Bab 1 Pertemuan
yang Tak Terduga
Malam itu, angin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang
baru saja reda. Raka berjalan sendirian menyusuri trotoar kota, pikirannya
melayang entah ke mana. Di tengah gemerlap lampu kota, ia merasa sepi.
Kehidupannya yang sempurna di mata banyak orang ternyata tak mampu mengisi
kekosongan yang selama ini ia rasakan.
Langkah kakinya akhirnya berhenti di depan sebuah kafe kecil
yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya. Lampu-lampu temaram menghiasi
jendela, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang. Tanpa banyak berpikir,
Raka membuka pintu kafe dan masuk ke dalam.
Suasana di dalam kafe itu begitu berbeda. Musik lembut
mengalun dari sudut ruangan, sementara para pengunjung berbicara dengan suara
pelan, seolah tak ingin mengganggu ketenangan yang ada. Raka melihat sekeliling
dan matanya tertuju pada panggung kecil di sudut ruangan. Di sanalah ia melihat
Lia untuk pertama kalinya.
Lia duduk di atas bangku tinggi, mengenakan gaun sederhana
yang memancarkan keanggunan alami. Jemarinya memegang mikrofon dengan lembut,
dan suaranya yang merdu mulai mengisi ruangan. Lagu yang ia nyanyikan adalah
lagu cinta yang sederhana, namun setiap nada seolah menyusup ke dalam hati Raka
yang hampa. Ia merasa seperti menemukan sesuatu yang telah lama hilang.
Raka duduk di salah satu sudut kafe, matanya tak lepas dari
Lia. Setiap lirik yang keluar dari bibirnya membawa Raka ke dunia lain, dunia
yang penuh kedamaian dan keindahan yang selama ini ia rindukan. Ketika lagu
terakhir selesai, Lia menundukkan kepalanya sedikit, tersenyum pada penonton
yang bertepuk tangan. Senyuman itu menyentuh hati Raka lebih dalam dari yang ia
duga.
Setelah beberapa saat, Raka tak bisa menahan diri untuk
mendekat. Ia merasa seolah ada kekuatan yang menariknya, sebuah dorongan yang
tak bisa ia jelaskan.
Raka Dengan langkah pelan, ia mendekati panggung setelah
pertunjukan usai. Suaranya tenang, namun ada kehangatan yang sulit
disembunyikan.
“Selamat malam. Suaramu… begitu indah, seperti aliran sungai yang menenangkan
hati yang gelisah. Bolehkah aku tahu namamu?”
Lia tersenyum lembut, suaranya ramah dan penuh
kehangatan.
“Terima kasih. Namaku Lia. Aku hanya berusaha menyampaikan perasaan melalui
lagu-lagu yang sederhana. Apa yang membawamu ke sini malam ini?”
Raka menatap Lia dengan rasa ingin tahu, seolah mencari
jawaban di balik tatapannya.
“Mungkin hanya kebetulan, atau mungkin sesuatu yang lebih. Aku tidak tahu
pasti. Tapi, suaramu… suaramu membawa ketenangan yang sudah lama hilang dari
hidupku. Apa kau selalu bernyanyi di sini?”
Lia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri pria di
depannya, Lia merasakan hatinya sedikit bergetar, namun tetap menjaga sikap
tenang.
“Setiap malam, aku menyanyikan lagu-lagu untuk mereka yang datang mencari
pelarian sejenak dari dunia luar. Tapi malam ini, tampaknya ada yang istimewa.”
Bab 2 Kedekatan yang Terjalin
Malam-malam berlalu, dan Raka kini menjadi sosok yang selalu
hadir di sudut kafe itu. Setiap malam, tepat pukul delapan, ia akan duduk di
meja yang sama, memesan secangkir kopi hitam tanpa gula, dan menantikan Lia
untuk naik ke panggung. Suara gitar yang merdu dan suara Lia yang lembut kini
menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasnya. Meski tak banyak kata yang
terucap di antara mereka, setiap senyum dan tatapan yang mereka bagikan seolah
berbicara lebih dari ribuan kata.
Perlahan-lahan, percakapan kecil mulai muncul di antara
mereka. Awalnya hanya sekadar sapaan sopan saat Lia turun dari panggung,
kemudian berlanjut dengan obrolan ringan tentang musik yang dinyanyikan,
tentang cuaca di luar, hingga topik-topik sederhana lainnya yang tanpa disadari
membuat mereka semakin dekat.
Raka mengaduk kopi hitamnya, ia mengamati Lia yang tengah
menyiapkan gitarnya untuk pertunjukan malam itu.
“Aku selalu kagum bagaimana kau bisa membawakan setiap lagu dengan begitu
tulus. Apa kau pernah merasa bosan menyanyikan lagu yang sama setiap malam?”
Lia Tersenyum, menatap Raka dengan mata yang penuh
ketenangan.
“Setiap lagu, meski terdengar sama, selalu memiliki makna yang berbeda di
setiap malam. Mungkin karena suasana hati atau energi dari penonton. Lagipula,
aku merasa bahagia bisa berbagi perasaan melalui musik.”
Raka Suaranya pelan, namun penuh ketulusan.
“Dan kau berhasil, Lia. Setiap malam, suaramu membuatku merasa seperti
menemukan sesuatu yang berharga, sesuatu yang hilang dari hidupku selama ini.”
Lia Menyimak dengan serius, ia merasakan ada kedekatan
yang semakin kuat antara mereka.
“Mungkin kita semua mencari sesuatu yang hilang, sesuatu yang bisa melengkapi
kita. Dan mungkin, kita menemukannya di tempat yang tak terduga, seperti di
kafe kecil ini.”
Raka Menatap Lia dalam-dalam, ada kehangatan yang tak
bisa ia sembunyikan.
“Kafe ini memang istimewa, tapi yang membuatnya lebih istimewa adalah dirimu.
Kau membuat tempat ini hidup, memberikan jiwa pada setiap sudutnya.”
Lia Sedikit tersipu, ia tersenyum dan menggeleng pelan.
“Aku hanya menyanyi, Raka. Tapi, mendengar kata-katamu membuatku merasa bahwa
apa yang kulakukan memang berarti. Terima kasih.”
Raka Menyenderkan tubuhnya ke kursi, ia tertawa kecil,
merasa nyaman.
“Kalau begitu, terima kasih juga untukmu, Lia. Kau membuat malam-malamku lebih
berwarna. Lebih dari yang bisa kubayangkan.”
Obrolan mereka terus berlanjut malam demi malam. Topik yang
dulu sederhana kini semakin dalam, mulai dari impian, kenangan masa kecil,
hingga hal-hal yang lebih pribadi. Setiap percakapan membawa mereka lebih
dekat, membuat hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari
sekadar obrolan ringan.
Lia Suatu malam, setelah menyelesaikan lagunya, Lia
mendekati meja Raka dan duduk di kursi kosong di depannya.
“Raka, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Setiap kali kita berbicara, kau
selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi aku merasa belum benar-benar
mengenalmu.”
Raka Tersenyum, namun ada keraguan di matanya.
“Aku hanya seorang pria biasa, Lia. Mungkin tak ada yang menarik dari hidupku.
Tapi, jika kau ingin tahu, aku akan menceritakannya.”
Lia Menatap Raka dengan penuh perhatian.
“Bukan tentang menarik atau tidak, tapi tentang siapa dirimu sebenarnya. Aku
ingin tahu apa yang membuatmu menjadi Raka yang kukenal sekarang.”
Raka Menarik napas panjang, ia menatap kopi di depannya
sejenak sebelum memulai.
“Hidupku terlihat sempurna dari luar, dengan semua yang kubutuhkan. Tapi ada
sesuatu yang selalu terasa kosong, seolah ada bagian dari diriku yang hilang.
Hingga aku datang ke kafe ini, hingga aku mendengarmu bernyanyi... Aku merasa
ada sesuatu yang berbeda.”
Lia Merasa hatinya tersentuh, ia meletakkan tangannya di
atas meja, dekat dengan tangan Raka.
“Kau tidak sendiri, Raka. Terkadang, kita memang merasa hampa meski di tengah
keramaian. Mungkin, itulah sebabnya kita bertemu.”
Raka Memandang tangan Lia yang berada di dekatnya,
hatinya bergetar.
“Mungkin, Lia. Mungkin inilah yang selama ini kucari tanpa kusadari.”
Malam itu, ada sesuatu yang berubah. Raka dan Lia menyadari
bahwa hubungan mereka telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Mereka
mulai saling memahami lebih dari sekadar kata-kata, mengisi kekosongan dalam
hati masing-masing dengan kehadiran yang hangat dan penuh pengertian.
Kedekatan yang terjalin antara mereka menjadi oase di tengah
gurun kehidupan yang kering. Lia menjadi tempat Raka menemukan kedamaian,
sementara Raka menjadi tempat Lia merasa istimewa dan dihargai. Dan di antara
obrolan ringan dan tawa kecil, mereka menemukan bahwa perasaan yang tumbuh di
antara mereka adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Sebuah benih cinta yang
mulai tumbuh, meski keduanya masih belum sepenuhnya menyadarinya.
Raka Senyum kecil muncul di wajahnya, matanya tetap fokus
pada Lia.
“Dan malam ini, tampaknya aku yang menemukan sesuatu yang istimewa. Tidak hanya
dalam suaramu, tetapi dalam cara kau membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk
dunia ini.”
Lia Tersenyum malu-malu, namun ada kilatan kebahagiaan di
matanya.
“Mungkin musik memiliki kekuatan untuk menyembuhkan, untuk menghubungkan
jiwa-jiwa yang tersesat. Apakah kau merasa tersesat, Raka?”
Raka Suaranya perlahan menjadi lebih dalam, penuh dengan
perasaan yang ia sendiri masih coba pahami.
“Mungkin. Tapi malam ini, aku merasa seperti menemukan jalan pulang, meskipun
hanya untuk sesaat. Dan kau, Lia, yang telah menuntunku ke arah itu.”
Lia Merasa ada hubungan yang tumbuh di antara mereka, Lia
menatap Raka dengan penuh pengertian.
“Terkadang, kita menemukan sesuatu yang berharga di tempat yang tak terduga.
Jika malam ini membawa kita bertemu, mungkin ada alasan yang lebih dari sekadar
kebetulan.”
Raka Memandang Lia dengan tatapan yang lebih lembut, ia
merasakan sebuah kehangatan yang jarang ia temui dalam kehidupannya.
“Ya, mungkin ada alasan yang lebih besar. Dan aku ingin tahu lebih banyak
tentangmu, Lia. Jika kau tidak keberatan, mungkin kita bisa berbicara lagi, di
waktu yang lain?”
Lia Senyumnya semakin lembut, ia mengangguk pelan.
“Aku tidak keberatan, Raka. Setiap pertemuan memiliki ceritanya sendiri, dan
mungkin cerita kita baru saja dimulai.”
Bab 3 Cinta yang Tumbuh dalam Diam
Setiap malam, ketika Lia duduk di atas panggung kecil kafe
itu, hatinya selalu dipenuhi oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Ia menantikan
kedatangan Raka dengan rasa cemas yang bercampur rindu. Begitu Raka melangkah
masuk dan mata mereka bertemu, dunia seakan berhenti sejenak. Lia merasakan
debaran tak karuan di dadanya, dan senyumnya tak bisa disembunyikan. Di sisi
lain, Raka pun merasakan hal yang sama. Kehadiran Lia adalah ketenangan yang ia
dambakan, namun juga sebuah jalan berbahaya yang semakin sulit dihindari.
Lia selesai menyanyi, Lia mendekati meja Raka, duduk
dengan senyum yang lembut.
“Kau datang lagi, Raka. Aku selalu senang melihatmu di sini, tapi... kau tahu,
aku juga selalu bertanya-tanya.”
Raka menatap Lia dengan mata yang penuh perasaan, ia
tersenyum tipis.
“Tanya apa, Lia? Apa aku mengganggumu?”
Lia menggeleng pelan, menunduk sejenak sebelum menatap
Raka kembali.
“Bukan mengganggu... Tapi, aku hanya merasa takut. Takut bahwa aku akan terlalu
terbiasa dengan kehadiranmu, terlalu bergantung pada saat-saat seperti ini.”
Raka mengambil napas dalam, ia meraih tangan Lia dengan
lembut, jari-jarinya menyentuh permukaan kulitnya dengan perasaan yang dalam.
“Aku juga merasa takut, Lia. Takut bahwa perasaan ini akan semakin dalam,
semakin sulit dihentikan. Tapi aku tak bisa berhenti datang ke sini, karena kau
adalah pelipur lara yang kurindukan.”
Mata Lia mulai
berembun, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis.
“Raka... aku tidak ingin menjadi alasan kau merasa bersalah. Aku tahu kau punya
seseorang di rumah yang menunggumu. Seseorang yang mencintaimu.”
Raka menatap Lia dengan tatapan penuh kebingungan dan
penyesalan.
“Aku tahu, Lia. Setiap kali aku pulang, aku merasa bersalah. Melihat istriku
tersenyum padaku, aku merasa seperti orang jahat. Tapi, ada sesuatu dalam
dirimu yang membuatku tak bisa menjauh. Kau adalah kedamaian yang selama ini
kucari.”
Lia menarik tangannya dari genggaman Raka, ia menatapnya
dengan mata yang penuh kesedihan.
“Tapi cinta ini... kita tahu, ini tidak benar. Kita berdua tahu bahwa ini akan
menyakiti banyak hati. Aku tidak ingin menjadi alasan kau terluka, atau istrimu
terluka.”
Raka menghela napas panjang, hatinya terasa berat.
“Aku tahu, Lia. Tapi cinta ini tumbuh begitu dalam, begitu kuat. Meski aku
mencoba melupakannya, aku tak bisa. Aku selalu kembali padamu, selalu rindu
pada senyummu, suaramu.”
Lia dengan suara yang bergetar, ia mencoba menenangkan
dirinya.
“Mungkin... mungkin kita harus berhenti bertemu, Raka. Demi kebaikan kita
berdua. Demi kebaikan istrimu.”
Raka terdiam sejenak, hatinya terasa hancur
mendengar kata-kata itu.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa, Lia. Kehadiranmu adalah satu-satunya yang
membuatku merasa hidup kembali. Tapi jika ini yang terbaik untukmu, aku akan
mencoba.”
Waktu berlalu, dan mereka semakin sering bertemu di luar jam
kerja Lia. Di kafe, mereka adalah dua sahabat yang berbagi tawa, namun di luar
itu, mereka menjadi sepasang kekasih yang tidak bisa dipisahkan. Setiap
pertemuan diwarnai dengan rasa cinta yang semakin dalam, namun juga dengan
kesadaran akan dosa yang mereka lakukan.
Mereka mulai bertemu di tempat-tempat yang lebih
tersembunyi, jauh dari pandangan orang lain. Sebuah taman kecil di pinggiran
kota, di mana mereka bisa berbicara dengan bebas tanpa rasa takut. Namun, di
balik senyum dan tawa mereka, selalu ada bayang-bayang rasa bersalah yang
mengintai. Raka tahu bahwa hubungannya dengan Lia adalah sesuatu yang tidak
seharusnya terjadi. Setiap kali ia pulang ke rumah dan melihat istrinya yang
cantik menyambutnya dengan senyum hangat, hatinya terasa berat.
Lia di taman kecil, duduk di bangku kayu di bawah
pohon rindang, Lia menatap Raka dengan mata yang penuh kebingungan.
“Raka, bagaimana jika... kita berhenti saja? Berhenti bermain api ini. Aku
tidak sanggup lagi merasa seperti ini, merasa bersalah setiap kali aku
melihatmu.”
Raka menghela napas panjang, ia menatap langit yang mulai
berwarna jingga.
“Lia, aku tahu ini salah. Setiap malam, aku berpikir untuk meninggalkan
semuanya, untuk kembali sepenuhnya pada istriku. Tapi setiap kali aku mencoba,
bayanganmu selalu datang, suaramu selalu terngiang. Aku tak bisa, Lia. Aku tak
bisa melepaskanmu.”
Lia air matanya mulai mengalir, ia mencoba menahan isak
tangis.
“Tapi kita harus, Raka. Demi kebaikan kita berdua, demi kebaikan keluargamu.
Cinta ini... terlalu menyakitkan, terlalu banyak yang harus kita korbankan.”
Raka dengan suara yang pelan, penuh kesedihan.
“Mungkin kau benar, Lia. Tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa perasaan ini
tidak ada. Aku mencintaimu, lebih dari yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata.”
Lia menggenggam tangan Raka dengan erat, seolah mencoba
menyerap kekuatan darinya.
“Aku juga mencintaimu, Raka. Tapi cinta ini harus berakhir, sebelum kita
menghancurkan lebih banyak hati.”
Kata-kata itu menggantung di udara, menjadi saksi bisu dari
cinta yang tak bisa terwujud sepenuhnya. Cinta yang tumbuh dalam diam, cinta
yang terbungkus dalam rasa bersalah dan kesadaran akan kesalahan. Namun, di
dalam hati mereka, cinta itu akan selalu ada, meski mereka tahu bahwa mereka
harus melepaskannya untuk kebaikan semua pihak.
Bab 4 Janji yang
Membuat Mabuk
Waktu terus berputar, membawa serta Raka dan Lia ke dalam
pusaran cinta yang semakin dalam dan tak terhindarkan. Pertemuan mereka tak
lagi terbatas pada kafe kecil tempat pertama kali mereka bertemu; janji-janji
yang mereka buat kini berlangsung di tempat-tempat tersembunyi, jauh dari sorot
mata dunia. Sudut-sudut kota yang sepi menjadi saksi bisu cinta yang mereka
jalin dalam rahasia. Setiap senyum dan tawa yang mereka bagi, setiap kata yang
diucapkan, menambah intensitas rasa yang tak pernah bisa mereka kendalikan.
Lia di sebuah restoran kecil, dengan suasana yang tenang
dan intim, Lia menatap Raka dengan penuh cinta namun juga kekhawatiran. Di
tangannya, secangkir teh hangat yang sudah mulai mendingin.
"Mas, kapan kita bisa selalu bersama?" Suaranya lembut, penuh harap, meski ada jejak
kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.
Raka menatap Lia dalam-dalam, sorot matanya penuh kasih
dan penyesalan. Ia tahu bahwa pertanyaan Lia berasal dari cinta yang dalam,
namun juga dari rasa sakit yang perlahan menggerogoti hati mereka berdua.
"Sabar, Lia... Aku sedang mencari cara. Aku ingin kita bersama selamanya,
tapi tidak mudah. Ada banyak hal yang harus kupikirkan, banyak hati yang akan
terluka."
Lia mengangguk pelan, mencoba menenangkan hatinya yang
bergejolak. Namun, ia tak bisa menahan perasaan cemas yang terus menghantuinya.
"Aku mengerti, Mas. Tapi... semakin lama, semakin sulit bagiku untuk
berpura-pura. Aku tak bisa bayangkan hidup tanpa dirimu di sisiku."
Raka menghela napas panjang, ia meraih tangan Lia,
merasakan hangatnya kulit yang selalu membuatnya merasa damai. Ia menatapnya
dengan penuh tekad, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan
baik-baik saja.
"Aku janji, Lia. Aku akan lakukan apapun untuk kita bisa bersama. Aku
hanya butuh waktu, waktu untuk menyelesaikan semuanya dengan baik. Aku tak
ingin ada yang terluka, terutama kamu."
Lia tersenyum tipis, namun matanya berkaca-kaca. Ia ingin
percaya pada janji Raka, ingin mabuk dalam cinta yang mereka miliki. Namun,
bayang-bayang kenyataan selalu mengintai di sudut hatinya.
"Aku percaya padamu, Mas. Selalu. Tapi kadang, aku takut... takut kalau
semua ini hanya akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud."
Raka menarik Lia ke dalam pelukannya, ia berbisik lembut
di telinganya, mencoba menenangkan kegelisahan yang membelit hati Lia.
"Ini bukan mimpi, Lia. Cinta kita nyata, dan aku akan pastikan bahwa suatu
hari nanti kita bisa hidup bersama, tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi. Aku
hanya butuh kau bersabar sedikit lagi."
Lia Memeluk Raka erat, ia menutup matanya,
membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan hangat yang selalu memberinya rasa
aman. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa jalan yang mereka tempuh ini penuh
duri.
"Aku akan bersabar, Mas. Karena aku mencintaimu, lebih dari apapun. Tapi
tolong, jangan biarkan janji ini menjadi sekadar angan-angan."
Malam itu, janji-janji Raka menggema dalam benak Lia,
membuatnya semakin mabuk dalam cinta yang tak berujung. Setiap kali mereka
bertemu, janji-janji itu menjadi semakin manis, namun juga semakin sulit untuk
dipercayai. Lia tahu bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang indah, namun juga
berbahaya. Ia terjebak dalam pusaran perasaan yang rumit, antara harapan akan
masa depan bersama dan kenyataan pahit bahwa cinta ini mungkin tak akan pernah
berujung bahagia.
Namun, meski keraguan sering menghantui, Lia selalu kembali
kepada janji-janji Raka. Janji yang membuatnya mabuk, membuatnya terus bertahan
dalam hubungan yang tidak pasti. Baginya, cinta ini adalah segalanya, dan ia
siap mengorbankan apapun demi cinta yang telah tumbuh dalam hatinya. Dan setiap
malam, ketika Raka berbisik di telinganya tentang masa depan yang indah, Lia
membiarkan dirinya percaya, meski hanya untuk sesaat, bahwa mereka memang
ditakdirkan untuk bersama.
Bab 5 Kabar yang
Mengguncang
Hari itu, ketika Raka melangkahkan kakinya ke dalam rumah,
ia disambut oleh senyum hangat istrinya, Dewi. Seperti biasa, suasana rumah
terasa damai, penuh dengan kehangatan yang selalu dirindukan Raka. Namun kali
ini, ada sesuatu yang berbeda dalam sorot mata Dewi, seakan menyimpan
kebahagiaan yang tak terucapkan.
Dewi Dengan senyum yang lebih lebar dari biasanya,
ia mendekati Raka dan menggenggam tangannya dengan penuh kasih sayang.
"Mas, aku punya kabar gembira." Suara Dewi terdengar lembut namun antusias,
penuh dengan harapan yang ia tahu akan menyenangkan suaminya.
Raka Terdiam sejenak, merasa bahwa ada sesuatu yang
istimewa dalam kata-kata istrinya. Ia tersenyum samar, mencoba menebak kabar
baik apa yang akan disampaikan.
"Kabar gembira apa, Sayang?"
Mata Dewi berbinar, dengan penuh kebahagiaan, ia
mengucapkan kabar yang telah lama ia nantikan untuk dibagikan.
"Aku hamil lagi, Mas. Ini akan menjadi anak kita yang kedua."
Seperti gemuruh yang tiba-tiba menggetarkan hatinya, Raka
terdiam dalam kegembiraan yang bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Ada sebersit kebahagiaan, tapi juga perasaan berat yang tiba-tiba
menyelimutinya. Ia tahu bahwa kabar ini adalah sesuatu yang harus disambut
dengan suka cita, namun pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang Lia.
Raka Berusaha menutupi kegelisahannya, Raka
tersenyum, meski terasa ada sesuatu yang menekan di dadanya.
"Alhamdulillah... Ini kabar yang sangat membahagiakan." Raka memeluk istrinya erat, merasakan detak
jantung Dewi yang berdetak penuh kebahagiaan. Namun dalam pelukan itu, hatinya
bergetar, terselubung oleh dilema yang semakin tak terelakkan.
Dewi Menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam respons
Raka, Dewi melepaskan pelukan dan menatap suaminya dengan penuh tanya.
"Ada apa, Mas? Sepertinya Mas kaget. Apakah Mas tidak senang?"
Cepat-cepat Raka menggeleng, mencoba meredakan
kekhawatiran di mata istrinya.
"Tidak, Sayang. Aku hanya... terkejut. Aku senang, sangat senang." Raka kembali memeluk Dewi, kali ini lebih
erat, seakan ingin menenangkan dirinya sendiri dalam kehangatan istrinya.
"Aku akan selalu mendukungmu, kita akan merawat anak kedua kita ini dengan
penuh cinta."
Namun, di balik kata-kata yang ia ucapkan, ada pergolakan
batin yang tak bisa ia abaikan. Kabar ini, yang seharusnya membuatnya bahagia,
justru membawa beban baru dalam hubungannya dengan Lia. Bagaimana ia bisa
membagi hatinya, ketika di satu sisi ada istrinya yang tengah mengandung anak
mereka, dan di sisi lain ada Lia, wanita yang telah mengisi hatinya dengan
cinta yang tak terduga?
Di dalam hatinya,
Raka merasakan kebingungan yang semakin mendalam. Ia ingin menjadi suami yang
baik, ayah yang bertanggung jawab, tapi cinta terlarang dengan Lia membuat
semua terasa begitu rumit. Malam itu, ketika ia berbaring di samping istrinya,
pikirannya melayang kepada Lia. Bayangan wajah Lia, senyumannya, dan tawa
kecilnya, menghantuinya. Bagaimana ia bisa menjalani dua kehidupan ini?
Dalam keremangan malam, Raka memandang wajah istrinya yang
tertidur dengan damai. Dewi yang selalu setia dan penuh cinta, yang kini sedang
mengandung anak mereka yang kedua. Rasa bersalah semakin menggelayuti hatinya,
dan ia tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih jalan mana yang akan ia
tempuh. Namun malam itu, ia hanya bisa terdiam dalam keheningan, berharap bahwa
keputusan yang harus diambil tidak akan menghancurkan semua yang telah ia
bangun.
Kehamilan Dewi bukan hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga
membawa guncangan dalam hidup Raka. Guncangan yang mengingatkannya bahwa cinta
tidak selalu mudah, dan kadang, cinta bisa menjadi ujian terbesar dalam hidup.
Bab 6 Kemarahan
Lia
Malam itu, kafe yang biasa menjadi tempat pelarian Raka
seolah dipenuhi dengan aura yang berbeda. Ketika Raka melangkahkan kakinya ke
dalam kafe, ia merasakan suasana yang tidak biasa. Lia, yang biasanya
menyambutnya dengan senyum lembut dan tatapan penuh kasih, kini berdiri di
balik meja bar dengan ekspresi marah yang tajam.
Lia Dengan suara bergetar penuh kemarahan, Lia
menatap Raka dengan tatapan yang belum pernah ditunjukkannya sebelumnya.
"Mas, katanya Mas mau menceraikan istri Mas dan menikahiku. Tapi bagaimana
sekarang, istri Mas hamil lagi? Bagaimana ini, Mas?" Suara Lia penuh dengan kekecewaan yang
mendalam, air mata mulai mengalir di pipinya.
Raka terdiam, tidak mampu mencari kata-kata yang tepat untuk
menenangkan Lia. Ia merasa seperti seluruh dunia terbalik, dan semua harapan
yang ia tanamkan bersama Lia seakan runtuh dalam sekejap.
Raka Dengan nada penuh penyesalan, mencoba menjelaskan
situasi yang semakin rumit.
"Lia, aku... aku tahu ini sangat sulit. Aku belum siap menghadapi semua
ini, dan aku tak bisa memberikan jawaban yang memuaskanmu."
Lia Menangis semakin keras, hatinya hancur oleh kenyataan
yang tak bisa dihindari.
"Jadi, ini semua hanya ilusi? Aku mengharap banyak, tapi semuanya hancur
begitu saja?" Lia mengusap air
mata di pipinya, merasa seperti semua mimpi indah yang ia bangun bersama Raka
lenyap begitu saja.
"Mas, aku mencintaimu. Tapi bagaimana aku bisa terus bertahan jika kamu
tidak bisa memilih antara aku dan keluargamu?"
Raka Menghela napas panjang, suaranya penuh dengan
penyesalan dan ketidakberdayaan.
"Mungkin ini takdir kita, Lia. Aku tidak bisa meninggalkan istriku, tapi
aku juga tidak bisa hidup tanpa kamu." Raka mendekati Lia, mencoba menyentuh
tangannya, namun Lia menarik tangannya menjauh.
Lia Dengan nada putus asa, sambil menatap Raka dengan
penuh keraguan dan kemarahan.
"Takdir? Apakah ini semua hanya tentang takdir? Aku merasa seperti hanya
menjadi bagian dari permainanmu, bukan cinta sejati. Aku tidak bisa menjadi
bayang-bayang dalam hidupmu. Aku ingin sesuatu yang nyata, sesuatu yang
pasti."
Raka hanya bisa berdiri di sana, merasakan beban yang luar
biasa di hatinya. Ia tahu betapa beratnya situasi ini, dan betapa dalamnya rasa
sakit yang ditimbulkan oleh semua kebohongan dan keputusan yang tidak pernah ia
rencanakan. Lia, meskipun marah dan kecewa, tetap mencintainya dengan tulus.
Dan dalam hatinya, Raka menyadari bahwa ia telah mengacaukan segala sesuatu
yang berharga.
Lia duduk di kursi
dekat jendela, tatapannya kosong memandang ke luar. Ia merasa seperti seluruh
dunianya runtuh, seakan langit malam menjadi saksi kesedihannya. Bagaimana bisa
seseorang yang begitu dicintai membawa begitu banyak luka? Lia menghela napas,
merasa hatinya berat oleh kekecewaan yang tak terhingga. Meskipun ia ingin
melupakan Raka, bayangannya tetap menghantui setiap langkahnya.
Malam itu, Lia merasa dunia seolah berpaling darinya. Ia
tahu, meskipun ia mencintai Raka dengan segenap hatinya, cinta itu kini harus
berhadapan dengan kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. Dengan hati yang
penuh luka, Lia hanya bisa berharap, meskipun rasa marah dan kecewa membara di
dalam dirinya.
Bab 7 Surat yang
Menghancurkan
Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Lia. Kebingungannya
semakin mendalam, dan ia merasa terjebak dalam pusaran emosional yang tidak
berujung. Ketidakpastian dan rasa sakit yang mendalam mendorongnya untuk
mengambil langkah yang penuh risiko. Dalam keputusasaan, Lia memutuskan untuk
menulis sebuah surat yang ia harap bisa mengubah segalanya.
Di sebuah kamar kecil yang sederhana, Lia duduk di meja kayu
tua, menulis dengan tangan bergetar. Kata demi kata ia tuangkan, menceritakan
semua yang selama ini tersembunyi di dalam hatinya. Dengan tinta yang mengalir
penuh rasa sakit dan harapan, ia mengakhiri surat itu dengan harapan besar.
“Kepada Ibu yang Terhormat,
Perkenalkan, saya Lia, seorang penyanyi di kafe tempat
suami Anda, Raka, sering mengunjungi. Saya menulis surat ini bukan dengan niat
buruk, namun dengan hati yang penuh dengan keraguan dan kebingungan.
Selama ini, saya dan Raka telah menjalin hubungan yang
lebih dari sekadar pertemanan. Saya tahu bahwa ini mungkin mengejutkan dan
menyakitkan, tetapi saya merasa perlu untuk menyampaikan kebenaran ini. Raka
dan saya telah merencanakan masa depan bersama, dan meskipun saya tahu bahwa
ini mungkin terdengar seperti kebohongan, saya harap Anda memahami betapa
sulitnya situasi ini bagi saya.
Saya tidak ingin menjadi penghalang dalam hidup Anda, dan
saya mengerti betapa menyedihkannya hal ini bagi Anda. Namun, saya merasa bahwa
kebenaran ini harus diketahui, agar tidak ada lagi kebohongan atau penutup yang
membuat kita semua terjebak dalam kebingungan yang tak berujung.
Dengan tulus, Lia”
Surat itu akhirnya sampai di rumah Raka, diterima oleh anak
pertamanya yang dengan cepat menyerahkannya kepada ibunya. Istri Raka, yang
sebelumnya hanya menyibukkan diri dengan rutinitas harian, duduk dengan wajah
pucat di ruang tamu. Dengan tangan bergetar, ia membuka surat itu, dan selembar
kertas yang penuh dengan pengakuan Lia segera membanjiri pikirannya dengan
emosi yang sulit dikendalikan.
Istri Raka Membaca isi surat dengan air mata yang
perlahan mengalir di pipinya.
"Jadi... jadi semua ini benar? Raka benar-benar terlibat dalam hubungan
ini?"
Air mata mengalir deras di pipi istrinya. Ia merasa seperti
dunia di sekelilingnya runtuh, dan kepingan-kepingan kepercayaan yang selama
ini ada hancur dalam sekejap. Namun, di tengah segala kesedihan, ia berusaha
untuk tetap tenang, mencoba memahami apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya.
Dalam hati, sambil menatap surat dengan perasaan hancur
dan bingung.
“Mungkin aku seharusnya marah… tapi apa ini akan memperbaiki semuanya? Apa yang
harus kulakukan sekarang?”
Menjelang sore, Raka pulang dari pekerjaannya dengan wajah
yang tenang, tidak menyadari apa yang menantinya di rumah. Ketika ia memasuki
rumah dan melihat istrinya berdiri di ruang tamu dengan wajah penuh kesedihan,
ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Raka Mencoba tersenyum, meskipun ada kegelisahan di
matanya.
"Selamat sore, sayang. Ada apa? Kenapa tampak begitu serius?"
Istri Raka Dengan suara lemah dan mata yang basah, ia
menyampaikan isi surat kepada Raka.
"Mas, saya... saya baru saja membaca surat dari Lia. Dia mengaku bahwa...
bahwa Mas telah menjalin hubungan dengannya."
Raka terkejut, wajahnya langsung berubah pucat. Ia tahu
bahwa tidak ada yang bisa disembunyikan lagi, dan rasa bersalah serta
penyesalan menggerogoti hatinya.
Raka Dengan nada penuh penyesalan dan sedikit mencoba
menyangkal.
"Ah, ya... aku tahu ini sangat sulit untuk dijelaskan, tapi aku... aku
tidak tahu harus bagaimana."
Istri Raka Dengan suara lemah, hampir berbisik.
"Alhamdulillah," Mencoba menahan air mata, ia melanjutkan.
"Saya juga tidak percaya kalau Mas Raka mau dengan penyanyi kafe. Tapi
saya tidak tahu apa yang harus dilakukan."
Raka hanya bisa menunduk, hatinya terasa seperti dirajam
dengan rasa bersalah yang mendalam. Dalam keheningan yang mengisi ruangan, ia
tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa diselamatkan dari kehancuran yang telah ia
buat. Semua yang tersisa kini hanyalah penyesalan dan kesedihan yang mendalam.
Bab 8 Penolakan
yang Menyakitkan
Setelah menerima surat yang menghancurkan, Raka merasa tidak
bisa berlama-lama menghadapi ketidakpastian ini. Ia tahu bahwa tindakan Lia
telah membawa semua masalah ke permukaan, dan ia harus menghadapi
konsekuensinya. Dalam keputusasaannya, Raka segera menemui Lia dengan tekad
yang kuat, berharap untuk mencari jalan keluar dari kekacauan yang ada.
Raka Menatap Lia dengan mata penuh kesedihan dan
ketegasan.
"Lia, mengapa kamu harus mengirim surat itu ke rumah? Apa kamu tidak
berpikir tentang akibat dari tindakanmu?"
Lia, yang duduk di sudut kafe yang mereka sering kunjungi,
menundukkan kepala dengan penuh kesedihan. Air mata mengalir perlahan di
pipinya, membasahi wajahnya yang cantik. Ia merasa hatinya hancur oleh
kata-kata yang tak terucapkan dan situasi yang semakin memburuk.
Lia Dengan suara gemetar, penuh harapan dan
kesedihan.
"Aku hanya ingin kamu bersamaku, Mas. Aku ingin kita menikah, seperti yang
kamu janjikan. Kalau kamu tidak meninggalkan istrimu, terus kapan kamu akan
menikahiku?"
Raka menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil
meraba-raba kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keadaannya. Ia tahu betul
betapa sulitnya situasi ini bagi Lia, namun ia juga tidak bisa meninggalkan
keluarganya.
Raka dengan nada lembut namun tegas.
"Lia, aku tidak bisa meninggalkan istriku. Aku sayang padamu, tapi aku
juga tidak mau kehilangan keluargaku. Aku tidak bisa membuat keputusan yang
akan menghancurkan hidup banyak orang."
Lia merasa hatinya hancur mendengar jawaban Raka. Rasa sakit
yang dalam dan ketidakmampuan untuk merubah situasi ini membuatnya hampir tak
bisa berfikir jernih. Namun, cintanya kepada Raka begitu besar sehingga ia
merasa sangat sulit untuk melawan perasaannya.
Lia dengan air mata yang semakin deras, berdiri dengan
tegas.
"Tidak, Mas. Aku tidak mau menjadi yang kedua. Mas harus memilih, dia atau
aku."
Dengan perasaan penuh luka dan kesedihan, Lia berbalik dan
meninggalkan kafe, meninggalkan Raka yang terdiam di tempatnya. Raka merasa
seolah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Di hadapannya, hanya ada sisa-sisa harapan dan penyesalan yang membekas di hati
dan pikirannya.
Raka berbicara pada dirinya sendiri dengan suara pelan
dan penuh rasa bersalah.
"Bagaimana aku bisa memilih di antara mereka? Bagaimana aku bisa membuat
keputusan yang benar dalam keadaan seperti ini?"
Raka duduk di kafe yang kosong, terbenam dalam pikirannya
sendiri. Di luar, hujan turun dengan lembut, seolah menggambarkan suasana
hatinya yang suram. Setiap tetes hujan seakan mengingatkan Raka pada
pilihan-pilihan yang harus diambil dan akibat dari setiap keputusan yang telah
ia buat.
Bab 9 Pertemuan
dengan Ayah Lia
Suatu sore yang tenang, Raka mengantar Lia pulang setelah
mereka menghabiskan waktu bersama di sebuah taman kota. Langit berwarna jingga
keemasan, menyuguhkan panorama yang indah namun tidak mampu meredakan
kegundahan di hati Raka. Ketika mereka tiba di depan rumah Lia, suasana damai
tiba-tiba terpecah oleh kedatangan seorang pria tua yang tampak penuh wibawa.
Itu adalah ayah Lia.
Ayah Lia dengan nada tegas namun ramah, sambil
menyambut Raka dengan berjabat tangan.
"Selamat sore, Mas Raka. Saya baru saja pulang dan melihat kamu mengantar
Lia. Apa kabar?"
Raka merasa sedikit canggung, mencoba tersenyum meski
hati terasa berat.
"Selamat sore, Pak. Alhamdulillah, kabar saya baik. Terima kasih sudah
menerima kedatangan saya."
Ayah Lia menatap Lia dengan penuh perhatian, kemudian
kembali menatap Raka.
"Jadi, Mas Raka, sudah cukup lama kami mendengar tentang kedekatan kalian.
Apa ada yang ingin kamu bicarakan dengan saya tentang niatmu terhadap putri
saya?"
Raka merasakan ketegangan yang meningkat. Ia tahu bahwa
pertanyaan ini adalah momen penting yang akan menentukan arah hubungan mereka.
Dengan keraguan yang jelas di wajahnya, ia mencoba merespons dengan sebaik
mungkin.
Raka dengan nada
hati-hati, berusaha memilih kata-kata yang tepat.
"Ya, Pak. Niat saya adalah melanjutkan hubungan ini dengan serius. Namun,
saya masih perlu berdiskusi lebih lanjut dengan Lia sebelum membuat keputusan
akhir."
Ayah Lia mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan ekspresi
campur aduk antara harapan dan keraguan. Ia memandang Lia dengan mata yang
penuh rasa prihatin. Lia, berdiri di samping Raka, merasakan getaran antara
harapan dan ketakutan. Ia ingin sekali agar ayahnya menyetujui hubungan mereka,
tetapi ia juga tahu betapa rumitnya situasi ini.
Ayah Lia Dengan nada yang lembut namun penuh makna.
"Baiklah, Mas Raka. Saya hargai kejujuran dan keseriusanmu. Tapi ingat,
keputusan ini bukan hanya tentang kalian berdua, tapi juga tentang masa depan
Lia dan keluarga kami."
Lia Dengan mata yang penuh harap, menggenggam
tangan Raka dengan erat.
"Papa, Mas Raka sudah banyak berbicara tentang masa depan kami. Aku
berharap semuanya bisa berjalan dengan baik."
Ayah Lia hanya mengangguk lagi, kali ini dengan ekspresi
yang lebih tenang namun tetap menyimpan keraguan. Lia merasa hati ayahnya
berat, dan ia tahu bahwa mendapatkan restu bukanlah hal yang mudah. Raka
menganggap pertemuan ini sebagai langkah penting, meskipun ia masih harus
mengatasi berbagai masalah yang ada.
Raka dengan lembut, kepada Lia.
"Lia, aku akan berbicara lebih lanjut dengan ayahmu dan mencari cara
terbaik untuk menyelesaikan semua ini. Aku berjanji akan melakukan yang
terbaik."
Lia tersenyum tipis, merasakan campuran antara harapan dan
kecemasan. Ketika Raka meninggalkan rumah Lia, ia merasa berat, seperti ada
beban yang harus dihadapinya. Raka, di sisi lain, berusaha memahami dan
menyiapkan diri untuk keputusan yang akan datang, dengan harapan bahwa cinta
mereka dapat menemukan jalan keluar dari semua kekacauan ini.
Bab 10 Pernikahan
Rahasia
Waktu terus berlalu dengan langkah yang lambat dan penuh
tekanan. Lia, yang semakin gelisah dan merasa tertekan oleh situasi yang tak
kunjung jelas, terus mendesak Raka untuk mewujudkan janji mereka. Meski Raka
tetap tidak bisa menceraikan istrinya, akhirnya dia mengajukan sebuah solusi
yang penuh risiko—sebuah pernikahan rahasia.
Lia merasa berat dengan tawaran ini, namun cintanya yang
mendalam membuatnya setuju. Mereka memutuskan untuk menikah di sebuah tempat
tersembunyi, jauh dari keramaian dan tanpa kehadiran sanak saudara. Lokasi
pernikahan mereka adalah sebuah kapel kecil di pinggir kota, dikelilingi oleh
pepohonan hijau yang memberikan kesan tenang namun juga menambah rasa terasing.
Raka menatap Lia dengan serius saat mereka berdiri
di hadapan pendeta.
"Lia, aku tahu ini bukanlah cara yang ideal. Tapi ini adalah satu-satunya
cara yang bisa kita lakukan untuk saat ini. Aku berjanji, aku akan berusaha
untuk memberikan yang terbaik bagi kita."
Lia dengan suara lembut, namun penuh dengan keputusasaan
dan harapan.
"Aku mengerti, Raka. Meskipun ini terasa tidak sempurna, aku tetap ingin
bersamamu. Aku hanya berharap kita bisa menemukan kebahagiaan di dalam
kebersamaan ini."
Setelah janji suci itu diucapkan, mereka saling bertukar
cincin dengan penuh haru. Lia merasa lega, meskipun ada rasa waswas yang
menyelimuti hatinya. Ia berharap pernikahan ini akan menguatkan hubungan mereka
dan membawa mereka lebih dekat satu sama lain. Namun, seiring berjalannya
waktu, harapan itu tidak kunjung menjadi kenyataan. Ketiadaan anak dari Raka
membuat Lia semakin merasa terasing, dan perasaannya semakin rumit.
Beberapa minggu setelah pernikahan rahasia mereka, kabar
tentang pernikahan Lia dan Raka akhirnya sampai ke telinga ayah Lia. Kemarahan
dan rasa tidak dihargai menyelimuti hati sang ayah, yang merasa telah
dikhianati oleh putrinya dan Raka. Ayah Lia memutuskan untuk menghadapi Raka
secara langsung.
Ayah Lia dengan wajah merah penuh kemarahan saat dia
berdiri di depan rumah Raka.
"Mas Raka! Aku baru saja mengetahui bahwa anakku telah menikah secara
diam-diam denganmu. Apa yang kau pikirkan? Apakah ini cara yang pantas untuk
memperlakukan keluarga kami?"
Raka, yang tengah bersantai di rumah, terkejut dengan
kedatangan ayah Lia. Ia berdiri dengan gemetar, wajahnya menunjukkan campuran
antara penyesalan dan ketidakberdayaan.
Raka dengan nada menyesal, berusaha menjelaskan.
"Pak, saya minta maaf jika keputusan ini membuat Bapak marah. Kami menikah
karena Lia merasa sangat menuntut dan saya tidak bisa meninggalkan keluarga
saya begitu saja. Saya benar-benar tidak bermaksud untuk menyakiti Bapak atau
keluarga."
Ayah Lia Menatap
Raka dengan tatapan tajam, suaranya penuh dengan kekecewaan.
"Bagaimana bisa kau mengatakan kau mencintai putriku namun melakukan hal
seperti ini? Apa yang kau tawarkan bukanlah solusi, tetapi sebuah
pengkhianatan. Aku berharap kalian semua bisa memikirkan akibat dari tindakan
ini."
Raka hanya bisa menunduk, merasa tertekan oleh kemarahan
ayah Lia. Di dalam dirinya, dia merasakan penyesalan yang mendalam dan beban
yang semakin berat. Lia, yang berdiri di belakang ayahnya, merasakan perasaan
hancur yang sama dengan ayahnya. Ia tahu bahwa keputusan ini telah menimbulkan
banyak luka, dan kini harus menghadapi kenyataan pahit dari segala keputusan
yang telah mereka buat.
Bab 11 Konflik yang Tak Terelakkan
Sore itu, ketenangan rumah Raka dipecahkan oleh kedatangan
mendadak ayah Lia. Dengan wajah merah penuh kemarahan dan tatapan yang tajam,
dia muncul di depan pintu rumah Raka, disertai dengan kegelisahan Lia yang
turut hadir di belakangnya. Atmosfer rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi
dengan ketegangan dan kekacauan.
Ayah Lia dengan suara lantang dan penuh amarah,
berdiri di ruang tamu.
"Mas Raka! Aku datang untuk menuntut keadilan atas apa yang telah kau
lakukan kepada putriku! Kau harus menikahinya secara sah, atau aku akan
memastikan semua orang tahu tentang perbuatanmu yang kejam ini!"
Raka terkejut, dan seluruh tubuhnya tampak bergetar
mendengar tuntutan tersebut. Istrinya, yang berada di sampingnya, mulai
menangis tersedu-sedu, sementara anak-anak mereka terlihat bingung dan
ketakutan. Tangisan istrinya meluluhkan hati Raka, membuatnya merasa semakin
tertekan.
Istri Raka dengan
suara yang bergetar penuh kesedihan, sambil menghapus air mata.
"Raka, bagaimana bisa kau melakukan ini padaku dan anak-anak kita?
Bagaimana bisa kau mempermainkan hati kami seperti ini?"
Raka, dengan air mata yang mengalir deras, mendekati
istrinya dan memeluknya erat-erat. Suaranya penuh dengan penyesalan dan rasa
sakit yang mendalam.
Raka sambil memeluk istrinya dengan lembut.
"Maafkan aku, sayang. Aku benar-benar salah, aku khilaf. Aku mencintaimu
lebih dari yang bisa kukatakan, dan aku tak mau kehilanganmu."
Istrinya mengangguk dengan penuh kepedihan, wajahnya
menunjukkan betapa hancurnya hatinya. Meskipun hatinya terasa seperti terbelah,
ia berusaha untuk tetap tenang dan rasional demi anak-anak mereka yang masih
membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tuanya.
Istri Raka Dengan suara tegas dan penuh kesabaran.
"Raka, aku tahu kau mencintaiku. Tapi aku juga tahu bahwa perbuatan ini
telah menimbulkan luka yang mendalam. Aku harus memikirkan anak-anak kita. Aku
tidak bisa terus berada di sini jika semuanya seperti ini."
Dalam keheningan yang mencekam, Raka merasakan beban yang
sangat berat. Ia melihat betapa dalamnya luka yang telah ditimbulkan, baik pada
istrinya maupun pada keluarganya. Di tengah perasaan bersalah yang mendalam, ia
menyadari bahwa cintanya pada istrinya lebih besar dari yang selama ini ia
rasakan.
Ayah Lia menatap
Raka dengan tatapan tajam, suara tetap penuh tekanan.
"Ini bukan hanya tentangmu dan putriku. Ini tentang keluarga dan
kehormatan. Jika kau tidak bisa membuat keputusan yang benar, aku tidak akan
ragu untuk membawa masalah ini ke publik."
Raka menunduk, merasa tercekik oleh kata-kata ayah Lia. Ia
tahu bahwa apa yang telah terjadi tidak bisa diubah, namun ia berusaha untuk
memberikan jawaban yang bijaksana dan penuh rasa tanggung jawab.
Raka dengan
suara lembut dan penuh penyesalan.
"Aku akan melakukan apa pun yang bisa kulakukan untuk memperbaiki keadaan
ini. Namun, aku memohon agar kita bisa menyelesaikan ini dengan cara yang baik,
demi semua orang yang terlibat."
Dalam keremangan sore itu, Raka berdiri di tengah-tengah
konflik yang tak terelakkan, merasakan kepedihan yang mendalam dan
bertanya-tanya bagaimana ia bisa menyelamatkan sisa-sisa hidupnya yang tersisa.
Ketegangan antara cinta dan tanggung jawab menjadi semakin nyata, dan ia hanya
bisa berharap bahwa suatu hari nanti, semua ini akan menemukan jalan keluarnya.
Bab 12 Pengakhiran yang Pedih
Malam itu, udara terasa dingin dan berat, seolah ikut
merasakan kesedihan yang menggantung di antara Raka dan Lia. Di sebuah sudut
kafe yang pernah menjadi tempat kebahagiaan mereka, Raka berdiri, menunggu Lia
dengan hati yang penuh penyesalan. Lia datang dengan langkah lambat, matanya
merah dan bengkak dari tangisan yang tak kunjung berhenti.
Raka dengan nada lembut dan suara yang bergetar,
menyambut Lia dengan tatapan penuh penyesalan.
"Lia, aku harus mengatakan sesuatu yang sangat sulit. Aku tidak bisa
melanjutkan hubungan kita. Aku telah banyak berdosa, baik padamu maupun pada
keluargaku. Ini harus berakhir."
Lia berdiri di sana, tampak seperti tertahan dalam waktu.
Kata-kata Raka terasa seperti sabetan tajam yang menghancurkan semua harapan
dan impian yang pernah mereka bangun bersama. Air mata mengalir deras di
pipinya, dan ia tak bisa lagi menahan isak tangisnya.
Lia dengan suara bergetar, menggenggam tangan
Raka.
"Kamu harus tahu, Raka, aku selalu mencintaimu. Tapi mungkin kita memang
ditakdirkan untuk tidak bersama. Semua mimpi yang pernah kita rajut, semua
rencana yang kita buat, kini hancur dalam sekejap."
Raka menatap Lia dengan mata yang penuh dengan kesedihan.
Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti menambah berat beban yang ia
tanggung. Ia menyadari betapa dalam luka yang ia timbulkan, dan betapa sulitnya
perpisahan ini untuk mereka berdua.
Raka dengan suara serak, menatap tangan Lia yang
tergenggam erat dalam genggamannya.
"Maafkan aku, Lia. Aku tahu ini tidak adil untukmu. Aku berharap kita bisa
menemukan cara yang lebih baik, tapi sepertinya ini satu-satunya jalan
keluar."
Lia mengangguk perlahan, meski hatinya hancur. Ia
menggenggam tangan Raka untuk terakhir kalinya, mencoba menyimpan kenangan ini
dalam hati. Air mata yang mengalir di pipinya adalah cerminan dari semua rasa
sakit dan kehilangan yang dirasakannya.
Lia dengan nada penuh kepedihan, sambil melepaskan
genggamannya.
"Selamat tinggal, Raka. Semoga kamu menemukan jalanmu, meskipun aku tahu
bahwa bayanganmu akan selalu menghantui setiap langkahku."
Di penghujung malam yang mencekam itu, mereka berpisah
dengan hati yang berat. Raka kembali ke rumahnya dengan rasa penyesalan yang
mendalam, merasakan beban yang tak tertanggungkan di dalam dirinya. Sementara
itu, Lia melangkah pergi, mencoba memulai hidup baru, meskipun setiap
langkahnya dipenuhi dengan kenangan indah dan pahit tentang Raka.
Rasa sakit dari perpisahan ini akan terus menghantui mereka,
namun di tengah-tengah luka itu, mereka masing-masing berusaha untuk menemukan
cara untuk melanjutkan hidup. Bayangan masa lalu akan selalu menjadi bagian
dari mereka, tetapi masa depan menunggu untuk ditulis dengan cerita baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar