Di sebuah sekolah yang penuh dengan tawa dan keceriaan, Raka selalu hadir dengan senyum lebar yang tak pernah memudar. Ia adalah sosok remaja ceria, penuh semangat, dan pandai bersosialisasi dengan siapa saja. Namun, ada satu hal yang berbeda akhir-akhir ini. Di antara tawa yang ia tebar, hatinya selalu tertuju pada seorang gadis, Liliani, teman sekolah yang juga dikenal sangat periang. Liliani adalah pusat perhatian di sekolah, aktif dalam segala kegiatan, mulai dari pementasan seni hingga lomba olahraga. Banyak pria di sekolah yang diam-diam menyimpan harapan untuk bisa berada di sisinya, termasuk Raka.
Setiap kali Liliani melangkah, ia selalu dikelilingi oleh teman-teman lelaki yang berlomba-lomba menunjukkan perhatian. Mereka menyapa dengan senyum ramah, mencoba menarik perhatiannya. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Raka selalu berdiri di belakang, memandangi Liliani dari kejauhan. Meskipun banyak yang ingin berada di samping gadis itu, Raka merasa cintanya tak terucap, terhalang oleh perasaan yang enggan diungkapkan.
Raka tahu, cintanya pada Liliani mungkin takkan berbalas. Bukan karena ia tak berani, melainkan karena hatinya tahu bahwa Liliani telah jatuh hati pada orang lain—Rudy. Rudy adalah kakak kelas mereka, remaja pendiam yang lebih memilih menghabiskan waktu dengan gitar di tangannya daripada bergabung dengan keramaian. Ketika jari-jarinya menyentuh senar, melantunkan nada-nada melankolis, Liliani terpikat. Di balik sikap dingin Rudy, Liliani merasakan ada pesona yang tak dapat ia abaikan.
Setiap upaya Liliani untuk mendekati Rudy seakan bertemu dengan tembok tebal. Rudy tak pernah membalas tatapan hangat Liliani, apalagi sapaan-sapaan lembutnya. Liliani mencoba lebih keras, menghadiri setiap pertunjukan musik Rudy, memberikan perhatian dengan senyum yang paling manis, namun tetap, Rudy tak menggubrisnya. Raka menyaksikan semua itu dari kejauhan, dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, Liliani berjuang untuk cinta yang mungkin tak pernah terbalas, sama seperti dirinya yang memendam cinta untuk gadis yang tak pernah melihatnya.
Pada suatu sore, setelah upaya terakhir Liliani yang kembali berakhir dengan hening dari Rudy, Raka menemukan Liliani duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah. Senyumnya tak lagi secerah biasanya, matanya menerawang jauh, seolah mencari tempat berlabuh yang tak kunjung ia temukan.
"Kenapa kamu sedih?" tanya Raka, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Liliani menatap Raka, tersenyum tipis. "Raka, kenapa ya, cinta bisa begitu sulit?"
Raka tak menjawab, ia hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu betul perasaan Liliani. Cinta memang terkadang tak terbalas, tetapi bukan berarti harus berhenti. Hatinya masih berdetak untuk gadis itu, meskipun ia tahu bahwa cinta itu mungkin takkan pernah sampai.
Di antara mereka, hanya ada angin sore yang berhembus pelan, membawa perasaan yang tak terucap, baik dari Raka maupun dari Liliani. Dan pada saat itu, Raka menyadari satu hal—cinta bukanlah soal memiliki, tapi soal merelakan. Dan meskipun Liliani tak pernah tahu, Raka akan selalu ada untuknya, meski hanya sebagai teman yang diam-diam mencintai dalam senyap.
Hari demi hari berlalu, dan Liliani masih terjebak dalam pergolakan batinnya. Rudy tetap bagai bayangan yang tak tergapai, sementara Raka, yang selalu ada di dekatnya, menyimpan cinta dalam diam. Waktu seakan mempermainkan mereka; Liliani yang terus mencari jawaban dari cinta yang tak terbalas, dan Raka yang menunggu tanpa pernah menuntut. Namun, di suatu senja, ketika cahaya matahari mulai meredup di ufuk barat, perasaan yang lama terpendam mulai menyeruak ke permukaan.
Liliani duduk di bangku taman sekolah, memandangi langit yang berubah warna menjadi jingga keemasan. Senyumnya tak lagi ceria seperti dulu, bibirnya sedikit mengatup, menyimpan perih yang tak pernah ia ungkapkan. Raka menghampirinya perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang mengelilingi gadis itu.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu sering menyendiri?" tanya Raka, suaranya lembut, seperti angin yang membelai daun-daun.
Liliani menunduk sejenak, lalu menatap Raka dengan mata yang memancarkan keletihan. "Aku sudah lelah, Rak. Lelah menunggu sesuatu yang sepertinya tidak akan pernah datang."
Raka merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Ia ingin menghapus kesedihan yang menggelayuti hati Liliani, tetapi ia tahu, tidak semua luka bisa disembuhkan dengan kata-kata. "Cinta memang sering kali seperti itu," jawab Raka, matanya memandang jauh ke arah horizon. "Kadang, yang kita harapkan tak selalu jadi milik kita."
Liliani tersenyum tipis. "Rudy... dia seperti bintang jauh di langit. Aku berusaha menggapainya, tapi dia tetap tak terjangkau."
Hening mengisi jarak di antara mereka. Liliani merasa hatinya semakin berat, tidak tahu ke mana harus menambatkan perasaannya. "Raka, menurutmu, di mana aku bisa menemukan cinta yang sejati?"
Pertanyaan itu menggema di dalam hati Raka. Ia tahu bahwa cinta sejati Liliani bukan berada pada sosok Rudy yang tak pernah melihatnya. Raka, dengan semua perasaan yang ia simpan rapat, tahu bahwa cinta sejati Liliani mungkin lebih dekat dari yang pernah ia bayangkan. Tetapi, bagaimana mungkin ia mengungkapkan semua itu ketika hatinya sendiri terkurung dalam ketakutan akan penolakan?
“Cinta sejati bukan tentang siapa yang paling jauh atau paling misterius,” ujar Raka pelan, dengan suara bergetar halus. “Kadang, cinta sejati ada pada orang yang selalu ada di samping kita, yang melihat kita ketika kita merasa tak terlihat, yang mencintai tanpa perlu balasan apa pun.”
Liliani terdiam, matanya kini terarah pada Raka. Dalam keheningan itu, ia mulai melihat sesuatu yang selama ini terabaikan—sosok Raka yang selalu ada di sampingnya, yang tak pernah menuntut perhatian, yang senyumnya selalu tulus tanpa harapan tersembunyi. Sebuah perasaan hangat perlahan muncul di hatinya, perasaan yang dulu tak pernah ia sadari.
“Raka… kenapa kamu selalu ada untukku?” tanya Liliani, suaranya nyaris berbisik, namun penuh rasa ingin tahu.
Raka tersenyum, kali ini lebih getir. Ia tahu inilah saatnya. “Karena aku peduli padamu, Liliani. Bukan karena aku ingin sesuatu darimu, tapi karena melihatmu bahagia sudah cukup buatku.”
Liliani merasakan dadanya berdesir. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lihat kini tampak begitu jelas. Raka, dengan segala kesederhanaannya, telah mencintainya selama ini—dengan cara yang berbeda, lebih tulus, lebih dalam, dan tanpa syarat.
Sore itu, di bawah langit yang semakin meredup, Liliani merasakan hatinya mulai menambatkan diri pada pelabuhan yang tak pernah ia duga. Mungkin, jawabannya bukan Rudy, bukan bintang jauh di langit yang tak pernah ia gapai. Mungkin, jawaban itu adalah Raka, yang selama ini ada, menyayanginya dengan tenang, tanpa banyak kata.
Dan untuk pertama kalinya, Liliani tersenyum pada Raka, bukan sekadar teman, tapi seseorang yang akhirnya ia sadari telah menjadi tempat di mana hatinya ingin berlabuh.