Bab 1: Hari-hari Bersama
Matahari pagi mengintip malu-malu di balik awan tipis Kota
Malang, sementara mahasiswa bergegas menuju kampus. Di tengah keramaian itu, Ivea
selalu menarik perhatian. Rambutnya yang panjang dan berkilau terurai di
bahunya, sementara lesung pipi yang menghiasi wajah manisnya membuat senyum Ivea
begitu memikat. Dengan kulit sawo matang yang memancarkan pesona alami, tak
heran banyak lelaki yang tertarik padanya. Namun, Ivea bukanlah tipe gadis yang
mudah tertarik pada pujian atau perhatian. Bagi Ivea, semua lelaki di
sekitarnya hanyalah teman.
Namun, ada satu yang istimewa. Noek, pemuda humoris yang
selalu berhasil membuat Ivea tersipu malu. Setiap kali Noek melontarkan
candaannya, tak jarang pipi Ivea memerah, meskipun ia berusaha keras
menyembunyikan rasa itu. Mereka berdua sering terlihat bersama, terutama saat
pulang kuliah. "Kebetulan satu jalur," begitu alasan mereka ketika
teman-teman bertanya. Meski Ivea menyimpan perasaan lebih dalam hatinya, Noek
hanya menganggapnya sebagai teman, seperti perempuan lainnya di kampus.
Suatu sore, setelah kelas terakhir, Noek dan Ivea berjalan
bersama menuju halte bus. Angin sore yang sejuk membawa aroma khas dedaunan
yang jatuh di sepanjang jalan. Mereka berjalan beriringan, terdiam dalam
kenyamanan yang jarang membutuhkan kata-kata.
“Eh, Vea, kamu kalau punya pacar nanti, dia harus kayak
gimana sih?” tanya Noek tiba-tiba, dengan senyum iseng menghiasi wajahnya.
Ivea terkesiap, tak menyangka pertanyaan itu. Ia tertawa
kecil, berusaha menutupi kegugupannya. “Ah, entahlah. Yang penting, dia baik,
lucu, dan nggak bikin pusing,” jawab Ivea sambil tersenyum malu.
Noek tertawa keras. “Wah, kalau gitu aku masuk kriteria,
dong?”
Ivea memukul pelan lengan Noek, “Hush! Sombong banget sih!”
Mereka tertawa bersama, sementara Ivea menahan debaran di
dadanya. Setiap momen bersama Noek selalu membuatnya merasa istimewa, meski ia
tahu, bagi Noek, semua perempuan adalah teman. Tak ada yang spesial di matanya.
Bab 2: Di Antara Dua Perasaan
Hari-hari berlalu, dan kedekatan Ivea dan Noek semakin
menjadi perhatian banyak teman di kampus. Semua orang mengira mereka
berpacaran. Bahkan, teman-teman lelaki Ivea sering menggoda, “Wah, pacaran
diem-diem nih!”
Ivea hanya bisa tersenyum getir. Di dalam hatinya, ia
berharap semua itu benar, bahwa Noek adalah miliknya. Namun, kenyataan tak
pernah seindah harapan. Noek, meskipun selalu bersamanya, tak pernah
menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasakan hal yang sama. Bagi Noek, Ivea
hanyalah teman, tidak lebih.
Di sisi lain, ada seorang gadis lain yang selalu berada di
pikiran Noek. Anisa, gadis ceria yang selalu duduk di sampingnya di kelas,
menjadi pusat perhatian Noek setiap kali mereka bertemu. Anisa adalah tipe
gadis yang mudah tertawa, dan Noek merasa nyaman di dekatnya. Mereka sering
mengerjakan tugas bersama, makan siang bersama, bahkan sering pulang bersama
ketika jadwal kuliah mereka sama. Namun, bagi Anisa, Noek tidak lebih dari
sekadar teman baik.
Suatu ketika, Ivea dan Noek sedang duduk di kantin kampus,
menikmati segelas es teh yang mereka pesan. Sambil menyeruput minumannya, Ivea
memperhatikan Anisa yang duduk tak jauh dari mereka, tertawa bersama
teman-temannya.
“Kamu deket banget ya sama Anisa,” tanya Ivea pelan, mencoba
terdengar biasa saja.
Noek tersenyum kecil. “Ya, dia teman baik. Seru orangnya.
Lucu juga,” jawabnya santai.
Ivea hanya mengangguk pelan, menyembunyikan rasa cemburu
yang perlahan menggerogoti hatinya.
Bab 3: Perjalanan KKL ke Bali
Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Bali menjadi momen
yang dinantikan oleh Ivea dan Noek. Sebagai teman satu kampus, mereka berangkat
bersama, bahkan duduk bersebelahan di dalam bus. Perjalanan panjang itu menjadi
kesempatan bagi Ivea untuk lebih dekat dengan Noek, meskipun ia tahu, di balik
sikap ramahnya, hati Noek mungkin berpaling pada orang lain.
Selama di Bali, Ivea tak pernah lepas dari sisi Noek. Setiap
kali ada kesempatan, mereka selalu bersama. Namun, Noek terkadang merasa
sedikit menjauh. Di setiap pertemuan atau acara, Noek kerap mencari kesempatan
untuk berada di dekat Anisa, meski Ivea selalu berada di dekatnya.
Di pantai Kuta, ketika matahari hampir terbenam, Ivea dan
Noek duduk di atas pasir, menikmati suara deburan ombak yang menghantam pantai.
“Vea, kamu tahu nggak, kadang aku mikir... gimana rasanya
kalau aku nggak punya teman-teman kayak kamu,” kata Noek sambil menatap laut.
Ivea menoleh, menatap wajah Noek yang diterangi cahaya
senja. “Kamu pasti punya banyak teman lain, Noek. Semua orang suka sama kamu.”
Noek tersenyum tipis. “Tapi... mungkin ada satu orang yang
lebih dari teman buat aku.”
Jantung Ivea berdebar lebih kencang. Apakah saat ini Noek
akan mengakui perasaannya? Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Anisa
datang menghampiri mereka dengan tawa riang, dan seketika Noek teralihkan.
Sekali lagi, Ivea harus menelan rasa kecewa yang tak terucap.
Bab 4: Keputusan yang Menghancurkan
Sepulang dari KKL, perasaan Ivea semakin bimbang.
Kedekatannya dengan Noek hanya menambah rasa sakit di hatinya, karena ia tahu
Noek tidak pernah memandangnya seperti ia memandang Noek. Suatu hari, Ivea
mengajak Noek ke perpustakaan. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan.
“Noek, aku mau ngomong sesuatu,” kata Ivea, suaranya
terdengar ragu.
Noek menatapnya, serius. “Apa, Vea? Ada apa?”
“Ayahku menjodohkanku dengan saudara jauhnya. Aku nggak mau,
Noek. Aku nggak cinta sama dia. Tapi aku nggak tahu harus gimana...” Suara Ivea
bergetar, penuh emosi.
Noek terkejut mendengar pengakuan Ivea. Namun, bukannya
memberikan dukungan atau harapan, Noek justru berkata, “Mungkin kamu harus
terima aja, Vea. Kalau itu yang terbaik buat kamu dan keluargamu.”
Seperti tersambar petir, hati Ivea hancur seketika. Air
matanya tumpah, dan ia menangis keras di tengah perpustakaan yang sunyi. Noek
hanya bisa menatapnya tanpa tahu harus berbuat apa.
Bab 5: Cinta yang Tak Pernah Terbalas
Setelah kejadian di perpustakaan, Ivea memutuskan untuk
menerima keputusan orang tuanya, meski hatinya hancur berkeping-keping. Di sisi
lain, Noek semakin berusaha mendekati Anisa, namun perasaannya tak pernah
berbalas. Anisa tetap menganggapnya sebagai teman, tidak lebih.
Waktu terus berlalu, dan perlahan, Noek menyadari bahwa
cinta yang ia harapkan dari Anisa mungkin tak akan pernah terwujud. Sementara
itu, Ivea mulai menerima takdirnya, meskipun rasa sakit di hatinya belum
sepenuhnya hilang.
Mereka berdua terjebak dalam dunia di mana harapan dan cinta
tak pernah sampai pada tujuannya. Ivea dan Noek, dua sahabat yang saling
mengisi hari-hari mereka, namun tak pernah bisa benar-benar bersama dalam
cinta. Persahabatan mereka tetap bertahan, meskipun di hati masing-masing, ada
perasaan yang tak pernah terucap.
Epilog: Jejak di Hati
Di suatu sore yang tenang, Ivea dan Noek kembali duduk di
tepi pantai, seperti dulu. Mereka terdiam, menikmati angin laut yang lembut.
Kali ini, tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Mereka tahu, meskipun takdir
tak menyatukan mereka dalam cinta, persahabatan ini akan selalu menjadi jejak
yang terpatri di hati masing-masing.
“Terima kasih, Noek,” bisik Ivea pelan.
“No, Vea. Justru aku yang harus berterima kasih. Kamu selalu
ada buat aku,” jawab Noek dengan senyum yang tulus.
Dan begitu saja, mereka menikmati keheningan bersama, di
antara bayang cinta yang tak pernah terucap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar