Senin, 11 November 2024

PUISI : Di Sisi Rindu yang Sunyi


Meski jarak telah kau bentangkan,

dan harapanku kau biarkan pudar,
aku masih terjebak di tepi kenangan,
menyusun rindu yang enggan terlarut.

Di sudut hati yang tak kau lihat,
namamu tetap merayap sunyi,
meski kau tak lagi berharap,
aku masih menanti dalam sepi.

Tiada lagi janji yang kita jaga,
hanya bayangmu yang samar dan jauh,
namun setiap helaan napasku berkata,
kau abadi di ruang rindu yang tak pernah luluh.

Cerpen : Menanti tanpa Batas

Malam di kafe kecil itu, angin berhembus lembut membelai rambut Dini yang jatuh di bahunya. Ditemani dua cangkir kopi yang tinggal setengah, Raka menatapnya dalam-dalam. Di matanya ada keraguan, namun di bibirnya tersungging senyum tipis. Mereka sudah lama bersama, tapi malam ini terasa berbeda, seolah ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab atau mungkin dibiarkan menggantung.

"Din, kamu pernah kepikiran buat kita… lebih serius?" Raka memulai, suaranya serak, setengah takut menunggu respons yang tak tertebak dari Dini.

Dini menatap ke arah lain, menimbang kata-kata yang akan ia keluarkan. "Serius yang seperti apa, Ka?"

"Serius… seperti merencanakan pernikahan," jawab Raka, kali ini lebih mantap. "Aku merasa kita sudah lama bersama, dan… mungkin sudah saatnya."

Dini diam, menggenggam cangkir kopinya yang sudah dingin. "Raka, aku bahagia dengan kamu. Aku suka saat kita menghabiskan waktu bersama, tertawa, cerita, berbagi mimpi. Tapi…"

"Tapi apa?" desak Raka, matanya menelusuri wajah Dini yang tampak ragu.

"Tapi aku masih belum yakin, Ka. Apakah ini… cinta yang akan terus bertahan, atau hanya perasaan sesaat?" ucap Dini dengan nada lembut, namun penuh kebimbangan. "Aku… aku takut kalau aku menyetujui ini, dan ternyata aku tidak benar-benar bisa mencintaimu seperti seharusnya."

Raka menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaan yang terlukis di matanya. "Aku kira… kita saling memahami tanpa perlu meragukan lagi."

Dini tersenyum tipis, menggenggam tangan Raka. "Ka, bukan berarti aku tidak sayang. Aku hanya butuh waktu untuk memastikan… agar kita tidak berakhir dengan rasa kecewa."

"Aku bisa menunggumu, Din. Tapi aku juga punya batas," jawab Raka pelan, mencoba tersenyum meski matanya menyiratkan luka. "Aku takut, nanti kamu malah lupa, atau waktu mengubah kita."

Dini mengangguk perlahan, seperti paham tapi tak mampu memberikan jawaban pasti. "Aku tak akan melupakanmu, Raka… Namun, untuk sekarang, bisakah kita tetap seperti ini saja dulu?"

Hening. Mereka kembali menyesap kopi yang telah mendingin, seakan mencari keberanian dari setiap tetesnya.

"Dini, aku ingin kamu tahu, aku di sini. Aku ingin kamu, tapi aku tidak bisa menunggu selamanya," kata Raka, hampir berbisik. "Kalau nanti aku menyerah, bukan berarti aku tidak setia… hanya saja, waktu dan hatiku juga punya batas."

Dini mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maafkan aku, Ka. Terima kasih sudah mau menunggu sejauh ini."

Dalam hening yang penuh rasa, mereka tahu—meski tak diucapkan, ada waktu yang perlahan membatasi janji yang tak pernah terucap. Raka menunggu dalam keraguan, dan Dini masih bertanya-tanya dalam hatinya.

Di tengah-tengah ketidakpastian itu, mereka hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, waktu akan memberikan jawaban yang selama ini mereka cari.

PUISI : Masih seperti Dulu


Aku masih seperti fajar yang merindu pagi,
terbit dengan setia meski hujan menghampiri,
masih seperti semesta menanti bintang,
meski kadang redup di pelukan malam.

Aku masih seperti debur ombak di pantai,
menyapa pasir yang senyap dan bisu,
menanti tanpa jemu, tanpa usang,
meski waktu kerap mematahkan sayapku.

Tapi kamu—apakah kamu masih seperti doaku,
masih seteduh senyum yang dulu kurindu?
Ataukah kini bayangmu telah terurai,
tak lagi terjalin dalam harapan yang kupinta?

Aku tak tahu lagi, dalam sunyi kuterhenyak,
seperti hujan yang jatuh tanpa pernah pulang,
menemukan jejakmu semakin jauh mengabur,
namun aku tetap di sini, masih seperti dulu, menunggu.

Selasa, 05 November 2024

PUISI : Berlabuh di hatimu

Akan kuperbaiki perahuku ini,
dengan sabar kutambal setiap luka,
karena meski retak dan terurai sepi,
ia pernah setia menemaniku mengarungi samudra.

Biar layar yang koyak kuikat erat,
biar dayung yang patah kubentuk lagi,
dalam hening kugenggam tekad yang pekat,
agar angin kelak sudi membawaku pergi.

Aku tahu, lautan tak selalu ramah,
kadang ia menipu dengan ketenangannya,
dan aku—pernah terdampar di pantai yang salah,
merindu tanah, namun terjebak kecewa dan lelah.

Namun kini kusediakan hati baru,
kuhela napas, kutatap cakrawala jauh,
perahuku bukan lagi sekadar kayu,
ia adalah impian yang kuanyam dalam peluh.

Semoga angin mengerti isi hatiku,
membimbing layarku menuju pulau terbaik,
di mana debur ombak menyanyikan lagu,
tentang perjalanan panjang dan hati yang terdidik.

Di sana kelak aku akan berlabuh,
di dermaga yang tak hanya menunggu,
dan perahuku yang kusayang pun luluh,
karenanya, aku takkan tersesat lagi dalam biru.

Akan kuperbaiki perahuku ini,
hingga saat kembali berlayar tiba,
membelah laut dengan hati yang murni,
berharap, bermimpi, dan percaya pada arahNya.

PUISI : Dalam Sunyi yang Terbenam

Ada jiwa yang memilih senyap,
menyulam rahasia di sudut malam,
tak berani membuka tabir yang rapat,
takut melukai bayangan yang dalam.

Ia menggenggam semua sendiri,
seperti pasir yang erat di tangan,
biar sepi menjadi saksi,
pada rindu yang bisu, pada luka yang diam.

Di setiap lamunan yang mengawang,
ada kisah yang tak lagi berani terkatakan,
detik-detik menjadi panjang,
seolah waktu bersekongkol dalam kesendirian.

Langit malam menjadi teman,
tempat ia menitipkan harapan samar,
di sana ia lepaskan beban,
meski hanya dijawab sunyi yang pudar.

Bulan pun tak tahu rasa,
hanya memandangnya dari jauh,
sementara ia larut tanpa suara,
berteman bayang yang takkan runtuh.

Ia melamun dalam alunan sunyi,
merajut mimpi yang terjal,
sendiri, terlunta dalam bening pagi,
yang tak lagi hangat, yang hanya tinggal.

Lalu, pada akhirnya ia tenggelam,
ke dalam diri yang kian tak bertepi,
menyimpan semua di dasar kelam,
melamun, menyendiri,
hingga hilang bersama sunyi.

Senin, 04 November 2024

PUISI : Kesederhanaan Kebenaran

Kebenaran itu bagai embun, bening tanpa cacat,
tetes kecil di ujung daun yang tenang,
tak bersembunyi dalam bayang,
ia hadir seutuhnya, sederhana dan terang.

Ia melangkah seperti langkah pagi,
tanpa gemuruh, tanpa rekayasa,
tak butuh selimut atau tabir rahasia,
mengalir tulus dari mata yang bersih.

Sedang kebohongan adalah labirin kelam,
lorong sempit penuh tipu muslihat,
ia berputar, merambat dalam liku,
merangkai jaring dari kata-kata yang licik.

Bohong, seperti sungai yang berkelok,
mengulur waktu, menambah simpul,
tak pernah tenang, selalu gelisah,
dibebani topeng, dihantui rasa salah.

Kebenaran hadir bak sinar lembut senja,
mewarnai langit dengan keindahan apa adanya,
tak terselubung, tak memelas,
ia hadir, jujur, dalam damainya.

Namun dusta adalah bayangan panjang,
selalu berlari, tak pernah diam,
ia tenggelam dalam kebisingan,
namun tak mampu memeluk tenang.

Di atas segala yang rumit dan rumus,
kebenaran tetaplah permata tanpa kilau,
sebab ia tak butuh mewah untuk bersinar,
cukup ia hadir, dan semua kelam pun pudar.

Minggu, 03 November 2024

PUISI : Hukum Hati


Saat kau goreskan luka pada jiwa lain,
di sana, tanpa sadar, benih kelam telah tertanam,
kau titipkan hatimu di buku takdir yang penuh rintih,
berbaris, menanti giliran untuk terluka kembali.

Mungkin tak terasa, mungkin pula tersembunyi,
di balik senyum yang kau beri, ada serat pilu yang teranyam,
di dalam diri yang kau sakiti, ada sejumput dendam diam,
menunggu detik demi detik berbalik menjadi sayatan.

Bukankah hati itu seperti sungai sunyi?
Mengalirkan kesedihan yang tak tampak, tak terdengar,
namun waktu tak pernah ingkar—
ia membawa pulang setiap dosa dan perih yang kau tanam.

Dan pada hari yang lengang atau gelap,
kau akan temui luka itu menganga di pintu hatimu,
datang dari jejak langkah yang pernah kau tinggalkan,
saat kau hancurkan hati lain demi kepuasan yang fana.

Hati itu rapuh, namun ia abadi dalam ingatan,
maka bila kau melukainya, bersiaplah suatu saat nanti,
kau akan dibangunkan oleh luka yang kau ciptakan sendiri,
dan barulah kau sadari, betapa dalam setiap perih kembali.

puisi : Jejak Masa Lalu

 


Kita tak bisa mengubah masa lalu,
ia tetap terukir di bening waktu,
bagai langkah di pasir yang dilupakan angin,
tersembunyi di bawah debur ombak yang dingin.

Namun kita bisa mengubah cara memandang,
membiarkan kenangan menjadi terang,
melihat luka sebagai guru yang bijaksana,
mengubah sesal menjadi bara yang menyala.

Setiap goresan di masa silam,
adalah bait pelajaran yang tak pernah kelam,
dan dalam bening hati yang ikhlas menerima,
kita temukan hikmah yang mengalir seperti sungai tak berbatas rasa.

Masa lalu adalah cermin yang tak pernah retak,
memantulkan bekas, namun tak bisa kita ubah jejak,
tapi cara kita menatap, itulah yang nyata,
mengukir arah pada langkah, untuk masa depan yang berbeda.

Dan kini kita berjalan, meski dengan bekas luka,
menghadapi hari dengan mata penuh cahaya,
mengerti bahwa harapan selalu membentang,
membimbing kita pada masa depan yang gemilang.

PUISI : Menghindar Bukan Berarti Benci


Menghindar bukan berarti benci,
ada waktu di mana kata menjadi sepi,
saat hati seperti ombak yang surut pergi,
mencari tenang di balik samudra sunyi.

Diam bukan tanda tak suka,
namun kadang rasa tersimpan tak bermakna,
seperti angin yang bisu menyapu dedaunan,
menyisakan rindunya tanpa ucapan.

Di balik hening, tersimpan sabar yang mendalam,
tak terucap tapi menunggu hingga pulihlah kelam,
karena tak semua luka perlu dibilang,
tak semua kecewa layak digenggam terang.

Aku menghindar, bukan untuk melupakan,
tapi demi menjaga damai yang ingin kutemukan,
dan dalam diam, biar sembuh segala rasa,
biar kembalilah jiwa pada jalan yang lega.

Sabar itu tak selalu lantang,
ia tersembunyi, dalam hati yang tak ingin perang,
membiarkan waktu menenun luka jadi kenangan,
hingga akhirnya ia berlalu, perlahan jadi bayangan.