Di sebuah perpustakaan kampus yang sepi, di antara deretan buku yang tersusun rapi, Raka pertama kali bertemu Maria. Gadis itu berdiri memegang sebuah novel klasik dengan rambut hitam tergerai dan kulit seputih pualam. Matanya yang dalam dan tenang seperti menyimpan lautan rahasia yang ingin Raka selami. Sebuah senyuman tipis, nyaris tak terlihat, menjadi awal dari kisah mereka. Tak ada percakapan panjang saat itu, hanya tatapan yang tertaut sesaat. Namun, dalam tatapan itulah, seakan ada benih yang mulai tumbuh di hati mereka berdua.
Pertemuan demi pertemuan di perpustakaan yang sama kian mengikat mereka. Pada hari-hari yang tenang, mereka mulai saling berbagi cerita—tentang mimpi, tentang harapan, tentang masa depan. Hati mereka tertaut, tak terbendung oleh apapun. Di suatu senja, di sudut perpustakaan yang tenang, Maria berjanji, “Aku akan setia menemanimu, Raka, sampai kapanpun.” Raka, dengan tatapan penuh keyakinan, membalas, “Dan aku akan menjadikanmu sebagai pasangan hidupku, Maria.”
Sejak hari itu, mereka berdua seperti sejoli yang tak pernah terpisahkan. Di manapun ada Raka, Maria pasti ada di sana. Baik di acara kampus, pendakian gunung, atau sekadar duduk di taman kampus, mereka selalu bersama. Seolah dunia hanya milik mereka berdua. Cinta yang mengalir di antara mereka tumbuh subur, seiring dengan waktu yang terus berjalan.
Namun, setelah wisuda, kehidupan membawa mereka ke jalan yang berbeda. Raka harus bekerja di kota yang jauh, sementara Maria tetap di kotanya. Mereka terpisah oleh jarak yang semakin membentang. Di masa itu, telepon genggam belum umum, sehingga surat menjadi satu-satunya cara untuk menjaga komunikasi. Namun, lambat laun, surat-surat Raka mulai jarang datang, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Maria menanti dengan setia, berpegang pada janji Raka untuk menikahinya. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun berganti, namun tak ada kabar dari Raka.
Kesepian mulai merayapi hati Maria. Banyak pria yang datang mendekati, namun hatinya tetap tertambat pada Raka. “Jangan-jangan besok Raka akan datang,” begitu pikirnya setiap kali. Tetapi, harapan itu kian hari kian menipis.
Suatu sore yang suram, Maria bertemu dengan Aldi, teman kuliah Raka yang bekerja di kota yang sama. Aldi baru pulang karena ada kerabat yang meninggal. Dalam percakapan basa-basi, Maria akhirnya memberanikan diri bertanya, "Bagaimana kabar Raka?" Aldi terdiam sejenak, lalu dengan nada berat ia menceritakan kebenaran yang menghantam Maria seperti halilintar di siang bolong.
Raka telah menikah. Dia dipaksa menikah dengan seorang gadis kepala suku di daerah terpencil tempatnya bekerja. Aldi menjelaskan, di daerah tersebut ada adat yang sangat berbeda; ketika seorang pria mengunjungi rumah seorang gadis, itu sudah dianggap sebagai lamaran. Raka tak bisa menghindari budaya itu dan terpaksa menerima takdirnya.
Bagai tersambar petir, Maria terduduk lemas mendengar kenyataan itu. Dunianya yang semula penuh harapan tiba-tiba runtuh. Semua menjadi kosong dan gelap. Perasaan cinta yang selama ini ia simpan dengan begitu setia seakan hancur berkeping-keping. Ia pingsan, terjatuh dalam kepedihan yang tak tertahankan.
Hari-hari setelah itu, Maria hanya bisa termenung, duduk di jendela kamar sambil menatap langit yang kosong. Cinta yang pernah begitu indah tak mungkin terhapus begitu saja, meski malam demi malam dilaluinya dengan air mata. Sementara di kejauhan, janji yang dulu pernah mengikat mereka kini tinggal kenangan, tersapu oleh angin waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar