Senja itu, langit tampak berwarna oranye keemasan, menyelimuti kota dengan hangatnya yang samar. Di sudut sebuah rumah sakit, Arman duduk di ruang tunggu dengan hati yang gundah. Ibunya sedang dirawat di dalam, kondisinya tak kunjung membaik. Dengan pandangan kosong, Arman menatap keluar jendela, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
Di luar, di tempat parkir rumah sakit, seorang wanita dengan wajah penuh kelelahan berjalan setelah memarkir sepeda motor putihnya. Namanya Rina. Bus yang setiap hari membawanya bekerja selalu menjemput di depan rumah sakit ini. Hari itu, seperti hari-hari lainnya, dia berhenti di sana sebelum melanjutkan perjalanan. Namun, ada sesuatu yang berbeda di udara, sebuah perasaan yang menggelitik nuraninya, seolah ada yang tak terduga menunggu.
Saat Rina turun dari motor, ia melihat seorang pria tak jauh darinya, berjalan menghampirinya tampak rapuh di bawah cahaya senja. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah mengenali sosok itu meskipun bertahun-tahun telah berlalu. Dengan langkah hati-hati, dia mendekati pria itu, dan mata mereka bertemu.
Arman dan Rina terdiam sejenak, seakan waktu berhenti di antara mereka. Pandangan mereka bertaut, penuh dengan perasaan yang tak bisa disembunyikan. Bara cinta yang telah lama padam, yang terkubur oleh waktu dan keadaan, tiba-tiba menyala kembali. Di mata mereka, ada sejuta kenangan yang kembali hadir, kenangan tentang masa lalu yang pernah mereka bagi bersama.
"Rina..." bisik Arman, suaranya serak, penuh keterkejutan.
Rina hanya bisa mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Arman... Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini," ucapnya pelan, berusaha menahan perasaan yang membuncah di dadanya.
"Sudah lama, ya," kata Arman, mencoba tersenyum, meskipun hatinya bergetar hebat. "Aku... Aku di sini menunggu ibuku. Dia sakit parah."
Rina menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku... hanya menunggu bus. Setiap hari aku menunggu di sini sebelum berangkat kerja."
Mereka berdiri saling berhadapan, tanpa kata-kata. Hanya diam yang berbicara, mengingatkan mereka pada luka lama yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Cinta mereka dulu terhalang oleh banyak hal, dan meskipun mereka pernah berjanji untuk selalu bersama, kenyataan hidup memaksa mereka untuk berpisah.
Namun sekarang, dalam pertemuan yang tak terduga ini, perasaan itu kembali hadir, meskipun mereka tahu bahwa cinta ini adalah cinta yang terlarang. Mereka tak bisa kembali bersama, tak bisa melawan arus kehidupan yang telah memisahkan mereka.
"Sungguh, aku merindukanmu," bisik Rina akhirnya, menundukkan kepalanya.
"Aku juga, Rina," jawab Arman lirih. "Tapi kita tahu... kita tak bisa."
Air mata jatuh di pipi Rina. Pertemuan singkat ini, yang seharusnya membawa kebahagiaan, justru membuka luka lama yang perih. Mereka ingin tetap di tempat itu, ingin memeluk satu sama lain dan menghapus semua kesedihan. Namun mereka tahu, mereka harus berpisah lagi, seperti sebelumnya.
Bus Rina tiba, suara klaksonnya memecah keheningan di antara mereka. Rina menatap Arman dengan penuh kesedihan, dan Arman hanya bisa membalas dengan tatapan yang sama.
"Selamat tinggal, Arman," kata Rina pelan, meskipun hatinya menjerit.
"Selamat tinggal, Rina," jawab Arman, suaranya nyaris tak terdengar.
Dengan berat hati, Rina berbalik dan berjalan menuju bus. Arman tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung wanita yang dulu pernah menjadi pusat dunianya, yang sekarang harus ia lepaskan lagi.
Pintu bus tertutup, dan Rina pergi, meninggalkan Arman di bawah langit senja yang mulai gelap. Hati mereka masih dipenuhi cinta, tapi cinta itu harus kembali terkubur, terlupakan oleh waktu dan keadaan.
Dan di rumah sakit itu, di bawah langit senja yang semakin pudar, dua hati yang pernah bersatu kembali terpisah oleh takdir, meskipun bara api cinta mereka masih menyala, tersembunyi di dalam lubuk hati masing-masing, tak pernah benar-benar padam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar