Sejarah penggunaan meriam atau "bambangan" di Kota Malang sebagai penanda waktu buka puasa memiliki akar tradisi yang mendalam dalam budaya Indonesia, khususnya di Jawa. Berikut ini adalah penjelasan mengenai sejarah dan maknanya:
Sejarah Bangglur di Kota Malang
Asal-usul dan Nama
- Istilah Bangglur: Bangglur adalah istilah lokal di Malang untuk meriam bambu yang digunakan sebagai penanda waktu buka puasa. Istilah ini mungkin berasal dari bunyi ledakan meriam yang dihasilkan.
- Penggunaan Tradisional: Tradisi penggunaan meriam atau petasan untuk menandai waktu berbuka puasa sudah ada sejak zaman dahulu di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Malang. Ini adalah cara yang efektif untuk memberi tahu masyarakat, terutama ketika jam belum umum digunakan.
Masa Penjajahan Belanda
- Pengaruh Kolonial: Selama masa penjajahan Belanda, penggunaan meriam kecil atau bambu sebagai alat pemberitahuan menjadi semakin populer. Pemerintah kolonial terkadang menggunakan meriam di benteng untuk menandai waktu tertentu, dan tradisi ini mungkin diadaptasi oleh masyarakat lokal untuk keperluan Ramadan.
- Benteng di Malang: Kota Malang memiliki beberapa benteng atau pos pertahanan selama masa kolonial. Penggunaan meriam di benteng-benteng ini kemungkinan memberi inspirasi bagi masyarakat untuk menggunakan bambu sebagai pengganti meriam dalam kegiatan sehari-hari, termasuk untuk menandai buka puasa.
Tradisi Masyarakat Malang
- Adaptasi Lokal: Masyarakat Malang mengadaptasi tradisi ini dengan menggunakan bambu yang lebih mudah diakses dan aman. Meriam bambu diisi dengan karbit atau bahan peledak sederhana yang menghasilkan ledakan keras.
- Penggunaan di Bulan Ramadan: Setiap sore menjelang maghrib, ledakan bangglur terdengar di seluruh kota, menandai waktu berbuka puasa. Tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana Ramadan di Malang, memberikan nuansa khas dan rasa kebersamaan.
Makna Budaya dan Sosial
Pemersatu Masyarakat
- Kebersamaan: Ledakan bangglur tidak hanya berfungsi sebagai penanda waktu, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan dan solidaritas. Saat suara bangglur terdengar, seluruh masyarakat serentak berbuka puasa, menciptakan momen kebersamaan yang kuat.
- Tradisi yang Berlanjut: Tradisi ini dilanjutkan dari generasi ke generasi, memperkuat identitas budaya dan memberikan kontinuitas dalam praktik keagamaan dan sosial.
Simbol Keagamaan
- Ketaatan: Penggunaan bangglur sebagai penanda buka puasa mencerminkan ketaatan masyarakat terhadap ajaran Islam. Ini menunjukkan penghormatan terhadap waktu dan disiplin dalam menjalankan ibadah puasa.
- Penanda Spiritual: Ledakan meriam berfungsi sebagai penanda spiritual, mengingatkan umat Islam akan waktu yang telah ditentukan untuk berbuka, sesuai dengan ajaran agama.
Modernisasi dan Perubahan
- Perubahan Teknologi: Dengan berkembangnya teknologi, penggunaan meriam bambu secara bertahap digantikan oleh sirene atau pengeras suara dari masjid yang mengumumkan waktu berbuka. Namun, di beberapa tempat, tradisi ini masih dipertahankan sebagai bagian dari warisan budaya.
- Pengaruh Urbanisasi: Di wilayah perkotaan seperti Malang, ledakan bangglur mungkin tidak lagi sepopuler dulu karena peningkatan kepadatan penduduk dan perubahan cara hidup. Namun, di pedesaan dan komunitas tertentu, tradisi ini masih hidup.
Bangglur di Kota Malang sebagai penanda buka puasa adalah tradisi yang mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat. Meskipun penggunaannya mungkin berkurang dengan perkembangan teknologi, tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari sejarah lokal dan identitas budaya masyarakat Malang. Tradisi ini mengingatkan kita akan cara-cara sederhana namun efektif yang digunakan oleh masyarakat untuk menjaga disiplin waktu dan kebersamaan dalam menjalankan ibadah puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar