Senin, 14 Oktober 2024

CERPEN : Harapan Seorang Bapak dan Resah yang Menggantung


 

Di sudut kamar yang sunyi, seorang bapak duduk termenung. Mata tuanya menatap foto di sudut meja—sebuah gambar masa lalu yang penuh senyum dan harapan. Di sana, seorang gadis kecil tersenyum cerah, menggenggam tangan ayahnya dengan harapan yang tampak bersinar dari matanya. Namun kini, sinar itu seolah memudar, tak sekuat harapan yang pernah digantungkan oleh sang bapak.

Bapak selalu bermimpi besar untuk anaknya. Ia berharap putrinya lulus dengan nilai yang cemerlang, agar suatu hari nanti, pekerjaan yang mapan akan menanti. Setiap pagi, bapak mendorong, menyemangati, dan kadang memarahi, bukan karena marah, tapi karena harapannya begitu besar. Bapak ingin yang terbaik, bukan untuk dirinya, tapi untuk masa depan putrinya. Setiap keringat yang menetes, setiap langkah yang berat, semua dilakukan demi anak yang begitu dicintainya.

"Belajarlah yang rajin," kata bapak suatu malam. "Kelak kamu akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai ijazahmu, mapan, tak perlu khawatir soal masa depan."

Putrinya, yang kala itu mendengar, hanya mengangguk pelan, tapi dalam hatinya ada yang terusik. Harapan bapak tak selalu sejalan dengan mimpi-mimpi yang ia simpan di hati.

Waktu berlalu. Nilai sekolah tak selalu gemilang, cita-cita bapak terasa seperti beban yang terus menekan pundaknya. Putrinya mulai merasa lelah, bukan oleh perjalanan hidup, tapi oleh tuntutan yang tak pernah sepi.

"Kenapa bapak selalu berharap yang terbaik dariku?" keluh sang anak di suatu senja. "Ini hidupku, bukan hidup bapak. Harapan bapak adalah milik bapak, bukan milikku. Biarlah bapak yang menanggung itu semua, aku tak perlu memikulnya."

Bapak terdiam, mendengar kalimat yang terucap dari mulut putri kesayangannya. Dadanya terasa berat, bukan karena marah, tapi karena kecewa. Bapak hanya ingin yang terbaik, selalu berusaha mencarikan jalan, memberi dorongan, dan mengarahkan. Namun, semakin bapak memberi, semakin putrinya menjauh dari harapannya.

“Anakku, aku tak pernah meminta banyak. Aku hanya ingin melihatmu sukses, bahagia, tidak seperti bapak yang harus berjuang dari bawah, bertarung dengan hidup yang penuh ketidakpastian. Aku tak ingin kau merasakan itu.”

Namun bagi putrinya, harapan bapak seolah seperti tembok tinggi yang membatasi langkahnya. Apa yang bapak impikan bukanlah mimpinya. Gadis itu ingin terbang bebas, tanpa harus terikat oleh apa yang diinginkan orang lain, bahkan oleh bapaknya sendiri.

"Bapak, tolong mengerti," ucapnya suatu hari. "Aku yang menjalani hidup ini, bukan bapak. Aku yang merasakan setiap langkah, setiap keputusan. Harapan bapak terlalu berat bagiku."

Bapak menunduk. Ia menyadari, kadang harapan yang ia gantungkan terlalu tinggi, tanpa memberi ruang bagi putrinya untuk memilih jalannya sendiri. Namun, rasa cinta dan keinginan untuk melindungi selalu membuat bapak lupa, bahwa anaknya juga butuh ruang untuk berbuat salah, untuk belajar dari hidupnya sendiri.

Senja itu, di bawah langit yang mulai memudar, bapak merenung panjang. Harapan seorang bapak, betapa pun besar dan mulianya, tetaplah hanya harapan. Anak adalah individu yang berhak memilih jalannya, yang berhak merasa, bermimpi, dan menjalani hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Meski hatinya berat, bapak akhirnya belajar, bahwa cinta bukan berarti harus memaksakan harapan. Cinta, adalah membiarkan anaknya terbang dengan sayapnya sendiri—meski mungkin, jalan yang dipilihnya tak seindah harapan yang pernah bapak lukiskan di hatinya.

Dan di tengah keheningan, bapak hanya bisa berbisik dalam hati, "Semoga, di manapun kau melangkah, bahagia tetap mengikutimu, Nak."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar