Selasa, 19 November 2024

PUISI : Bahumu, Penopang Dunia Kita

Wahai sang penjaga malam dan fajar,
langkahmu bukan untuk gemerlap sinar,
namun untuk nyala lampu di sudut rumah,
dan senyum hangat yang tak pernah lelah.

Tak kupinta kau menjadi raja pesta,
cukup jadi peluk yang penuh cerita,
dengan tanganmu yang membangun harap,
dan bahumu, kokoh menahan beban berat.

Doaku melangit, mengiring tiap detak,
semoga kekuatan tak pernah retak.
Karena di balik kerut lelah di wajahmu,
tercermin cinta yang begitu syahdu

Senin, 18 November 2024

PUISI : Hidup, Sebuah Permainan


 

Hidup ini papan catur tanpa akhir,
Langkah-langkah tersembunyi di balik satir.
Tak ada ruang bagi rasa kasihan,
Saat bidak berdansa dalam kebingungan.

Utamakan mereka yang mengutamakan,
Yang tulus berdiri tanpa beban.
Tinggalkan yang hanya tahu memanfaatkan,
Sebab setia tak tumbuh dari kepalsuan.

Abaikan suara di sudut gelap,
Yang membicarakan, tanpa jejak.
Hidup ini bukan panggung bagi penghakiman,
Tapi permainan jiwa mencari kemenangan.

PUISI : Jangan Mengingau, Sayang

 


Dia berkata padaku, cinta ini nyata,
Sembunyi di balik senja yang memerah luka.
Katanya, dia pergi untuk udara,
Tapi langkahnya berbisik dusta pada cinta yang ada.

Di mataku, janji-janji tumbuh seperti mawar,
Namun durinya tajam, melukai tiap harap yang mekar.
"Percayalah," katanya dengan suara yang gemetar,
Sementara bayangannya masih terikat di rumahnya yang pudar.

Aku memintanya memilih, tapi ia hanya tersenyum samar,
Menipuku, seperti ia menipunya—hati jadi lebur dan gentar.
Kini aku tahu, cinta yang berdiri di atas dua kaki goyah,
Takkan pernah tegak; hanya menanti roboh dalam resah.

Jangan mengingau, sayang, mimpi ini hanya fatamorgana,
Biarkan angin membawa cerita yang penuh noda.
Kau harap dia serius? Ah, bukankah kau tahu jawabnya?
Cinta yang terbelah hanya serpihan, bukan mahkota.

Senin, 11 November 2024

PUISI : Di Sisi Rindu yang Sunyi


Meski jarak telah kau bentangkan,

dan harapanku kau biarkan pudar,
aku masih terjebak di tepi kenangan,
menyusun rindu yang enggan terlarut.

Di sudut hati yang tak kau lihat,
namamu tetap merayap sunyi,
meski kau tak lagi berharap,
aku masih menanti dalam sepi.

Tiada lagi janji yang kita jaga,
hanya bayangmu yang samar dan jauh,
namun setiap helaan napasku berkata,
kau abadi di ruang rindu yang tak pernah luluh.

Cerpen : Menanti tanpa Batas

Malam di kafe kecil itu, angin berhembus lembut membelai rambut Dini yang jatuh di bahunya. Ditemani dua cangkir kopi yang tinggal setengah, Raka menatapnya dalam-dalam. Di matanya ada keraguan, namun di bibirnya tersungging senyum tipis. Mereka sudah lama bersama, tapi malam ini terasa berbeda, seolah ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab atau mungkin dibiarkan menggantung.

"Din, kamu pernah kepikiran buat kita… lebih serius?" Raka memulai, suaranya serak, setengah takut menunggu respons yang tak tertebak dari Dini.

Dini menatap ke arah lain, menimbang kata-kata yang akan ia keluarkan. "Serius yang seperti apa, Ka?"

"Serius… seperti merencanakan pernikahan," jawab Raka, kali ini lebih mantap. "Aku merasa kita sudah lama bersama, dan… mungkin sudah saatnya."

Dini diam, menggenggam cangkir kopinya yang sudah dingin. "Raka, aku bahagia dengan kamu. Aku suka saat kita menghabiskan waktu bersama, tertawa, cerita, berbagi mimpi. Tapi…"

"Tapi apa?" desak Raka, matanya menelusuri wajah Dini yang tampak ragu.

"Tapi aku masih belum yakin, Ka. Apakah ini… cinta yang akan terus bertahan, atau hanya perasaan sesaat?" ucap Dini dengan nada lembut, namun penuh kebimbangan. "Aku… aku takut kalau aku menyetujui ini, dan ternyata aku tidak benar-benar bisa mencintaimu seperti seharusnya."

Raka menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaan yang terlukis di matanya. "Aku kira… kita saling memahami tanpa perlu meragukan lagi."

Dini tersenyum tipis, menggenggam tangan Raka. "Ka, bukan berarti aku tidak sayang. Aku hanya butuh waktu untuk memastikan… agar kita tidak berakhir dengan rasa kecewa."

"Aku bisa menunggumu, Din. Tapi aku juga punya batas," jawab Raka pelan, mencoba tersenyum meski matanya menyiratkan luka. "Aku takut, nanti kamu malah lupa, atau waktu mengubah kita."

Dini mengangguk perlahan, seperti paham tapi tak mampu memberikan jawaban pasti. "Aku tak akan melupakanmu, Raka… Namun, untuk sekarang, bisakah kita tetap seperti ini saja dulu?"

Hening. Mereka kembali menyesap kopi yang telah mendingin, seakan mencari keberanian dari setiap tetesnya.

"Dini, aku ingin kamu tahu, aku di sini. Aku ingin kamu, tapi aku tidak bisa menunggu selamanya," kata Raka, hampir berbisik. "Kalau nanti aku menyerah, bukan berarti aku tidak setia… hanya saja, waktu dan hatiku juga punya batas."

Dini mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maafkan aku, Ka. Terima kasih sudah mau menunggu sejauh ini."

Dalam hening yang penuh rasa, mereka tahu—meski tak diucapkan, ada waktu yang perlahan membatasi janji yang tak pernah terucap. Raka menunggu dalam keraguan, dan Dini masih bertanya-tanya dalam hatinya.

Di tengah-tengah ketidakpastian itu, mereka hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, waktu akan memberikan jawaban yang selama ini mereka cari.

PUISI : Masih seperti Dulu


Aku masih seperti fajar yang merindu pagi,
terbit dengan setia meski hujan menghampiri,
masih seperti semesta menanti bintang,
meski kadang redup di pelukan malam.

Aku masih seperti debur ombak di pantai,
menyapa pasir yang senyap dan bisu,
menanti tanpa jemu, tanpa usang,
meski waktu kerap mematahkan sayapku.

Tapi kamu—apakah kamu masih seperti doaku,
masih seteduh senyum yang dulu kurindu?
Ataukah kini bayangmu telah terurai,
tak lagi terjalin dalam harapan yang kupinta?

Aku tak tahu lagi, dalam sunyi kuterhenyak,
seperti hujan yang jatuh tanpa pernah pulang,
menemukan jejakmu semakin jauh mengabur,
namun aku tetap di sini, masih seperti dulu, menunggu.

Selasa, 05 November 2024

PUISI : Berlabuh di hatimu

Akan kuperbaiki perahuku ini,
dengan sabar kutambal setiap luka,
karena meski retak dan terurai sepi,
ia pernah setia menemaniku mengarungi samudra.

Biar layar yang koyak kuikat erat,
biar dayung yang patah kubentuk lagi,
dalam hening kugenggam tekad yang pekat,
agar angin kelak sudi membawaku pergi.

Aku tahu, lautan tak selalu ramah,
kadang ia menipu dengan ketenangannya,
dan aku—pernah terdampar di pantai yang salah,
merindu tanah, namun terjebak kecewa dan lelah.

Namun kini kusediakan hati baru,
kuhela napas, kutatap cakrawala jauh,
perahuku bukan lagi sekadar kayu,
ia adalah impian yang kuanyam dalam peluh.

Semoga angin mengerti isi hatiku,
membimbing layarku menuju pulau terbaik,
di mana debur ombak menyanyikan lagu,
tentang perjalanan panjang dan hati yang terdidik.

Di sana kelak aku akan berlabuh,
di dermaga yang tak hanya menunggu,
dan perahuku yang kusayang pun luluh,
karenanya, aku takkan tersesat lagi dalam biru.

Akan kuperbaiki perahuku ini,
hingga saat kembali berlayar tiba,
membelah laut dengan hati yang murni,
berharap, bermimpi, dan percaya pada arahNya.

PUISI : Dalam Sunyi yang Terbenam

Ada jiwa yang memilih senyap,
menyulam rahasia di sudut malam,
tak berani membuka tabir yang rapat,
takut melukai bayangan yang dalam.

Ia menggenggam semua sendiri,
seperti pasir yang erat di tangan,
biar sepi menjadi saksi,
pada rindu yang bisu, pada luka yang diam.

Di setiap lamunan yang mengawang,
ada kisah yang tak lagi berani terkatakan,
detik-detik menjadi panjang,
seolah waktu bersekongkol dalam kesendirian.

Langit malam menjadi teman,
tempat ia menitipkan harapan samar,
di sana ia lepaskan beban,
meski hanya dijawab sunyi yang pudar.

Bulan pun tak tahu rasa,
hanya memandangnya dari jauh,
sementara ia larut tanpa suara,
berteman bayang yang takkan runtuh.

Ia melamun dalam alunan sunyi,
merajut mimpi yang terjal,
sendiri, terlunta dalam bening pagi,
yang tak lagi hangat, yang hanya tinggal.

Lalu, pada akhirnya ia tenggelam,
ke dalam diri yang kian tak bertepi,
menyimpan semua di dasar kelam,
melamun, menyendiri,
hingga hilang bersama sunyi.

Senin, 04 November 2024

PUISI : Kesederhanaan Kebenaran

Kebenaran itu bagai embun, bening tanpa cacat,
tetes kecil di ujung daun yang tenang,
tak bersembunyi dalam bayang,
ia hadir seutuhnya, sederhana dan terang.

Ia melangkah seperti langkah pagi,
tanpa gemuruh, tanpa rekayasa,
tak butuh selimut atau tabir rahasia,
mengalir tulus dari mata yang bersih.

Sedang kebohongan adalah labirin kelam,
lorong sempit penuh tipu muslihat,
ia berputar, merambat dalam liku,
merangkai jaring dari kata-kata yang licik.

Bohong, seperti sungai yang berkelok,
mengulur waktu, menambah simpul,
tak pernah tenang, selalu gelisah,
dibebani topeng, dihantui rasa salah.

Kebenaran hadir bak sinar lembut senja,
mewarnai langit dengan keindahan apa adanya,
tak terselubung, tak memelas,
ia hadir, jujur, dalam damainya.

Namun dusta adalah bayangan panjang,
selalu berlari, tak pernah diam,
ia tenggelam dalam kebisingan,
namun tak mampu memeluk tenang.

Di atas segala yang rumit dan rumus,
kebenaran tetaplah permata tanpa kilau,
sebab ia tak butuh mewah untuk bersinar,
cukup ia hadir, dan semua kelam pun pudar.

Minggu, 03 November 2024

PUISI : Hukum Hati


Saat kau goreskan luka pada jiwa lain,
di sana, tanpa sadar, benih kelam telah tertanam,
kau titipkan hatimu di buku takdir yang penuh rintih,
berbaris, menanti giliran untuk terluka kembali.

Mungkin tak terasa, mungkin pula tersembunyi,
di balik senyum yang kau beri, ada serat pilu yang teranyam,
di dalam diri yang kau sakiti, ada sejumput dendam diam,
menunggu detik demi detik berbalik menjadi sayatan.

Bukankah hati itu seperti sungai sunyi?
Mengalirkan kesedihan yang tak tampak, tak terdengar,
namun waktu tak pernah ingkar—
ia membawa pulang setiap dosa dan perih yang kau tanam.

Dan pada hari yang lengang atau gelap,
kau akan temui luka itu menganga di pintu hatimu,
datang dari jejak langkah yang pernah kau tinggalkan,
saat kau hancurkan hati lain demi kepuasan yang fana.

Hati itu rapuh, namun ia abadi dalam ingatan,
maka bila kau melukainya, bersiaplah suatu saat nanti,
kau akan dibangunkan oleh luka yang kau ciptakan sendiri,
dan barulah kau sadari, betapa dalam setiap perih kembali.

puisi : Jejak Masa Lalu

 


Kita tak bisa mengubah masa lalu,
ia tetap terukir di bening waktu,
bagai langkah di pasir yang dilupakan angin,
tersembunyi di bawah debur ombak yang dingin.

Namun kita bisa mengubah cara memandang,
membiarkan kenangan menjadi terang,
melihat luka sebagai guru yang bijaksana,
mengubah sesal menjadi bara yang menyala.

Setiap goresan di masa silam,
adalah bait pelajaran yang tak pernah kelam,
dan dalam bening hati yang ikhlas menerima,
kita temukan hikmah yang mengalir seperti sungai tak berbatas rasa.

Masa lalu adalah cermin yang tak pernah retak,
memantulkan bekas, namun tak bisa kita ubah jejak,
tapi cara kita menatap, itulah yang nyata,
mengukir arah pada langkah, untuk masa depan yang berbeda.

Dan kini kita berjalan, meski dengan bekas luka,
menghadapi hari dengan mata penuh cahaya,
mengerti bahwa harapan selalu membentang,
membimbing kita pada masa depan yang gemilang.

PUISI : Menghindar Bukan Berarti Benci


Menghindar bukan berarti benci,
ada waktu di mana kata menjadi sepi,
saat hati seperti ombak yang surut pergi,
mencari tenang di balik samudra sunyi.

Diam bukan tanda tak suka,
namun kadang rasa tersimpan tak bermakna,
seperti angin yang bisu menyapu dedaunan,
menyisakan rindunya tanpa ucapan.

Di balik hening, tersimpan sabar yang mendalam,
tak terucap tapi menunggu hingga pulihlah kelam,
karena tak semua luka perlu dibilang,
tak semua kecewa layak digenggam terang.

Aku menghindar, bukan untuk melupakan,
tapi demi menjaga damai yang ingin kutemukan,
dan dalam diam, biar sembuh segala rasa,
biar kembalilah jiwa pada jalan yang lega.

Sabar itu tak selalu lantang,
ia tersembunyi, dalam hati yang tak ingin perang,
membiarkan waktu menenun luka jadi kenangan,
hingga akhirnya ia berlalu, perlahan jadi bayangan.

Kamis, 31 Oktober 2024

PUISI : Cintai Hidup, Jalani dengan Cinta


Cintailah hidup yang kau genggam,
dengan lentik jemari waktu yang menari,
dan hembus nafas yang takkan pernah kembali,
setiap detiknya berbisik, "Aku adalah anugerah, temani aku."

Di setiap langkah yang kau pijak,
ada jejak yang melukis cerita abadi,
jatuh dan bangkit terajut dalam puisi sunyi,
merangkul hangat harapan dalam pelukan hari.

Jalani hidup yang kau cintai,
di sela angin dan debur mimpi yang tak terbendung,
temukan senyum pada hal-hal kecil yang sederhana,
sebutir embun di ujung pagi, atau sinar senja yang menyapa.

Hiduplah dengan cinta pada tiap liku dan rintangan,
berdamailah dengan luka yang merona di hati,
dan taburkanlah harapan pada tanah yang kau pijaki,
sebab dalam setiap langkah, hidup mencintaimu kembali.

Selasa, 29 Oktober 2024

PUISI : Berani Menyulam Asa

Berjalanlah, meski jejakmu bergetar
di atas tanah yang tak kau kenal,
sebab dalam langkah yang tak pasti,
ada pelajaran yang setia menanti.

Ambillah resiko, sebar benih harapan,
dalam setiap luka dan tangis yang tertahan.
Jika engkau berhasil, gunung-gunung pun tunduk,
dan di hatimu, bendera bangga berkibar megah.

Namun jika gagal, jangan kau gentar,
sebab kegagalan bukan akhir dari segalanya.
Ia adalah guru yang sabar menuntun,
mengasah hatimu menjadi lebih bijak, lebih peka.

Maka, teruslah maju tanpa ragu,
peluklah risiko dengan segenap keberanianmu.
Sebab dunia ini milik mereka yang berani mencoba,
dan jiwa yang berani tak pernah sia-sia.

Senin, 28 Oktober 2024

Puisi: Jalan yang Menempa


Aku tak pernah menyesali langkah-langkah yang telah berlalu,
sebab setiap luka mengukir makna yang tak ternilai.
Tanpa semua cerita yang membekas di relung hati,
mungkin aku tak akan mengenal arti sejati dari kekuatan diri.

Dalam badai, aku belajar berdiri,
di tengah hujan, kupahami makna kesabaran.
Semua yang pergi, semua yang terluka,
mengajarkanku ikhlas, meski perihnya terasa tak bertepi.

Hidup menempaku, membentukku perlahan,
dari puing-puing rasa yang pernah hancur lebur.
Kini, aku tahu, setiap kisah adalah guru yang bijak,
mengajarkan cinta pada jalan hidup yang penuh rahasia.

Puisi: Pertempuran Rasa


Orang yang menyerah takkan pernah mencicipi kemenangan,
dan pemenang tak pernah tunduk pada lelahnya jalan.
Seperti aku, yang dalam hatiku terus berperang,
mencintaimu adalah pertarunganku, meski raguku terus menggema.

Setiap langkah menuju hatimu bagai melawan badai,
membawa gelisah yang tak mudah kugenggam.
Namun aku tahu, cinta ini bukan tentang menyerah,
tapi tentang keberanian melangkah, meski luka menghadang di setiap arah.

Dalam setiap ragu yang ingin kutaklukkan,
kau adalah alasan mengapa aku terus bertahan.
Sebab yang menang takkan pernah menyerah,
dan mencintaimu adalah pilihanku untuk menang, dalam setiap hela napas yang kuhembuskan.

Puisi: Cinta yang Merelakan

Cinta bukanlah melepas, namun rela membiarkanmu bebas,
menyaksikanmu tumbuh, walau langkahmu kadang menjauh.
Ia bukan rantai yang mengikat erat dalam genggam,
melainkan sayap yang kuberikan, agar kau terbang setinggi angan.

Cinta bukan tentang memaksa agar kau tetap di sini,
tapi memperjuangkan, walau harus berpeluh dalam sunyi.
Ia tak mengenal kata menyerah, hanya ikhlas di tiap harinya,
membiarkan takdir melukis arah, meski kadang luka menggores dada.

Aku tak ingin kau terpenjara dalam perasaanku,
biarlah cintaku menjadi angin lembut yang menyokong sayapmu.
Dan andai harus terpisah dalam perjalanannya,
kuharap kau tetap terbang bahagia, di langit yang kau pilih untuk kau cinta.

Minggu, 27 Oktober 2024

Puisi: Menanti di Ujung Rindu

 


Sebenarnya, ingin kujemput langkahmu dalam diam,
menggapai jarak yang terlalu jauh untuk kusapa.
Kau seperti langit senja di seberang lautan,
indah namun tak pernah mendekat, samar dalam pandangan.

Aku berdiri di tepian waktu, mencari celah kau lewat,
namun angin hanya membawa kabar bisu, tak memberiku arah.
Di mana aku bisa menunggumu, bila jarak begitu kejam?
Hati ini telah lelah berharap, namun tetap ingin, tetap mendamba.

Kutitip rindu pada bulan yang kau pandang di kejauhan,
agar kau tahu, di sini ada yang menanti, dalam senyap.
Bersama desir angin malam, kusebut namamu tanpa suara,
menunggu hingga kau kembali, meski mungkin tak pernah.

Puisi: Rindu yang Aku Takutkan

Aku mengharapmu dalam sunyi yang dalam,
di sudut sepi, tanpa jejak langkahmu yang datang.
Kehadiranmu—bayangan manis yang kerap kuelakkan,
sebab aku takut, kau akan meruntuhkan bahagia yang kurangkai perlahan.

Namun rinduku beriak, bergelombang tanpa jeda,
menyusup lembut di sela hati yang enggan terpuruk.
Seolah kau cahaya yang kurindu tapi tak berani kugapai,
lalu di pertemuan ini, aku mendua dalam bayang semu dan nyata.

Oh, andai kau tahu, rasa ini kuikat erat pada angin malam,
biar hanya ia yang tahu, tentang aku yang ingin dan tak ingin.
Aku berbisik pada kesunyian yang mengerti—
bahwa kau, adalah rindu yang kusesali tapi tak bisa kuhindari.

Rabu, 23 Oktober 2024

PUISI : "Bayang Masa Lalu"

 


Seindah apapun masa lalu terlukis di hati
Jangan bawa ia ke depan, jangan biarkan ia menghampiri
Sebab waktu tak pernah mundur, tak akan menanti
Apa yang telah berlalu hanyalah fatamorgana yang mati

Jika kita biarkan kenangan menjadi tamu di esok hari
Akankah kebahagiaan yang terbangun runtuh sendiri?
Sebab masa depan adalah lembaran yang suci
Dan masa lalu hanyalah tinta yang tak boleh lagi menghuni

Tak ada mantan yang terindah, tak ada kisah sempurna
Hanya bayang yang menipu, mencuri senyap dari dada
Karena di setiap rindu yang pernah ada
Terselip luka yang tak akan sembuh dengan kata

Jadi, biarlah masa lalu tetap di tempatnya
Di balik tirai waktu yang tak perlu kita sentuh lagi
Karena kebahagiaan sejati ada di hadapan kita
Bukan di bayangan semu yang telah pergi.


PUISI : "Asing dalam Kenangan"


Pada akhirnya, aku hanyalah bayang
Asing yang pernah menyentuh tiap helaian ruang
Melihat tubuhmu seperti peta tak bertuan
Setiap lekuk adalah cerita yang terpendam

Aku telah tahu rahasia kulitmu,
Menyusuri tiap inci dalam diam
Namun kini kita hanya debu yang terbang,
Terpisah jauh di ruang yang tak lagi sama

Kau dan aku, kini terpaut jarak tanpa suara
Hanya jejak samar di tepi malam
Aku yang pernah menjadi bagian dari dirimu
Kini hanyalah asing yang kau lupakan diam-diam

Tubuhmu pernah menjadi dunia yang kugenggam
Namun kini, seolah tak pernah kukenali
Karena waktu telah merenggut kehangatan
Dan menjadikan kita dua orang asing kembali.

PUISI : "Kasih dalam Bayang"


Aku mengharap kasihmu dalam diam
Merindu hadirmu dalam sepi yang tak terkatakan
Namun takut jika kau benar datang,
Menjemput cintaku yang rapuh, tergantung pada angan

Aku mencintaimu, namun dalam keterbatasan
Di antara bayang, kau bukanlah kenyataan
Hanya ilusi yang kugenggam di senyap malam
Sebuah cinta yang kutahu, tak seharusnya berwujud dalam langkah

Jangan kejar aku, jangan mendekat
Biarlah aku hidup dalam rindu yang tak terkatup
Sebab jika kau hadir sungguh di depan mata
Segala khayalanku akan runtuh bersama kenyataan yang pilu

Kau hanyalah cinta di balik tirai mimpi
Yang kutahu tak mungkin kucintai penuh nyata
Jadi biarlah aku menari di antara bayang ini,
Tanpa harus takut kau benar-benar di sini.




PUISI : "Langkah di Luar Bayangmu"

 


Sudah lama, aku memilih jalan
Tak lagi meniti di bawah bayangmu yang kelam
Lepas dari jejak yang kau tinggalkan, aku terbang
Meski langkahku terseok, hatiku tetap tenang

Bila nanti aku jatuh, tersandung batu-batu angan
Tak apa, biar rasa gagal mendekap dalam diam
Setidaknya, ini adalah jalanku yang kurancang
Bukan sekadar menunggu di ujung keraguan

Aku percaya, pada angin yang menggiring langkah
Pada langit yang menyapa dengan hangatnya sinar
Jika aku harus terjatuh di ujung lelah
Setidaknya, aku berani menjemput mimpi yang benar

Karena lebih baik gagal di tanganku sendiri
Daripada hidup dalam bayang yang tak pasti.

Senin, 21 Oktober 2024

Sepenggal perjalanan gunung Bromo 1983

 

Malam itu, tahun 1983, usai shalat maghrib, kami bertujuh dengan semangat yang meluap-luap memulai perjalanan dari kota Malang menuju Gunung Bromo. Di bawah langit senja yang memerah, kami meninggalkan kehangatan rumah, menggantinya dengan angin dingin yang menggigit di jalanan. Hanya berbekal tekad, kaki-kaki kami melangkah menuju Tumpang, menuju petualangan yang akan terus terukir dalam kenangan.

Kami tiba di Desa Gubug Klakah dengan angkot terakhir, lalu langkah-langkah kecil dan gembira kami mulai menuju Gunung Bromo, tanpa sadar bahwa perjalanan ini akan penuh dengan kejutan alam. Langit yang awalnya teduh berubah muram, dan hujan mulai turun tanpa ampun. Kami lupa membawa mantel, membiarkan setiap tetes air menyatu dengan kulit, melembapkan pakaian, dan merasuk hingga ke tulang. Malam itu dingin, tapi tawa kami masih hangat. Hujan menjadi lagu pengiring, nada-nada alam yang menyertai kami sepanjang perjalanan.

Ketika langkah kami mulai melemah, kami memutuskan beristirahat di tepi jalan, beralaskan rumput basah dan beratapkan langit yang terus menangis. Di sana, di bawah hujan deras, kami terlelap dalam kelelahan. Ketika pagi tiba, sinar matahari mengungkap kebenaran yang mengejutkan—desa Ngadas hanya berjarak 200 meter dari tempat kami tertidur. Gelak tawa mengiringi kesadaran itu, seolah alam sedang bercanda dengan kami.

Perjalanan menuju kaldera Bromo melanjutkan ritme lambatnya. Gunung yang agung berdiri megah di hadapan kami, menyambut kami dengan angin dingin dan keheningan alam. Kami mendirikan tenda di bawah Gunung Widodaren, di dekat Bromo, menjadikan lembah itu rumah kami selama dua hari penuh. Waktu seakan berhenti, dan di dalam sepinya alam, kami menemukan kedamaian yang tak bisa didapatkan di tempat lain.

Namun, keheningan itu juga membawa tantangannya. Malam-malam yang dingin menyelinap ke dalam tidur kami, dan bekal yang mulai habis membuat perut kami keroncongan. Tetapi di setiap gigitan angin malam, di setiap rasa lapar yang menggerogoti, ada kehangatan kebersamaan yang menguatkan. Tawa kecil, obrolan ringan, dan kisah-kisah yang kami bagi di dalam tenda menjadi pengisi hati kami.

Saat kembali ke Ngadas, kami bertemu dengan sebuah mobil pengangkut sayur. Petani yang ramah mengizinkan kami ikut turun menuju Tumpang. Dari sana, truk besar yang mengangkut barang akhirnya membawa kami kembali ke Malang, dengan tubuh yang lelah tapi hati yang penuh pengalaman.

Bukan hanya dingin yang kami kenang, bukan hanya lapar yang kami rasakan, tetapi keindahan alam yang masih sunyi, liar, dan damai. Sepanjang jalan dari Gubug Klakah hingga Ngadas, belum banyak rumah berdiri. Kami sempat bertemu dengan kera besar di malam yang gelap, dan kucing hutan yang melintas cepat di antara pepohonan. Semua itu menjadi bagian dari petualangan kami, membentuk kenangan yang tak akan pernah kami lupakan.

Perjalanan itu mengajarkan kami tentang ketangguhan, persahabatan, dan bagaimana alam berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mau mendengarkan. Gunung Bromo, dengan segala keheningannya, telah menjadi saksi perjalanan kami—sebuah perjalanan yang selalu hidup dalam kenangan masa kecil kami.

Kamis, 17 Oktober 2024

CERPEN : "Di Antara Cinta yang Tak Terucap"

 


Di sebuah sekolah yang penuh dengan tawa dan keceriaan, Raka selalu hadir dengan senyum lebar yang tak pernah memudar. Ia adalah sosok remaja ceria, penuh semangat, dan pandai bersosialisasi dengan siapa saja. Namun, ada satu hal yang berbeda akhir-akhir ini. Di antara tawa yang ia tebar, hatinya selalu tertuju pada seorang gadis, Liliani, teman sekolah yang juga dikenal sangat periang. Liliani adalah pusat perhatian di sekolah, aktif dalam segala kegiatan, mulai dari pementasan seni hingga lomba olahraga. Banyak pria di sekolah yang diam-diam menyimpan harapan untuk bisa berada di sisinya, termasuk Raka.

Setiap kali Liliani melangkah, ia selalu dikelilingi oleh teman-teman lelaki yang berlomba-lomba menunjukkan perhatian. Mereka menyapa dengan senyum ramah, mencoba menarik perhatiannya. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Raka selalu berdiri di belakang, memandangi Liliani dari kejauhan. Meskipun banyak yang ingin berada di samping gadis itu, Raka merasa cintanya tak terucap, terhalang oleh perasaan yang enggan diungkapkan.

Raka tahu, cintanya pada Liliani mungkin takkan berbalas. Bukan karena ia tak berani, melainkan karena hatinya tahu bahwa Liliani telah jatuh hati pada orang lain—Rudy. Rudy adalah kakak kelas mereka, remaja pendiam yang lebih memilih menghabiskan waktu dengan gitar di tangannya daripada bergabung dengan keramaian. Ketika jari-jarinya menyentuh senar, melantunkan nada-nada melankolis, Liliani terpikat. Di balik sikap dingin Rudy, Liliani merasakan ada pesona yang tak dapat ia abaikan.

Setiap upaya Liliani untuk mendekati Rudy seakan bertemu dengan tembok tebal. Rudy tak pernah membalas tatapan hangat Liliani, apalagi sapaan-sapaan lembutnya. Liliani mencoba lebih keras, menghadiri setiap pertunjukan musik Rudy, memberikan perhatian dengan senyum yang paling manis, namun tetap, Rudy tak menggubrisnya. Raka menyaksikan semua itu dari kejauhan, dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, Liliani berjuang untuk cinta yang mungkin tak pernah terbalas, sama seperti dirinya yang memendam cinta untuk gadis yang tak pernah melihatnya.

Pada suatu sore, setelah upaya terakhir Liliani yang kembali berakhir dengan hening dari Rudy, Raka menemukan Liliani duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah. Senyumnya tak lagi secerah biasanya, matanya menerawang jauh, seolah mencari tempat berlabuh yang tak kunjung ia temukan.

"Kenapa kamu sedih?" tanya Raka, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

Liliani menatap Raka, tersenyum tipis. "Raka, kenapa ya, cinta bisa begitu sulit?"

Raka tak menjawab, ia hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu betul perasaan Liliani. Cinta memang terkadang tak terbalas, tetapi bukan berarti harus berhenti. Hatinya masih berdetak untuk gadis itu, meskipun ia tahu bahwa cinta itu mungkin takkan pernah sampai.

Di antara mereka, hanya ada angin sore yang berhembus pelan, membawa perasaan yang tak terucap, baik dari Raka maupun dari Liliani. Dan pada saat itu, Raka menyadari satu hal—cinta bukanlah soal memiliki, tapi soal merelakan. Dan meskipun Liliani tak pernah tahu, Raka akan selalu ada untuknya, meski hanya sebagai teman yang diam-diam mencintai dalam senyap.

Hari demi hari berlalu, dan Liliani masih terjebak dalam pergolakan batinnya. Rudy tetap bagai bayangan yang tak tergapai, sementara Raka, yang selalu ada di dekatnya, menyimpan cinta dalam diam. Waktu seakan mempermainkan mereka; Liliani yang terus mencari jawaban dari cinta yang tak terbalas, dan Raka yang menunggu tanpa pernah menuntut. Namun, di suatu senja, ketika cahaya matahari mulai meredup di ufuk barat, perasaan yang lama terpendam mulai menyeruak ke permukaan.

Liliani duduk di bangku taman sekolah, memandangi langit yang berubah warna menjadi jingga keemasan. Senyumnya tak lagi ceria seperti dulu, bibirnya sedikit mengatup, menyimpan perih yang tak pernah ia ungkapkan. Raka menghampirinya perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang mengelilingi gadis itu.

"Kenapa akhir-akhir ini kamu sering menyendiri?" tanya Raka, suaranya lembut, seperti angin yang membelai daun-daun.

Liliani menunduk sejenak, lalu menatap Raka dengan mata yang memancarkan keletihan. "Aku sudah lelah, Rak. Lelah menunggu sesuatu yang sepertinya tidak akan pernah datang."

Raka merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Ia ingin menghapus kesedihan yang menggelayuti hati Liliani, tetapi ia tahu, tidak semua luka bisa disembuhkan dengan kata-kata. "Cinta memang sering kali seperti itu," jawab Raka, matanya memandang jauh ke arah horizon. "Kadang, yang kita harapkan tak selalu jadi milik kita."

Liliani tersenyum tipis. "Rudy... dia seperti bintang jauh di langit. Aku berusaha menggapainya, tapi dia tetap tak terjangkau."

Hening mengisi jarak di antara mereka. Liliani merasa hatinya semakin berat, tidak tahu ke mana harus menambatkan perasaannya. "Raka, menurutmu, di mana aku bisa menemukan cinta yang sejati?"

Pertanyaan itu menggema di dalam hati Raka. Ia tahu bahwa cinta sejati Liliani bukan berada pada sosok Rudy yang tak pernah melihatnya. Raka, dengan semua perasaan yang ia simpan rapat, tahu bahwa cinta sejati Liliani mungkin lebih dekat dari yang pernah ia bayangkan. Tetapi, bagaimana mungkin ia mengungkapkan semua itu ketika hatinya sendiri terkurung dalam ketakutan akan penolakan?

“Cinta sejati bukan tentang siapa yang paling jauh atau paling misterius,” ujar Raka pelan, dengan suara bergetar halus. “Kadang, cinta sejati ada pada orang yang selalu ada di samping kita, yang melihat kita ketika kita merasa tak terlihat, yang mencintai tanpa perlu balasan apa pun.”

Liliani terdiam, matanya kini terarah pada Raka. Dalam keheningan itu, ia mulai melihat sesuatu yang selama ini terabaikan—sosok Raka yang selalu ada di sampingnya, yang tak pernah menuntut perhatian, yang senyumnya selalu tulus tanpa harapan tersembunyi. Sebuah perasaan hangat perlahan muncul di hatinya, perasaan yang dulu tak pernah ia sadari.

“Raka… kenapa kamu selalu ada untukku?” tanya Liliani, suaranya nyaris berbisik, namun penuh rasa ingin tahu.

Raka tersenyum, kali ini lebih getir. Ia tahu inilah saatnya. “Karena aku peduli padamu, Liliani. Bukan karena aku ingin sesuatu darimu, tapi karena melihatmu bahagia sudah cukup buatku.”

Liliani merasakan dadanya berdesir. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lihat kini tampak begitu jelas. Raka, dengan segala kesederhanaannya, telah mencintainya selama ini—dengan cara yang berbeda, lebih tulus, lebih dalam, dan tanpa syarat.

Sore itu, di bawah langit yang semakin meredup, Liliani merasakan hatinya mulai menambatkan diri pada pelabuhan yang tak pernah ia duga. Mungkin, jawabannya bukan Rudy, bukan bintang jauh di langit yang tak pernah ia gapai. Mungkin, jawaban itu adalah Raka, yang selama ini ada, menyayanginya dengan tenang, tanpa banyak kata.

Dan untuk pertama kalinya, Liliani tersenyum pada Raka, bukan sekadar teman, tapi seseorang yang akhirnya ia sadari telah menjadi tempat di mana hatinya ingin berlabuh.

Rabu, 16 Oktober 2024

CERPEN : "Di Persimpangan Cinta: Ketika Hati Menemukan Pelabuhannya"

 


Fandi berjalan dengan langkah yang berat. Di setiap tarikan napasnya, ada rasa bimbang yang semakin menggerogoti hatinya. Malam itu, langit tampak sepi, seperti menggambarkan suasana batinnya. Bintang-bintang yang biasanya bersinar cerah, malam ini tampak redup, seolah mereka pun ikut merasakan kegelisahannya. Di antara dua gadis yang ia kenal, Fandi harus menentukan di mana hatinya akan berlabuh.

Di satu sisi, ada Rina. Rina yang telah menjadi bagian hidupnya sejak kecil. Gadis manis dengan tawa ceria yang selalu setia berada di sisinya, menemani setiap langkah yang mereka tempuh bersama. Rina adalah sosok yang membuatnya merasa nyaman, aman, dan bahagia. Namun, selama ini, Fandi tak pernah melihat Rina sebagai seseorang yang lebih dari adik yang selalu ia jaga. Fandi tahu, rasa sayang itu ada, tapi bukanlah cinta seperti yang Rina harapkan.

Di sisi lain, ada Fani. Fani adalah gadis yang berbeda—berani, penuh semangat, dan telah mengisi hatinya dengan cara yang tak pernah Fandi duga sebelumnya. Bersama Fani, Fandi merasakan getaran yang baru. Ada perasaan yang tumbuh seiring kebersamaan mereka di band sekolah. Fani bukan hanya temannya dalam bermusik, tetapi juga menjadi pusat dari perhatiannya akhir-akhir ini. Senyuman Fani telah membawa ketenangan, dan kehadirannya mengisi kekosongan yang dulu tak pernah Fandi sadari.

Fandi duduk di tepi tempat tidurnya, merenung dalam kesunyian. Ia mengingat saat-saat kebersamaannya dengan Rina, setiap tawa yang mereka bagi, setiap momen kecil yang membuat mereka saling terikat. Tapi kini, semua itu terasa berubah. Ketika Rina mengungkapkan perasaannya, Fandi tahu ia tidak bisa merespons dengan perasaan yang sama. Ia menyayangi Rina, tapi rasa itu tak pernah menjadi cinta seperti yang Rina inginkan.

Hari-hari berikutnya, Fandi mencoba menghindari pertemuan dengan Rina. Pesan-pesannya ia balas dengan singkat, seringkali tanpa makna. Fandi tahu, keputusannya akan menyakiti hati Rina, tetapi ia tak bisa memaksa perasaannya. Di balik rasa bersalahnya, Fandi pun harus menghadapi kenyataan bahwa hatinya kini tertambat pada Fani.

Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di balik bukit, Fandi mengambil keputusan. Ia memutuskan untuk menemui Fani, mengutarakan apa yang selama ini hanya ia simpan dalam hati. Fani, yang selama ini telah mengisi ruang kosong dalam jiwanya, berhak mengetahui apa yang Fandi rasakan.

Fandi menunggu di depan rumah Fani dengan perasaan campur aduk. Detik-detik menegangkan itu terasa lama, hingga akhirnya Fani muncul, dengan senyum yang selalu membuat Fandi merasa tenang. Mereka duduk bersama di beranda rumah Fani, di bawah cahaya senja yang perlahan berubah menjadi kegelapan malam.

“Fani…” Fandi memulai dengan suara pelan. “Aku… selama ini aku berpikir tentang banyak hal. Tentang kita, tentang apa yang aku rasakan.”

Fani hanya diam, menunggu Fandi melanjutkan. Dalam hening itu, Fandi merasakan sesuatu yang pasti.

“Aku rasa… aku menyukaimu, lebih dari sekadar teman band. Aku tak bisa menyembunyikan ini lagi.”

Fani terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Aku sudah menunggu cukup lama untuk mendengar kata-kata itu darimu.”

Fandi merasa beban berat terangkat dari pundaknya. Dalam kesenyapan malam, hati Fandi menemukan jalannya. Ia tahu ke mana hatinya berlabuh—pada Fani, gadis yang telah mengajarkannya arti cinta yang sejati.

Namun, di sudut lain hatinya, ada perasaan bersalah yang tak bisa dihindari. Rina. Ia tahu, Rina akan terluka, dan itu adalah bagian dari perjalanan yang harus ia hadapi. Fandi memutuskan untuk berbicara dengan Rina, untuk jujur dan terbuka tentang perasaannya. Ia tidak ingin memberikan harapan palsu, dan meskipun menyakitkan, kejujuran adalah jalan yang paling tepat.

Fandi berdiri, menatap langit malam yang kini kembali dipenuhi bintang. Di hatinya, sudah tak ada lagi keraguan. Ia telah menemukan jawabannya, meski perjalanan ke depan mungkin tak mudah.

Esok hari, Fandi akan menemui Rina. Ia siap untuk mengakhiri harapan yang terlanjur Rina gantungkan padanya, dan memulai perjalanan cintanya dengan Fani—dengan kejujuran, ketulusan, dan cinta yang sejati.

cerpen : "Dilema di Persimpangan Hati"

 


Fandi dan Rina telah bersama sejak masa kecil, ketika langkah kaki kecil mereka selalu beriringan menuju sekolah dasar yang tak jauh dari rumah. Mereka tumbuh bersama, seperti kakak dan adik yang saling melindungi. Kebersamaan mereka bukan hanya dalam perjalanan, tetapi juga saat mengerjakan tugas sekolah, berbagi cerita, dan bahkan ketika salah satu teman Rina memperlakukannya dengan kurang baik, Fandi langsung melindungi dengan spontanitas seorang sahabat sejati.

Waktu berlalu, dan mereka mulai menginjak usia remaja. Setelah lulus dari SD, takdir membawa mereka ke SMP yang sama. Di sana, tak berbeda dengan dulu, mereka selalu bersama. Setiap hari ada Rina, pasti ada Fandi. Tak heran, teman-teman mulai mengolok mereka, menyebut keduanya sebagai pasangan. Rina, gadis manis yang ceria, selalu membawa keceriaan di setiap sudut pertemanan. Fandi, dengan postur yang tinggi dan wajah yang rupawan, menjadi pujaan banyak gadis. Namun, semua tahu bahwa ke manapun Fandi pergi, di sana selalu ada Rina.

Di hati Rina, Fandi adalah sosok yang sangat istimewa. Dia melihatnya sebagai pelindung, teman, dan mungkin lebih. Tapi bagi Fandi, Rina adalah adik manis yang selalu membutuhkan perlindungannya. Mereka berdua adalah sahabat, tak ada yang lebih.

Namun, saat masa SMP berakhir, jalan mereka mulai terpisah. Rina melanjutkan ke SMA, sementara Fandi memilih untuk masuk SMK. Perpisahan ini membuat Rina khawatir, takut kehilangan kebersamaan yang telah mereka jalin begitu lama. Semakin lama, perasaan khawatir itu semakin menjadi-jadi. Pesan-pesan Rina sering tak terbalas, dan Fandi mulai jarang menemuinya, lebih sibuk dengan grup band sekolahnya.

Waktu terus bergulir, dan perasaan Rina semakin terluka. Setiap kali ia datang ke rumah Fandi, selalu ada alasan, entah karena Fandi sedang pergi atau sibuk dengan teman-temannya. Rina semakin merasa tersisihkan, sementara hatinya terus mendamba perhatian dari Fandi. Hingga pada suatu sore, Rina mengumpulkan keberanian dan mengundang Fandi ke rumahnya. Dia sengaja membuat kue kesukaan Fandi, berharap bisa menghidupkan kembali momen-momen manis mereka dulu.

Ketika mereka duduk bersama, Rina tak bisa menahan perasaannya lagi. Dengan suara gemetar, dia mengungkapkan bahwa ia menyukai Fandi, bukan sekadar teman, tapi lebih. Fandi tertegun. Selama ini ia menganggap Rina sebagai adik yang manis, bukan seseorang yang bisa menjadi pasangan. Fandi hanya terdiam, memandangi Rina yang tiba-tiba meralat kata-katanya, mengatakan bahwa ia hanya merindukan saat-saat mereka pulang sekolah bersama.

Fandi, merasa gugup, dengan cepat merespon, “Aku juga rindu jalan-jalan bersama.” Namun setelah pulang dari rumah Rina, Fandi tak bisa tenang. Kata-kata Rina terus bergema di kepalanya. Di satu sisi, ia merasa bersalah, takut mengecewakan Rina yang sudah jelas menyimpan rasa padanya. Namun di sisi lain, hatinya kini sudah tertuju pada Fani, gadis yang menjadi teman bandnya, yang perlahan mengisi ruang di hatinya.

Bimbang, Fandi merasa terperangkap dalam dilema. Haruskah ia mengikuti hatinya yang kini tertuju pada Fani, ataukah ia harus menjaga perasaan Rina yang selalu dianggapnya sebagai adik kecilnya? Kedua gadis itu hadir di hidupnya dengan cara yang berbeda, namun keputusan ini akan menentukan ke mana hati Fandi akhirnya berlabuh.

CERPEN : "Janji yang Terkubur Jarak".

 


Di sebuah perpustakaan kampus yang sepi, di antara deretan buku yang tersusun rapi, Raka pertama kali bertemu Maria. Gadis itu berdiri memegang sebuah novel klasik dengan rambut hitam tergerai dan kulit seputih pualam. Matanya yang dalam dan tenang seperti menyimpan lautan rahasia yang ingin Raka selami. Sebuah senyuman tipis, nyaris tak terlihat, menjadi awal dari kisah mereka. Tak ada percakapan panjang saat itu, hanya tatapan yang tertaut sesaat. Namun, dalam tatapan itulah, seakan ada benih yang mulai tumbuh di hati mereka berdua.

Pertemuan demi pertemuan di perpustakaan yang sama kian mengikat mereka. Pada hari-hari yang tenang, mereka mulai saling berbagi cerita—tentang mimpi, tentang harapan, tentang masa depan. Hati mereka tertaut, tak terbendung oleh apapun. Di suatu senja, di sudut perpustakaan yang tenang, Maria berjanji, “Aku akan setia menemanimu, Raka, sampai kapanpun.” Raka, dengan tatapan penuh keyakinan, membalas, “Dan aku akan menjadikanmu sebagai pasangan hidupku, Maria.”

Sejak hari itu, mereka berdua seperti sejoli yang tak pernah terpisahkan. Di manapun ada Raka, Maria pasti ada di sana. Baik di acara kampus, pendakian gunung, atau sekadar duduk di taman kampus, mereka selalu bersama. Seolah dunia hanya milik mereka berdua. Cinta yang mengalir di antara mereka tumbuh subur, seiring dengan waktu yang terus berjalan.

Namun, setelah wisuda, kehidupan membawa mereka ke jalan yang berbeda. Raka harus bekerja di kota yang jauh, sementara Maria tetap di kotanya. Mereka terpisah oleh jarak yang semakin membentang. Di masa itu, telepon genggam belum umum, sehingga surat menjadi satu-satunya cara untuk menjaga komunikasi. Namun, lambat laun, surat-surat Raka mulai jarang datang, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Maria menanti dengan setia, berpegang pada janji Raka untuk menikahinya. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun berganti, namun tak ada kabar dari Raka.

Kesepian mulai merayapi hati Maria. Banyak pria yang datang mendekati, namun hatinya tetap tertambat pada Raka. “Jangan-jangan besok Raka akan datang,” begitu pikirnya setiap kali. Tetapi, harapan itu kian hari kian menipis.

Suatu sore yang suram, Maria bertemu dengan Aldi, teman kuliah Raka yang bekerja di kota yang sama. Aldi baru pulang karena ada kerabat yang meninggal. Dalam percakapan basa-basi, Maria akhirnya memberanikan diri bertanya, "Bagaimana kabar Raka?" Aldi terdiam sejenak, lalu dengan nada berat ia menceritakan kebenaran yang menghantam Maria seperti halilintar di siang bolong.

Raka telah menikah. Dia dipaksa menikah dengan seorang gadis kepala suku di daerah terpencil tempatnya bekerja. Aldi menjelaskan, di daerah tersebut ada adat yang sangat berbeda; ketika seorang pria mengunjungi rumah seorang gadis, itu sudah dianggap sebagai lamaran. Raka tak bisa menghindari budaya itu dan terpaksa menerima takdirnya.

Bagai tersambar petir, Maria terduduk lemas mendengar kenyataan itu. Dunianya yang semula penuh harapan tiba-tiba runtuh. Semua menjadi kosong dan gelap. Perasaan cinta yang selama ini ia simpan dengan begitu setia seakan hancur berkeping-keping. Ia pingsan, terjatuh dalam kepedihan yang tak tertahankan.

Hari-hari setelah itu, Maria hanya bisa termenung, duduk di jendela kamar sambil menatap langit yang kosong. Cinta yang pernah begitu indah tak mungkin terhapus begitu saja, meski malam demi malam dilaluinya dengan air mata. Sementara di kejauhan, janji yang dulu pernah mengikat mereka kini tinggal kenangan, tersapu oleh angin waktu.

Selasa, 15 Oktober 2024

CERPEN : "Aroma Relaksa, Bayangan yang Tak Pernah Pudar".


Setiap kali Raka dan Rara pergi berdua, ada satu benda kecil yang tak pernah absen dari genggaman mereka—sebungkus permen pewangi mulut Relaksa. Permen itu tak hanya menyegarkan nafas, tetapi juga menjadi pengikat tak kasat mata antara mereka, yang selalu hadir di setiap perjalanan. Rasanya ada yang kurang jika tak membawa Relaksa, seolah permen itu adalah kunci yang membuka lembaran-lembaran kenangan yang akan mereka ukir bersama.

Mereka sering bercanda bahwa permen itu adalah "teman ketiga" dalam setiap perjalanan. Di setiap kota yang mereka singgahi, di setiap sudut jalan yang mereka jelajahi, Relaksa selalu ada di sela-sela senyuman mereka. Saat mereka duduk di bangku taman, menghadap laut yang tenang, atau ketika mereka berkendara melewati hutan yang rimbun, bunyi lembut pembungkus permen yang dibuka menjadi simbol keakraban, tanda bahwa mereka tak perlu kata-kata, hanya menikmati momen bersama.

Namun, waktu berjalan dan jalan hidup mereka pun akhirnya berpisah. Raka dan Rara tidak lagi bersama seperti dulu. Jarak dan waktu memisahkan, tapi tidak dengan kenangan. Setiap kali Raka tanpa sengaja menggigit permen Relaksa, ada rasa yang tak bisa diungkapkan. Manis dan segarnya membawa kembali bayangan masa lalu. Aroma mint yang semilir seolah menghembuskan kembali suasana-suasana lama—tawa mereka di bawah pohon rindang, obrolan panjang di malam hari yang sepi, atau pelukan hangat di bawah hujan rintik-rintik.

Seketika itu, Raka merasa semua seperti baru terjadi kemarin sore. Di setiap helaan nafas yang segar oleh permen Relaksa, hati Raka bergetar. Ada rasa rindu yang menyelinap, rindu akan momen-momen yang takkan pernah kembali. Suasana masa lalu hidup lagi, begitu nyata di pelupuk mata, seakan Rara masih di sampingnya, tersenyum lembut sambil menawarkan sebutir permen yang dulu mereka bagi.

Namun kini, setiap gigitan permen Relaksa bukan hanya membawa kenangan manis, tetapi juga haru dan kesedihan. Suasana masa kini yang kosong, berbeda, terasa begitu mencolok. Raka sadar, apa yang pernah mereka miliki kini hanya tinggal kenangan. Meski bayangan Rara sering kali hadir saat permen itu mencair di mulutnya, kenyataan berkata lain—Rara sudah tak lagi di sisinya.

Terkadang, Raka menghindari permen Relaksa. Terlalu berat rasanya membawa dirinya kembali ke masa lalu yang indah namun telah berlalu. Tapi di lain waktu, ia tetap mencarinya. Sebab di balik semua rindu dan kesedihan, permen Relaksa menyimpan satu hal yang tak pernah berubah—kenangan tentang cinta yang pernah ada, yang abadi di setiap aroma mint yang menyegarkan hati.

 

Senin, 14 Oktober 2024

CERPEN : Harapan Seorang Bapak dan Resah yang Menggantung


 

Di sudut kamar yang sunyi, seorang bapak duduk termenung. Mata tuanya menatap foto di sudut meja—sebuah gambar masa lalu yang penuh senyum dan harapan. Di sana, seorang gadis kecil tersenyum cerah, menggenggam tangan ayahnya dengan harapan yang tampak bersinar dari matanya. Namun kini, sinar itu seolah memudar, tak sekuat harapan yang pernah digantungkan oleh sang bapak.

Bapak selalu bermimpi besar untuk anaknya. Ia berharap putrinya lulus dengan nilai yang cemerlang, agar suatu hari nanti, pekerjaan yang mapan akan menanti. Setiap pagi, bapak mendorong, menyemangati, dan kadang memarahi, bukan karena marah, tapi karena harapannya begitu besar. Bapak ingin yang terbaik, bukan untuk dirinya, tapi untuk masa depan putrinya. Setiap keringat yang menetes, setiap langkah yang berat, semua dilakukan demi anak yang begitu dicintainya.

"Belajarlah yang rajin," kata bapak suatu malam. "Kelak kamu akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai ijazahmu, mapan, tak perlu khawatir soal masa depan."

Putrinya, yang kala itu mendengar, hanya mengangguk pelan, tapi dalam hatinya ada yang terusik. Harapan bapak tak selalu sejalan dengan mimpi-mimpi yang ia simpan di hati.

Waktu berlalu. Nilai sekolah tak selalu gemilang, cita-cita bapak terasa seperti beban yang terus menekan pundaknya. Putrinya mulai merasa lelah, bukan oleh perjalanan hidup, tapi oleh tuntutan yang tak pernah sepi.

"Kenapa bapak selalu berharap yang terbaik dariku?" keluh sang anak di suatu senja. "Ini hidupku, bukan hidup bapak. Harapan bapak adalah milik bapak, bukan milikku. Biarlah bapak yang menanggung itu semua, aku tak perlu memikulnya."

Bapak terdiam, mendengar kalimat yang terucap dari mulut putri kesayangannya. Dadanya terasa berat, bukan karena marah, tapi karena kecewa. Bapak hanya ingin yang terbaik, selalu berusaha mencarikan jalan, memberi dorongan, dan mengarahkan. Namun, semakin bapak memberi, semakin putrinya menjauh dari harapannya.

“Anakku, aku tak pernah meminta banyak. Aku hanya ingin melihatmu sukses, bahagia, tidak seperti bapak yang harus berjuang dari bawah, bertarung dengan hidup yang penuh ketidakpastian. Aku tak ingin kau merasakan itu.”

Namun bagi putrinya, harapan bapak seolah seperti tembok tinggi yang membatasi langkahnya. Apa yang bapak impikan bukanlah mimpinya. Gadis itu ingin terbang bebas, tanpa harus terikat oleh apa yang diinginkan orang lain, bahkan oleh bapaknya sendiri.

"Bapak, tolong mengerti," ucapnya suatu hari. "Aku yang menjalani hidup ini, bukan bapak. Aku yang merasakan setiap langkah, setiap keputusan. Harapan bapak terlalu berat bagiku."

Bapak menunduk. Ia menyadari, kadang harapan yang ia gantungkan terlalu tinggi, tanpa memberi ruang bagi putrinya untuk memilih jalannya sendiri. Namun, rasa cinta dan keinginan untuk melindungi selalu membuat bapak lupa, bahwa anaknya juga butuh ruang untuk berbuat salah, untuk belajar dari hidupnya sendiri.

Senja itu, di bawah langit yang mulai memudar, bapak merenung panjang. Harapan seorang bapak, betapa pun besar dan mulianya, tetaplah hanya harapan. Anak adalah individu yang berhak memilih jalannya, yang berhak merasa, bermimpi, dan menjalani hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Meski hatinya berat, bapak akhirnya belajar, bahwa cinta bukan berarti harus memaksakan harapan. Cinta, adalah membiarkan anaknya terbang dengan sayapnya sendiri—meski mungkin, jalan yang dipilihnya tak seindah harapan yang pernah bapak lukiskan di hatinya.

Dan di tengah keheningan, bapak hanya bisa berbisik dalam hati, "Semoga, di manapun kau melangkah, bahagia tetap mengikutimu, Nak."

Puisi : Kejenuhan yang Menyapa

Rasanya baru kemarin langkah ini mulai,
Dengan semangat yang tak kenal lelah,
Namun kini, entah kenapa, jejak terasa berat,
Seperti pagi tak lagi bersinar dengan harapan.

Baru kemarin,
Aku memulai perjalanan,
Namun kini bayangan pensiun seakan mendekat,
Seolah waktu berlari tanpa kuasa kupegang.

Enggan untuk berangkat,
Tapi tak juga ingin pulang,
Raga ini terasa tua, letih menanggung beban,
Dan di sudut pikir, tak lagi ada karya yang terlahir.

Ide kering, layu di padang sunyi,
Hanya penyesalan yang datang mengalir,
Mengapa semua terasa hampa?
Seperti yang ada hanyalah kenangan akanmu.

Aku ingat dulu,
Di setiap langkahmu ada cahaya,
Kini yang tersisa hanyalah kesunyian,
Dan penyesalan yang tak mungkin kembali tertebus.

Ah, mengapa rasa ini membeku?
Seolah tak ada lagi yang tersisa,
Selain jenuh yang datang membalut raga,
Dan bayangmu yang selalu terlintas di jiwa.

Minggu, 13 Oktober 2024

Ku ingin membuat aplikasi JABAT TANGAN SMPN 8 Malang siapa yang bisa membantu !

 


APLIKASI UNTUK JABAT TANGAN

Untuk membuat aplikasi yang dapat menampung laporan dan keluhan siswa serta warga sekitar terkait bullying di sekolah dan sekitarnya, dengan terhubung ke BK dan server sekolah, berikut adalah konsep yang dapat diimplementasikan:

Fitur Aplikasi:

  1. Halaman Depan (Dashboard)
    • Tampilan sederhana dan mudah digunakan dengan opsi untuk melaporkan insiden.
    • Informasi umum tentang apa itu bullying dan bagaimana cara melaporkannya.
    • Tombol cepat untuk melapor, melihat laporan yang diajukan, dan informasi kontak pihak yang bertanggung jawab.
  2. Fitur Pelaporan (Form Laporan)
    • Formulir Isian Laporan: Pengguna dapat memasukkan rincian kejadian, seperti:
      • Nama pelapor (anonim jika diinginkan)
      • Kategori pelapor (siswa, orang tua, warga)
      • Lokasi kejadian
      • Deskripsi kejadian
      • Bukti tambahan (foto, video, atau rekaman suara)
    • Status Pelaporan: Setiap laporan akan diberi nomor ID unik, dan pelapor dapat memeriksa status penanganan laporan mereka (diterima, dalam penanganan, selesai).
    • Pilihan Anonim: Pelapor dapat memilih untuk mengirim laporan secara anonim.
  3. Integrasi dengan BK dan Server Sekolah
    • Pusat Pengelolaan Laporan: Semua laporan yang masuk otomatis tersimpan di server sekolah dan terhubung langsung dengan bagian BK.
    • Notifikasi ke BK: Ketika laporan diterima, notifikasi akan dikirim ke petugas BK melalui email atau notifikasi aplikasi internal.
    • Sistem Penugasan Kasus: BK dapat menugaskan kasus kepada konselor yang relevan untuk penanganan lebih lanjut, termasuk penjadwalan pertemuan atau sesi konseling.
  4. Sistem Keamanan dan Privasi
    • Enkripsi Data: Semua data pelapor dan bukti yang diunggah dienkripsi untuk menjaga privasi.
    • Autentikasi Pengguna: Menggunakan autentikasi login bagi staf BK untuk mengakses laporan, sementara siswa atau warga bisa melaporkan tanpa perlu login.
    • Akses Terbatas: Hanya petugas BK yang terverifikasi yang bisa mengakses laporan-laporan tersebut.
  5. Analitik dan Pelaporan
    • Dashboard BK: BK memiliki dashboard untuk melihat statistik laporan, kategori insiden bullying, waktu respons, dan tindak lanjut yang diambil.
    • Rekapitulasi Bulanan: Sistem secara otomatis dapat menghasilkan rekap laporan dan mengirimkannya ke kepala sekolah atau pihak berwenang untuk pemantauan.
  6. Notifikasi dan Update
    • Notifikasi Tindak Lanjut: Pelapor akan mendapatkan update melalui aplikasi terkait tindakan yang telah diambil oleh BK.
    • Pengingat: BK dapat mengirimkan pengingat untuk pertemuan atau sesi konseling yang sudah dijadwalkan.
  7. Fitur Edukasi
    • Menyediakan sumber daya mengenai pencegahan bullying, panduan untuk melapor, dan materi pembelajaran untuk siswa serta orang tua mengenai dampak bullying dan bagaimana cara mengatasinya.

Teknologi yang Dapat Digunakan:

  1. Platform Web dan Mobile:
    • Web-based untuk kemudahan akses melalui browser, dan juga dapat dibuat versi mobile untuk pengguna Android dan iOS.
  2. Backend:
    • Gunakan framework seperti Node.js atau Django untuk membangun backend server.
    • Database seperti MySQL atau PostgreSQL untuk menyimpan laporan.
    • Sistem pengelolaan file untuk bukti yang diunggah.
  3. Frontend:
    • React atau Vue.js untuk tampilan web.
    • Untuk aplikasi mobile, gunakan React Native atau Flutter untuk membuat aplikasi lintas platform.
  4. Keamanan:
    • Implementasi protokol SSL untuk enkripsi komunikasi.
    • Gunakan OAuth atau JWT untuk autentikasi staf BK.
  5. Notifikasi:
    • Integrasi dengan email server sekolah untuk notifikasi atau gunakan layanan seperti Firebase Cloud Messaging (FCM) untuk notifikasi push ke aplikasi mobile.

Langkah Pembuatan:

  1. Analisis Kebutuhan: Lakukan diskusi lebih lanjut dengan pihak sekolah dan BK untuk memahami kebutuhan spesifik mereka.
  2. Desain UI/UX: Buat prototipe awal dari tampilan aplikasi dan pastikan mudah digunakan oleh siswa dan warga.
  3. Pengembangan Backend dan Frontend: Mulai membangun aplikasi sesuai desain yang disetujui.
  4. Testing dan Uji Coba: Lakukan uji coba aplikasi dengan siswa, guru, dan warga sekitar sebelum implementasi penuh.
  5. Peluncuran: Implementasikan di sekolah dengan pelatihan untuk guru, BK, dan siswa tentang cara penggunaan aplikasi.
  6. Pemeliharaan: Pastikan ada tim teknis yang siap menangani bug atau masalah yang mungkin timbul.

Dengan aplikasi ini, diharapkan proses pelaporan bullying menjadi lebih mudah, transparan, dan cepat ditangani oleh pihak BK, serta dapat melibatkan komunitas secara aktif.

 

Senin, 07 Oktober 2024

PUISI : Tak Bisa Hilang

 

Di batas waktu yang tak terhitung,
kuusapkan bayangmu dalam gelap,
meski hati ini berusaha melupa,
namun namamu tak pernah padam,
seperti embun di ujung pagi.

Aku melangkah menjauh,
membenci bayang yang kian membara,
namun sinarmu, oh, tetap menyapa,
dalam setiap desah angin yang berbisik,
seperti rindu yang tak terkatakan.

Setiap detik yang berlalu,
doa ini selalu terselip lembut,
memeluk harapan dalam hening,
meski janji pada diri tak pernah terwujud,
kenanganmu kembali, menari di pelupuk mata.

Ketika senja merona di ujung langit,
setiap warna mengingatkan aku,
akan tawa, air mata, dan semua rasa,
seolah waktu tak ingin kita terpisah,
semua jejakmu terukir dalam jiwa.

Kini, saat bayangan berseliweran,
aku terjebak dalam labirin ingatan,
mencoba menghindar, namun tak terelakkan,
hati ini merindu, seolah tak pernah pergi,
dalam sunyi, kupersembahkan doa untukmu.

Oh, betapa sulitnya melupakan,
saat setiap detik berbisik namamu,
meski tiada lagi kisah kita,
rindu ini tetap membara,
tak ingin sirna, takkan pernah padam.

Minggu, 06 Oktober 2024

Kunjungan SMPN 8 Malang ke SMPN 3 Blitar: Menjalin Kerjasama dan Peduli Lingkungan

 





Pada kunjungan resmi SMPN 8 Malang ke SMPN 3 Blitar, suasana penuh kehangatan dan kesan mendalam terasa sejak awal. Rombongan dari SMPN 8 Malang disambut dengan penuh keramahan oleh para guru dan beberapa siswa SMPN 3 Blitar yang berjajar rapi, mengenakan pakaian tradisional khas. Pemandangan ini memberikan kesan mendalam bagi tamu dari Malang, memperlihatkan betapa besarnya penghargaan dari tuan rumah terhadap kunjungan tersebut.

Setelah penyambutan yang hangat, rombongan dibawa ke Sasana Widya Manggala, aula utama di SMPN 3 Blitar. Di sana, tamu disuguhi sebuah pertunjukan tarian tradisional yang memukau dan penuh makna. Tidak hanya itu, ada juga demonstrasi pembuatan batik Bendo, salah satu kerajinan lokal unggulan yang menunjukkan keahlian dan kreativitas siswa-siswi SMPN 3 Blitar. Para tamu dari SMPN 8 Malang terpukau dengan keindahan karya batik yang dihasilkan, dan kegiatan ini menjadi simbol pertukaran budaya dan kearifan lokal antar sekolah.

Selain fokus pada kebudayaan, kunjungan ini juga menyoroti kepedulian lingkungan. Di area sekolah yang luas, mencapai 5 hektar, SMPN 3 Blitar menunjukkan diri sebagai sekolah yang sangat mendukung ketahanan iklim. Rombongan dari SMPN 8 Malang bersama dengan tuan rumah berpartisipasi dalam kegiatan penanaman pohon. Tanaman yang ditanam termasuk pohon anggur, manggis, durian, dan berbagai jenis tanaman produktif lainnya. Kegiatan ini menegaskan pentingnya peran sekolah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan mengajarkan siswa tentang pentingnya pelestarian alam.

Salah satu momen penting dari kunjungan ini adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara SMPN 8 Malang dan SMPN 3 Blitar. Kerjasama ini bertujuan untuk saling berbagi praktik baik di sekolah masing-masing, terutama dalam hal pendidikan lingkungan, pengembangan potensi siswa, dan inovasi pembelajaran. Kepala SMPN 8 Malang, Ibu Sri Nuryani, M.Pd., dan Kepala SMPN 3 Blitar, Bapak Yoseph Banggo, S.Pd., dengan antusias menandatangani kesepakatan ini, di hadapan para guru dan siswa yang hadir.

Sebagai bagian dari kesepakatan kerjasama, kedua sekolah juga merencanakan kunjungan balasan dari SMPN 3 Blitar ke SMPN 8 Malang. Kunjungan ini akan semakin mempererat hubungan antara kedua sekolah dan membuka peluang lebih luas dalam berbagi pengalaman serta ide-ide pendidikan yang inovatif.

Setelah berbagai kegiatan bermanfaat, kunjungan diakhiri dengan sesi pamitan yang penuh keakraban. Rombongan SMPN 8 Malang kemudian melanjutkan perjalanan ke Museum Bung Karno, salah satu destinasi sejarah penting di Blitar.

Kunjungan ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi antar sekolah tidak hanya memperkuat hubungan antar lembaga pendidikan, tetapi juga membawa dampak positif bagi siswa, guru, dan lingkungan sekitar.

Kamis, 03 Oktober 2024

CERPEN : Menuju Senja di Kesunyian Desa

Hidup di usia yang menua terasa seperti berjalan di jalan yang tak lagi penuh semangat bagi Pak Gunawan, seorang pria yang sudah hampir mencapai masa pensiunnya. Hari-harinya diisi dengan rutinitas yang terasa semakin membosankan—membaca koran, menonton televisi, dan sesekali berbincang dengan tetangga yang sama-sama memasuki usia senja. Tapi di hatinya, ada ruang kosong yang tak terisi, seakan-akan kehidupan yang selama ini ia jalani tiba-tiba kehilangan makna.

Anak-anaknya sudah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Istrinya, Bu Siti, masih setia menemani di rumah, tapi obrolan mereka sering kali hanya tentang hal-hal remeh. Tak ada lagi gairah dalam percakapan atau tawa yang berderai. Semakin hari, Pak Gunawan merasa terjebak dalam lingkaran rutinitas yang memenjarakan. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada perjalanan panjang hidup yang kini terasa stagnan, tanpa kejutan atau tujuan baru.

Suatu malam, setelah makan malam yang hening, Pak Gunawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pikirkan.

"Siti, aku ingin ke desa," ucapnya tiba-tiba.

Bu Siti, yang sedang merapikan meja, berhenti sejenak dan menatap suaminya dengan tatapan bingung. "Desa? Untuk apa? Anak-anak kita tinggal di kota. Mau kunjungi siapa di sana?"

Pak Gunawan menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Bukan untuk mengunjungi siapa-siapa. Aku hanya ingin pergi... hidup sendirian di desa, menikmati sisa umur tanpa rutinitas, tanpa hiruk-pikuk keluarga atau kota."

Bu Siti tertegun. Ia tak pernah menyangka suaminya, yang selama ini tampak tenang dan damai, menyimpan keinginan untuk meninggalkan kehidupan mereka. "Lalu aku? Anak-anak? Apa kamu tak memikirkan kami?"

Pak Gunawan terdiam, pandangannya tertuju pada jendela yang memperlihatkan gelapnya malam di luar. "Aku lelah, Siti. Semua ini terasa begitu kosong. Setiap hari seperti berjalan di tempat yang sama, dengan langkah yang tak pernah sampai ke mana-mana. Aku butuh... ketenangan. Aku ingin mengasingkan diri, hidup sederhana, berteman dengan sunyi, tanpa harus memikirkan apa pun."

Bu Siti menatapnya, mencoba memahami kegelisahan yang mungkin tak pernah ia lihat selama ini. Mereka telah hidup bersama selama puluhan tahun, tapi kini, di usia yang menua, suaminya tampak begitu asing. Seakan-akan pria yang ia kenal telah berubah menjadi seseorang yang haus akan kesunyian.

Beberapa minggu berlalu sejak percakapan itu, dan Pak Gunawan mulai merencanakan kepindahannya ke desa kecil di kaki gunung, tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Ia sudah menghubungi pemilik rumah tua di sana yang kini kosong, siap menampungnya sebagai tempat tinggal. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan, tapi baginya, kesederhanaan adalah kemewahan itu sendiri.

Hari terakhir sebelum keberangkatan, anak-anaknya datang berkunjung. Mereka terkejut saat mendengar keputusan ayah mereka. "Ayah, kenapa? Kami bisa sering-sering berkunjung kalau Ayah merasa kesepian," kata Rudi, anak sulungnya.

Pak Gunawan hanya tersenyum tipis. "Ini bukan tentang kesepian, Nak. Ini tentang menemukan diri sendiri, menemukan kedamaian. Aku sudah terlalu lama berada di tengah hiruk-pikuk. Aku ingin menikmati senja dalam sunyi, tanpa beban."

Keesokan paginya, Pak Gunawan berangkat dengan hanya membawa koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Ia tak membutuhkan banyak hal—hanya alam, udara segar, dan waktu untuk berpikir.

Setibanya di desa, ia merasa lega. Di sana, tak ada suara klakson mobil, tak ada percakapan panjang tentang hal-hal sepele. Hanya ada angin yang berbisik, kicauan burung, dan sesekali derap langkah kaki binatang di kejauhan. Pak Gunawan mendirikan kehidupannya dengan cara yang ia bayangkan—berkebun, membaca buku, dan sesekali merenung di bawah pohon besar yang ada di halaman rumah tua itu.

Hari-hari berlalu tanpa distraksi. Ia mulai merasakan ketenangan yang selama ini ia cari. Namun, seiring berjalannya waktu, dalam kesunyian itu, muncul kesadaran baru. Ketiadaan orang lain, ketiadaan percakapan, justru mulai memperdalam kekosongan yang dulu ia pikir dapat diisi dengan kesendirian. Hati yang awalnya terasa tenang kini kembali gelisah.

Ia menyadari, mungkin bukan rutinitas atau keramaian yang membuatnya merasa hampa, tapi perasaan bahwa ia sudah terlalu lama menutup diri dari orang-orang yang mencintainya. Sunyi yang dulu ia dambakan kini terasa terlalu pekat, terlalu dingin. Akhirnya, di suatu pagi yang dingin, saat kabut menutupi desa, Pak Gunawan memutuskan untuk pulang—pulang kepada keluarganya, kepada kehidupan yang dulu ia pikir membosankan.

Ia paham, mungkin kesempurnaan bukan tentang menemukan ketenangan di kesendirian, melainkan menemukan kedamaian di tengah cinta orang-orang terdekat.