Selasa, 19 November 2024

PUISI : Bahumu, Penopang Dunia Kita

Wahai sang penjaga malam dan fajar,
langkahmu bukan untuk gemerlap sinar,
namun untuk nyala lampu di sudut rumah,
dan senyum hangat yang tak pernah lelah.

Tak kupinta kau menjadi raja pesta,
cukup jadi peluk yang penuh cerita,
dengan tanganmu yang membangun harap,
dan bahumu, kokoh menahan beban berat.

Doaku melangit, mengiring tiap detak,
semoga kekuatan tak pernah retak.
Karena di balik kerut lelah di wajahmu,
tercermin cinta yang begitu syahdu

Senin, 18 November 2024

PUISI : Hidup, Sebuah Permainan


 

Hidup ini papan catur tanpa akhir,
Langkah-langkah tersembunyi di balik satir.
Tak ada ruang bagi rasa kasihan,
Saat bidak berdansa dalam kebingungan.

Utamakan mereka yang mengutamakan,
Yang tulus berdiri tanpa beban.
Tinggalkan yang hanya tahu memanfaatkan,
Sebab setia tak tumbuh dari kepalsuan.

Abaikan suara di sudut gelap,
Yang membicarakan, tanpa jejak.
Hidup ini bukan panggung bagi penghakiman,
Tapi permainan jiwa mencari kemenangan.

PUISI : Jangan Mengingau, Sayang

 


Dia berkata padaku, cinta ini nyata,
Sembunyi di balik senja yang memerah luka.
Katanya, dia pergi untuk udara,
Tapi langkahnya berbisik dusta pada cinta yang ada.

Di mataku, janji-janji tumbuh seperti mawar,
Namun durinya tajam, melukai tiap harap yang mekar.
"Percayalah," katanya dengan suara yang gemetar,
Sementara bayangannya masih terikat di rumahnya yang pudar.

Aku memintanya memilih, tapi ia hanya tersenyum samar,
Menipuku, seperti ia menipunya—hati jadi lebur dan gentar.
Kini aku tahu, cinta yang berdiri di atas dua kaki goyah,
Takkan pernah tegak; hanya menanti roboh dalam resah.

Jangan mengingau, sayang, mimpi ini hanya fatamorgana,
Biarkan angin membawa cerita yang penuh noda.
Kau harap dia serius? Ah, bukankah kau tahu jawabnya?
Cinta yang terbelah hanya serpihan, bukan mahkota.

Senin, 11 November 2024

PUISI : Di Sisi Rindu yang Sunyi


Meski jarak telah kau bentangkan,

dan harapanku kau biarkan pudar,
aku masih terjebak di tepi kenangan,
menyusun rindu yang enggan terlarut.

Di sudut hati yang tak kau lihat,
namamu tetap merayap sunyi,
meski kau tak lagi berharap,
aku masih menanti dalam sepi.

Tiada lagi janji yang kita jaga,
hanya bayangmu yang samar dan jauh,
namun setiap helaan napasku berkata,
kau abadi di ruang rindu yang tak pernah luluh.

Cerpen : Menanti tanpa Batas

Malam di kafe kecil itu, angin berhembus lembut membelai rambut Dini yang jatuh di bahunya. Ditemani dua cangkir kopi yang tinggal setengah, Raka menatapnya dalam-dalam. Di matanya ada keraguan, namun di bibirnya tersungging senyum tipis. Mereka sudah lama bersama, tapi malam ini terasa berbeda, seolah ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab atau mungkin dibiarkan menggantung.

"Din, kamu pernah kepikiran buat kita… lebih serius?" Raka memulai, suaranya serak, setengah takut menunggu respons yang tak tertebak dari Dini.

Dini menatap ke arah lain, menimbang kata-kata yang akan ia keluarkan. "Serius yang seperti apa, Ka?"

"Serius… seperti merencanakan pernikahan," jawab Raka, kali ini lebih mantap. "Aku merasa kita sudah lama bersama, dan… mungkin sudah saatnya."

Dini diam, menggenggam cangkir kopinya yang sudah dingin. "Raka, aku bahagia dengan kamu. Aku suka saat kita menghabiskan waktu bersama, tertawa, cerita, berbagi mimpi. Tapi…"

"Tapi apa?" desak Raka, matanya menelusuri wajah Dini yang tampak ragu.

"Tapi aku masih belum yakin, Ka. Apakah ini… cinta yang akan terus bertahan, atau hanya perasaan sesaat?" ucap Dini dengan nada lembut, namun penuh kebimbangan. "Aku… aku takut kalau aku menyetujui ini, dan ternyata aku tidak benar-benar bisa mencintaimu seperti seharusnya."

Raka menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaan yang terlukis di matanya. "Aku kira… kita saling memahami tanpa perlu meragukan lagi."

Dini tersenyum tipis, menggenggam tangan Raka. "Ka, bukan berarti aku tidak sayang. Aku hanya butuh waktu untuk memastikan… agar kita tidak berakhir dengan rasa kecewa."

"Aku bisa menunggumu, Din. Tapi aku juga punya batas," jawab Raka pelan, mencoba tersenyum meski matanya menyiratkan luka. "Aku takut, nanti kamu malah lupa, atau waktu mengubah kita."

Dini mengangguk perlahan, seperti paham tapi tak mampu memberikan jawaban pasti. "Aku tak akan melupakanmu, Raka… Namun, untuk sekarang, bisakah kita tetap seperti ini saja dulu?"

Hening. Mereka kembali menyesap kopi yang telah mendingin, seakan mencari keberanian dari setiap tetesnya.

"Dini, aku ingin kamu tahu, aku di sini. Aku ingin kamu, tapi aku tidak bisa menunggu selamanya," kata Raka, hampir berbisik. "Kalau nanti aku menyerah, bukan berarti aku tidak setia… hanya saja, waktu dan hatiku juga punya batas."

Dini mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maafkan aku, Ka. Terima kasih sudah mau menunggu sejauh ini."

Dalam hening yang penuh rasa, mereka tahu—meski tak diucapkan, ada waktu yang perlahan membatasi janji yang tak pernah terucap. Raka menunggu dalam keraguan, dan Dini masih bertanya-tanya dalam hatinya.

Di tengah-tengah ketidakpastian itu, mereka hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, waktu akan memberikan jawaban yang selama ini mereka cari.

PUISI : Masih seperti Dulu


Aku masih seperti fajar yang merindu pagi,
terbit dengan setia meski hujan menghampiri,
masih seperti semesta menanti bintang,
meski kadang redup di pelukan malam.

Aku masih seperti debur ombak di pantai,
menyapa pasir yang senyap dan bisu,
menanti tanpa jemu, tanpa usang,
meski waktu kerap mematahkan sayapku.

Tapi kamu—apakah kamu masih seperti doaku,
masih seteduh senyum yang dulu kurindu?
Ataukah kini bayangmu telah terurai,
tak lagi terjalin dalam harapan yang kupinta?

Aku tak tahu lagi, dalam sunyi kuterhenyak,
seperti hujan yang jatuh tanpa pernah pulang,
menemukan jejakmu semakin jauh mengabur,
namun aku tetap di sini, masih seperti dulu, menunggu.

Selasa, 05 November 2024

PUISI : Berlabuh di hatimu

Akan kuperbaiki perahuku ini,
dengan sabar kutambal setiap luka,
karena meski retak dan terurai sepi,
ia pernah setia menemaniku mengarungi samudra.

Biar layar yang koyak kuikat erat,
biar dayung yang patah kubentuk lagi,
dalam hening kugenggam tekad yang pekat,
agar angin kelak sudi membawaku pergi.

Aku tahu, lautan tak selalu ramah,
kadang ia menipu dengan ketenangannya,
dan aku—pernah terdampar di pantai yang salah,
merindu tanah, namun terjebak kecewa dan lelah.

Namun kini kusediakan hati baru,
kuhela napas, kutatap cakrawala jauh,
perahuku bukan lagi sekadar kayu,
ia adalah impian yang kuanyam dalam peluh.

Semoga angin mengerti isi hatiku,
membimbing layarku menuju pulau terbaik,
di mana debur ombak menyanyikan lagu,
tentang perjalanan panjang dan hati yang terdidik.

Di sana kelak aku akan berlabuh,
di dermaga yang tak hanya menunggu,
dan perahuku yang kusayang pun luluh,
karenanya, aku takkan tersesat lagi dalam biru.

Akan kuperbaiki perahuku ini,
hingga saat kembali berlayar tiba,
membelah laut dengan hati yang murni,
berharap, bermimpi, dan percaya pada arahNya.