sederhana, tapi tetap kamu.”
Mereka duduk sebentar di pinggir taman, memandang anak-anak sekolah yang berlarian. Tak banyak kata, tapi keheningan di antara mereka kini tak lagi berat. Sunyi itu sudah berdamai dengan waktu.
“Aku sudah menikah,” ucap Yculiya perlahan. “Dia baik. Pendiam. Tapi selalu pulang tepat waktu.”
Iaonramua tersenyum. “Aku juga. Istriku guru juga. Kami punya satu anak laki-laki. Namanya Amar. Dia senang matematika, dan… anehnya, suka akuntansi.”
Yculiya tertawa pelan. Tawanya masih sama. Dan Iaonramua tahu, suara itu akan selalu ia kenang, bahkan jika dunia telah melupakan mereka.
Mereka tak bicara soal masa lalu. Tak membuka luka lama. Tak mempertanyakan pilihan yang telah diambil.
Yculiya berdiri lebih dulu. Ia mengangguk lembut. “Terima kasih sudah pernah menjadi rumah, meski cuma sementara.”
Iaonramua menatapnya dalam. “Dan terima kasih sudah pergi. Karena kalau kamu tetap tinggal, mungkin kita tak pernah tumbuh seperti sekarang.”
Saat mereka berjalan menjauh ke arah yang berbeda, tak ada lagi yang tersisa selain ketulusan. Cinta mereka mungkin tak pernah selesai, tapi tak lagi menyakitkan.
Di dunia yang terus berjalan, mereka hanyalah dua orang yang pernah saling mencintai dengan utuh—dan kini saling melepaskan dengan lapang.
Karena cinta sejati bukan tentang siapa yang tinggal paling lama, tapi siapa yang paling ikhlas melepaskan tanpa menghapus kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar