Rabu, 04 September 2024

CERPEN : "Bayang-Bayang yang Tertinggal".


Raka duduk di sudut kafe yang sunyi, memandangi cangkir kopi di hadapannya. Kepalanya penuh dengan bayangan masa lalu. Dinda, perempuan yang pernah menghiasi hidupnya, telah pergi, meninggalkan luka yang belum sembuh. Kenangan tentang Dinda tak pernah memudar; tawa cerianya, senyum lembutnya, bahkan cara tangisnya yang tertahan selalu hadir setiap kali Raka mencoba melupakan.

Suatu hari, ia bertemu dengan Liania. Gadis itu begitu mirip dengan Dinda. Tawanya, senyumnya, bahkan tatapan matanya seolah menggantikan sosok yang hilang. Namun, ada yang berbeda. Setiap kali Raka menatap Liania, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa meski mereka tampak serupa, Liania bukanlah Dinda.

Di awal, hubungan mereka berjalan lancar. Liania berusaha mengisi kekosongan di hati Raka. Tapi semakin lama, semakin sering Raka terjebak dalam pergolakan batin. Setiap senyum yang Liania berikan, setiap tawa yang ia dengar, membawa Raka kembali pada kenangan tentang Dinda. Ada rasa bersalah yang menghantui, karena di satu sisi, ia menyayangi Liania, tetapi di sisi lain, bayangan Dinda terus membayangi.

“Mengapa kamu selalu memikirkannya?” Liania bertanya dengan suara serak suatu malam, saat mereka duduk di bawah langit yang penuh bintang. “Aku bukan dia, Raka. Aku tidak akan pernah menjadi Dinda.”

Raka terdiam, kata-kata Liania terasa seperti pukulan telak. Ia tahu bahwa yang dikatakan Liania benar, tapi hatinya belum siap menerima kenyataan itu. “Maaf,” gumamnya, matanya menatap kosong ke depan. “Aku tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”

Liania mengusap matanya, menahan air mata yang sudah sejak lama ia pendam. “Aku mencintaimu, Raka, tapi aku tidak bisa terus bertarung dengan bayangan seseorang yang tidak ada lagi di sini.”

Perdebatan itu sering terjadi. Liania berusaha untuk bertahan, berusaha menunjukkan bahwa dirinya berbeda, bahwa ia bisa memberi Raka cinta yang baru. Namun, pergulatan batin di hati Raka tak pernah mereda. Kenangan Dinda begitu kuat, begitu membelenggu, membuat Liania selalu merasa dibandingkan dengan bayang-bayang masa lalu.

Suatu ketika, Liania mendapati Raka termenung di balkon apartemennya. Mata lelaki itu jauh, memandangi sesuatu yang hanya ia sendiri yang bisa melihatnya. “Apa kamu benar-benar ingin aku ada di sini?” tanya Liania dengan suara pelan namun tegas. Raka menoleh, raut wajahnya suram. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu tanpa melukai hati Liania lebih dalam.

“Liania, aku...” Ia terhenti. Pergolakan di hatinya semakin menyiksa.

“Kamu harus memilih, Raka,” Liania melanjutkan. “Apakah kamu akan terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, atau menerima aku sebagai aku yang sekarang? Karena aku tidak bisa terus hidup dalam perbandingan dengan seseorang yang sudah tidak ada.”

Raka terdiam, seolah tenggelam dalam lautan emosi yang membingungkan. Ia tahu bahwa Liania benar, tetapi sebagian dari dirinya tetap terpaut pada kenangan tentang Dinda. Ia ingin mencintai Liania dengan segenap hatinya, tetapi bayangan Dinda terus menghantui setiap langkah mereka.

Dengan berat hati, Liania akhirnya mengambil keputusan. “Jika kamu tidak bisa memilih, aku akan pergi. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini.”

Raka tidak menjawab. Ia hanya menatap Liania dengan mata penuh kesedihan, tahu bahwa mungkin inilah saatnya untuk benar-benar melepaskan masa lalu. Tapi hati manusia tidak semudah itu untuk dipaksa melupakan.

Saat Liania pergi, Raka merasakan kekosongan yang lebih dalam. Ia telah kehilangan seseorang lagi, namun kali ini, ia tahu bahwa itu bukan karena takdir, melainkan karena dirinya sendiri yang tak mampu menghadapi kenyataan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar