Selasa, 01 Juli 2025

CERPEN : “Di Balik Kilau Kolam: Kisah yang Tak Ingin Dipahami Dunia”

 

Kolam renang itu telah sepi. Sunyi menyebar seperti kabut tipis di ujung senja. Hanya suara percikan air yang tersisa, menyatu dengan bayangan langit yang menggelap perlahan. Di pojok lintasan ketiga, Ayculiana duduk membiarkan ujung kakinya menyentuh permukaan air, menciptakan riak yang tak seberapa. Rambutnya basah, menjuntai menempel di bahunya, sementara aroma klorin masih melekat di kulitnya yang seputih salju.

Ia menunggu. Orang tuanya terlambat menjemput. Lagi.

Dari balik ruang pelatih, Aonramnia menatapnya. Sorot matanya tajam, seperti pria yang biasa menakar waktu dengan ketepatan lomba. Tapi sore itu, waktunya tak lagi tepat. Ada sesuatu yang berubah. Hatinya, mungkin. Atau dunia di sekitar Ayculiana.

Ia melangkah mendekat. Langkahnya mantap, tapi hatinya berkecamuk.

“Aycul... kamu belum dijemput?” tanyanya seraya duduk di bangku kayu di dekatnya.

Gadis itu menoleh. Tatapan matanya seperti gerimis yang ragu-ragu jatuh ke bumi.

“Belum. Sepertinya lupa lagi.” Senyumnya pahit. “Tapi tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa ditinggal.”

Aon mengerutkan kening. Kalimat itu seperti anak panah yang menyentuh hatinya.

“Kamu tidak sendiri. Kamu punya saya… di sini.”

Ayculiana tertawa kecil. “Mas Aon, kadang saya berharap saya bukan atlet. Hanya gadis biasa yang bisa pulang sekolah, jajan pentol, nonton sinetron.”

“Kamu bukan gadis biasa, Aycul. Kamu ditakdirkan jadi bintang.”

Gadis itu menatapnya dalam. “Tapi kenapa jadi bintang harus kesepian, Mas?”

Aon terdiam. Tak ada jawaban. Hanya angin sore yang membawa bau kolam dan bayangan cinta yang mulai mekar diam-diam di permukaan air.

Dua bulan kemudian, Surabaya menyambut mereka dengan panas yang membakar aspal jalanan. Kota Pahlawan. Tempat Kejurda diadakan. Dan tempat di mana segalanya berubah.

Mobil pelatihan yang mereka tumpangi mogok di tengah jalan. Mereka tertahan di pinggir Jl. Raya Darmo. Ayculiana tertawa saat Aon mencoba memanggil montir dengan nada putus asa.

“Lihat, Mas. Pahlawan kita dikalahkan mesin.”

Aon tertawa, tapi tak bisa menahan degup jantungnya. Gadis itu semakin memesona. Tak hanya karena wajahnya yang cantik, tapi karena pikirannya yang bebas, senyumnya yang tulus, dan keberanian yang belum tentu dimiliki wanita dewasa.

Mereka akhirnya duduk di warung kopi pinggir jalan. Senja turun pelan-pelan, seperti tirai yang mengizinkan mereka menari dalam ruang waktu yang lebih pribadi.

“Mas,” Aycul tiba-tiba berkata, menatap cangkir kopinya yang mengepul, “kalau aku bilang aku suka Mas, itu akan jadi masalah ya?”

Aon terdiam. Dunia seperti berhenti berputar. Lalu dengan suara pelan, ia menjawab:

“Itu bukan masalah, Aycul. Itu bencana.”

“Kenapa?” bisiknya.

“Karena aku juga jatuh hati... tapi aku takut menjadi perusak hidupmu.”

Aycul menggenggam tangannya. “Kau bukan perusak. Kau pelindung. Satu-satunya tempat di mana aku merasa utuh.”

Dan saat itu, di tengah bau knalpot dan suara motor, cinta mereka menjadi nyata.

 

Ketika berita itu sampai ke rumah, langit di atas keluarga Aycul seperti runtuh.

Ayahnya melemparkan ponselnya ke meja dengan keras.

“KALIAN GILA?!” teriaknya.

Aycul berdiri gemetar. Ibunya menangis di sofa, berulang kali menyebut nama Tuhan.

“Aku mencintainya, Yah,” suara Aycul seperti hujan pertama yang jatuh di tanah kering, tak bisa dicegah.

“Dia TIGA PULUH DELAPAN! DIA PELATIH KAMU! APA KAU MAU DIBILANG ANAK HINA?”

“Ia tak pernah menyentuhku tanpa hormat. Cintanya... lebih tulus dari siapa pun.”

Ibunya menjerit. “Kamu tahu apa tentang cinta? Kamu masih anak-anak!”

“Tidak, Bu. Aku hanya terlihat kecil. Tapi aku merasa sudah cukup dewasa untuk tahu... hatiku tidak main-main.”

Lalu pintu diketuk. Aon datang, ingin menjelaskan. Dengan mata yang jujur dan langkah yang tulus.

Namun Ayah Aycul berdiri cepat, matanya merah.

“Pergi dari sini! Kalau kau tidak pergi, aku akan—” tangannya terangkat.

“Pak, tampar saya. Jika itu bisa menyelamatkan Aycul dari cemoohan dunia. Tapi cinta saya padanya... tidak akan padam.”

 

Malam itu, Aycul mengemasi barangnya. Dalam tangis dan bisu, ia tinggalkan rumah besar dengan gerbang besi itu.

Aon menunggu di bawah pohon ketapang, tubuhnya basah oleh hujan. Ketika Aycul naik ke motornya, mereka tak berkata apa-apa. Tapi pelukannya di pinggang Aon cukup berkata: “Bawa aku sejauh mungkin dari luka.”

Mereka pindah ke kota kecil. Menyewa rumah kayu yang catnya mulai mengelupas. Tapi bahagia kadang tidak butuh taman indah atau sofa empuk. Bahagia bisa lahir dari nasi hangat dan dua pasang tangan yang saling mengusap lelah.

 

Suatu malam, Aycul duduk di beranda. Di bawah langit gelap yang dihiasi kunang-kunang. Ia menatap bintang, lalu berkata pelan:

“Mas... apa kau pernah menyesal?”

Aon yang sedang menyeduh teh, menjawab:

“Menyesal karena kehilangan pekerjaan. Ya. Menyesal kehilangan nama baik. Mungkin. Tapi menyesal karena mencintaimu? Tidak pernah sedetik pun.”

Aycul menunduk. “Kadang aku ingin kembali ke masa sebelum semua ini... tapi tetap memilih mencintaimu.”

“Dan aku tetap akan menunggumu, bahkan jika kamu datang sebagai murid, sebagai lawan, bahkan jika kamu datang tanpa ingat siapa aku.”

Mereka terdiam. Tapi diam itu penuh suara: suara cinta yang tak bisa dipahami dunia.

 

Kini, mereka bukan siapa-siapa. Bukan pelatih elit. Bukan atlet nasional. Tapi setiap pagi, ketika Aon membuka mata dan melihat Aycul tertidur di sampingnya, ia tahu: ia telah memilih dengan benar.

Mungkin cinta mereka adalah kesalahan di mata dunia.

Tapi bagi mereka, itu satu-satunya kebenaran yang tak bisa dibantah.

 

Tamat.

 

"Cinta sejati tak lahir dari waktu yang tepat atau status yang setara, tapi dari dua hati yang bersedia bertahan meski dunia tak mengerti."

 

"Tak semua cinta harus dimengerti, karena cinta sejati lebih sering memilih berkorban daripada diterima."

"Mereka menyebutnya kesalahan, tapi kami menyebutnya keberanian untuk mencintai meski harus kehilangan segalanya."

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar