Malam itu, tahun 1983, usai shalat maghrib, kami bertujuh dengan semangat yang meluap-luap memulai perjalanan dari kota Malang menuju Gunung Bromo. Di bawah langit senja yang memerah, kami meninggalkan kehangatan rumah, menggantinya dengan angin dingin yang menggigit di jalanan. Hanya berbekal tekad, kaki-kaki kami melangkah menuju Tumpang, menuju petualangan yang akan terus terukir dalam kenangan.
Kami tiba di Desa Gubug Klakah dengan angkot terakhir, lalu langkah-langkah kecil dan gembira kami mulai menuju Gunung Bromo, tanpa sadar bahwa perjalanan ini akan penuh dengan kejutan alam. Langit yang awalnya teduh berubah muram, dan hujan mulai turun tanpa ampun. Kami lupa membawa mantel, membiarkan setiap tetes air menyatu dengan kulit, melembapkan pakaian, dan merasuk hingga ke tulang. Malam itu dingin, tapi tawa kami masih hangat. Hujan menjadi lagu pengiring, nada-nada alam yang menyertai kami sepanjang perjalanan.
Ketika langkah kami mulai melemah, kami memutuskan beristirahat di tepi jalan, beralaskan rumput basah dan beratapkan langit yang terus menangis. Di sana, di bawah hujan deras, kami terlelap dalam kelelahan. Ketika pagi tiba, sinar matahari mengungkap kebenaran yang mengejutkan—desa Ngadas hanya berjarak 200 meter dari tempat kami tertidur. Gelak tawa mengiringi kesadaran itu, seolah alam sedang bercanda dengan kami.
Perjalanan menuju kaldera Bromo melanjutkan ritme lambatnya. Gunung yang agung berdiri megah di hadapan kami, menyambut kami dengan angin dingin dan keheningan alam. Kami mendirikan tenda di bawah Gunung Widodaren, di dekat Bromo, menjadikan lembah itu rumah kami selama dua hari penuh. Waktu seakan berhenti, dan di dalam sepinya alam, kami menemukan kedamaian yang tak bisa didapatkan di tempat lain.
Namun, keheningan itu juga membawa tantangannya. Malam-malam yang dingin menyelinap ke dalam tidur kami, dan bekal yang mulai habis membuat perut kami keroncongan. Tetapi di setiap gigitan angin malam, di setiap rasa lapar yang menggerogoti, ada kehangatan kebersamaan yang menguatkan. Tawa kecil, obrolan ringan, dan kisah-kisah yang kami bagi di dalam tenda menjadi pengisi hati kami.
Saat kembali ke Ngadas, kami bertemu dengan sebuah mobil pengangkut sayur. Petani yang ramah mengizinkan kami ikut turun menuju Tumpang. Dari sana, truk besar yang mengangkut barang akhirnya membawa kami kembali ke Malang, dengan tubuh yang lelah tapi hati yang penuh pengalaman.
Bukan hanya dingin yang kami kenang, bukan hanya lapar yang kami rasakan, tetapi keindahan alam yang masih sunyi, liar, dan damai. Sepanjang jalan dari Gubug Klakah hingga Ngadas, belum banyak rumah berdiri. Kami sempat bertemu dengan kera besar di malam yang gelap, dan kucing hutan yang melintas cepat di antara pepohonan. Semua itu menjadi bagian dari petualangan kami, membentuk kenangan yang tak akan pernah kami lupakan.
Perjalanan itu mengajarkan kami tentang ketangguhan, persahabatan, dan bagaimana alam berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mau mendengarkan. Gunung Bromo, dengan segala keheningannya, telah menjadi saksi perjalanan kami—sebuah perjalanan yang selalu hidup dalam kenangan masa kecil kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar