Kolam renang itu telah sepi. Sunyi menyebar seperti kabut
tipis di ujung senja. Hanya suara percikan air yang tersisa, menyatu dengan
bayangan langit yang menggelap perlahan. Di pojok lintasan ketiga, Ayculiana
duduk membiarkan ujung kakinya menyentuh permukaan air, menciptakan riak yang
tak seberapa. Rambutnya basah, menjuntai menempel di bahunya, sementara aroma
klorin masih melekat di kulitnya yang seputih salju.
Ia menunggu. Orang tuanya terlambat menjemput. Lagi.
Dari balik ruang pelatih, Aonramnia menatapnya. Sorot
matanya tajam, seperti pria yang biasa menakar waktu dengan ketepatan lomba.
Tapi sore itu, waktunya tak lagi tepat. Ada sesuatu yang berubah. Hatinya,
mungkin. Atau dunia di sekitar Ayculiana.
Ia melangkah mendekat. Langkahnya mantap, tapi hatinya
berkecamuk.
“Aycul... kamu belum dijemput?” tanyanya seraya duduk di
bangku kayu di dekatnya.
Gadis itu menoleh. Tatapan matanya seperti gerimis yang
ragu-ragu jatuh ke bumi.
“Belum. Sepertinya lupa lagi.” Senyumnya pahit. “Tapi tidak
apa-apa. Aku sudah terbiasa ditinggal.”
Aon mengerutkan kening. Kalimat itu seperti anak panah yang
menyentuh hatinya.
“Kamu tidak sendiri. Kamu punya saya… di sini.”
Ayculiana tertawa kecil. “Mas Aon, kadang saya berharap saya
bukan atlet. Hanya gadis biasa yang bisa pulang sekolah, jajan pentol, nonton
sinetron.”
“Kamu bukan gadis biasa, Aycul. Kamu ditakdirkan jadi
bintang.”
Gadis itu menatapnya dalam. “Tapi kenapa jadi bintang harus
kesepian, Mas?”
Aon terdiam. Tak ada jawaban. Hanya angin sore yang membawa
bau kolam dan bayangan cinta yang mulai mekar diam-diam di permukaan air.
Dua bulan kemudian, Surabaya menyambut mereka dengan panas
yang membakar aspal jalanan. Kota Pahlawan. Tempat Kejurda diadakan. Dan tempat
di mana segalanya berubah.
Mobil pelatihan yang mereka tumpangi mogok di tengah jalan.
Mereka tertahan di pinggir Jl. Raya Darmo. Ayculiana tertawa saat Aon mencoba
memanggil montir dengan nada putus asa.
“Lihat, Mas. Pahlawan kita dikalahkan mesin.”
Aon tertawa, tapi tak bisa menahan degup jantungnya. Gadis
itu semakin memesona. Tak hanya karena wajahnya yang cantik, tapi karena
pikirannya yang bebas, senyumnya yang tulus, dan keberanian yang belum tentu
dimiliki wanita dewasa.
Mereka akhirnya duduk di warung kopi pinggir jalan. Senja
turun pelan-pelan, seperti tirai yang mengizinkan mereka menari dalam ruang
waktu yang lebih pribadi.
“Mas,” Aycul tiba-tiba berkata, menatap cangkir kopinya yang
mengepul, “kalau aku bilang aku suka Mas, itu akan jadi masalah ya?”
Aon terdiam. Dunia seperti berhenti berputar. Lalu dengan
suara pelan, ia menjawab:
“Itu bukan masalah, Aycul. Itu bencana.”
“Kenapa?” bisiknya.
“Karena aku juga jatuh hati... tapi aku takut menjadi
perusak hidupmu.”
Aycul menggenggam tangannya. “Kau bukan perusak. Kau
pelindung. Satu-satunya tempat di mana aku merasa utuh.”
Dan saat itu, di tengah bau knalpot dan suara motor, cinta
mereka menjadi nyata.
Ketika berita itu sampai ke rumah, langit di atas keluarga
Aycul seperti runtuh.
Ayahnya melemparkan ponselnya ke meja dengan keras.
“KALIAN GILA?!” teriaknya.
Aycul berdiri gemetar. Ibunya menangis di sofa, berulang
kali menyebut nama Tuhan.
“Aku mencintainya, Yah,” suara Aycul seperti hujan pertama
yang jatuh di tanah kering, tak bisa dicegah.
“Dia TIGA PULUH DELAPAN! DIA PELATIH KAMU! APA KAU MAU
DIBILANG ANAK HINA?”
“Ia tak pernah menyentuhku tanpa hormat. Cintanya... lebih
tulus dari siapa pun.”
Ibunya menjerit. “Kamu tahu apa tentang cinta? Kamu masih
anak-anak!”
“Tidak, Bu. Aku hanya terlihat kecil. Tapi aku merasa sudah
cukup dewasa untuk tahu... hatiku tidak main-main.”
Lalu pintu diketuk. Aon datang, ingin menjelaskan. Dengan
mata yang jujur dan langkah yang tulus.
Namun Ayah Aycul berdiri cepat, matanya merah.
“Pergi dari sini! Kalau kau tidak pergi, aku akan—”
tangannya terangkat.
“Pak, tampar saya. Jika itu bisa menyelamatkan Aycul dari
cemoohan dunia. Tapi cinta saya padanya... tidak akan padam.”
Malam itu, Aycul mengemasi barangnya. Dalam tangis dan bisu,
ia tinggalkan rumah besar dengan gerbang besi itu.
Aon menunggu di bawah pohon ketapang, tubuhnya basah oleh
hujan. Ketika Aycul naik ke motornya, mereka tak berkata apa-apa. Tapi
pelukannya di pinggang Aon cukup berkata: “Bawa aku sejauh mungkin dari
luka.”
Mereka pindah ke kota kecil. Menyewa rumah kayu yang catnya
mulai mengelupas. Tapi bahagia kadang tidak butuh taman indah atau sofa empuk.
Bahagia bisa lahir dari nasi hangat dan dua pasang tangan yang saling mengusap
lelah.
Suatu malam, Aycul duduk di beranda. Di bawah langit gelap
yang dihiasi kunang-kunang. Ia menatap bintang, lalu berkata pelan:
“Mas... apa kau pernah menyesal?”
Aon yang sedang menyeduh teh, menjawab:
“Menyesal karena kehilangan pekerjaan. Ya. Menyesal
kehilangan nama baik. Mungkin. Tapi menyesal karena mencintaimu? Tidak pernah
sedetik pun.”
Aycul menunduk. “Kadang aku ingin kembali ke masa sebelum
semua ini... tapi tetap memilih mencintaimu.”
“Dan aku tetap akan menunggumu, bahkan jika kamu datang
sebagai murid, sebagai lawan, bahkan jika kamu datang tanpa ingat siapa aku.”
Mereka terdiam. Tapi diam itu penuh suara: suara cinta yang
tak bisa dipahami dunia.
Kini, mereka bukan siapa-siapa. Bukan pelatih elit. Bukan
atlet nasional. Tapi setiap pagi, ketika Aon membuka mata dan melihat Aycul
tertidur di sampingnya, ia tahu: ia telah memilih dengan benar.
Mungkin cinta mereka adalah kesalahan di mata dunia.
Tapi bagi mereka, itu satu-satunya kebenaran yang tak bisa
dibantah.
Tamat.
"Cinta sejati tak lahir dari waktu yang tepat atau
status yang setara, tapi dari dua hati yang bersedia bertahan meski dunia tak
mengerti."
"Tak semua cinta harus dimengerti, karena cinta
sejati lebih sering memilih berkorban daripada diterima."
"Mereka menyebutnya kesalahan, tapi kami menyebutnya
keberanian untuk mencintai meski harus kehilangan segalanya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar