Senin, 09 September 2024

CERPEN : Bertepuk Sebelah Tangan

Di sebuah kampung yang sibuk dengan kehidupan kota, ada seorang gadis bernama Ndang, wajah manisnya terpancar dari setiap senyumnya yang lembut. Rambutnya panjang terurai, selalu terlihat rapi meskipun hari-harinya dipenuhi oleh pekerjaan di toko kain tempat ia bekerja. Ndang tinggal di sebuah kos sederhana, dikelilingi oleh banyak gadis lain yang juga bekerja di daerah itu. Kampung tersebut menjadi ramai karena letaknya yang strategis di pusat kota, sehingga muda-mudi banyak berdatangan.

Raka, pemuda tampan yang selalu menjadi pusat perhatian di kampung itu, tak pernah absen dalam berbagai kegiatan. Aktif dalam organisasi Karang Taruna dan olahraga, ia memiliki pesona tersendiri. Senyumannya yang cerah dan humornya yang segar membuat semua orang nyaman berada di dekatnya. Ndang, yang baru saja pindah ke kampung itu, tak pernah menyangka bahwa pertemuan pertamanya dengan Raka akan menjadi awal dari perjalanan hatinya.

Suatu hari, Karang Taruna mengadakan kegiatan yang melibatkan semua muda-mudi, termasuk mereka yang tinggal di kos-kos sekitar. "Ayo, Ndang, kita ikut! Ini kesempatan bagus buat kenal orang-orang di sini," ajak seorang teman kosnya. Ndang pun ikut serta, sedikit gugup tapi juga penuh rasa penasaran.

Saat kegiatan berlangsung, Raka dengan gaya humornya menghidupkan suasana.

"Kalau kita menang lomba ini, aku traktir semua orang es krim, kecuali yang pakai sandal jepit!" seru Raka, membuat semua orang tertawa.

Ndang yang tak sengaja berdiri di dekatnya ikut tertawa. Perhatian Raka langsung tertuju pada gadis berwajah manis itu.

"Eh, kamu baru ya di sini?" tanya Raka, sambil melempar senyum yang membuat Ndang sedikit gugup.

"Iya, baru beberapa bulan. Nama aku Ndang," jawabnya singkat, tak bisa menyembunyikan getar di suaranya.

"Ndang? Unik juga namanya. Aku Raka. Jangan sampai kamu kabur gara-gara aku terlalu banyak bercanda ya," ujar Raka sambil mengedipkan mata, membuat Ndang tersenyum malu.

Dari situ, pertemuan mereka menjadi lebih sering. Setiap ada kegiatan, mereka selalu berbincang, bercanda, bahkan kadang-kadang Ndang merasa Raka memberikan perhatian lebih kepadanya. Ndang semakin hari semakin tertarik pada Raka. Rasa suka itu tumbuh begitu kuat, sampai-sampai Ndang sering datang ke rumah Raka, yang memang hanya beberapa langkah dari kosnya. Ia sudah akrab dengan keluarga Raka, dan tanpa ragu Ndang menyatakan rasa sukanya.

"Raka, aku suka sama kamu," ujar Ndang suatu hari, di depan pintu rumah Raka.

Raka tertawa kecil, seperti biasanya. "Ah, Ndang, kamu ini lucu banget. Kita kan baru kenal," jawab Raka, seolah tak serius.

Tapi Ndang tidak menyerah. Dia terus menunjukkan perhatian, membawakan makanan untuk keluarga Raka setiap kali pulang kampung. Keluarga Raka menyambutnya dengan hangat, bahkan menganggap Ndang seperti bagian dari keluarga. Ndang merasa bahwa perlahan-lahan, hatinya semakin dekat dengan Raka, meskipun belum pernah ada kata cinta yang terucap dari bibir pemuda itu.

Namun, ada satu hal yang Ndang tidak tahu. Raka sudah memiliki seorang pacar, Iyet, teman sekolahnya sejak dulu. Iyet sering berkunjung ke rumah Raka, dan mereka terlihat akrab. Hingga suatu hari, saat Ndang sedang berkunjung ke rumah Raka, dia melihat Iyet di sana. Raka memperkenalkan mereka berdua, dan percakapan yang terjadi membuat Ndang merasa canggung.

"Hai, kamu pasti Ndang, ya? Aku sering dengar cerita tentang kamu dari Raka," kata Iyet ramah.

Ndang tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. Dia tak bisa menutupi rasa penasarannya pada hubungan Raka dengan Iyet. Namun, Ndang tetap berusaha tegar, berpikir bahwa mungkin ada kesempatan baginya untuk memenangkan hati Raka. Dia terus datang ke rumah Raka, bahkan ketika Raka sibuk bekerja di luar kota.

Namun, hari yang paling berat akhirnya datang. Saat itu, Raka dengan lirih berkata pada Ndang, "Aku harus bilang sesuatu, Ndang. Aku dan Iyet akan bertunangan."

Tangis Ndang pecah seketika. Air mata mengalir deras di pipinya. Dia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Di hadapan keluarga Raka, ia menangis sejadi-jadinya, kehilangan semua harapan yang selama ini ia simpan.

"Mengapa, Raka? Mengapa bukan aku? Mengapa kamu tidak memilihku?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

Raka hanya bisa terdiam. Ia tak punya jawaban. Cinta memang tidak bisa dipaksakan, meskipun Ndang telah memberikan segalanya. Ia merasakan sakit yang mendalam, karena cinta yang begitu besar akhirnya harus berakhir dengan kekecewaan.

"Cinta memang tidak harus memiliki, Ndang. Tapi terkadang, meskipun aku tidak bisa memilihmu, bukan berarti aku tidak peduli padamu," kata Raka dengan lembut, meski itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit Ndang.

Ndang hanya bisa menatap Raka dengan penuh kesedihan, menyadari bahwa cinta yang ia perjuangkan selama ini hanya tinggal kenangan pahit yang harus ia terima.

Dan dengan berat hati, Ndang pergi, membawa luka yang akan terus mengiringi langkahnya ke depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar