Langit sore itu jingga, seperti menyimpan luka yang enggan dibicarakan. Udara membawa harum hujan kemarin yang belum sepenuhnya hilang, dan di antara langkah-langkah kaki yang tak tergesa, Yculyana berdiri di tepi taman kota, menanti sesuatu yang selama ini ia doakan dalam diam: pertemuan.
Iaoramusaia datang terlambat dua menit. Tapi waktu seolah berhenti begitu mata mereka bertemu. Lima tahun lamanya mereka tak bersua, hanya saling menyapa lewat layar, suara, dan kata-kata yang rindu tak bisa terjemahkan seluruhnya. Hari itu, mereka bertemu bukan sebagai kekasih, bukan pula sebagai sahabat—melainkan dua jiwa yang pernah saling memiliki, kini berdiri di ambang kehilangan yang tak bisa dicegah.
“Maaf, membuatmu menunggu,” ucap Iaoramusaia, suaranya masih sama—dalam, namun kini ada retakan di balik nada tenangnya.
Yculyana mengangguk. “Tak apa. Aku sudah menunggu bertahun-tahun, apalah artinya beberapa menit.”
Mereka duduk di bangku kayu yang mulai lapuk. Daun-daun kering beterbangan, jatuh perlahan seperti kenangan yang tak ingin pergi.
“Aku pikir… pertemuan ini akan menyembuhkan,” kata Yculyana, matanya tak lepas dari langit yang mulai meredup. “Tapi semakin dekat kamu di hadapanku, aku justru semakin sadar… luka ini tak bisa diobati oleh hadir.”
Iaoramusaia menunduk. Tangannya menggenggam cangkir kopi kertas yang kini dingin. “Aku juga rindu kamu. Sangat. Tapi ternyata rindu itu hanya indah dari jauh. Ketika dekat, ia berubah menjadi cermin yang menampakkan betapa jauhnya kita sekarang.”
Hening mengalun di antara mereka. Bukan hening yang nyaman. Tapi hening yang getir, seperti jeda dalam lagu sedih yang menunggu denting nada terakhir.
Yculyana menoleh. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari pertemuan ini?”
“Apa?” tanya Iaoramusaia pelan.
“Karena pertemuan ini membuatku sadar… aku harus melepasmu, bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, tapi justru karena aku mencintaimu terlalu dalam hingga tak sanggup lagi menahannya.”
Dan air mata jatuh tanpa suara. Tak ada pelukan. Tak ada pelarian. Hanya dua pasang mata yang saling merelakan dengan sisa tenaga terakhir.
Iaoramusaia berdiri. Matanya basah, tapi ia tersenyum. “Terima kasih pernah menjadi rumah… meski hanya untuk beberapa musim.”
Yculyana menatap punggungnya yang menjauh, langkah yang tak lagi bisa ia kejar.
Pertemuan itu akhirnya menjadi jawaban dari semua pertanyaan yang tak pernah mereka ucapkan.
Rindu itu ternyata tak selalu untuk disatukan.
Cinta itu tidak selalu harus dimiliki.
Dan di hari itu, di bawah langit yang perlahan kehilangan cahaya, mereka berpisah bukan karena tak saling mencintai, tapi karena perasaan mereka terlalu tulus untuk dipaksakan hidup dalam dunia yang tak berpihak.
Kadang, cinta yang paling menyakitkan adalah cinta yang datang hanya untuk pergi setelah harapan mencapai puncaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar