Kamis, 05 September 2024

CERPEN : Cinta di Antara Persahabatan

 

Bab 1: Hari-hari Bersama

Matahari pagi mengintip malu-malu di balik awan tipis Kota Malang, sementara mahasiswa bergegas menuju kampus. Di tengah keramaian itu, Ivea selalu menarik perhatian. Rambutnya yang panjang dan berkilau terurai di bahunya, sementara lesung pipi yang menghiasi wajah manisnya membuat senyum Ivea begitu memikat. Dengan kulit sawo matang yang memancarkan pesona alami, tak heran banyak lelaki yang tertarik padanya. Namun, Ivea bukanlah tipe gadis yang mudah tertarik pada pujian atau perhatian. Bagi Ivea, semua lelaki di sekitarnya hanyalah teman.

Namun, ada satu yang istimewa. Noek, pemuda humoris yang selalu berhasil membuat Ivea tersipu malu. Setiap kali Noek melontarkan candaannya, tak jarang pipi Ivea memerah, meskipun ia berusaha keras menyembunyikan rasa itu. Mereka berdua sering terlihat bersama, terutama saat pulang kuliah. "Kebetulan satu jalur," begitu alasan mereka ketika teman-teman bertanya. Meski Ivea menyimpan perasaan lebih dalam hatinya, Noek hanya menganggapnya sebagai teman, seperti perempuan lainnya di kampus.

Suatu sore, setelah kelas terakhir, Noek dan Ivea berjalan bersama menuju halte bus. Angin sore yang sejuk membawa aroma khas dedaunan yang jatuh di sepanjang jalan. Mereka berjalan beriringan, terdiam dalam kenyamanan yang jarang membutuhkan kata-kata.

“Eh, Vea, kamu kalau punya pacar nanti, dia harus kayak gimana sih?” tanya Noek tiba-tiba, dengan senyum iseng menghiasi wajahnya.

Ivea terkesiap, tak menyangka pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, berusaha menutupi kegugupannya. “Ah, entahlah. Yang penting, dia baik, lucu, dan nggak bikin pusing,” jawab Ivea sambil tersenyum malu.

Noek tertawa keras. “Wah, kalau gitu aku masuk kriteria, dong?”

Ivea memukul pelan lengan Noek, “Hush! Sombong banget sih!”

Mereka tertawa bersama, sementara Ivea menahan debaran di dadanya. Setiap momen bersama Noek selalu membuatnya merasa istimewa, meski ia tahu, bagi Noek, semua perempuan adalah teman. Tak ada yang spesial di matanya.


Bab 2: Di Antara Dua Perasaan

Hari-hari berlalu, dan kedekatan Ivea dan Noek semakin menjadi perhatian banyak teman di kampus. Semua orang mengira mereka berpacaran. Bahkan, teman-teman lelaki Ivea sering menggoda, “Wah, pacaran diem-diem nih!”

Ivea hanya bisa tersenyum getir. Di dalam hatinya, ia berharap semua itu benar, bahwa Noek adalah miliknya. Namun, kenyataan tak pernah seindah harapan. Noek, meskipun selalu bersamanya, tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasakan hal yang sama. Bagi Noek, Ivea hanyalah teman, tidak lebih.

Di sisi lain, ada seorang gadis lain yang selalu berada di pikiran Noek. Anisa, gadis ceria yang selalu duduk di sampingnya di kelas, menjadi pusat perhatian Noek setiap kali mereka bertemu. Anisa adalah tipe gadis yang mudah tertawa, dan Noek merasa nyaman di dekatnya. Mereka sering mengerjakan tugas bersama, makan siang bersama, bahkan sering pulang bersama ketika jadwal kuliah mereka sama. Namun, bagi Anisa, Noek tidak lebih dari sekadar teman baik.

Suatu ketika, Ivea dan Noek sedang duduk di kantin kampus, menikmati segelas es teh yang mereka pesan. Sambil menyeruput minumannya, Ivea memperhatikan Anisa yang duduk tak jauh dari mereka, tertawa bersama teman-temannya.

“Kamu deket banget ya sama Anisa,” tanya Ivea pelan, mencoba terdengar biasa saja.

Noek tersenyum kecil. “Ya, dia teman baik. Seru orangnya. Lucu juga,” jawabnya santai.

Ivea hanya mengangguk pelan, menyembunyikan rasa cemburu yang perlahan menggerogoti hatinya.


Bab 3: Perjalanan KKL ke Bali

Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Bali menjadi momen yang dinantikan oleh Ivea dan Noek. Sebagai teman satu kampus, mereka berangkat bersama, bahkan duduk bersebelahan di dalam bus. Perjalanan panjang itu menjadi kesempatan bagi Ivea untuk lebih dekat dengan Noek, meskipun ia tahu, di balik sikap ramahnya, hati Noek mungkin berpaling pada orang lain.

Selama di Bali, Ivea tak pernah lepas dari sisi Noek. Setiap kali ada kesempatan, mereka selalu bersama. Namun, Noek terkadang merasa sedikit menjauh. Di setiap pertemuan atau acara, Noek kerap mencari kesempatan untuk berada di dekat Anisa, meski Ivea selalu berada di dekatnya.

Di pantai Kuta, ketika matahari hampir terbenam, Ivea dan Noek duduk di atas pasir, menikmati suara deburan ombak yang menghantam pantai.

“Vea, kamu tahu nggak, kadang aku mikir... gimana rasanya kalau aku nggak punya teman-teman kayak kamu,” kata Noek sambil menatap laut.

Ivea menoleh, menatap wajah Noek yang diterangi cahaya senja. “Kamu pasti punya banyak teman lain, Noek. Semua orang suka sama kamu.”

Noek tersenyum tipis. “Tapi... mungkin ada satu orang yang lebih dari teman buat aku.”

Jantung Ivea berdebar lebih kencang. Apakah saat ini Noek akan mengakui perasaannya? Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Anisa datang menghampiri mereka dengan tawa riang, dan seketika Noek teralihkan. Sekali lagi, Ivea harus menelan rasa kecewa yang tak terucap.


Bab 4: Keputusan yang Menghancurkan

Sepulang dari KKL, perasaan Ivea semakin bimbang. Kedekatannya dengan Noek hanya menambah rasa sakit di hatinya, karena ia tahu Noek tidak pernah memandangnya seperti ia memandang Noek. Suatu hari, Ivea mengajak Noek ke perpustakaan. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

“Noek, aku mau ngomong sesuatu,” kata Ivea, suaranya terdengar ragu.

Noek menatapnya, serius. “Apa, Vea? Ada apa?”

“Ayahku menjodohkanku dengan saudara jauhnya. Aku nggak mau, Noek. Aku nggak cinta sama dia. Tapi aku nggak tahu harus gimana...” Suara Ivea bergetar, penuh emosi.

Noek terkejut mendengar pengakuan Ivea. Namun, bukannya memberikan dukungan atau harapan, Noek justru berkata, “Mungkin kamu harus terima aja, Vea. Kalau itu yang terbaik buat kamu dan keluargamu.”

Seperti tersambar petir, hati Ivea hancur seketika. Air matanya tumpah, dan ia menangis keras di tengah perpustakaan yang sunyi. Noek hanya bisa menatapnya tanpa tahu harus berbuat apa.


Bab 5: Cinta yang Tak Pernah Terbalas

Setelah kejadian di perpustakaan, Ivea memutuskan untuk menerima keputusan orang tuanya, meski hatinya hancur berkeping-keping. Di sisi lain, Noek semakin berusaha mendekati Anisa, namun perasaannya tak pernah berbalas. Anisa tetap menganggapnya sebagai teman, tidak lebih.

Waktu terus berlalu, dan perlahan, Noek menyadari bahwa cinta yang ia harapkan dari Anisa mungkin tak akan pernah terwujud. Sementara itu, Ivea mulai menerima takdirnya, meskipun rasa sakit di hatinya belum sepenuhnya hilang.

Mereka berdua terjebak dalam dunia di mana harapan dan cinta tak pernah sampai pada tujuannya. Ivea dan Noek, dua sahabat yang saling mengisi hari-hari mereka, namun tak pernah bisa benar-benar bersama dalam cinta. Persahabatan mereka tetap bertahan, meskipun di hati masing-masing, ada perasaan yang tak pernah terucap.


Epilog: Jejak di Hati

Di suatu sore yang tenang, Ivea dan Noek kembali duduk di tepi pantai, seperti dulu. Mereka terdiam, menikmati angin laut yang lembut. Kali ini, tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Mereka tahu, meskipun takdir tak menyatukan mereka dalam cinta, persahabatan ini akan selalu menjadi jejak yang terpatri di hati masing-masing.

“Terima kasih, Noek,” bisik Ivea pelan.

“No, Vea. Justru aku yang harus berterima kasih. Kamu selalu ada buat aku,” jawab Noek dengan senyum yang tulus.

Dan begitu saja, mereka menikmati keheningan bersama, di antara bayang cinta yang tak pernah terucap.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar