Di sebuah kota yang ramai, hiduplah sepasang kekasih, Arman dan Maya. Mereka pertama kali bertemu di rumah seorang teman, saat keduanya secara tidak sengaja bersama. Pertemuan itu membawa mereka pada obrolan panjang tentang kehidupan, mimpi, dan cinta. Arman, seorang pekerja keras, jatuh cinta pada Maya, seorang atlit yang bebas dan penuh inspirasi. Keduanya merasa menemukan belahan jiwa yang selama ini mereka cari.
Mereka sering bertemu di rumah Maya yang berada di pusat kota. Setiap kali bertemu dan bercumbu, Maya selalu mengambil pisau kecil dan menggambar sebuah garis di pintu kayu . Garis-garis ini menjadi simbol pertemuan mereka, kenangan yang terekam dalam setiap goresan.
“Ini tanda cinta kita, Arman,” kata Maya sambil tersenyum. “Setiap garis adalah bukti bahwa kita pernah ada di sini, bersama.”
Arman selalu tersenyum dan mengangguk, merasa bahwa setiap garis tersebut adalah bagian dari perjalanan cinta mereka. Pertemuan demi pertemuan, garis-garis di pintu semakin banyak, membentuk pola yang indah dan penuh makna. Mereka tertawa, bercinta, dan berbagi mimpi di balik pintu itu, menciptakan dunia kecil yang hanya milik mereka berdua.
Namun, kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Kesibukan Arman dan ambisi Maya mulai menguji hubungan mereka. Jadwal yang padat dan jarak yang mulai memisahkan mereka membuat pertemuan semakin jarang. Meski begitu, setiap kali Arman pulang dari perjalanan bisnisnya atau Maya kembali dari kegiatannya, mereka tetap kembali ke rumah itu dan menambahkan satu garis lagi di pintu.
Suatu malam, setelah beberapa bulan tanpa bertemu, Arman dan Maya akhirnya kembali bersama di rumah Maya. Namun, ada ketegangan yang terasa di udara. Mereka berbicara tentang mimpi dan harapan masing-masing, tentang betapa sulitnya menjaga cinta di tengah kesibukan dan ambisi pribadi. Meskipun cinta mereka masih kuat, mereka menyadari bahwa hubungan ini tidak bisa terus seperti ini.
“Arman, mungkin kita harus berhenti berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja,” kata Maya dengan mata berkaca-kaca. “Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai mimpiku.”
Arman menatap Maya dengan perasaan campur aduk. “Aku juga mencintaimu, Maya. Tapi mungkin kita memang butuh waktu untuk diri kita sendiri.”
Dengan hati yang berat, mereka memutuskan untuk berpisah. Maya mengambil pisau kecilnya sekali lagi dan menggambar garis terakhir di pintu kayu itu. “Ini adalah garis terakhir, Arman. Sebagai tanda bahwa meskipun kita berpisah, cinta kita akan selalu ada di sini.”
Arman mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya, merasa bahwa meskipun hubungan mereka harus berakhir, kenangan dan cinta mereka akan selalu ada di dalam hati.
Epilog
Tahun demi tahun berlalu, dan baik Arman maupun Maya menjalani hidup mereka masing-masing. Arman yang semakin tua, sementara Maya terus mengejar mimpinya . Meskipun mereka tidak lagi bersama, kenangan akan garis-garis di pintu itu selalu ada di hati mereka.
Pintu kayu di rumah Maya tetap berdiri kokoh, penuh dengan garis-garis yang menjadi saksi bisu dari cinta mereka. Setiap garis adalah bukti dari momen-momen indah yang mereka habiskan bersama, kenangan yang tak akan pernah hilang. Garis-garis cinta itu adalah simbol dari cinta sejati yang meskipun tidak selalu bersama, tetap hidup di dalam hati mereka, selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar