Malam di kafe kecil itu, angin berhembus lembut membelai rambut Dini yang jatuh di bahunya. Ditemani dua cangkir kopi yang tinggal setengah, Raka menatapnya dalam-dalam. Di matanya ada keraguan, namun di bibirnya tersungging senyum tipis. Mereka sudah lama bersama, tapi malam ini terasa berbeda, seolah ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab atau mungkin dibiarkan menggantung.
"Din, kamu pernah kepikiran buat kita… lebih serius?" Raka memulai, suaranya serak, setengah takut menunggu respons yang tak tertebak dari Dini.
Dini menatap ke arah lain, menimbang kata-kata yang akan ia keluarkan. "Serius yang seperti apa, Ka?"
"Serius… seperti merencanakan pernikahan," jawab Raka, kali ini lebih mantap. "Aku merasa kita sudah lama bersama, dan… mungkin sudah saatnya."
Dini diam, menggenggam cangkir kopinya yang sudah dingin. "Raka, aku bahagia dengan kamu. Aku suka saat kita menghabiskan waktu bersama, tertawa, cerita, berbagi mimpi. Tapi…"
"Tapi apa?" desak Raka, matanya menelusuri wajah Dini yang tampak ragu.
"Tapi aku masih belum yakin, Ka. Apakah ini… cinta yang akan terus bertahan, atau hanya perasaan sesaat?" ucap Dini dengan nada lembut, namun penuh kebimbangan. "Aku… aku takut kalau aku menyetujui ini, dan ternyata aku tidak benar-benar bisa mencintaimu seperti seharusnya."
Raka menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaan yang terlukis di matanya. "Aku kira… kita saling memahami tanpa perlu meragukan lagi."
Dini tersenyum tipis, menggenggam tangan Raka. "Ka, bukan berarti aku tidak sayang. Aku hanya butuh waktu untuk memastikan… agar kita tidak berakhir dengan rasa kecewa."
"Aku bisa menunggumu, Din. Tapi aku juga punya batas," jawab Raka pelan, mencoba tersenyum meski matanya menyiratkan luka. "Aku takut, nanti kamu malah lupa, atau waktu mengubah kita."
Dini mengangguk perlahan, seperti paham tapi tak mampu memberikan jawaban pasti. "Aku tak akan melupakanmu, Raka… Namun, untuk sekarang, bisakah kita tetap seperti ini saja dulu?"
Hening. Mereka kembali menyesap kopi yang telah mendingin, seakan mencari keberanian dari setiap tetesnya.
"Dini, aku ingin kamu tahu, aku di sini. Aku ingin kamu, tapi aku tidak bisa menunggu selamanya," kata Raka, hampir berbisik. "Kalau nanti aku menyerah, bukan berarti aku tidak setia… hanya saja, waktu dan hatiku juga punya batas."
Dini mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maafkan aku, Ka. Terima kasih sudah mau menunggu sejauh ini."
Dalam hening yang penuh rasa, mereka tahu—meski tak diucapkan, ada waktu yang perlahan membatasi janji yang tak pernah terucap. Raka menunggu dalam keraguan, dan Dini masih bertanya-tanya dalam hatinya.
Di tengah-tengah ketidakpastian itu, mereka hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, waktu akan memberikan jawaban yang selama ini mereka cari.