Hidup di usia yang menua terasa seperti berjalan di jalan yang tak lagi penuh semangat bagi Pak Gunawan, seorang pria yang sudah hampir mencapai masa pensiunnya. Hari-harinya diisi dengan rutinitas yang terasa semakin membosankan—membaca koran, menonton televisi, dan sesekali berbincang dengan tetangga yang sama-sama memasuki usia senja. Tapi di hatinya, ada ruang kosong yang tak terisi, seakan-akan kehidupan yang selama ini ia jalani tiba-tiba kehilangan makna.
Anak-anaknya sudah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Istrinya, Bu Siti, masih setia menemani di rumah, tapi obrolan mereka sering kali hanya tentang hal-hal remeh. Tak ada lagi gairah dalam percakapan atau tawa yang berderai. Semakin hari, Pak Gunawan merasa terjebak dalam lingkaran rutinitas yang memenjarakan. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada perjalanan panjang hidup yang kini terasa stagnan, tanpa kejutan atau tujuan baru.
Suatu malam, setelah makan malam yang hening, Pak Gunawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pikirkan.
"Siti, aku ingin ke desa," ucapnya tiba-tiba.
Bu Siti, yang sedang merapikan meja, berhenti sejenak dan menatap suaminya dengan tatapan bingung. "Desa? Untuk apa? Anak-anak kita tinggal di kota. Mau kunjungi siapa di sana?"
Pak Gunawan menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Bukan untuk mengunjungi siapa-siapa. Aku hanya ingin pergi... hidup sendirian di desa, menikmati sisa umur tanpa rutinitas, tanpa hiruk-pikuk keluarga atau kota."
Bu Siti tertegun. Ia tak pernah menyangka suaminya, yang selama ini tampak tenang dan damai, menyimpan keinginan untuk meninggalkan kehidupan mereka. "Lalu aku? Anak-anak? Apa kamu tak memikirkan kami?"
Pak Gunawan terdiam, pandangannya tertuju pada jendela yang memperlihatkan gelapnya malam di luar. "Aku lelah, Siti. Semua ini terasa begitu kosong. Setiap hari seperti berjalan di tempat yang sama, dengan langkah yang tak pernah sampai ke mana-mana. Aku butuh... ketenangan. Aku ingin mengasingkan diri, hidup sederhana, berteman dengan sunyi, tanpa harus memikirkan apa pun."
Bu Siti menatapnya, mencoba memahami kegelisahan yang mungkin tak pernah ia lihat selama ini. Mereka telah hidup bersama selama puluhan tahun, tapi kini, di usia yang menua, suaminya tampak begitu asing. Seakan-akan pria yang ia kenal telah berubah menjadi seseorang yang haus akan kesunyian.
Beberapa minggu berlalu sejak percakapan itu, dan Pak Gunawan mulai merencanakan kepindahannya ke desa kecil di kaki gunung, tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Ia sudah menghubungi pemilik rumah tua di sana yang kini kosong, siap menampungnya sebagai tempat tinggal. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan, tapi baginya, kesederhanaan adalah kemewahan itu sendiri.
Hari terakhir sebelum keberangkatan, anak-anaknya datang berkunjung. Mereka terkejut saat mendengar keputusan ayah mereka. "Ayah, kenapa? Kami bisa sering-sering berkunjung kalau Ayah merasa kesepian," kata Rudi, anak sulungnya.
Pak Gunawan hanya tersenyum tipis. "Ini bukan tentang kesepian, Nak. Ini tentang menemukan diri sendiri, menemukan kedamaian. Aku sudah terlalu lama berada di tengah hiruk-pikuk. Aku ingin menikmati senja dalam sunyi, tanpa beban."
Keesokan paginya, Pak Gunawan berangkat dengan hanya membawa koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Ia tak membutuhkan banyak hal—hanya alam, udara segar, dan waktu untuk berpikir.
Setibanya di desa, ia merasa lega. Di sana, tak ada suara klakson mobil, tak ada percakapan panjang tentang hal-hal sepele. Hanya ada angin yang berbisik, kicauan burung, dan sesekali derap langkah kaki binatang di kejauhan. Pak Gunawan mendirikan kehidupannya dengan cara yang ia bayangkan—berkebun, membaca buku, dan sesekali merenung di bawah pohon besar yang ada di halaman rumah tua itu.
Hari-hari berlalu tanpa distraksi. Ia mulai merasakan ketenangan yang selama ini ia cari. Namun, seiring berjalannya waktu, dalam kesunyian itu, muncul kesadaran baru. Ketiadaan orang lain, ketiadaan percakapan, justru mulai memperdalam kekosongan yang dulu ia pikir dapat diisi dengan kesendirian. Hati yang awalnya terasa tenang kini kembali gelisah.
Ia menyadari, mungkin bukan rutinitas atau keramaian yang membuatnya merasa hampa, tapi perasaan bahwa ia sudah terlalu lama menutup diri dari orang-orang yang mencintainya. Sunyi yang dulu ia dambakan kini terasa terlalu pekat, terlalu dingin. Akhirnya, di suatu pagi yang dingin, saat kabut menutupi desa, Pak Gunawan memutuskan untuk pulang—pulang kepada keluarganya, kepada kehidupan yang dulu ia pikir membosankan.
Ia paham, mungkin kesempurnaan bukan tentang menemukan ketenangan di kesendirian, melainkan menemukan kedamaian di tengah cinta orang-orang terdekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar