Malam itu, langit di ujung kota gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang berkerlap-kerlip. Angin malam berhembus lembut, membawa kesejukan yang menenangkan hati. Di sebuah sudut jalan yang sepi, dua sosok berjalan mendekati satu sama lain. Mereka adalah Aris dan Nisa, sepasang kekasih yang cintanya terlarang. Seperti biasa, mereka bertemu di ujung jalan, jauh dari pandangan mata orang tua yang melarang hubungan mereka.
"Sudah lama menunggu?" tanya Nisa sambil tersenyum manis, menyembunyikan rasa cemas yang selalu menyertainya dalam setiap pertemuan mereka.
"Tak terlalu lama," jawab Aris dengan lembut, menggenggam tangan Nisa dengan penuh kasih. "Mari kita pergi."
Mereka menyelinap masuk ke dalam angkutan umum yang menuju ke ujung kota, tempat yang selalu menjadi pelarian mereka dari kenyataan yang pahit. Di dalam angkutan, mereka duduk bersebelahan, tangan mereka tak pernah terlepas, seolah takut jika melepaskannya, dunia akan memisahkan mereka selamanya.
Sesampainya di ujung kota, mereka turun dan mulai berjalan bergandengan tangan, menikmati kebersamaan yang mereka tahu takkan bertahan lama. Suara tawa mereka memenuhi udara malam, menciptakan momen-momen kecil yang indah di tengah segala rintangan yang menghadang.
Saat mereka berjalan, mata Nisa tertuju pada seorang pedagang durian di pinggir jalan. "Aris, aku ingin membeli durian. Lihat, di sana ada penjual durian," ujarnya dengan penuh antusias.
Aris tersenyum dan mengangguk, "Ayo kita ke sana."
Mereka berdua mendekati pedagang durian tersebut, namun saat mendekat, mereka melihat pria tua itu duduk dengan wajah muram, air mata mengalir di pipinya. Melihat itu, Nisa merasa iba.
"Pak, ada apa? Kenapa menangis?" tanya Nisa dengan lembut, menatap pedagang itu dengan penuh empati.
Pria tua itu mengangkat wajahnya yang penuh dengan rasa sakit. "Saya sedang sakit gigi, Nak. Sudah beberapa hari ini tak tertahankan," jawabnya dengan suara yang lemah.
Hati Aris tersentuh mendengar keluhan pedagang itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera berkata, "Tunggu di sini, Pak. Saya akan membelikan obat sakit gigi untuk Bapak."
Aris bergegas pergi, meninggalkan Nisa yang tetap berada di sisi pedagang tersebut. Beberapa menit kemudian, Aris kembali dengan sebuah obat di tangannya. "Ini, Pak. Semoga setelah meminum ini, sakit gigi Bapak berkurang," ujarnya sambil memberikan obat tersebut.
Rasa syukur dan senang tampak jelas di wajah pedagang durian itu. "Terima kasih, Nak. Kalian benar-benar baik hati. Saya tidak tahu harus bagaimana membalasnya," ucap pria tua itu dengan tulus.
Nisa tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Pak. Semoga Bapak lekas sembuh."
Setelah kejadian itu, mereka membeli beberapa durian dari pedagang tersebut dan melanjutkan perjalanan mereka. Malam itu, meskipun perasaan mereka diliputi oleh rintangan cinta terlarang, kebaikan yang mereka lakukan memberikan kehangatan tersendiri di hati mereka.
Seminggu kemudian, mereka kembali ke tempat yang sama, dengan harapan bisa menikmati durian bersama lagi. Ketika mereka tiba, pria tua itu tersenyum lebar saat melihat kedatangan mereka.
"Anak-anak, terima kasih banyak. Setelah minum obat yang kalian berikan, sakit gigi saya hilang! Saya sangat berterima kasih," kata pedagang itu dengan penuh kegembiraan.
Aris dan Nisa merasa bahagia melihat pria tua itu kembali sehat. Mereka membeli durian darinya lagi, dan kali ini menikmatinya dengan perasaan yang lebih ringan. Di tengah segala tantangan yang mereka hadapi, kebaikan kecil yang mereka lakukan membawa kebahagiaan yang tak terduga.
Malam itu, di ujung kota, cinta mereka kembali menemukan alasan untuk bertahan. Meskipun mereka tahu bahwa jalan mereka masih panjang dan penuh dengan rintangan, kebersamaan mereka, dan setiap kebaikan yang mereka lakukan, akan selalu menjadi pengingat bahwa cinta yang mereka miliki adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar